Posts

Mengapa Aku Memutuskan Berpuasa untuk Pertama Kalinya

Mengapa-aku-memutuskan-berpuasa-untuk-pertama-kalinya

Oleh Wendy W., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I’m Fasting For The First Time

“Apakah kamu mencintai Tuhan lebih daripada kamu mencintai gula?” Suara lirih itu berbisik di kepalaku.

Aku gemetar, tertampar oleh fakta yang aku enggan akui.

Setiap kita memiliki cara masing-masing untuk mengatasi stres dan tekanan hidup. Untuk beberapa orang, cara itu mungkin berupa minum sekaleng bir atau berolahraga yang memeras keringat setelah menjalani sebuah hari yang panjang. Bagi beberapa yang lain, cara itu mungkin berupa menonton beberapa episode film drama berurutan atau menghabiskan waktu dengan menjelajah internet. Untukku, yang selalu dapat mengatasi stres yang aku alami adalah gula.

Aku mulai menyukai makanan-makanan yang manis ketika tahun pertama kuliahku yang penuh dengan tekanan. Makanan-makanan manis itu menjadi semacam terapi bagiku. Aku mulai menyukai segala hal yang mengandung gula, mulai dari biskuit isi selai sampai es krim coklat. Setelah seharian berkuliah, yang aku inginkan hanyalah memanjakan diriku dengan kue-kue yang manis. Itu menjadi caraku untuk melupakan tekanan hidup yang kualami sehari-hari, mengurangi stres—dan juga menjadi alasan untuk menunda mengerjakan tugas-tugas. Itu juga membuatku lupa berdoa dan membaca Alkitab.

Tanpa kusadari, makanan-makanan manis itu telah menjadi berhalaku. Berhala yang selalu aku cari di masa-masa aku membutuhkannya; berhala yang memberikanku kenyamanan sementara; berhala yang telah menggantikan posisi Tuhan yang sebenarnya. Saat itulah, ketika aku menyadari bahwa aku tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana tentang apakah aku mencintai Tuhan lebih daripada gula, aku tahu bahwa aku perlu berpuasa.

Aku mulai berpuasa makanan manis saat itu juga selama sebulan. Selama masa itu, aku menghindari makanan-makanan manis, terutama makanan-makanan yang sangat menggoda bagiku seperti es krim dengan waffle (makanan favoritku), kue, biskuit, roti, coklat, dan lain-lain.

Hari demi hari, aku belajar apa artinya berpegang pada Kristus, dan hanya karena kekuatan dan anugerah-Nya aku mampu untuk menjalankan komitmenku untuk berpuasa (Filipi 2:12-13). Aku menghindari pojokan dessert di restoran, aku menolak dengan halus akan tawaran camilan manis, dan juga menolak kue yang akan disediakan bagiku.

1. Berpuasa mengingatkanku bahwa aku perlu bertobat

Berpuasa berarti berpantang makan untuk sebuah periode waktu tertentu. Dalam zaman Alkitab ditulis, pertobatan seringkali dikaitkan dengan berpuasa. Alkitab mencatat berbagai tipe berpuasa, dan beberapa orang di Perjanjian Lama dan Baru yang berpuasa, seperti Musa, Daud, Paulus, dan Yesus (tapi bukan karena Dia perlu bertobat).

Aku memutuskan untuk berpuasa karena aku perlu bertobat dari cara hidupku yang menyembah berhala (atau tuhan yang lain): makanan-makanan manisku (Filipi 3:19). Berpuasa adalah caraku menunjukkan pertobatan yang terjadi di dalam diriku. Itu adalah caraku merendahkan diri dan berfokus kepada Tuhan. Itu bukan hanya mengakui pada Tuhan bahwa aku telah berdosa—seperti yang sudah sering kulakukan sebelumnya—tapi juga melakukan sebuah tindakan melalui berpantang selama sebuah periode waktu tertentu.

2. Berpuasa adalah cara menyangkal diriku dari keinginan duniawi yang menggantikan Tuhan dalam hidupku

Awalnya, aku mulai berpuasa untuk menunjukkan pada Tuhan dan diriku bahwa aku benar-benar ingin mencari Dia lebih daripada makanan-makanan manis. Namun sekarang, masa-masa aku berpuasa telah menjadi sebuah waktu bagiku belajar apa arti dari berserah sepenuhnya kepada Tuhan dalam setiap kebutuhanku. Aku tidak lagi menghampiri makanan-makanan manis yang biasanya memuaskanku.

Jangan salah, makan itu bukanlah dosa, tapi akan berubah cerita jika makanan itu menjadi candu dan berhala kita. Meskipun Tuhan memberikan makanan untuk kita nikmati dan memenuhi nutrisi, makanan juga dapat mengambil posisi-Nya ketika kita menginginkan itu lebih dari Sang Pemberi itu sendiri.

Dalam tiga minggu terakhir ini, aku menyadari bahwa berpuasa dari makanan-makanan manis telah menolongku untuk mendekat kepada Kristus.

3. Berpuasa adalah sebuah cara untuk “mengecap dan melihat betapa baiknya Tuhan itu” (Mazmur 34:8)

Seorang teolog Amerika bernama John Piper pernah mengatakan bahwa berpuasa bukanlah pengganti iman kita kepada Yesus, tetapi sarana untuk menyatakan iman kita kepada Yesus. Berpuasa adalah sebuah cara menyatakan dengan tubuh kita betapa kita memerlukan, menginginkan, dan mempercayai Yesus. Itu adalah cara kita menolak diperbudak oleh makanan sebagai sumber kepuasan kita. Kita berpuasa dari waktu ke waktu untuk menunjukkan bahwa Yesus lebih baik daripada makanan.

Bagiku, berpuasa adalah sebuah cara untuk menumbuhkan kerinduan akan firman Tuhan. Itu adalah cara untuk menggantikan nutrisi jasmaniku yang berlebihan dengan nutrisi rohani. Dengan berpuasa, aku berseru kepada Tuhan, “Aku menginginkan-Mu, Tuhan—lebih dari segala makanan manis di hadapanku, lebih dari kepuasan sementara yang kurasakan, lebih dari terpenuhinya keinginan emosionalku.”

Periksalah motivasimu

Jika kamu bergumul akan sebuah dosa yang kamu lakukan berulang-ulang, aku mendorongmu untuk berdoa dan mempertimbangkan untuk berpuasa. Pada saat yang sama, berhati-hatilah akan motivasimu berpuasa. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa hati kita lebih licik daripada segala sesuatu (Yeremia 17:9), jadi jika kita tidak memeriksanya dengan hati-hati, berpuasa sebagai sebuah disiplin rohani bisa berubah menjadi sebuah usaha kedagingan yang kita banggakan.

Berpuasa bukanlah bertujuan untuk memamerkan kekuatanmu, atau untuk membenarkan dosa-dosa di masa depan. Itu juga bukan untuk menghukummu—aku sendiri juga terus mengingatkan diriku akan itu. Berpuasa dengan hati yang murni dan tulus adalah sebuah ekspresi yang tulus dari pertobatan kita, dan melaluinya Tuhan dihormati dan dimuliakan.

Baca Juga:

Aku Tidak Puas dengan Gerejaku, Haruskah Aku Bertahan?

Ada begitu banyak perubahaan di gerejaku yang tidak pernah diduga sebelumnya, jumlah jemaat kami semakin berkurang. Tak ada lagi jemaat lain yang seusiaku saat ini, dan aku tidak lagi merasa nyaman berjemaat di gereja itu. Namun, Tuhan menolongku untuk terus belajar memahami gereja sebagai kesatuan tubuh Kristus.

Aku Gak Pintar Berdoa

Doa-bukanlah-tentang-3-hal-ini

Oleh Aryanto Wijaya

Sewaktu aku tergabung dalam sebuah persekutuan remaja di gereja, seringkali MC menunjuk salah seorang peserta untuk memimpin doa. Tak semua orang yang ditunjuk mau menerima tawaran itu. Kadang, aku juga menolak ketika ditunjuk. “Jangan aku, aku gak pintar berdoa,” ucapku. Tak hanya aku yang menolak, teman-temanku pun ikut menolak dengan alasan serupa.

Seringkali, kita sebagai orang Kristen enggan berdoa karena merasa tidak pandai berkata-kata, atau menganggap doa kita terlalu sederhana. Tapi, sesulit itukah berdoa? Setelah aku memahami apa esensi dari sebuah doa, kurasa doa bukanlah hal yang sulit.

Doa adalah bentuk komunikasi antara kita dengan Sang Pencipta. Sebagai manusia ciptaan-Nya, kita beroleh kesempatan untuk dapat berkomunikasi secara langsung kepada-Nya melalui doa. Yeremia 33:3 mengatakan suatu jaminan kalau Tuhan mendengar doa anak-anak-Nya: “Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui.”

Dulu, aku pernah beranggapan kalau doa yang baik ditentukan dari kata-kata yang aku gunakan. Tapi, apakah kata-kata puitis nan indah menjadi syarat agar Tuhan mendengar doa kita? Jawabannya adalah tidak. Aku menyadari kekeliruan itu ketika membaca pengajaran Yesus tentang berdoa dalam Matius 6:5-8.

Ketika kita berdoa, kata-kata bukanlah hal utama yang dilihat Tuhan. Dia melihat jauh lebih dari sekadar kata-kata. Dia melihat ketulusan hati kita. Sekalipun kata-kata yang kita naikkan begitu indah dan puitis, tetapi jika hati kita tidak tulus di hadapan-Nya, maka doa yang kita naikkan bukanlah doa yang berkenan kepada-Nya.

Tuhan tidak menjadikan kata-kata yang kita ucapkan sebagai tolok ukur doa yang berkenan kepada-Nya. Beberapa orang menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata, doanya akan dikabulkan. Namun kenyataannya, Yesus justru menentang doa yang bertele-tele (Matius 6:7).

Doa bertele-tele tidaklah sama dengan berdoa lama. Yesus pernah pergi berdoa kepada Allah semalaman (Lukas 6:12). Sejatinya, bukan durasi waktu berdoa yang dipermasalahkan oleh Tuhan, tetapi motivasi kita dalam berdoa. Doa menjadi bertele-tele ketika kita hanya mengucapkannya di bibir tetapi tidak dengan hati.

Selain itu, janganlah juga kita berdoa agar terlihat saleh oleh orang lain. Dalam Matius 6, Yesus menegur orang-orang munafik yang suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Yesus mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya,” (Matius 6:2,5,16). Maksud dari kalimat Yesus itu adalah ketika kita berdoa supaya terlihat saleh oleh orang-orang, sesungguhnya pujian dari orang yang kita terima itulah yang menjadi upah kita. Ketika kita hanya berfokus mengejar pujian sebagai upah duniawi, sesungguhnya kita kehilangan upah surgawi yang hanya bisa diberikan oleh Tuhan sendiri (Matius 6:4,6,18).

Apa yang Yesus ajarkan dalam Matius 6 menyadarkanku kalau berdoa adalah tentang Tuhan, bukan tentang seberapa pandai aku merangkai kata-kata. Doa kita mungkin tidak sempurna, tetapi ketika kita menaikkannya dengan hati yang tulus, Roh Kudus akan membantu kita dalam kelemahan kita dan akan berdoa untuk kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan oleh kita (Roma 8:26).

Jadi, kita tidak perlu khawatir karena merasa kita tidak pintar berdoa. Berdoalah dengan hati yang tulus kepada Tuhan, selayaknya kita berkomunikasi dengan orang yang kita kasihi.

Baca Juga:

4 Tips untuk Bersaat Teduh dengan Konsisten

Menjalankan komitmen bersaat teduh itu tidak mudah. Kesibukanku di ekstrakurikuler sekolah seringkali membuatku lupa bersaat teduh. Namun aku bersyukur karena Tuhan menolongku untuk terus belajar memiliki saat teduh yang berkualitas.

4 Tips untuk Bersaat Teduh dengan Konsisten

4-tips-untuk-bersaat-teduh-dengan-konsisten

Oleh Noni Elina Kristiani, Surabaya

Ketika aku masih seorang gadis berumur 15 tahun, aku belum mengenal tentang saat teduh. Pada saat itu, datang ke gereja saja sudah merupakan sebuah prestasi yang besar bagiku. Berdoa hanya kulakukan ketika aku ingat saja, bahkan aku tidak berdoa sebelum makan di tempat umum karena takut disangka aneh oleh orang-orang.

Namun, kini aku mengucap syukur kepada Tuhan karena Dia telah menemukanku, domba-Nya yang pernah terhilang. Bermula dari sebuah retret, aku mulai mengenal apa itu saat teduh—waktu yang kita sediakan setiap hari untuk menjalin relasi dengan Tuhan. Seorang kakak rohaniku juga memberikan sebuah buku renungan yang dapat kugunakan sebagai penuntunku dalam bersaat teduh. Aku pun berusaha membangun komitmen untuk bersaat teduh setiap hari.

Bagiku, saat teduh itu menjadi waktu ketika aku bisa menyembah Tuhan melalui pujian dan doa serta membaca firman-Nya agar dapat semakin mengenal Dia. Aku bisa menceritakan segala masalahku pada-Nya, berbicara pada-Nya selayaknya seorang sahabat. Tuhan menguatkan dan menegurku melalui firman-Nya yang aku baca.

Namun harus kuakui, menjalankan komitmen bersaat teduh itu tidak mudah. Kesibukanku di ekstrakurikuler sekolah seringkali membuatku lupa bersaat teduh. Puji Tuhan, Dia menolongku untuk terus belajar memiliki saat teduh yang berkualitas.

Berdasarkan pengalamanku membangun komitmen bersaat teduh selama bertahun-tahun, aku ingin membagikan 4 tips yang dapat kamu coba untuk menolongmu bersaat teduh dengan konsisten:

1. Miliki motivasi bersaat teduh yang benar

Motivasi yang akan sangat membantu kita untuk melakukan saat teduh dengan konsisten adalah kasih kita kepada Allah. Kasih kepada Allah mendorongku untuk menunjukkan rasa cintaku kepada-Nya. Tuhan telah begitu mengasihiku. Karena itu, aku rindu untuk terus berhubungan dengan Tuhan melalui merenungkan firman-Nya dan berdoa. Kita mengasihi Allah karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita.

Kasih kepada Allah membuat kita bergerak untuk melakukan kehendak-Nya dengan rela, bukan dengan terpaksa. Kasih kepada Allah membuat kita menyadari bahwa bukan Allah yang membutuhkan kita, tapi kitalah yang membutuhkan-Nya. Dialah yang memberikan kita hikmat dan kekuatan untuk menjalani aktivitas kita sepanjang hari. Hingga saat ini, aku menyadari bahwa kualitasku dalam menjalani suatu hari ditentukan dari bagaimana aku mengawali hari itu bersama dengan Tuhan.

2. Sediakan waktu terbaik dan pasang alarm/pengingat

Kita bisa datang kepada Tuhan kapan saja, tetapi menurutku Tuhan layak mendapatkan waktu terbaikku, bukan sekadar waktu luang yang aku sisakan di tengah kesibukanku. Bagiku, waktu terbaik untuk melakukan saat teduh adalah di pagi hari sebelum aku beraktivitas. Waktu terbaikmu mungkin sama atau berbeda dengan waktu terbaikku, tetapi yang terpenting adalah kamu mempersembahkan waktu itu sebagai momen terbaik bagimu untuk menikmati hubungan dengan Tuhan.

Hal sederhana yang bisa dilakukan agar tidak lupa bersaat teduh adalah dengan memasang pengingat. Kamu bisa mengatur alarm di ponsel supaya dapat bangun lebih awal untuk bersaat teduh. Selain itu, kamu juga bisa membuat tulisan pengingat yang bisa kamu tempel di dinding kamarmu, seperti “Apakah kamu sudah saat teduh hari ini?” atau “Mari memulai hari ini bersama dengan Tuhan.”

3. Minta dukungan orang lain

Salah satu hal yang akan sangat membantu kita untuk bersaat teduh dengan konsisten adalah dengan meminta bantuan orang lain untuk mengingatkan dan mendoakan kita. Itulah mengapa kita perlu memiliki komunitas yang bertumbuh dalam Tuhan. Ketika kita tergabung dalam komunitas orang percaya, kita bertumbuh bersama-sama. Ketika ada satu orang yang lemah, yang lainnya dapat saling mendukung dan menguatkan.

Apakah kamu sudah memiliki komunitas seperti ini? Jika belum, tidak ada salahnya untuk memulai bergabung dengan komunitas yang takut akan Tuhan dari sekarang. Kamu bisa menemukan komunitas itu di persekutuan gereja, persekutuan di sekolah, atau juga di kampusmu.

4. Jangan berhenti hanya karena pernah gagal

Pernahkah kamu mencoba untuk melakukan saat teduh dengan rutin tapi selalu gagal? Aku juga pernah mengalaminya. Tapi kemudian aku mengingat, Tuhan mengasihi kita bahkan ketika kita masih berdosa (Roma 5:8). Tuhan tidak menuntut kita untuk jadi sempurna terlebih dahulu agar kita bisa mengasihi-Nya. Saat kita mengakui dosa kita di hadapan-Nya dan berbalik mengikuti-Nya, Tuhan akan melihat ketulusan hati kita dan mengampuni kita (1 Yohanes 1:9). Tuhan sangat senang melihat anak-anak-Nya mau terus berusaha untuk mendekat kepada-Nya dan melakukan perintah-Nya.

Ketika dirimu mulai merasa tidak layak untuk menghadap Tuhan, sebenarnya itu adalah saat di mana Tuhan rindu untuk memulihkanmu. Datanglah kepada-Nya sekarang, ambillah waktu untuk bersaat teduh dan curahkanlah isi hatimu kepada-Nya. Dia adalah Allah yang rindu berkomunikasi denganmu. Dia akan mendengarkanmu dan menjawab doa-doamu pada waktu-Nya dan dengan cara-Nya yang terbaik.

Selamat bersaat teduh dengan konsisten.

Baca Juga:

3 Alasan Mengapa Aku Perlu Berdoa?

Dalam pergumulanku tentang pentingnya berdoa, aku punya pengalaman yang mengajarkanku tiga alasan mengapa aku perlu berdoa.

Tak Ada yang Tersembunyi

Kamis, 12 Januari 2017

Tak Ada yang Tersembunyi

Baca: Ibrani 4:12-16

4:12 Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.

4:13 Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.

4:14 Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.

4:15 Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.

4:16 Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.

Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya. —Ibrani 4:13

Tak Ada yang Tersembunyi

Pada tahun 2015, sebuah perusahaan riset internasional menyatakan bahwa ada 245 juta kamera pengintai yang terpasang di seluruh dunia dan jumlahnya terus bertambah 15 persen setiap tahun. Selain itu, jutaan orang memotret begitu banyak gambar setiap hari dengan ponsel mereka, mulai dari pesta ulang tahun sampai peristiwa kejahatan. Dampaknya, kita bisa mensyukuri untuk meningkatnya keamanan atau justru semakin terusik karena berkurangnya privasi. Yang pasti, kita sekarang hidup dalam masyarakat global dengan kamera yang ada di mana saja.

Kitab Ibrani dalam Perjanjian Baru mengatakan bahwa dalam hubungan dengan Allah, diri kita terekspos dan dituntut pertanggungjawaban dalam kadar yang jauh lebih besar daripada apa pun yang dapat dilihat melalui kamera pengintai. Firman-Nya lebih tajam dari pedang bermata dua, menusuk hingga ke kedalaman diri kita. Firman itu “sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita. Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibr. 4:12-13).

Karena Yesus Kristus Juruselamat kita telah mengalami segala kelemahan dan pencobaan yang kita hadapi, tetapi tidak berbuat dosa, kita bisa “menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (ay.15-16). Kita tidak perlu takut untuk datang kepada-Nya, karena kita yakin akan menerima rahmat dan menemukan kasih karunia-Nya. —David McCasland

Tiada yang tersembunyi dari pandangan Allah. Tiada yang lebih besar daripada kasih Allah. Tiada yang lebih kuat daripada belas kasihan dan anugerah Allah. Tiada yang terlalu sulit bagi kuasa Allah.

Tak ada satu bagian pun dari hidup kita yang tersembunyi dari anugerah dan kuasa Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 29-30; Matius 9:1-17

Artikel Terkait:

Lebih dari Optimisme, Inilah yang Harus Kita Lakukan untuk Menghadapi Realita Kehidupan

“Seiring waktu, aku sadar bahwa akar dari ketidaksenangan kita—tidak peduli apakah kita seorang yang pesimis atau optimis—biasanya adalah hal yang sama: kita menginginkan sesuatu, tapi kita tidak mendapatkannya. Jadi bagaimana kita harus menyikapi akar masalah ini?”
Baca selengkapnya di dalam artikel ini.

3 Alasan Mengapa Aku Perlu Berdoa

3-alasan-mengapa-aku-berdoa

Oleh Amy J., Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Reasons Why I Pray

Aku berusia 11 tahun ketika keluargaku pergi berlibur ke Beijing. Itu adalah perjalanan pertamaku ke Tiongkok. Suatu pagi, saudara lelakiku sakit dan harus beristirahat di hotel. Karena ibu harus merawatnya, dia memintaku untuk membelikan sarapan di sebuah kedai pangsit yang terletak persis di depan hotel. Ibu meyakinkanku bahwa dia akan memperhatikanku dari balik jendela kamar hotel.

Seandainya aku ada di rumah, tugas itu adalah sebuah tugas yang sederhana. Tapi, rasa asing pada Tiongkok dan kurangnya pengalaman membuat hal ini menjadi sebuah tugas yang sangat menantang dan masih aku ingat dengan jelas sampai hari ini.

Begitu banyak orang yang keluar dan masuk kedai pangsit itu. Beberapa dari mereka sedang menyantap sarapan, beberapa yang lain sedang menunggu makanan untuk dibawa pulang, dan sisanya sedang meneriakkan pesanan di atas kepalaku. Antrean yang kacau membuatku semakin bingung hingga aku tidak tahu apa yang harus kulakukan atau kukatakan.

Aku ketakutan dan hampir menangis, namun tiba-tiba aku teringat ucapan ibuku tadi. Aku melangkah keluar dari toko dan melihat ke arah jendela kamar hotel tempatku tinggal. Ibuku menepati janjinya, dia melihatku dari jendela kamar di lantai lima, dan mengacungkan jempolnya kepadaku. Aku langsung merasa terhibur.

Sekalipun dia tidak berada tepat di sampingku, tetapi mengetahui bahwa dia ada di dekatku memberikanku keyakinan dan keberanian untuk menyelesaikan tugas yang diberikannya.

Dalam pergumulanku tentang pentingnya berdoa, pengalaman ini mengajarkanku 3 alasan mengapa aku perlu berdoa.

1. Karena berdoa mengingatkanku bahwa Tuhan selalu besertaku.

Memang terdengar klise, namun itu benar. Seringkali, aku menjadi seperti anak kecil lagi—di tengah ketidakpastian, ketika aku ditekan oleh keadaan, aku lupa bahwa Tuhan memperhatikanku.

Tuhan selalu menyertai kita, meskipun kita tak dapat melihat-Nya. Ketika masalah datang, yang harus kita lakukan hanyalah datang kepada-Nya di dalam doa. Dia mungkin tidak selalu langsung menjawab sesuai dengan cara yang kita inginkan, seperti memberikan kita nilai ujian yang baik atau menyembuhkan orang yang kita kasihi yang sedang sakit, tapi tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak-Nya.

Yesus berjanji bahwa Dia tidak akan membiarkan kita atau meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Janji itulah yang membuatku setia berdoa dari hari ke hari—kadang dari tahun ke tahun, mendoakan sebuah pokok doa yang sama. Aku tahu bahwa Dia ada, Dia mendengar doaku, dan Dia peduli.

2. Karena aku sedang melakukan pekerjaan-Nya.

Dihadapkan pada lebih dari 20 jenis pangsit dan bakpau membuatku menjadi sangat bingung. Apalagi, semua menu itu ditulis dalam aksara Mandarin yang setengah di antaranya tak kukenal. Waktu itu, aku merasa bingung hingga aku lupa apa tugasku. Ibuku telah memberi instruksi yang sangat sederhana—beli enam bakpau daging—namun di tengah situasi yang asing dan kacau, suara ibuku di dalam kepalaku menjadi tenggelam dan aku menjadi lupa apa yang harus aku lakukan.

Jadi dunia memberitahu kita bagaimana seharusnya penampilan kita, kelakuan kita, dan bagaimana menghidupi hidup ini. Dunia tidak mempengaruhi kita, dunia hanya memberitahu kita. Apakah kita terpengaruh atau tidak, itu kembali ke kita.

Tuhan telah menciptakan kita untuk sebuah tujuan yang spesifik. Dia mempercayakan kita tidak hanya untuk memelihara dan berkuasa atas dunia ciptaan-Nya, tetapi juga untuk menjadikan segala bangsa menjadi murid-Nya. Inilah peran yang diberikan-Nya kepada Adam, murid-murid Yesus, dan kita semua. Yesus sendiri berkata bahwa makanan-Nya adalah melakukan kehendak Bapa yang mengutus-Nya. Kitab Efesus mengajarkanku bahwa aku adalah buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya (Efesus 2:10). Jadi alasan aku berdoa adalah untuk melakukan pekerjaan-Nya dengan tepat.

3. Karena aku adalah warga kerajaan surga.

Melihat kembali pengalamanku itu, aku menyadari bahwa tantangan terbesar yang kuhadapi adalah bagaimana keluar dari zona nyaman. Saat itu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan, bagaimana cara memesan makanan itu, atau kepada siapa aku harus memesan. Kalau saja itu adalah kedai favoritku di belakang rumah, penjualnya tentu sudah tahu apa yang ingin kupesan—dua bakpau daging, dua bakpau ayam, dan dua bakpau kacang merah. Urusan memesan bakpau akan menjadi urusan yang mudah di lingkungan tempat tinggalku.

Dan meskipun aku dapat membaca menu dan membuat suaraku terdengar di kedai pangsit di Bejing, gaya bicara dan berpakaianku juga akan terlihat aneh. Aku benar-benar menjadi orang asing yang tersesat di tengah kerumunan penduduk lokal di sana.

Pernahkah kamu merasa kalau menjadi orang Kristen itu berarti menjadi sangat berbeda dari yang lain? Itu tidak terelakkan. Kita tidak bisa berbaur dengan dunia ini, karena dunia ini bukanlah rumah kita. Bumi ini bukanlah tujuan akhir kita yang suatu saat nanti kita akan meninggalkannya. Jadi, cara terbaik untuk menjalani hidup ini adalah dengan melihat kepada Yesus, Tuhan dari hidup kita. Aku berdoa karena aku membutuhkan pimpinan-Nya.

Ketika aku tiba di surga kelak, aku akan menghabiskan waktu berjam-jam berjalan di taman dan mengobrol dengan Tuhanku. Tapi saat ini, ketika aku masih ada di bumi untuk melakukan pekerjaan-Nya, yang bisa kulakukan untuk berkomunikasi dengan-Nya hanyalah dengan berdoa.

“Datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” (Matius 6:10).

Baca Juga:

Ketika Tahun Baru Diawali dengan Tragedi?

Satu tragedi di awal tahun bukan berarti seluruh hari sepanjang tahun akan terasa suram. Kita percaya kalau segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Allah.

Ketika Tahun Baru Diawali dengan Tragedi

ketika-tahun-baru-diawali-dengan-tragedi

Oleh Aryanto Wijaya

Kita tentu berharap segala hal yang baik akan terjadi sepanjang tahun, tetapi benarkah kenyataannya pasti begitu?

Di minggu pertama tahun 2017, aku bertemu dengan sahabatku dan kami bercerita tentang resolusi masing-masing di tahun ini. Sahabatku itu baru beberapa bulan bekerja di sebuah kantor akuntan. Ia merasa lelah dengan pekerjaannya dan mencetuskan sebuah komentar, “Hmmm, entah deh tahun ini bakal seperti apa.” Sekalipun kami telah menyusun resolusi sebagai harapan di tahun baru, tetapi kami tetap tidak tahu apa yang akan terjadi di depan.

Setelah pertemuan itu, kami pun berpisah dan kembali ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, di tengah malam, betapa kagetnya aku mendapati ponselku dikirimi pesan singkat dari sahabatku yang berisi, “Aku baru saja dijambret, tas dan semua isinya hilang.” Setelah dia mendapatkan pinjaman ponsel, dia menghubungiku dan menceritakan kejadiannya secara rinci.

Ada nada sedih dan kecewa dalam ucapan sahabatku itu. Dia tidak pernah menyangka jika awal tahun ini harus dibuka dengan sebuah tragedi kehilangan. Dia tentu tidak ingin mengalami kejadian ini, sekalipun dia telah menjaga dengan baik barang berharganya, tetapi pada akhirnya dia menjadi korban kejahatan.

Aku termenung dan turut berempati atas musibah yang baru saja dialami oleh sahabatku itu. Dalam hati aku berdoa agar Tuhan menguatkan dirinya dan supaya ia mampu mengampuni orang yang telah mencuri barangnya.

Kehilangan yang dialami oleh temanku mungkin hanyalah sebuah kehilangan benda fisik yang tidak seberapa nilainya dan bisa dicari kembali. Tapi, mungkin ada beberapa dari kita yang di awal tahun ini harus mengalami tragedi, entah itu divonis penyakit, kehilangan orang terkasih, kehilangan pekerjaan, ataupun harapan-harapan lain yang tak kunjung jadi kenyataan.

Mengalami musibah atau tragedi memang menyakitkan dan seolah mencabut kedamaian kita. Ketika awal tahun diawali dengan sebuah tragedi, akan mudah bagi kita untuk menjadi kecewa dan takut sepanjang hari-hari yang tersisa. Terkadang kita mungkin berpikir jika di awal saja sudah terjadi hal buruk, lantas bagaimana dengan hari-hari di depan nanti?

Sebagai orang Kristen, sekalipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita, satu yang pasti kita tahu adalah siapa yang menuntun langkah kita, Dialah Yesus. Firman Tuhan menyatakan kalau Tuhan tidak akan pernah meninggalkan kita (Ibrani 13:5). Mungkin hari-hari kita tidak selalu cerah, terkadang juga ada mendung yang menutupi, tetapi ibarat matahari yang tetap bersinar sekalipun di balik mendung, demikian jugalah Tuhan yang selalu menyertai kita dalam segala keadaan.

Mazmur Daud menggambarkan bahwa penyertaan Tuhan itu seperti tuntunan seorang gembala yang membawa domba-dombanya ke padang yang berumput hijau dan air yang tenang (Mazmur 23). Satu tragedi di awal tahun bukan berarti seluruh hari sepanjang tahun akan terasa suram. Kita percaya kalau segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi Allah (Roma 8:28).

Jadi, di tahun yang masih baru ini, maukah kita mempercayai Tuhan dan segala janji-Nya? Sebab ada tertulis rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera (Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

Adakah yang salah dengan menginginkan hidup nyaman? Untuk menjawab pertanyaan ini, Julian memiliki 5 pertanyaan yang dapat kita renungkan.

Sumber Persediaan Kita

Sabtu, 7 Januari 2017

Sumber Persediaan Kita

Baca: Matius 6:9-15

6:9 Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,

6:10 datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.

6:11 Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya

6:12 dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami;

6:13 dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat. (Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.)

6:14 Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga.

6:15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.”

Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya. —Mazmur 145:18

Sumber Persediaan Kita

Pada Agustus 2010, perhatian dunia tertuju pada sebuah terowongan tambang di dekat Copiapó, Chili. Sebanyak 33 penambang berhimpitan dalam gelap dan terjebak di kedalaman 700 meter di bawah tanah. Mereka sama sekali tidak tahu kapan pertolongan akan tiba. Setelah menunggu 17 hari lamanya, mereka mendengar bunyi pengeboran. Regu penyelamat telah membuat sebuah lubang kecil di bagian atap terowongan, kemudian diikuti tiga lubang berikutnya, dengan maksud untuk menciptakan jalur pengiriman persediaan makanan, air, dan obat-obatan. Para penambang itu sangat bergantung pada saluran-saluran yang terhubung dengan permukaan tanah tersebut untuk menerima persediaan yang mereka butuhkan agar dapat bertahan hidup. Akhirnya, pada hari yang ke-69 semua penambang berhasil dibebaskan.

Tidak seorang pun dari kita dapat bertahan hidup tanpa persediaan yang diberikan oleh pihak di luar kita. Allah, Sang Pencipta alam semesta, adalah Pribadi yang menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan. Sama seperti lubang-lubang yang dibuat bagi para penambang tadi, doa menjadi penghubung antara kita dengan Allah, sumber segala sesuatu.

Tuhan Yesus mengajar kita untuk berdoa, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat. 6:11). Pada masa hidup Yesus di bumi, roti merupakan makanan pokok dan menggambarkan semua kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Yesus mengajar kita berdoa tidak hanya untuk kebutuhan jasmani, tetapi juga untuk penghiburan, pemulihan, keberanian, dan hikmat yang kita butuhkan.

Melalui doa, kita memiliki akses untuk datang kepada-Nya kapan pun, dan Dia tahu apa yang kita butuhkan bahkan sebelum kita meminta kepada-Nya (ay.8). Apa yang sedang kamu gumulkan hari ini? “Tuhan dekat pada setiap orang yang berseru kepada-Nya” (Mzm. 145:18). —Bill Crowder

Doa adalah ungkapan iman yang meyakini bahwa Allah tahu segalanya dan Dia mempedulikan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 18-19; Matius 6:1-18

Artikel Terkait:

Karena Perubahan Ini, Doa-Doaku Begitu Cepat Dijawab Tuhan

Dalam berdoa, aku sungguh-sungguh memohon, “Tuhan, terlibatlah dalam hidupku.” Namun, di balik kalimat yang tampaknya penuh kerendahan hati dan penyerahan diri itu, aku sedang menempatkan Tuhan pada posisi pembantu, bukan pemilik hidupku. Aku merasa hidup ini adalah panggungku. Aku tokoh utamanya.

Bagaimana Claudya mengubah doa-doanya? Temukan kesaksian selengkapnya di dalam artikel ini.

Waktu Pribadi Bersama Allah

Jumat, 30 Desember 2016

Waktu Pribadi Bersama Allah

Baca: Matius 14:13-23

14:13 Setelah Yesus mendengar berita itu menyingkirlah Ia dari situ, dan hendak mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi. Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka.

14:14 Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit.

14:15 Menjelang malam, murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata: “Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa.”

14:16 Tetapi Yesus berkata kepada mereka: “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.”

14:17 Jawab mereka: “Yang ada pada kami di sini hanya lima roti dan dua ikan.”

14:18 Yesus berkata: “Bawalah ke mari kepada-Ku.”

14:19 Lalu disuruh-Nya orang banyak itu duduk di rumput. Dan setelah diambil-Nya lima roti dan dua ikan itu, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat, lalu memecah-mecahkan roti itu dan memberikannya kepada murid-murid-Nya, lalu murid-murid-Nya membagi-bagikannya kepada orang banyak.

14:20 Dan mereka semuanya makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, dua belas bakul penuh.

14:21 Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak.

14:22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.

Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. —Matius 14:23

Waktu Pribadi Bersama Allah

Pagi itu suasana di kelas sekolah Minggu tempat saya melayani sangat ramai. Sekitar 12 anak kecil terus berceloteh dan bermain di ruangan. Karena banyaknya kegiatan yang berlangsung, ruangan kami menjadi panas. Saya pun membuka pintu ruangan dan mengganjalnya. Seorang anak laki-laki melihat itu sebagai kesempatan untuk kabur. Ia pun berjingkat keluar dari ruangan, mengira tidak ada yang memperhatikannya. Setelah membuntutinya, saya pun tidak heran menemukan bahwa ia mencari ayahnya dan langsung memeluknya.

Anak kecil tersebut melakukan apa yang perlu kita lakukan ketika hidup menjadi begitu sibuk dan membuat kita kewalahan—ia menyelip keluar agar bisa bersama ayahnya. Tuhan Yesus mencari kesempatan agar bisa menghabiskan waktu bersama Bapa Surgawi-Nya di dalam doa. Ada yang berpendapat bahwa mungkin itulah cara-Nya mengatasi berbagai tuntutan yang telah menguras tenaga-Nya sebagai manusia. Menurut Injil Matius, Yesus sedang pergi ke suatu tempat terpencil ketika orang banyak mengikuti Dia. Melihat kebutuhan mereka, Yesus melakukan mukjizat dengan menyembuhkan mereka dan memberi mereka makan. Namun setelah itu Dia “naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri” (Mat. 14:23).

Tuhan Yesus berulang-ulang menolong banyak orang, tetapi Dia tidak membiarkan diri-Nya menjadi kepayahan dan tergopoh-gopoh. Dia selalu memupuk hubungan-Nya dengan Allah melalui doa. Bagaimana denganmu? Apakah kamu akan menyediakan waktu pribadi bersama Allah untuk mengalami kekuatan dan kepuasan sejati dari-Nya? —Jennifer Benson Schuldt

Dari mana kamu menemukan kepuasan yang lebih besar—dari usaha kamu memenuhi segala tuntutan hidup ini atau dari hubungan kamu dengan Sang Pencipta?

Ketika kita mendekat kepada Allah, pikiran kita disegarkan dan kekuatan kita diperbarui!

Bacaan Alkitab Setahun: Zakharia 13-14; Wahyu 21

Artikel Terkait:

Ulasan Buku: Waktu Bersama Tuhan

Penting isinya. Praktis penyampaiannya. Buku karya Jean Flemming ini tidak hanya memberi wawasan bagi orang yang baru belajar bersaat teduh, tetapi juga menyegarkan kita yang sudah bertahun-tahun mempraktikkannya. Bagaimana agar saat teduh kita tidak menjadi sekadar rutinitas tanpa makna?

Tepat Waktu

Senin, 26 Desember 2016

Tepat Waktu

Baca: Lukas 2:25-38

2:25 Adalah di Yerusalem seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya,

2:26 dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus, bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi Tuhan.

2:27 Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus. Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat,

2:28 ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya:

2:29 “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,

2:30 sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu,

2:31 yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,

2:32 yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.”

2:33 Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala apa yang dikatakan tentang Dia.

2:34 Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan

2:35 –dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri–,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.”

2:36 Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh tahun lamanya bersama suaminya,

2:37 dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa.

2:38 Dan pada ketika itu juga datanglah ia ke situ dan mengucap syukur kepada Allah dan berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem.

Setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya. —Galatia 4:4

Tepat Waktu

Kadang saya bercanda bahwa saya akan menulis buku dengan judul Tepat Waktu. Mereka yang mengenal saya pasti tersenyum karena mereka tahu saya punya kebiasaan suka terlambat. Saya beralasan bahwa keterlambatan saya itu disebabkan karena saya terlalu optimis, bukannya karena kurang berusaha. Maksud saya, dengan penuh optimisme saya bersikeras mempercayai bahwa “kali ini” saya akan mampu memenuhi tanggung jawab saya dalam waktu yang lebih singkat dari sebelumnya. Namun kenyataannya, saya tidak mampu, dan saya tidak bisa memenuhinya. Pada akhirnya saya lagi-lagi harus meminta maaf atas kegagalan saya untuk datang tepat waktu.

Sebaliknya, Allah selalu tepat waktu. Kita mungkin berpikir bahwa Allah terlambat, tetapi Dia tidak pernah terlambat. Di sepanjang Kitab Suci, kita membaca tentang orang-orang yang tidak sabar dalam menantikan waktu Allah. Bangsa Israel sangat lama menantikan Mesias yang telah dijanjikan bagi mereka. Walaupun banyak yang menyerah, Simeon dan Hana tidak menyerah. Setiap hari mereka berdoa dan menanti di Bait Allah (Luk. 2:25-26,37). Iman mereka pun menerima imbalannya. Mereka berkesempatan melihat bayi Yesus ketika Dia dibawa Maria dan Yusuf untuk diserahkan kepada Tuhan (ay.27-32,38).

Ketika kita berkecil hati karena Allah tidak menjawab doa pada waktu yang kita harapkan, Natal mengingatkan kita bahwa “setelah genap waktunya, maka Allah mengutus Anak-Nya, . . . supaya kita diterima menjadi anak” (Gal. 4:4-5). Waktu Allah selalu tepat dan penantian kamu takkan sia-sia. —Julie Ackerman Link

Bapa Surgawi, aku mengakui bahwa aku menjadi tidak sabar dan patah semangat karena menghendaki doa-doaku dijawab sesuai dengan jadwal dan waktuku. Mampukan aku menantikan dengan sabar waktu-Mu dalam segala hal yang kuharapkan.

Allah tidak pernah terlambat—nantikanlah Dia dengan sabar.

Bacaan Alkitab Setahun: Hagai 1-2; Wahyu 17

Artikel Terkait:

Kepada Semua Pemudi Kristen yang Masih Lajang

Mencari pria yang tepat sebagai pasangan hidup kita bukanlah hal yang salah, juga bukan perkara yang mudah. Tetapi, janganlah sampai kita tenggelam dalam pencarian itu, sehingga kita tidak lagi bisa melihat tujuan besar Allah bagi hidup kita.