Posts

Kalau Memang Butuh, Tuhan Pasti Cukupkan

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Semasa kuliah, aku bukanlah mahasiswa cukup secara finansial. Aku tidak pergi kuliah dengan kendaraan bermotor karena aku tidak punya, aku tidak makan makanan dengan harga lebih dari tiga belas ribu rupiah karena uangku tidak cukup, serta aku tidak ikut organisasi karena tidak ada uang untuk membayar uang kas dan yang lainnya.

Pernah ada satu masa yang semakin menunjukkan kekurangan itu.

Saat itu sekitar bulan November, adalah masa-masa ujian. Perkuliahan berjalan sebagaimana mestinya dengan dosen yang setia mengajar serta tugas yang tak pernah berujung. Semua berjalan baik-baik saja hingga ketika aku menyadari sisa uang yang aku miliki.

“2 minggu lagi UAS”, gumamku dalam hati. “Tapi uangku hanya cukup untuk ongkos satu minggu.”

Aku pulang dengan wajah temaram dan langsung menjatuhkan diri ke kasur. Saat itu, aku sungguh tidak tau apa yang harus aku lakukan.

Keesokan harinya, aku berpikir keras tentang apa yang bisa kulakukan. Meminta uang ke kerabat tidak mungkin. Menambah penghasilan dengan pekerjaan sampinganku sebagai guru privat juga tidak mungkin, karena saat itu sudah masuk musim ujian.

Pilihan terakhirku saat itu adalah tidak masuk kuliah selama seminggu, dan menggunakan uang yang kupunya untuk biaya transportasi selama ujian.

Malam harinya, aku menerima pesan singkat bertanya kabar dari seorang teman sepelayanan. Cukup umum di antara kami untuk menanyakan kabar satu sama lain, pada waktu yang seringkali tidak bisa diprediksi. Malam itu, kak Vicky namanya, menanyakan kabarku. Saat itu kak Vicky juga seorang mahasiswa yang sedang menjalani perkuliahan tingkat akhirnya.

Aku yang biasanya akan membalas “Puji Tuhan kak, baik”, kali ini tidak menjawab seperti itu. Dalam pikiranku yang kalut, aku menceritakan masalahku kepadanya. Aku menyatakan bahwa aku tidak baik-baik saja. Aku menceritakan kondisiku. Aku menyampaikan berbagai hal yang sudah kucoba lakukan, serta rencana terakhirku saat itu. Aku lupa respons kak Vicky saat itu. Tapi yang kuingat, setelah menceritakan semuanya aku merasa lega.

Saat aku menceritakan itu semua ke kak Vicky, aku sedang tidak berusaha untuk meminta bantuan dia, ataupun menarik empatinya dengan sengaja. Aku hanya ingin meluapkan isi pikiranku supaya aku merasa lebih ringan.

Keesokan harinya, masih dengan rencanaku untuk tidak masuk kuliah seminggu, aku mendapatkan notifikasi. Ada uang masuk ke rekeningku. Jumlahnya bahkan cukup untuk transportasi selama satu bulan!

Tidak terlintas di kepalaku siapa pengirimnya. Hingga aku menerima pesan singkat yang kurang lebih isinya begini:

“Vik, uangku gak banyak. Memberi juga tidak mudah bagiku. Tapi aku sedang belajar untuk berbagi dari kekuranganku. Aku sedang belajar kalau uang yang ada padaku bukan sepenuhnya milikku. Itu adalah milik Tuhan yang perlu juga kubagikan kepada sesama. Jangan anggap kamu berutang denganku, karena kamu tidak. Ini merupakan pernyataan kasihku kepada Allah, dan juga kepada sesamaku. Semoga ini menolongmu tetap berkuliah hingga masa UAS selesai.”

Tanpa kusadari, mataku berkaca-kaca membaca pesan tersebut.

Aku terdiam.

Pesan dan tindakan kak Vicky kala itu membuatku menikmati kembali bagian Alkitab yang berkata, “Lihatlah burung di udara. Mereka tidak menanam, tidak menuai, dan tidak juga mengumpulkan hasil tanamannya di dalam lumbung. Meskipun begitu Bapamu yang di surga memelihara mereka! Bukankah kalian jauh lebih berharga daripada burung?” (Matius‬ ‭6‬:‭26‬ ‭BIMK‬).

***

Hari ini, sudah hampir 5 tahun sejak hal itu terjadi. Namun pesannya begitu kuat terpatri dan aku nikmati.

Tahun lalu, hal yang hampir sama terjadi. Aku diperhadapkan pada dua pekerjaan. Pekerjaan pertama menuntutku ke luar kota dan jauh dari komunitas, dengan gaji yang lebih besar. Pekerjaan kedua tempatnya di Jakarta, tapi gajinya jauh lebih kecil. Saking kecilnya, tidak ada sisa uang yang bisa aku simpan untuk tabungan.

“Kalau memang butuh, Tuhan akan cukupkan”, gumamku sambil menerima pekerjaan di Jakarta.

Dan benar saja, tidak lama, aku menerima telepon terkait tawaran pekerjaan sampingan yang memang mencukupkan kebutuhanku. Setelah telepon itu kututup, tangisku tak bisa lagi terbendung.

Aku melihat kembali Allah yang setia memeliharaku, dengan cara mencukupkan kebutuhanku.

Pengalaman-pengalaman itu semakin menguatkanku bahwa aku berharga bagi Allah, dan Allah-lah yang setia memelihara kehidupanku.

Dalam ketidakpastian masa depan, terkhusus terkait finansial, seringkali memang sangat menakutkan. Apalagi di masa sekarang ini, tuntutan untuk memiliki tempat tinggal, kendaraan, menafkahi keluarga, dan sebagainya; rasanya uang tidak akan pernah cukup. 

Namun aku berharap kita bisa terus berkata dan meyakini, “Kalau memang butuh, Tuhan pasti cukupkan”. Lewat pengalamanku, aku berharap kita bisa mengingat kembali betapa Allah yang baik itu terus setia memelihara. 

Selain itu, mari berdoa supaya aku, dan kamu, mau juga belajar seperti kak Vicky yang kukenal. Belajar kalau uang yang ada padaku, bukan sepenuhnya milikku. Itu adalah milik Tuhan yang perlu juga kubagikan kepada sesama.

Kiranya pengalaman kita bersama Allah, menolong kita untuk terus yakin dan percaya pada kesetiaan dan pemeliharaannya.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Mengapa Aku Selalu Menolak Pertolongan dari Orang Lain

mengapa-aku-selalu-menolak-pertolongan-dari-orang-lain

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 只付出不接受的做法真的是上帝喜悦的么?

Beberapa hari yang lalu saat sedang makan malam, ayahku berkomentar tentang zaman yang telah banyak berubah. Dulu, biasanya atasan-atasan di tempat kerja itu peduli dengan pekerja di bawahnya. Ketika kakekku bekerja di sebuah perusahaan arsitektur, manajernya selalu mengunjungi keluarganya setiap tahun baru Imlek sambil membawa serta sejumlah uang dan menanyakan apakah keluarga kami membutuhkan sesuatu untuk dibantu.

Suatu ketika keluarga kami membutuhkan bantuan untuk membangun sebuah rumah, lalu manajer itu mengirimkan beberapa orang pekerja bangunan untuk menolong kami. Awalnya kakekku menolak bantuan itu. Bagi orang-orang pada masa itu, menerima pertolongan dari orang lain itu dianggap bisa menghilangkan “harga diri”.

Aku pikir keadaan hari ini pun tidak banyak berubah. Ada banyak orang yang ingin menolong orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau ditolong.

Banyak dari kita diajar untuk tidak hidup egois. Kita diajar untuk memiliki hati yang tulus menolong tanpa mengharapkan balasan, dan itu sungguh mulia. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Ketika aku masih sekolah, aku dengan senang hati menolong teman sekelasku. Tapi, sangat sulit bagiku ketika aku harus meminta pertolongan dari orang lain. Prinsip ini terus kupegang bahkan sampai aku lulus sekolah. Sebenarnya di lubuk hatiku terdalam aku tahu kalau aku butuh pertolongan. Namun aku tidak mau meminta pertolongan itu. Dan, ketika ada orang lain yang menawarkan pertolongan untukku dengan tangan terbuka, aku malah sulit untuk menerimanya.

Haruskah kita berlaku seperti itu? Apakah Tuhan berkenan jika kita menolong orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditolong?

Tuhan mengajar kita untuk saling menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2). Alkitab juga mengingatkan kita bahwa di dalam Kristus kita semua adalah satu tubuh (1 Korintus 12:12-27). Tolong menolong baru bisa terjadi ketika ada dua pihak yang saling terlibat. Jika setiap orang menolak untuk ditolong, lalu siapa yang bisa kita tolong? Bagaimana kita bisa hidup dalam satu tubuh Kristus?

Ada rasa gengsi di balik penolakan pertolongan

Tuhan mau supaya kita menerima dan memberi dengan sukacita. Jadi, mengapa ada orang-orang yang sangat sulit untuk menerima? Kalau kamu bertanya padaku, aku akan menjawab kalau kesulitan itu terjadi karena rasa gengsi.

Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan kita. Dan salah satu yang kita lakukan agar kelemahan itu tidak dilihat orang adalah meninggikan ego dengan tidak mau menerima pertolongan orang lain. Aku menyadari hal ini ketika aku mulai berpikir lebih dalam tentang esensi dari memberi dan menerima. Rasa gengsiku adalah kelemahanku dan alasan utama di balik prinsipku untuk tidak mau menerima pertolongan.

Mempercayai Tuhan itu sulit ketika kamu menolak untuk ditolong

Kita sulit untuk mempercayai Tuhan seutuhnya ketika kita hanya mau memberi tanpa mau menerima. Tuhan mau supaya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dan dari situlah kita bisa menanggalkan segala beban kita kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Korintus 12:9-10). Bagaimana kita dapat berserah dan percaya kepada Tuhan seutuhnya jika kita menolak pertolongan dan bersandarkan hanya pada diri kita sendiri? Kita tidak bisa mengenal Tuhan seutuhnya jika kita tidak mengakui kerapuhan kita.

Aku ingat suatu masa ketika aku mengikuti sebuah persekutuan dengan beban hidup yang begitu berat. Saat itu aku merasa lelah dan tak sanggup lagi menanggung beban hidupku, tapi aku berpura-pura seolah aku baik-baik saja. Ketika tiba giliranku untuk membagikan kesaksian, aku berencana hanya akan berbicara hal-hal kecil saja. Namun, suara hati kecilku mengingatkanku kalau aku perlu datang di hadapan Tuhan dalam kebenaran. Hatiku luluh, aku menangis di depan teman-teman seimanku dalam Yesus. Aku mengakui bahwa aku butuh ditolong. Aku mengakui kalau aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sendiri.

Aku mengucap syukur karena Tuhan menegurku, mengizinkanku untuk melihat bahaya dari memupuk gengsi, dan mengizinkan aku untuk kembali membentuk imanku lewat persekutuan. Sekarang aku sering datang di hadapan Tuhan dalam keadaan tidak berdaya, memohon pertolongan-Nya. Aku tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika bukan karena kekuatan Tuhan, setiap langkah yang kuambil tentu terasa sulit.

Aku juga mencari pertolongan dari saudara-saudara seiman dalam Kristus. Ketika masalah-masalah kehidupan menghampiriku, aku tidak hanya meminta mereka berdoa untukku, tapi aku juga meminta nasihat dari mereka. Kasih dan pertolongan dari saudara-saudara seiman telah memberkatiku dan menolongku untuk merasakan kasih setia Tuhan. Aku juga merasakan hubungan yang dekat dengan sesama anggota tubuh Kristus.

Terimalah pertolongan itu dengan sukacita

Ketika aku melepaskan segala gengsiku, tentu aku merasa lebih bebas. Aku bisa menerima pertolongan dari orang lain dengan sukacita. Aku tahu kalau aku punya kelemahan dan bukanlah manusia yang sempurna. Tapi, ketika aku berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Dia yang memegang kendali atas hidupku. Ketika aku menaati kehendak-Nya maka di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan akan dinyatakan.

Saudara-saudaraku dalam Kristus, Tuhan mau supaya kamu juga mendapatkan kebebasan ini. Apakah kamu mau untuk menanggalkan rasa banggamu supaya Tuhan bisa berkuasa?

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.