Posts

Mengobati Kekhawatiran

Selasa, 12 Desember 2017

Mengobati Kekhawatiran

Baca: Filipi 4:1-9

4:1 Karena itu, saudara-saudara yang kukasihi dan yang kurindukan, sukacitaku dan mahkotaku, berdirilah juga dengan teguh dalam Tuhan, hai saudara-saudaraku yang kekasih!

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.

4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.

4:4 Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!

4:5 Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat!

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. —Filipi 4:6

Mengobati Kekhawatiran

Kami sangat bersemangat saat akan pindah ke tempat yang baru, mengikuti pekerjaan suami saya. Namun, segala ketidakpastian dan kesulitan yang terbayang sempat membuat saya khawatir. Saya khawatir soal menyortir dan mengepak barang. Mencari tempat tinggal. Mencari pekerjaan baru untuk saya juga. Bagaimana melakukan perjalanan di kota yang baru dan akankah saya merasa kerasan di sana. Semua itu . . . sangat merisaukan. Saat memikirkan tentang segala hal yang “harus” saya kerjakan, kata-kata yang ditulis Rasul Paulus muncul di benak saya: Jangan khawatir, berdoalah (Flp. 4:6-7).

Paulus tentu juga pernah merasa khawatir di tengah ketidakpastian dan kesulitan. Ia pernah mengalami karam kapal. Ia pernah dipukuli. Ia pernah dipenjara. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menguatkan para sahabatnya yang juga menghadapi ketidakpastian dan mengatakan kepada mereka, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur” (ay.6).

Perkataan Paulus sangat menguatkan saya. Hidup ini tidak mungkin lepas dari ketidakpastian—baik itu berupa keputusan besar yang mempengaruhi hidup, masalah keluarga, kesehatan yang memburuk, atau kesulitan keuangan. Saya terus belajar untuk memahami bahwa Allah peduli. Dia mengundang kita untuk melepaskan kekhawatiran kita akan segala hal yang tidak pasti dengan menyerahkan semua itu kepada-Nya. Saat kita melakukannya, Allah yang Mahatahu menjanjikan bahwa damai sejahtera-Nya “yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiran [kita] dalam Kristus Yesus” (ay.7). —Karen Wolfe

Tuhan, alangkah indahnya menyadari bahwa kami tak perlu khawatir akan apa pun. Ingatkan kami bahwa kami boleh datang dan membawa segala hal kepada-Mu. Kami bersyukur untuk diri-Mu dan karya-Mu dalam hidup kami.

Kepedulian Allah sungguh menenangkan jiwa.

Bacaan Alkitab Setahun: Hosea 9-11 dan Wahyu 3

Tuhan Mampu, Tapi Mengapa Dia Tidak Melakukannya?

Oleh Janessa Moreno, Tangerang

Sejak aku masih kecil, ayahku selalu mendukungku untuk terus berlatih bulutangkis. Jika bagi sebagian orang bulutangkis hanyalah sekadar olahraga, bagiku menjadi atlet bulutangkis adalah cita-citaku. Dengan dukungan ayahku dan pelatihku, saat kelas 6 SD aku memutuskan berhenti dari sekolah formal dan masuk ke dalam program beasiswa bulutangkis.

Masuk ke dalam program beasiswa bulutangkis membuat hidupku tak seperti remaja lainnya yang bisa bebas melakukan banyak hal. Selama masa pendidikanku, aku harus tinggal di asrama dan ada segudang peraturan yang harus dipatuhi. Aku harus menjaga asupan makananku, tidak boleh makan sembarang makanan. Lalu, aku pun tidak boleh pergi nongkrong sepulang sekolah, tidak boleh tidur larut malam, dan juga tidak boleh berpacaran. Semua peraturan ini dibuat supaya tiap peserta beasiswa kelak bisa menjadi atlet yang tangguh.

Latihan demi latihan menjadi keseharianku untuk menjadi atlet tangguh yang nantinya akan mewakili Indonesia di berbagai ajang olahraga internasional. Namun, saat masuk di sekolah bulutangkis, aku merasa prestasiku malah menurun. Padahal sebelumnya saat aku masih duduk di bangku SD dulu, aku sering meraih berbagai juara dalam perandingan bulutangkis. Akan tetapi, saat usiaku menginjak angka 13 tahun, aku malah jarang lolos ke tahapan final ataupun semifinal.

Namun, ada sebuah peristiwa yang membuat semangatku memuncak. Waktu itu pelatihku sempat mengatakan bahwa namaku diajukan untuk mewakili Indonesia dalam ajang pertandingan Singapore Open yang akan digelar di Singapura pada November 2017. Mendengar kabar ini, aku jadi begitu bersemangat. Setiap hari aku berdoa dan berlatih lebih dari porsi yang diberikan pelatih. Saat teman-temanku menggunakan waktu liburnya untuk bermain, aku tidak pernah libur. Semua waktuku kugunakan untuk berlatih dan terus berlatih.

Namun, betapa kecewanya aku ketika menjelang hari pertandingan yang mendekat, aku tidak melihat namaku tertulis sebagai wakil Indonesia yang akan berangkat ke Singapura. Pelatihku tidak memberiku alasan apapun di balik ini, namun menurutku ini terjadi karena selama ini tidak banyak prestasi yang kuraih.

Peristiwa ini sempat membuatku berpikir untuk berhenti dan keluar saja dari sekolah bulutangkis. Kemudian, aku pun jadi bertanya-tanya pada Tuhan. “Tuhan, kenapa? Aku tahu Tuhan bisa meloloskan aku, tapi mengapa Tuhan tidak melakukan itu? Aku harus melakukan apa lagi supaya Tuhan mengabulkan doaku? Aku merasa upayaku sudah maksimal, namun mengapa sepertinya Tuhan tidak melihat upayaku itu?”

Malam itu aku menangis dan memohon supaya Tuhan berkenan menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Keesokan harinya, alih-alih mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang kuajukan semalam, hati kecilku seolah balik bertanya kepadaku: “Selama ini apa doamu sungguh-sungguh dari hati? Apa kamu datang kepada Bapa hanya untuk meminta?”

Pertanyaan ini membuatku berpikir dan akhirnya aku menyadari bahwa selama ini aku tidak berdoa dengan sungguh-sungguh. Setiap kali berdoa, aku hanya berdoa dengan kalimat yang sama, yang penting aku sudah mengucapkan pergumulanku dan menaikkan permohonanku pada Tuhan. Aku tidak pernah bercerita tentang apa yang aku alami pada Tuhan, aku hanya fokus memohon apa yang kuinginkan. Fokusku untuk berdoa bukan lagi untuk membangun relasi yang intim dengan Tuhan, melainkan hanya sekadar memohon dan memohon saja. Tanpa kusadari, aku tidak lagi menempatkan Tuhan sebagai Bapa, melainkan seperti seorang pembantu yang harus mengiyakan seluruh permintaanku.

Hari itu aku berdoa. Di dalam doa tersebut aku menceritakan segala keluh kesahku, memohon ampun atas segala dosa kesalahanku, dan memohon agar Dia memberiku hati yang mau menerima kenyataan ini. Saat itu aku merasakan ada kedamaian di hatiku. Mungkin, kegagalanku masuk ke Singapore Open bukan semata-mata karena aku kurang berusaha, melainkan Tuhan juga ingin aku berubah. Tuhan ingin aku memiliki relasi dengan-Nya, relasi yang erat antara seorang anak dengan Bapa.

Sejak saat itu, caraku berdoa pada Tuhan pun berubah. Aku tak lagi menjadikan doa sebagai sarana untuk sekadar meminta, melainkan sebagai sebuah kesempatan di mana aku bisa berbicara pada Tuhan dan mendengar apa kehendak-Nya melalui firman Tuhan yang kemudian kubaca.

Sekarang aku menjalani pendidikanku di sekolah bulutangkis dengan sukacita. Aku tidak lagi kecewa karena kegagalan itu, melainkan bersyukur karena aku bisa mengenal Bapa lebih dekat lagi.

“Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab aku akan bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku!” (Mazmur 42:6).

Baca Juga:

Saat Hidup Terasa Begitu Hambar

Sebagai seorang anak muda yang punya mimpi meletup-letup, rutinitas sehari-hari yang monoton membuat hidupku terasa begitu hambar dan membosankan. Hingga suatu ketika, melalui sebuah peristiwa Tuhan menyadarkanku untuk memaknai hidup dengan cara berbeda.

7 Doa untuk Korban Bencana Alam

Oleh Aryanto Wijaya

Alam dan bencana bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, alam memberikan kita berkah. Namun, di sisi lainnya, terkadang alam bergejolak hingga menimbulkan bencana bagi orang-orang yang tinggal di dekatnya.

Ketika ada saudara-saudari kita yang terdampak bencana alam, kita mungkin tidak bisa memberikan pertolongan secara langsung kepada mereka. Akan tetapi, sebagai orang percaya, kita tentu tahu bahwa salah satu upaya yang bisa turut kita berikan adalah melalui dukungan doa.

Teruntuk korban bencana alam, kami mengingat kalian, dan menyebut nama kalian di dalam doa kami. Mari kita berdoa memohon tujuh hal berikut ini kepada Tuhan untuk mereka yang menjadi korban bencana alam.

1. Berdoa memohon kedamaian

Murid-murid Yesus ketakutan ketika perahu yang mereka tumpangi diterjang badai. Mereka lupa bahwa di perahu tersebut juga terdapat Yesus, Seorang yang berkuasa untuk mengatasi badai. Sama seperti murid-murid Yesus, seringkali kita sebagai manusia lebih berfokus kepada badai yang menerpa daripada kepada Tuhan yang sesungguhnya memegang kendali atas badai. Oleh karena itu, marilah kita berdoa agar para korban bencana tersebut tidak dikuasai oleh ketakutan, melainkan dilingkupi oleh damai sejahtera.

Bapa, kami berdoa supaya para korban bencana alam dapat ditenangkan hatinya. Biarlah damai sejahtera-Mu yang melampaui segala akal boleh melenyapkan ketakutan mereka dan membuat mereka bersandar pada pertolongan-Mu saja.

2. Berdoa memohon kecukupan

Bencana alam seringkali mengakibatkan para korbannya kehilangan harta benda dan sumber daya. Dapat dibayangkan betapa sulitnya jika kita harus hidup tanpa persediaan sandang, pangan, dan papan. Oleh karena itu, marilah berdoa supaya Tuhan dapat mencukupkan kebutuhan para korban bencana tersebut.

Bapa, kami berdoa supaya para korban bencana tersebut dapat terpenuhi kebutuhannya. Engkau mengerti dan tentu menyediakan apa yang sejatinya mereka butuhkan. Biarlah mereka tidak khawatir akan apa yang hendak mereka makan, minum, ataupun pakai. Akan tetapi, biarlah mereka percaya sepenuhnya kepada-Mu bahwa Engkau sungguh peduli terhadap mereka.

3. Berdoa memohon bala bantuan

Para korban bencana alam membutuhkan orang lain. Mereka membutuhkan tim medis untuk menangani luka-luka fisik, tim SAR untuk menyelamatkan orang-orang yang terjebak, juga petugas keamanan untuk memastikan mereka mendapatkan tempat perlindungan yang tepat. Marilah berdoa supaya Tuhan boleh menolong orang-orang yang bertugas tersebut.

Bapa, kami berdoa supaya Engkau menolong orang-orang yang diberikan tanggung jawab untuk memastikan keselamatan para korban bencana. Beri mereka perlindungan dari marabahaya dan juga keberanian untuk bisa menolong para korban.

4. Berdoa memohon hikmat

Ketika bencana terjadi, orang-orang di sana harus bisa mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Dari mana evakuasi akan dilakukan? Ke mana para korban harus diungsikan? Mau dibawa ke manakah korban-korban yang terluka? Dan sebagainya. Oleh karena itu marilah kita berdoa agar tim penyelamat dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat.

Bapa, kami berdoa supaya para korban dan tim penyelamat diberikan hikmat dan keberanian untuk menyelamatkan mereka yang terjebak dalam bahaya. Berikan mereka kekuatan dan perlindungan.

5. Berdoa memohon hati yang mau tetap percaya

Bencana yang terjadi tak jarang menorehkan luka secara fisik dan psikis kepada para korbannya. Selain kehilangan harta benda, mereka pun mungkin saja kehilangan sanak saudara ataupun orang-orang yang mereka kasihi. Oleh karena itu, marilah kita berdoa supaya di dalam masa-masa sulit tersebut, mereka tetap mampu mempercayai Tuhan dan rancangan-Nya yang baik.

Bapa, kami berdoa supaya mereka yang kehilangan orang-orang yang dikasihi dapat dikuatkan dan diteguhkan hatinya. Tolong mereka supaya dapat melihat maksud baik yang Engkau rancangkan di balik bencana yang saat ini menimpa.

6. Berdoa memohon pemulihan

Setelah bencana terjadi, para korban harus kembali meniti jalan hidupnya. Dari segala luka dan kehancuran yang bencana alam tinggalkan, mereka harus bangkit untuk menata kehidupan mereka seperti sedia kala.

Bapa, kami berdoa supaya Engkau boleh memulihkan kehidupan mereka dengan memberikan sukacita yang sempat terhilang karena bencana. Kami percaya Engkau sanggup memenuhi apa yang mereka butuhkan, baik itu tempat tinggal, pakaian, makanan, dan tentunya kedamaian hati.

7. Berdoa memohon perlindungan

“Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, seklaipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang geloranya,” (Mazmur 46:2-4). Seperti pemazmur yang memuji Allah karena perlindungan yang disediakan-Nya, marilah kita juga berdoa agar para korban bencana dapat bersandar dan berlindung sepenuhnya kepada Allah.

Bapa, kami berdoa kiranya agar Engkau menjadi tempat perlindungan yang teguh, dan sumber pertolongan satu-satunya tatkala masalah melanda. Biarlah mereka boleh mengenal Engkau secara pribadi agar mereka tahu bahwa sesungguhnya Engkau selalu ada untuk mereka.


Tulisan ini diadaptasi dari artikel 7 Prayers For Those Battered by Natural Disaster

Baca Juga:

Pergumulanku untuk Melepaskan Diri dari Jeratan Dosa Seksual

Aku adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang memiliki riwayat jatuh ke dalam dosa seksual sejak SMP. Bermula dari pelecehan yang dilakukan oleh pacarku, aku jadi terjebak dalam dosa seksual. Namun, Tuhan menolongku untuk lepas dari dosa ini. Inilah kisahku.

Dilemaku Ketika Aku Divonis Menderita Penyakit Kista

Oleh Noviani Yunita Sari, Malang

Setahun lalu, sebuah penyakit kista coklat bernama endometriosis yang dikhawatirkan oleh banyak perempuan muncul di rahimku. Dokter menganjurkanku untuk operasi dan berkat kasih karunia Tuhan, operasi tersebut berjalan lancar.

Akan tetapi, satu tahun berselang sejak operasi itu, sebuah kabar mengejutkan kembali datang. Pada tanggal 16 September 2017, kista itu muncul kembali dan ternyata sudah melengket pada saluran kemih dan juga ususku sehingga dokter tidak menganjurkan pengobatan dengan tindakan operasi lagi. Satu-satunya jalan yang dianjurkan oleh dokter spesialis kandungan adalah dengan menikah, karena apabila nanti aku hamil dan melahirkan anak, kista itu akan luruh bersamaan dengan keluarnya bayi dari rahim. Tidak hanya satu dokter, melainkan ada empat dokter spesialis yang menganjurkanku demikian.

Kondisi ini membuatku terjebak dalam dilema. Di satu sisi, meski aku sudah memiliki kekasih, aku belum siap untuk menikah. Usiaku baru 22 tahun dan aku masih ingin melanjutkan studiku di salah satu sekolah teologia di Malang dan menjadi pelayan Tuhan. Lalu, peraturan kampusku juga tidak mengizinkan mahasiswanya menikah selama masa studi. Tapi, di sisi lainnya, beberapa kerabat, keluarga, dan bahkan dosenku mendesak aku untuk menuruti anjuran dokter tersebut dengan alasan demi kesehatanku.

Desakan untuk menikah membuatku merasa frustrasi dan bertanya-tanya: “Apakah aku harus menikah dan meninggalkan studi yang sedang kutempuh? Jika tidak, mengapa Tuhan mengizinkan penyakit ini ada dalam diriku?”

Aku belum siap, demikian juga dengan kekasihku karena dia merasa belum mapan secara ekonomi. Jikalau pun kami sampai menikah, kurasa pernikahan ini hanyalah sebuah pernikahan yang terpaksa. Namun, keluargaku tetap merasa bahwa ini adalah jalan yang terbaik sehingga mereka pun mendiskusikan rencana pernikahan ini dengan keluarga kekasihku. Bahkan, ketika mengetahui perihal penyakitku, pihak kampus pun berjanji memberikan dispensasi khusus buatku untuk tetap bisa melanjutkan studi walau sudah menikah.

Akhirnya, dalam kondisiku yang frustrasi, aku sempat terpikir untuk menuruti saja desakan keluargaku. Namun, pada suatu pagi saat aku merenungkan firman Tuhan, ada satu ayat yang sangat menegur dan mengingatkanku. “Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Akan tetapi, aku bersyukur karena di tengah kondisi dilematis dan sebelum rencana pernikahan itu benar-benar dilaksanakan, ayahku memberiku nasihat. “Untuk mengambil keputusan, tanya Tuhan! Mintalah hikmat dari Tuhan untuk mengambil keputusan itu. Dan, tetaplah percaya bahwa setiap rencana Tuhan itu indah. Dia tidak akan membuat rancangan kecelakaan untuk anak-anak-Nya. Jika kamu telah berdoa sungguh-sungguh dan tetap harus mengambil jalan untuk menikah, yakinlah bahwa itu pun ada dalam kendali Tuhan.”

Perkataan ayahku membuat hatiku yang semula penuh kekhawatiran menjadi lebih tenang. Aku belajar untuk percaya bahwa Tuhan memegang kendali atas segala sesuatu dalam kehidupanku sehingga aku tidak perlu lagi merasa takut ataupun khawatir. Sejak saat itu, selama satu minggu berdoa dengan sungguh-sungguh, juga berpuasa supaya aku dapat mengambil keputusan yang terbaik.

Satu minggu berlalu dan aku kembali kembali ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi penyakitku. Saat itu aku hanya bisa pasrah pada Tuhan. Apapun hasil pemeriksaan hari ini, aku mau menerimanya dengan lapang dada dan tetap percaya bahwa inilah yang terbaik yang Tuhan izinkan terjadi kepadaku.

Namun, saat aku masuk ke ruangan USG, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Dokter yang memeriksaku berkata dengan terkejut, “Loh? Ini kok?” Jantungku berdegup kencang. Ada apa lagi denganku, aku bertanya pada dokter. Dengan tatapan heran, dokter itu menjawab, “Ini…ini hilang. Kistanya hilang! Rahimmu bersih dan semuanya baik-baik saja!” Perkataan dokter ini membuat air mataku menetes dan aku hanya bisa berucap, “Tuhan, terima kasih! Engkau sungguh luar biasa!”

Singkat cerita, setelah melakukan rangkaian pemeriksaan lainnya, penyakit kista yang bercokol di dalam rahimku dinyatakan telah hilang sepenuhnya. Dari peristiwa ini, aku sadar bahwa jalan Tuhan tidak dapat diselami oleh pikiran manusia. Empat dokter spesialis kandungan telah mengatakan bahwa jalan kesembuhanku hanya dengan menikah dan melahirkan anak. Namun, Tuhan memiliki rencana lain. Dia memberikanku kesembuhan.

Aku percaya bahwa jalan pikiran Allah seringkali tidak bisa kita pahami. Ketika Allah memberikanku mukjizat kesembuhan, aku percaya Dia melakukannya seturut hikmat dan kebaikan-Nya. Akan tetapi, apabila kala itu Allah tidak memberikanku kesembuhan, aku tetap percaya bahwa Allah tetap berlaku baik untukku dan Dia akan menyertaiku untuk mengatasi pergumulan yang kuhadapi.

Melalui pengalaman ini, aku belajar untuk senantiasa mengandalkan Allah dalam setiap keputusan yang kuambil dan tetap percaya bahwa Allah merancangkan masa depan yang baik untukku.

Apakah yang menjadi pergumulanmu hari ini? Janganlah takut dan khawatir. Mari kita datang kepada Tuhan dan menyerahkan segalanya hanya kepada-Nya supaya keputusan apapun yang kita ambil boleh menjadi sesuatu yang berkenan kepada-Nya.

3 Hal Tentang Bersyukur yang Harus Kamu Ketahui

Oleh Stacy Joy, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Thank God I’ve got Fingers and Toes

Pengalaman bertemu dengan orang-orang kusta di India Selatan pada musim panas tahun 2013 adalah kenangan yang tidak akan pernah kulupakan. Waktu itu aku baru berumur 13 tahun dan baru saja membantu keluargaku melaksanakan ibadah bagi beberapa orang Kristen di sana.

Saat mobil yang kutumpangi berguncang di sepanjang jalan pegunungan yang mengerikan, aku memperhatikan jari-jari tanganku dengan detail. Kemudian tatapanku jatuh ke kaki, dan ke jari-jariku. Selama beberapa saat aku berdiam diri dan membiarkan diriku larut dalam lamunan. Aku berbisik lirih, “Terima kasih Tuhan, aku mempunyai jari-jari di tangan dan kaki”

Hari itu, pandanganku tentang bersyukur berubah secara drastis.

1. Bersyukur adalah sebuah cara hidup

Bersyukur kepada Allah bukanlah sekadar doa sebelum makan; mengucap syukur adalah cara hidup. Aku menyadari bahwa di dalam hidup ini tidak ada sesuatu yang benar-benar terjamin, termasuk juga kedua lenganku. Ketika kami berjalan di antara orang-orang kusta di India, pandanganku tertuju kepada orang-orang yang masih hidup walaupun banyak anggota badannya membusuk. Apa yang kulihat itu menyadarkanku bahwa selama ini aku telah berpikir terlalu sempit. Aku menyadari bahwa aku tidak pernah bersyukur kepada Allah atas hal-hal sederhana, dan berkat-berkat-Nya yang mengelilingiku setiap hari.

Kita bisa mengucap syukur kepada Tuhan atas hal-hal sederhana, seperti: angin sepoi-sepoi, pepohonan, sinar matahari, kaki untuk berjalan, juga mata untuk melihat. Rasa syukur kita atas hal-hal sederhana ini adalah disiplin spiritual. Akan tetapi, sayangnya kita dapat dengan mudah mengabaikan ini. Chuck Swindoll, seorang pendeta yang cukup dikenal di Amerika berkata bahwa mengucap syukur adalah sebuah keputusan yang harus diambil seseorang, dan keputusan ini membutuhkan usaha.

Allah menciptakan kita untuk menghidupi kehidupan yang penuh ucapan syukur. Rasul Paulus dalam tulisannya di 1 Tesalonika 5 memanggil orang-orang percaya untuk mengucap syukur dalam segala keadaan. Panggilan ini bukan sekadar gagasan untuk menolong diri sendiri. Paulus tahu bahwa rasa syukur memiliki dampak yang besar untuk jiwa kita. Secara psikologis maupun spiritual, rasa syukur dapat mengurangi stres, kegelisahan, dan juga kekhawatiran.

2. Bersyukur dapat menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran

Saat ini aku sedang berusaha untuk meraih gelar yang lebih tinggi dalam bidang konseling. Semakin aku belajar, semakin aku menyadari bahwa melatih diri untuk menjalani kehidupan yang penuh rasa syukur adalah salah satu cara terbaik untuk menghilangkan kekhawatiran, ketakutan, dan kegelisahan. Rasa syukur bukanlah sekadar alat psikologis. Akan tetapi, rasa syukur adalah sebuah realitas spiritual yang dibahas oleh Rasul Paulus dalam Filipi 4:6: “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”

Ayat tersebut tidak berakhir berakhir begitu saja. Setelah kita menyatakan segala keinginan dan kekhawatiran kita kepada Allah, serta menunjukkan kepercayaan kita akan kedaulatan Allah, maka damai sejahtera yang melampaui segala akal akan diberikan kepada kita! (Filipi 4:7). Ini adalah janji yang indah, janji yang begitu kuat.

3. Bersyukur mengubah cara kita memaknai tantangan hidup

Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta dan teolog Jerman yang dibunuh di kamp konsentrasi Nazi karena melawan Hitler pernah berkata, “Hanya oleh rasa syukur saja kehidupan ini menjadi kaya.” Jika seorang seperti Bonhoeffer yang hidup dan disiksa di kamp penyiksaan bisa berkata-kata demikian, maka terlebih lagi kita semua. Kita diminta untuk mengingat semua hal—baik itu besar ataupun kecil—yang telah Allah berikan kepada kita, dan mengucap syukur kepada Allah atas segala hal tersebut.

John MacArthur, seorang pendeta dan penulis merangkumnya dengan tepat: “Hati yang bersyukur…sangat berbeda dengan kebanggaan, keegoisan, dan kekhawatiran. Hati yang bersyukur itu menolong orang-orang percaya untuk bersandar sepenuhnya pada Tuhan, bahkan dalam masa-masa yang paling berat sekalipun. Tak peduli seberapapun berombaknya lautan, hati orang percaya dapat tetap tenang karena pujian dan rasa syukur yang tulus kepada Tuhan.”

Di bulan ini, maukah kamu bergabung denganku untuk mengucap syukur kepada Allah atas hal-hal yang berbeda setiap harinya? Cobalah ikuti tantangan ini sejenak. Aku percaya bahwa dengan mengucap syukur kamu dapat melihat keindahan di tengah rasa sakit, penderitaan, bahkan dalam hidup sehari-hari yang terasa membosankan.

Baca Juga:

Aku Merasa Cacat Karena Kelainan Mata, Namun Inilah Cara Tuhan Memulihkan Gambar Diriku

Tumbuh besar sebagai seorang perempuan dengan kelainan mata sempat membuatku minder dan bertanya-tanya: Jika Tuhan mengasihi anak-Nya, apakah mungkin Dia memberikan sesuatu yang begitu pahit untuk ditelan?

Doa Kita dan Waktu Allah

Senin, 6 November 2017

Doa Kita dan Waktu Allah

Baca: Lukas 1:5-17

1:5 Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet.

1:6 Keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.

1:7 Tetapi mereka tidak mempunyai anak, sebab Elisabet mandul dan keduanya telah lanjut umurnya.

1:8 Pada suatu kali, waktu tiba giliran rombongannya, Zakharia melakukan tugas keimaman di hadapan Tuhan.

1:9 Sebab ketika diundi, sebagaimana lazimnya, untuk menentukan imam yang bertugas, dialah yang ditunjuk untuk masuk ke dalam Bait Suci dan membakar ukupan di situ.

1:10 Sementara itu seluruh umat berkumpul di luar dan sembahyang. Waktu itu adalah waktu pembakaran ukupan.

1:11 Maka tampaklah kepada Zakharia seorang malaikat Tuhan berdiri di sebelah kanan mezbah pembakaran ukupan.

1:12 Melihat hal itu ia terkejut dan menjadi takut.

1:13 Tetapi malaikat itu berkata kepadanya: “Jangan takut, hai Zakharia, sebab doamu telah dikabulkan dan Elisabet, isterimu, akan melahirkan seorang anak laki-laki bagimu dan haruslah engkau menamai dia Yohanes.

1:14 Engkau akan bersukacita dan bergembira, bahkan banyak orang akan bersukacita atas kelahirannya itu.

1:15 Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum anggur atau minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya;

1:16 ia akan membuat banyak orang Israel berbalik kepada Tuhan, Allah mereka,

1:17 dan ia akan berjalan mendahului Tuhan dalam roh dan kuasa Elia untuk membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati orang-orang durhaka kepada pikiran orang-orang benar dan dengan demikian menyiapkan bagi Tuhan suatu umat yang layak bagi-Nya.”

Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita. —Efesus 3:20

Doa Kita dan Waktu Allah

Terkadang Allah menantikan waktu yang tepat untuk menjawab doa-doa kita, dan itu tidak selalu mudah untuk kita pahami.

Demikianlah situasi yang dihadapi Zakharia, seorang imam yang suatu hari dikunjungi malaikat Gabriel di Bait Allah di Yerusalem. Malaikat Gabriel berkata: “Jangan takut, Zakharia! Allah sudah mendengar doamu. Istrimu Elisabet akan melahirkan seorang anak laki-laki. Engkau harus memberi nama Yohanes kepadanya” (Luk. 1:13 BIS).

Zakharia mungkin telah berdoa selama bertahun-tahun agar Allah memberinya anak. Ia bergumul menerima pesan Gabriel karena sekarang Elisabet sudah terlalu tua untuk melahirkan. Namun, Allah tetap menjawab doanya.

Ingatan Allah itu sempurna. Dia mampu mengingat doa-doa kita, tidak hanya untuk bertahun-tahun, tetapi juga sampai generasi-generasi mendatang. Allah tidak pernah melupakan doa kita dan mungkin saja Dia menjawabnya lama setelah pertama kalinya kita mengungkapkan permohonan kita kepada-Nya. Terkadang jawaban Allah adalah “tidak”, bahkan mungkin juga “tunggu”—tetapi tanggapan-Nya selalu didasarkan pada kasih-Nya. Meskipun cara-cara Allah tidak terselami oleh pikiran kita, kita dapat meyakini bahwa semua cara-Nya itu baik.

Zakharia mengalaminya. Ia berdoa meminta anak laki-laki, tetapi Allah memberinya lebih dari itu. Anaknya, Yohanes, akan tumbuh menjadi seorang nabi yang membuka jalan bagi kedatangan Mesias.

Pengalaman Zakharia menunjukkan satu kebenaran penting yang sepatutnya juga menguatkan kita ketika kita berdoa: Waktu Allah jarang sekali sama dengan waktu kita, tetapi waktu-Nya selalu layak kita nantikan. —James Banks

Saat kita tak dapat melihat tangan Allah bekerja, percayalah pada hati-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 37-39; Ibrani 3

Ketika Aku Menyadari Selama Ini Aku Telah Salah Berdoa

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku memiliki seekor anjing yang kuberi nama Putih, walaupun warna bulunya bukanlah putih. Sejak ia berumur 3 minggu dan terpisah dari induknya, aku telah merawatnya. Aku memberinya susu formula, mengganti tempat tidurnya, sampai terbangun tengah malam untuk memberinya minum susu. Aku begitu menyayangi Putih karena bagiku dia adalah seperti sahabatku sendiri.

Suatu hari, Putih sakit. Ia tidak mau makan dan juga muntah-muntah. Walaupun obat sudah kuberikan, tetapi tidak ada dampak apapun yang terjadi kepada Putih. Karena aku sangat menyayanginya, aku tidak mau jika Putih mati. Jadi aku berdoa memohon supaya Tuhan berkenan menyembuhkan Putih.

Kejadian ini berlangsung beberapa hari sebelum ulang tahunku. Dalam salah satu doaku, aku pernah memohon pada Tuhan supaya di usiaku yang bertambah, Tuhan membuat imanku makin kuat dan teguh. Aku ingin menjadi seorang yang dewasa di dalam iman. Tapi, ketika melihat keadaan Putih yang sakit tanpa ada tanda-tanda kesembuhan, aku merasa imanku pada Tuhan menjadi goyah. Aku berdoa, tetapi aku sendiri merasa ragu dengan doaku, aku tidak yakin dengan doa-doa yang kunaikkan pada Tuhan. Dengan dalih supaya Tuhan “makin berkenan”, aku sempat berjanji jika Putih sembuh maka aku akan menulis sebuah kesaksian.

Suatu ketika, saat aku hendak berdoa di gereja, aku melihat ayat Alkitab yang kupasang menjadi wallpaper di ponselku.

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya” (Matius 21:22).

Ayat ini membuatku bertanya-tanya. Rasa-rasanya aku telah bersungguh-sungguh berdoa supaya Putih bisa sembuh. Tapi, mengapa tidak terjadi apapun? Bukankah di ayat tersebut dikatakan bahwa apapun yang kuminta dengan penuh percaya pasti akan dikabulkan?

Namun, Tuhan menegurku. Bukan Tuhan yang tidak menjawab doaku, tetapi aku menyadari bahwa aku telah berdoa dengan cara yang salah. Alih-alih berdoa memohon supaya kehendak Tuhan yang terjadi, aku malah memaksa Tuhan supaya Dia menuruti kehendakku sendiri dengan dalih supaya Putih bisa sembuh.

Tanpa kusadari, aku telah menjadikan Tuhan seperti seorang pembantu yang harus menuruti apa yang kukehendaki. Melalui teguran dari ayat di atas, aku sadar bahwa seharusnya aku berdoa dengan penuh kepercayaan bahwa Tuhan sungguh-sungguh akan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya, seperti Doa Bapa Kami yang berkata, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10). Dan, kehendak-Nya itulah yang terbaik untukku, juga untuk Putih.

Aku belajar untuk mengakui bahwa apapun yang terjadi, itu adalah yang terbaik dan ketika Tuhan mengizinkan hal tersebut terjadi, bukan karena Tuhan tidak sanggup untuk melakukannya, tetapi Dia memiliki rencana yang lebih indah. Tuhan ingin supaya aku menyerahkan semuanya ke dalam tangan-Nya dan di dalam hatiku aku tetap mengakui bahwa apapun yang terjadi pada Putih, Tuhan tetap berlaku baik.

Setelah aku mengubah pemahamanku akan berdoa, aku pun tetap berusaha mengupayakan kesembuhan Putih sebisa mungkin. Aku memberinya obat, susu, dan air putih. Perlahan-lahan, aku melihat ada tanda-tanda kesembuhan! Putih sudah mau makan dan tepat sehari setelah ulang tahunku aku melihat kesehatan Putih mengalami peningkatan. Secara berangsur-angsur, akhirnya Putih pun bisa kembali sehat seperti sedia kala.

Jika dulu aku berdoa ingin menuliskan kesaksian ini hanya kalau Putih sembuh, sekarang aku mengubahnya sedikit. Aku menuliskan kesaksian ini bukan karena Tuhan menyembuhkan Putih, tetapi karena Tuhan memang baik. Tuhan telah mengajariku pemahaman yang benar tentang berdoa.

Jika seandainya waktu itu Tuhan menjawab doaku dengan Putih yang tidak jadi sembuh, aku percaya Tuhan tetap baik. Mungkin pada awalnya aku akan merasa kecewa, tapi seiring dengan perjalananku bersama-Nya, aku percaya bahwa Dia tidak akan membiarkanku tinggal berlama-lama dalam kekecewaanku. Tuhan selalu menyediakan sukacita jauh dari apa yang kupikirkan. Aku akan tetap berdoa kepada Tuhan, meminta supaya Dia mengajariku untuk mengerti dan selalu bersyukur atas kejadian apapun dalam hidupku.

Kiranya kesaksian sederhana ini boleh menjadi berkat untuk kita semua.

“Dan Bergembiralah karena TUHAN; maka Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu” (Mazmur 37:4).

Baca Juga:

Tuhan Mengubah Kesedihanku Menjadi Sukacita

Dalam kehidupan setiap orang, aku percaya ada sebuah masa di mana kita akan menyadari betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan Tuhan, dan juga betapa kecilnya kita jika dibandingkan dengan masalah-masalah yang bisa saja mengalahkan kita. Masa-masa seperti ini pernah terjadi di hidupku saat aku berusia 14 tahun.

Matahari Bersayap Dua

Rabu, 11 Oktober 2017

Matahari Bersayap Dua

Baca: Yesaya 38:1-8

38:1 Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit dan hampir mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos dan berkata kepadanya: “Beginilah firman TUHAN: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.”

38:2 Lalu Hizkia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada TUHAN.

38:3 Ia berkata: “Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu.” Kemudian menangislah Hizkia dengan sangat.

38:4 Maka berfirmanlah TUHAN kepada Yesaya:

38:5 “Pergilah dan katakanlah kepada Hizkia: Beginilah firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. Sesungguhnya Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi,

38:6 dan Aku akan melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur dan Aku akan memagari kota ini.

38:7 Inilah yang akan menjadi tanda bagimu dari TUHAN, bahwa TUHAN akan melakukan apa yang telah dijanjikan-Nya:

38:8 Sesungguhnya, bayang-bayang pada penunjuk matahari buatan Ahas akan Kubuat mundur ke belakang sepuluh tapak yang telah dijalaninya.” Maka pada penunjuk matahari itu mataharipun mundurlah ke belakang sepuluh tapak dari jarak yang telah dijalaninya.

Beginilah firman Tuhan . . . : Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. —Yesaya 38:5

Matahari Bersayap Dua

Selama lima tahun, sebuah stempel kuno yang terbuat dari tanah liat dibiarkan tersimpan dalam lemari di Institut Arkeologi Yerusalem. Stempel itu ditemukan dalam penggalian di bagian selatan dari tembok kota kuno Yerusalem. Namun, penelitian awal tidak berhasil menemukan arti penting dari benda yang berusia hampir 3.000 tahun tersebut. Di kemudian hari, seorang peneliti dengan cermat mengamati huruf-huruf yang tertera pada stempel itu dan menghasilkan penemuan besar. Inskripsi yang tertulis dalam bahasa Ibrani kuno itu menyatakan: “Milik Hizkia [bin] Ahas, Raja Yehuda.”

Di bagian tengah stempel itu terdapat gambar matahari bersayap dua yang dikelilingi dua gambar yang melambangkan kehidupan. Para arkeolog yang menemukan stempel itu meyakini bahwa Raja Hizkia mulai menggunakannya sebagai lambang perlindungan Allah setelah Allah menyembuhkan Hizkia dari penyakit yang nyaris merenggut nyawanya (Yes. 38:1-8). Hizkia memohon agar Tuhan menyembuhkannya dan doanya dijawab oleh Tuhan. Dia juga memberi Hizkia sebuah tanda yang menyatakan bahwa Dia pasti menepati janji-Nya. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya, bayang-bayang pada penunjuk matahari buatan Ahas akan Kubuat mundur ke belakang sepuluh tapak yang telah dijalaninya” (ay.8).

Fakta-fakta yang terkait dengan artefak arkeologis tersebut mengingatkan sekaligus menguatkan kita bahwa umat di zaman Alkitab belajar untuk berseru kepada Tuhan yang mendengarkan ketika kita mohon pertolongan-Nya. Kita pun belajar hal yang sama. Sekalipun jawaban-Nya mungkin tidak sesuai dengan keinginan atau harapan kita, kita dapat tetap meyakini bahwa Allah sungguh penuh belas kasih dan berkuasa. Dia yang sanggup mengatur pergerakan matahari pasti juga sanggup menggerakkan hati kita. —Poh Fang Chia

Ya Allah, Engkau Mahabesar dan Mahakuasa, tetapi Engkau mau mempedulikanku. Tolonglah aku mempercayai kuasa dan kasih-Mu dan selalu mencari pertolongan-Mu.

Berserulah kepada Allah: Dia ingin mendengar seruanmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 37-38; Kolose 3

Sahabat Doa yang Sempurna

Senin, 2 Oktober 2017

Sahabat Doa yang Sempurna

Baca: Roma 8:31-34

8:31 Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?

8:32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?

8:33 Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka?

8:34 Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?

[Kristus Yesus] . . . duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita. —Roma 8:34

Sahabat Doa yang Sempurna

Rasanya tidak banyak hal yang lebih indah daripada doa-doa yang dinaikkan untukmu oleh seseorang yang mengasihimu. Saat mendengarkan seorang sahabat mendoakan kita dengan ketulusan dan hikmat dari Allah, rasanya kita sedang berada dalam sebuah pengalaman ilahi.

Sungguh bahagia mengetahui bahwa karena belas kasihan Allah kepada kita, doa-doa kita juga didengar oleh-Nya. Adakalanya ketika berdoa, kita merasa kata-kata kita kurang tepat dan tidak layak menghadap kepada-Nya. Namun, Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk “selalu berdoa dengan tidak jemu-jemu” (Luk. 18:1). Firman Allah menunjukkan kepada kita bahwa salah satu alasan kita dapat berdoa dengan tidak jemu-jemu adalah karena Yesus sendiri “duduk di sebelah kanan Allah, . . . menjadi Pembela bagi kita” (Rm. 8:34).

Kita tidak pernah berdoa seorang diri, karena Yesus mendoakan kita. Dia mendengarkan saat kita berdoa, dan berbicara kepada Bapa demi kita. Kita tidak perlu mencemaskan kelancaran kata-kata kita, karena tak seorang pun yang lebih memahami kita daripada Yesus. Dia menolong kita dalam segala hal dan menyatakan kebutuhan kita kepada Allah. Dia juga tahu ketika apa yang kita minta tidak baik bagi kita, karena Dia memperlakukan tiap permintaan atau persoalan kita dengan hikmat dan kasih yang sempurna.

Yesus adalah sahabat doa yang sempurna—sahabat yang membela dan mendoakan kita dengan kebaikan yang tak terbatas. Doa-Nya bagi kita begitu indah hingga tak terlukiskan dengan kata-kata. Kiranya kita dikuatkan untuk selalu berdoa kepada-Nya dengan hati yang penuh syukur. —James Banks

Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah membelaku dengan penuh kasih. Tolonglah aku untuk mengasihi dan melayani-Mu dengan doa-doaku hari ini.

Tiada yang lebih istimewa daripada dapat berdoa bersama Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 14-16; Efesus 5:1-16

Artikel Terkait:

Aku Gak Pintar Berdoa