Posts

Kutemui Tuhan di Lorong Rumah Sakit

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Sudah 24 jam lebih Frans, adikku, tak sadarkan diri. Hantaman benda tumpul yang sangat keras ke kepalanya, membuat tengkoraknya retak. Hasil CT Scan semalam menunjukkan adanya penggumpalan darah di kepala yang membuat dirinya kehilangan kesadaran dan terus kejang-kejang. Tangan dan kakinya terpaksa diikat ke tempat tidur agar posisinya terjaga dan tangannya tak mencabuti peralatan medis yang dipasang di kepala juga badannya. Tak hanya itu, dari mata kanannya yang terluka dan bengkak, masih mengalir darah segar yang membasahi perban yang melindunginya. Hematoma. Istilah asing yang kubaca pada salah satu berkas pemeriksaan yang tergeletak di meja di ujung tempat tidurnya. Operasi adalah jalan satu-satunya yang harus dilakukan segera untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, dokter bedah saraf yang dijadwalkan untuk melakukan operasi pukul 08.00 belum tampak batang hidungnya di rumah sakit. Bahkan, sudah dua kali suster jaga di ICU/ICCU yang bolak-balik kutanyai memberi tahu perubahan jadwal operasi. 

“Pukul 10.00, Mbak!”

“Operasi dijadwalkan ulang pukul 12.00. Dokter masih melakukan operasi besar di rumah sakit yang lain.”

Sekarang sudah pukul 14.00. Pikiranku digelayuti perbincangan dengan dokter anestesi dan dokter jaga yang kutangkap ketika aku dipanggil ke ruang ICU/ICCU untuk menemui mereka. “Golden hour! Kita berkejaran dengan waktu. Peluang (hidup) pasien 40:60.“ Aku pun mengingat pesan dari pamanku yang dokter internis agar sabar mengikuti prosedur medis serta mendengar dan mengikuti setiap petunjuk dokter dengan baik ketika aku mengadu tentang jadwal operasi yang berubah-ubah saat dirinya menelepon tadi. “Sabar ya, Mbak. Kita tunggu dokter bedah.” Tepukan dokter anestesi di bahuku mengantarkan pikiranku kembali ke ruangan yang dingin dan beraroma obat itu. Ketika orang-orang menikmati tahun baru dengan berkumpul di rumah, aku memulainya di ruangan ini.

Pukul 15.00 lengking suara perawat terdengar dari ruang ICU/ICCU. “Keluarga Bapak Frans!!” Tak menunggu dipanggil dua kali, aku berlari ke depan pintu dan menampakkan muka di depan kotak kecil agar langsung dilihat suster ketika slotnya digeser.

“Saya, Suster.”

“Keluarga Bapak Frans? Dokter bedah mau bertemu, Mbak.”

Aku langsung mengenali dokternya dari seragam loreng yang melekat di badannya. Lengan bajunya dilipat hingga siku sehingga menonjolkan lengannya. Rhiza. Mataku menangkap satu kata yang disulam dengan benang hitam tebal di dada kanannya. Dia seorang dokter ahli bedah saraf terbaik di kota ini yang bertugas tetap di rumah sakit militer. Aku sedang menebak-nebak usianya tak jauh dari angka 40 ketika matanya terangkat dari berkas-berkas pasien yang dipegangnya dan melirik ke arahku, “Tindakan jam lima ya, Mbak.” Dokter Rhiza lalu menjelaskan prosedur dan proses operasi dari persiapan hingga nanti jika selesai, serta rencana selanjutnya untuk pasien. “Urgensi saat ini adalah nyawa pasien… bla… bla… bla…” Jawaban yang kuterima ketika rentetan pertanyaan seputar luka-luka serius lainnya yang perlu diperiksa, mengalir begitu saja dari mulutku. Dokter menggenggam tanganku kuat-kuat. “Doa yang kuat ya, Mbak. Saya dan tim hanyalah alat-Nya yang akan berupaya maksimal.”

Operasi hari itu selesai pukul 21.00. Frans didorong kembali ke ruang ICU/ICCU untuk pemulihan setelah sebongkah darah beku dikeluarkan dari kepalanya. Bagian tempurung kepalanya yang retak pun harus dipotong karena tak bisa lagi melindungi isi kepala. Di hari keempat, dirinya sudah sadar. Namun, dokter memberikan sedikit obat tidur agar dirinya beristirahat karena trauma dari pukulan itu membuatnya sangat kesakitan. Di hari ketujuh, Frans pindah ke kamar perawatan dan meninggalkan rumah sakit di hari keenam belas. Seminggu sekali, kami datang menemui dokter Rhiza untuk kontrol dan bersua dokter mata untuk perawatan dan operasi matanya.

Carilah TUHAN selama Ia berkenan untuk ditemui; berserulah kepadaNya selama Ia dekat! (Yesaya 55:6).

Seringkali, kita mendadak berdoa khusyuk ketika sedang menghadapi masalah yang berat. Lalu berdoa sekadarnya (bila tak ingin disebut tak lagi berdoa) ketika hidup terasa nyaman dan aman. Dilihat dari sisi siapa? Dirimu ataukah diri-Nya?

Apa yang Tuhan berikan dan tunjukkan ketika kita berdoa?

Damai Sejahtera

Ada banyak sekali omongan yang terdengar di ruang IGD, juga berbagai pembicaraan tentang kondisi Frans yang secara mata duniawi di ujung tanduk. Membawanya pergi jauh untuk menjangkau rumah sakit dengan peralatan dan pelayanan yang lebih baik hanya buang waktu saja. “Tidak usah capek-capek dan mengeluarkan biaya besar. Baru berjalan sebentar, kalian akan putar balik. Pulang (meninggal).”

Orang yang berdoa tidak terbebas dari masalah, ringan bahkan berat sekalipun. Tapi, di tengah-tengah goncangan itu, ada damai sejahtera. Rasa aman di dalam Tuhan. Rasa yang membuat hati tetap teguh dan tenang untuk mengambil keputusan-keputusan penting di saat genting.

Kekuatan

Ketidaknyamanan membuat pertumbuhan. Seorang atlet tidak mendadak bisa ikut kejuaraan tanpa melewati proses latihan. Kekuatan fisiknya terlatih lewat latihan yang dilakukan secara teratur. Sedang mentalnya, terlatih ketika mengikuti ujian lewat pertandingan. Kadang di saat latihan dan  pertandingan, ada saja yang lecet. Tapi dia harus bertahan jika ingin mencapai tujuannya. Kehidupan kerohanian pun begitu. Iman diuji bukan ketika keadaan sedang aman dan nyaman. Iman diuji lewat berbagai masalah yang Tuhan ijinkan terjadi untuk melatih pertumbuhan iman. Kekuatan untuk bertahan itu didapatkan dengan tertanam dalam-dalam pada hadirat-Nya. 

Pada waktu tunggu yang tak menentu di ruang tunggu ICU/ICCU itu, Tuhan berikan kekuatan lewat doa, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama dengan keluarga/kerabat yang datang berkunjung. Kekuatan itu pun datang ketika berjalan dari ruang tunggu ICU/ICCU ke farmasi atau ke ruang radiologi, di toilet dan ruang lainnya dengan mulut dan hati tak berhenti untuk worship (menyembah) dan berdoa. Tuhan Maha Hadir. Dia hadir dan selalu ada kapanpun kita ingin berbincang dengan-Nya, di manapun! Termasuk di lorong-lorong rumah sakit.

Berserah Tapi Tidak Menyerah

Frans adalah pasien yang menjadi pusat perhatian sejak masuk ICU/ICCU. Di jam besuk ketika dokter bedah saraf belum datang, seorang kerabat dari salah satu pasien sekamarnya mendekati ranjang Frans. Melihat kondisinya, dia menceritakan kondisi kakaknya yang persis seperti itu setahun sebelumnya. “Dia hanya bertahan sehari, Mbak. Lewat.”

Masih berani berharap dalam situasi seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku yang sempat emosi ketika pertama kali melihat kondisi adikku, diingatkan oleh abangku untuk melepaskan pengampunan pada orang yang telah berbuat jahat, yang tidak bertanggung jawab. Tidak mudah, tapi itu yang Tuhan kehendaki agar kami bisa fokus pada proses kesembuhan Frans.

Di titik itu, aku sudah tak bisa menangis. Aku berserah. Tuhan yang pegang kendali atas kehidupan ini. Tuhan tahu yang terbaik dan Tuhan sedang mengerjakan sesuatu yang baik, apa pun itu! Jangan pernah menyerah dan berhenti berdoa.

Bagaimana kehidupan doamu saat ini?

Tidak ada orang yang ujug-ujug akrab tanpa ada yang sengaja memulai komunikasi dan ditanggapi oleh lawan bicaranya. Berdoa juga begitu. Kebiasaan berdoa harus dengan sengaja diaktifkan dan dibangun. Bagaimana mau mengenal Tuhan dengan dekat jika kita tidak pernah ‘ngobrol dengan-Nya?

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Suatu Saat Nanti Kita Tersenyum dan Berkata dalam Hati: “Oh, Jadi Ini Maksudnya Tuhan”

Oleh Herti Juliani Gulo, Medan

Awal tahun 2022 adalah tahun yang penuh dukacita mendalam bagi keluargaku, terutama bagi diriku sendiri. Tidak pernah terbayang dalam pikiran jika tahun ini aku kehilangan seorang panutanku yang luar biasa—ayahku sendiri yang akrab kupanggil ‘papa’.

Di mataku, papa adalah orang baik, yang hidupnya selalu dipenuhi oleh kasih sayang, canda tawa, dan rasa syukur yang melimpah. Aku adalah salah satu saksi bagaimana papa menjalani hidupnya. Di tengah banyaknya cobaan, papa selalu menjadi penyejuk dalam keluarga. Ketika dia menghadapi masalah di keluarga, pekerjaan, atau komunitas gerejawi, papa selalu bijak mengambil keputusan karena dia selalu berpikir bahwa setiap masalah itu dicari solusinya, bukan dihakimi penyebabnya. Papa menyadari bahwa manusia tidaklah sempurna, dan cenderung menghakimi tanpa menyelesaikan masalah.

Ketika akhirnya papa meninggal, banyak orang mengatakan kepergiannya misterius. Saat berhadapan dengan orang lain, papa kelihatan kuat. Namun, di balik itu, ada sakit yang tak tertahankan dalam tubuhnya. Begitulah papaku, dia mampu menahan sakitnya sendiri demi menjaga perasaan keluarga dan tidak membuat orang lain khawatir.

Aku sebagai anak perempuannya, amat mengagumi papaku. Sejak aku kecil, kami sangat dekat dan kedekatan ini diaminkan oleh banyak orang yang berkata bahwa aku dan papa punya ikatan batin yang kuat. Papa juga amat mengasihiku. Dia tidak pernah marah, menghakimi, atau melakukan kekerasan fisik karena memang dalam hidupnya dipenuhi kasih. Aku sendiri merenung, betapa beruntungnya aku memilikinya sepanjang papa hidup di dunia ini.

Satu hal yang aku syukuri dari kepergiaan papa adalah papa telah hidup di dalam Tuhan. Papa orang yang sangat beriman. Sejak aku kecil, dia selalu berusaha untuk mendekatkan hidupku dan keluargaku dengan Tuhan. Namun, tidak semua dari kami berhasil hidup melekat dengan Tuhan karena tentunya kerohanian seseorang adalah keputusan personal. Berkat upaya papa, meskipun aku sendiri belum sepenuhnya berpengharapan pada Tuhan, tetapi aku selalu meminta pimpinan Roh Kudus agar Dialah satu-satunya yang kuandalkan di dunia ini.

Dari kepergian papa, aku menyadari ada dua hal penting dalam hidupku. Pertama, aku sempat berpikir mengapa orang baik sangat cepat dipanggil Tuhan? Kenapa bukan orang berdosa saja yang Tuhan cepat panggil?

Dalam perenunganku, kusadar bahwa pemikiran itu tidak benar. Jika Tuhan memanggil orang baik, orang yang telah mengenal-Nya, itu karena Tuhan tahu mereka akan tinggal bersama-sama dengan-Nya di surga. Setiap orang telah berdosa, dan kepada mereka dikaruniakan kesempatan dan waktu untuk mengenal-Nya dan hidup benar.

Kedua, Tuhan punya rencana lain dalam hidupku. Kuakui bahwa selama ini, hidupku sangat bergantung pada papa karena kedamaian selalu kuperoleh dari papa, sehingga tanpa kusadari aku menaruh harap berlebih pada papa, selalu memprioritaskannya daripada Tuhan. Sekarang, aku sadar bahwa Tuhan punya rencana indah buatku. Tuhan ingin agar aku melihat-Nya dan lebih mengagumi-Nya daripada manusia yang ada di dunia ini. Kebaikan papa selama hidupnya menunjukkanku bahwa papa adalah perpanjangan kasih dan kebaikan Tuhan. Ketika Tuhan memanggil papa pulang, itu karena tugasnya telah selesai di dunia ini dan Tuhan ingin agar aku dan keluarga merasakan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung.

Proses menerima kedukaan terasa berat. Hidupku terpuruk, namun aku selalu berdoa agar Tuhan menguatkan… dan di sinilah kualami kesetiaan Tuhan. Tuhan selalu menyelipkan kedamaian di tengah-tengah dukacita yang kualami berbulan-bulan. Dari keterpurukan yang kurasakan, ada kasih setia Tuhan yang kuperoleh. Tuhan memakai orang lain, ada keluarga, teman, sahabat, untuk menjadi berkat dalam hidupku. Semenjak itu, aku terus hidup berpengharapan sama Tuhan, karena hanya di dalam Tuhan bisa kuperoleh kasih dan kedamaian hidup. Hal ini membuatku tersenyum dan dalam hati berkata, “Oh, jadi ini maksudnya Tuhan.”

Firman Tuhan di Yohanes 16:20 yang berkata, “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira, kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita” tergenapi dalam hidupku. Begitu banyaknya pergumulan yang kuhadapi sejak papa pergi. Namun, pergumulan itu berhasil kuhadapi, karena ada kekuatan yang Tuhan berikan. Air saja mampu Tuhan ubah menjadi anggur, maka aku percaya bahwa dukacita pasti Tuhan ubah menjadi sukacita.

Kita yang masih hidup di dunia ini, hendaknya terus bertumbuh dalam iman. Berlomba-lomba melakukan kebaikan, berbagi dengan sesama, rendah hati, dan terus mengucap syukur dalam keadaan apa pun. Marilah kita punya kerinduan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik, mampu mencitrakan diri Tuhan Yesus dalam hidup kita kepada orang lain, melanjutkan kasih setia Tuhan, kebaikan dan keteladanan hidup Yesus. Ketika kita berhasil melakukan itu semua, dengan iman, kita pasti disambut oleh Tuhan dalam kerajaan surga.

Suatu saat nanti, akan ada reuni surgawi bagi kita yang sudah hidup percaya kepada Tuhan. Jadi, kiranya kita tidak takut kehilangan orang yang kita kasihi, karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Bapa di surga, sebab kita adalah milik-Nya. Mereka yang sudah pergi hanya mendahului kita dan Tuhan sedang mempersiapkan tempat bagi kita di surga. Rencana Tuhan indah pada waktunya.

Ada sebuah lagu favorit, yang kuharap dapat menjadi kekuatan bagi kita semua:

Indah rencana-Mu Tuhan, di dalam hidupku
Walau ku tak tahu dan ku tak mengerti, semua jalan-Mu
Dulu ku tak tahu, Tuhan, berat kurasakan
Hati menderita dan ku tak berdaya, menghadapi semua
Tapi ku mengerti sekarang, Kau tolong padaku
Kini kumelihat dan kumerasakan, indah rencana-Mu

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Jarum jam menunjukkan pukul 17.35 WITA, ketika aku menerima kabar duka lewat messenger dari seorang temanku di SMA dulu. Rabu, 19 Februari 2020, Tuhan berkehendak memanggil pulang seorang teman yang kami kasihi dan dicintai oleh keluarganya. Ia merupakan teman seperjuanganku di bangku SMA hingga berkuliah di perguruan tinggi negeri yang sama di kota Makassar. Rasanya sulit untuk mempercayai kabar duka itu, sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri tubuh yang kaku dan terbaring dalam peti di hari penguburannya 4 hari kemudian.

Aku mengerti bahwa kematian merupakan hal yang menakutkan dan menyedihkan secara manusiawi. Kedatangannya tidak mengenal usia dan waktu. Apalagi hal ini terjadi pada temanku yang berusia 28 tahun. Usia yang masih tergolong sangat muda. Aku sedih karena kehilangan seorang teman yang baik, sopan, dan ramah. Tak bertemu selama hampir 8 tahun sejak masa-masa wisuda, kini kami benar-benar harus berpisah dan tak akan pernah berjumpa lagi untuk selamanya.

Kini sudah 9 bulan berlalu sejak kepergiannya. Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkanku secara pribadi, serta memberi sukacita abadi melalui beberapa hal yang kualami.

1. Melalui lagu pujian yang menguatkan

Sehari sebelum aku mendapat berita duka tersebut, aku sedang berlatih lagu himne favoritku menggunakan keyboard mini Judulnya “Ku Berbahagia” (Kidung Jemaat nomor 392) ciptaan Fanny Crosby. Begini liriknya:

‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku!
Aku warisNya, ‘ku ditebus, ciptaan baru Rohul kudus.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Pasrah sempurna, nikmat penuh; suka sorgawi melimpahiku.
Lagu malaikat amat merdu; kasih dan rahmat besertaku.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Aku serahkan diri penuh, dalam Tuhanku hatiku teduh.
Sambil menyongsong kembaliNya, ‘ku diliputi anugerah.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Setiap kali mendengar, melantunkan, dan juga mengiringi lagu ini, rasanya aku tidak kuasa membendung air mata haru. Ditambah lagi sejak kepergian temanku, lagu ini juga jadi mengingatkanku padanya. Di saat yang sama, lagu ini pun mengingatkanku pada Yesus yang telah menjadi Tuhan dan Juruselamatku secara pribadi. Yesus memberiku kebahagiaan sejati, baik saat aku bersukacita maupun berdukacita seperti yang sedang kurasakan saat ini. Kita memiliki Yesus dan kita dijadikan milik-Nya. Sehingga meskipun kita sedang berdukacita, Allah tetap turut bekerja mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Ia juga memberikan sukacita sorgawi, seperti yang ditulis Fanny Crosby dalam lagu tersebut. Sukacita sorgawi itu adalah pengharapan akan kehidupan kekal bersama Kristus kelak. Untuk itu, aku bahagia memiliki Yesus sebagai kawan sejati yang tidak akan meninggalkanku dan tetap mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yohanes 15:9).

2. Melalui kesaksian dari keluarga

Selama masa-masa kedukaan, aku banyak mendengar kesaksian dari pihak keluarga. Kesaksian mereka ketika dihiburkan dan dikuatkan secara tidak langsung membuatku ikut terhibur juga di masa-masa duka tersebut. Salah satu saudara kandung dari almarhum menuturkan bahwa meskipun segenap keluarga berduka karena kehilangan anggota keluarga terkasih, mereka bersyukur pada Tuhan ketika mereka dikunjungi oleh para hamba Tuhan dari tempatnya berjemaat, bahkan ada juga yang datang dari luar daerah. Tidak hanya itu, pihak keluarga juga menuturkan rasa sukacitanya ketika menyaksikan almarhum yang tetap tersenyum dan tidak mengeluh dalam masa-masa perawatannya di rumah sakit saat berjuang melawan penyakit TBC usus yang dideritanya.

Masih dari penuturan pihak keluarga, ternyata temanku menyampaikan doa penyerahan terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat menyatakan:

“Oh Tuhan, ke dalam tangan-Mu kuserahkan hidupku, ampuni saya.”

Sejenak aku merenungkan kata-kata terakhir beliau. Aku melihat temanku itu benar-benar berserah secara total kepada Penciptanya dan menyatakan pertobatannya. Menurutku, itu hal yang sangat luar biasa. Dan aku yakin Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun sanggup melimpahkan damai sejahtera juga kepada segenap keluarga, teman-teman, dan semua orang yang ditinggalkannya. Sungguh sebuah kesaksian iman yang menguatkan aku secara pribadi.

3. Melalui kidung nyanyian favorit si teman

Ketika aku menulis tulisan ini, aku teringat salah satu lagu kesukaan almarhum yang disampaikan kakaknya kepadaku yang berjudul “Ku Tahu Tuhan Pasti Buka Jalan”:

Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Asal ku hidup suci
Tidak turut dunia
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan

Dalam menikmati lagu ini, aku mau memaknai benar adanya bahwa Tuhan telah membuka jalan baginya, baik ketika sedang menghadapi pergumulan di dunia ini, juga ketika beliau akhirnya memasuki tempat peristirahatan dan tempat penantian yang indah dan penuh damai. Aku harap aku juga bisa memaknai pesan mendalam yang disampaikan lagu ini ketika aku menghadapi pergumulan pribadi sepanjang hidupku.

4. Diingatkan oleh karya kasih Yesus

Kematian temanku mengingatkan aku kembali pada satu Pribadi yang juga pernah mengalami kematian, tetapi kematian yang istimewa. Begitu istimewanya kematian-Nya sehingga Ia sanggup mengubah sebuah ratapan menjadi sukacita. Pribadi itu adalah Yesus Kristus. Karena kasih, Yesus mati mengorbankan diri-Nya bagi kita, supaya kita manusia yang berlumuran dosa beroleh pengampunan dan keselamatan untuk menikmati hidup kekal bersama-Nya (Yohanes 3:16). Yesus juga bangkit dari kematian sebagai bukti bahwa Ia mengalahkan maut (Roma 6:9, Wahyu 1:18). Dengan kebangkitan-Nya, iman percaya kita tidak sia-sia sebab kita tahu bahwa ketika kita mati dalam iman kepada Kristus, maka kita juga akan dibangkitkan dalam kemuliaan kelak (Yohanes 11:25, 2 Korintus 4:14-15).

5. Janji-Nya bahwa kami akan bertemu lagi kelak

Di hari penguburannya, aku dan seorang temanku yang lain melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Menatapnya yang terbaring kaku dalam peti sungguh memilukan. Perpisahan untuk selamanya ini sungguh membuat kami merindukannya. Namun kami mau mengingat apa yang dijanjikan Allah melalui kesaksian Rasul Paulus di Korintus:

“Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15:21-22)

Bagian Firman ini mengajak aku untuk percaya bahwa kematian hanyalah perpisahan sementara bagi orang percaya. Aku dan temanku yang sudah terbaring kaku itu akan bertemu lagi karena kami sama-sama percaya kematian dan kebangkitan Yesus bagi pengampunan dosa-dosa kami (1 Korintus 15:3-4).

Aku dan keluarga temanku sungguh mengucap syukur pada Tuhan yang telah menghibur dan menguatkan kami melalui berbagai hal. Sangat bersukacita juga ketika mengetahui banyak pihak yang mendoakan almarhum semasa perawatannya di rumah sakit, meski Tuhan tahu betul apa yang terbaik untuk jalan hidupnya. Aku mengerti bahwa sesungguhnya tidak ada yang abadi dalam dunia ini. Namun iman kita kepada Yesus Kristus adalah hal yang menjadi abadi dan sangat berharga bagi kita orang percaya. Sekalipun kematian memisahkan kita secara fisik dari orang-orang yang kita kasihi, kita tentu tak akan bisa dipisahkan dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Roma 8:38-39).
Damai bersamamu kawan, sampai bertemu, sampai lagi kita bertemu di langit dan bumi yang baru!

“Berharga di mata Tuhan, kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mazmur 116:15).

Terpujilah Kristus!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Selama ini aku menyimpan semua masalahku dan berusaha terlihat baik-baik saja. Sampai ketika tekanan hidup tak lagi kuat kutanggung, aku memberanikan diri untuk datang pada konselor, dan di sanalah aku menemukan pemeliharaan Tuhan.

Mengalami Kehadiran Allah Ketika Menghadapi Bullying

Oleh Meysinta Sitompul* Semarang

Boss Wadulan” (Wadulan yang berarti tukang ngadu dalam bahasa jawa)

Dua kata itu dipakai teman-temanku untuk menjulukiku sewaktu masih duduk di bangku SMP. “Wadulan” berasal dari bahasa Jawa, artinya “tukang ngadu”. Aku masih ingat betul rasanya ketika kata “Boss Wadulan” itu diucapkan teman-temanku ketika aku lewat. Entah mau menuju kelas, kantin, atau ruang manapun setiap bertemu teman-teman aku selalu diteriakkan dengan dua kata tersebut.

Aku pernah menjadi korban bullying sewaktu aku masih duduk di bangku SMP. Sekolahku adalah sekolah swasta yang memiliki peraturan ketat dan menanamkan prinsip kedisiplinan bagi seluruh siswanya. Salah satu aturannya adalah setiap siswanya dilarang membawa hand-phone (HP) ke sekolah. Namun, banyak siswa yang melanggar. Mereka membawa HP dan menyembunyikannya di laci-laci tas mereka. Berawal dari kesalahpahaman teman-temanku, mereka semua menuduhku telah “mewadulkan” teman-temanku yang membawa HP ke pihak BK. Padahal sejujurnya mereka tidak mengerti kisah yang sesungguhnya.

Kisah ini berawal pada saat aku tak bisa berbohong kepada guru yang bertanya kepadaku. “Non, teman sekelasmu ndak yo ada yang bawa HP ke sekolah?”

Pada saat itu aku ingat betul aku sempat terdiam dan berpikir cepat. Jika aku membela temanku berarti aku telah berbohong kepada guru yang menjadi orang tuaku di sekolah. Namun, jika aku jujur, sebetulnya aku sudah mengira bahwa aku akan mendapat respons tidak menyenangkan dari temanku.

Pada saat itu aku tak menyangka akan di-bully habis-habisan secara mental, perkataan, bahkan fisik sampai aku lulus SMP. Aku ingat betul ketika satu kelas bahkan satu angkatan mulai merundungku. Aku tidak memiliki teman di kelas, setiap ada tugas kelompok tidak ada satu pun yang mau menerimaku. Bahkan bagi mereka adalah hal yang “sial” ketika harus sekelompok denganku. Selain dirundung lewat perkataan, mereka juga pernah merundungku secara fisik. Aku masih ingat betul nama, wajah, dan ekspresi mereka ketika merundungku. Di kelas aku dihempas menggunakan pintu saat aku hendak masuk ke kelas. Sakit betul rasanya karena pintu itu mengenai hidungku walaupun aku langsung refleks mengelak ke belakang.

Pernah juga sewaktu aku duduk di bangku kelas 9, kelasku ada di koridor bawah, aku disiram air oleh teman-temanku yang kelasnya di koridor atas. Sakit rasanya ketika tidak ada satu pun teman yang mau mengerti bahkan semua menyalahkanku yang dikira “wadulan”. Aku yang biasanya ceria dan mudah tertawa menjadi siswa pendiam dan banyak menahan beban sendiri karena tidak ada satu pun yang mau mengerti dan mau menjadi seorang pendengar. Setiap hari aku ke sekolah dengan perasaan takut.

Sewaktu aku SMP, aku belum mengerti banyak tentang peran Tuhan di tengah pergumulan. Sifatku yang labil membuatku kemudian menjauh dari Tuhan. Aku merasa, “Ah mereka yang membullyku juga percaya Yesus tapi buktinya Tuhan gak negor dia… katanya Tuhan baik mana buktinya?…” Namun seiring berjalannya waktu aku sadar ada banyak bukti bahwa Tuhan tetap menyertaiku hingga aku lulus dan masuk ke SMA favorit di kotaku.

Meskipun teman-teman sekolahku merundungku, Tuhan menganugerahiku dengan kedua orang tua yang selalu menyemangatiku saat aku takut. Dan, meskipun saat itu aku belum mengerti tentang peranan Tuhan dalam pergumulanku, Tuhan nyatanya tidak meninggalkanku. Saat hatiku disakiti, Roh Kudus memberiku penghiburan dan kekuatan agar hatiku dapat berkata, “Ampuni mereka”. Roh Kuduslah yang memampukanku.

Lukas 17:4 berkata, “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” Mengampuni orang lain memang berat, namun janganlah berhenti untuk mengampuni orang lain.

Aku bersyukur telah dimampukan-Nya melalui masalah tersebut sehingga aku bisa lebih dewasa sekarang. Jika ada di antara kamu yang mengalami perundungan atau penolakan dari rekan-rekanmu, tetaplah semangat. Ingat kita tidak berjalan sendiri, namun ada Tuhan yang melindungi kita dari berbagai pencobaan. Jika hatimu berduka, kiranya Roh Kudus menghibur dan menguatkanmu sehingga kamu mampu untuk mengampuni mereka dan beroleh damai sejahtera dari Allah.

Tuhan Yesus memberkati.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Kedamaian di Tengah Ketidakpastian

Penelitian tugas akhirku sedianya akan dilakukan di rumah sakit. Tapi, karena pandemi ini, aku tidak bisa melakukan penelitian dan terancam tak lulus tepat waktu. Namun, di masa-masa inilah aku belajar menikmati kedamaian dari Tuhan.

Virus Corona: Takut itu Manusiawi, Tapi Jangan Biarkan Kepanikan Menguasai

Oleh Daniel Ryan Day, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Coronavirus Pandemic: I’m Afraid, And I Don’t Even Know Why

Sebulan terakhir aku merasa biasa-biasa saja. Aku malah membuat beberapa lelucon dan video pendek mengolok-olok orang-orang yang takut dengan virus corona. Tapi, sekarang pertandingan olahraga ditunda, presiden berpidato mendadak dan serius, rumor-rumor beredar kalau perusahaanku akan tutup sementara, penerbangan-penerbangan akan dibatalkan, kampus-kampus mulai kuliah online, dan larangan bepergian ke banyak negara diberlakukan.

Kemarin malam, kepanikan segera menyebar setelah gubernur di tempat tinggalku meminta semua sekolah ditutup selama tiga minggu penuh. Paginya, aku bangun dengan informasi tiga orang positif terkena virus di kota tempat tinggalku.

Semua kabar itu merasuk ke benakku. Aku jadi sakit kepala. Otakku terus berpikir, “Gimana kalau?”. Sekarang, aku 100 persen bisa berkata…

Aku takut, dan aku sendiri tidak tahu kenapa!

Apakah karena anak-anakku akan sakit? Atau mungkin aku yang terjangkit? Atau karena pekerjaanku jadi terancam? Atau karena aku tidak bisa nonton pertandingan basket NBA? Atau, karena aku ikut merasakan histeria ketakutan yang juga dirasakan orang-orang sejak Januari? Atau, karena semuanya itu menumpuk di satu momen?

Aku tahu hidupku masih muda, tapi aku belum pernah merasakan pengalaman seperti ini sebelumnya. Miliaran dolar hilang akibat kerugian ekonomi. Pemerintah melarang pertemuan di atas 100 orang. Industri-industri utama terhenti. WHO sudah mendeklarasikan pandemi global. Dan sekarang, semua orang yang kutahu (termasuk aku) tidak bisa berhenti membicarakan virus ini. Ia dibicarakan di mana-mana: di depanku, di depanmu, di depan siapa pun, selama 24 jam 7 hari.

Aku menebak, mungkin kamu juga merasa takut. Atau, kamu cuma “mengamati”.

Jadi, bagaimana seharusnya?

Mungkin ini momen yang tepat buat kita mengambil waktu sejenak. Tarif nafas. Hembuskan. Tenang dan fokuskan diri pada salah satu halaman yang kita tak asing dalam Alkitab:

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (Filipi 4:6-7).

Langkah pertama: naikkanlah doa

Kita bisa bilang pada Tuhan kalau kita memang takut, dan kita tak tahu kenapa. Kita bisa menuliskan hal-hal buruk yang mungkin menurut kita bisa terjadi dan meminta Tuhan untuk menguji hati kita mengapa kita merasa gundah. Alih-alih panic buying atau share banyak informasi yang tidak jelas di media sosial, kita bisa berhenti untuk berdoa, mendekat pada Pertolongan yang Sejati.

Langkah kedua: ucapkanlah syukur

Kitab Filipi tidak cuma bilang bahwa kita perlu menyampaikan kekhawatiran pada Tuhan, tapi sampaikanlah kekhawatiran itu dengan ucapan syukur. Kita bisa melihat kembali hari-hari kita dahulu dan memuji-Nya atas kebaikan yang disediakan-Nya bagi kita sampai saat ini. Mengucap syukur mendorong kita untuk melihat kesetiaan Tuhan, sehingga kita dapat percaya bahwa Dia pun memegang masa depan kita.

Langkah ketiga: bacalah Mazmur

Mazmur 27 bisa jadi bagian yang baik untuk memulai. Lihatlah bagaimana para pemazmur bergumul dengan hal-hal yang terjadi di luar kendali mereka, tapi lihatlah juga berapa kali mereka kembali memuji Allah karena pertolongan-Nya.

Langkah keempat: carilah cara untuk melayani orang lain

Ingatkah kisah tentang Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta? Pengikut Kristus sepanjang sejarah telah menunjukkan kasih dan perhatian yang sama seperti yang Yesus lakukan. Virus corona adalah salah satu kesempatan bagi kita untuk menunjukkan kasih itu.

Kita bisa memulainya dengan menanyakan kabar teman kita dan menyemangatinya. Jika kamu mengenal seseorang yang berisiko, atau berada di area rawan, cobalah hubungi mereka dan tanyakan bila ada hal yang dapat kamu bantu. Dan, jika kamu mengenal orang-orang yang tak mampu pergi ke luar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, kamu bisa membelikan makanan-makanan beku yang bisa mereka simpan di rumah dan konsumsi dengan cepat (Tapi, yakinkan dulu bahwa dirimu tidak terjangkit virus). Yang paling penting, tanyalah Tuhan apa yang Dia ingin kamu lakukan dan ikutilah pimpinan-Nya.

Langkah kelima: tetaplah bergerak

Bagian ini adalah poin yang kutambahkan secara personal. Kamu tidak akan menemukannya di Alkitab, tapi inilah yang menolongku. Jika selama masa social distancing atau pembatasan sosial kamu merasa stres, kamu bisa berjalan-jalan di rumahmu, melakukan olahraga kecil, atau sekadar pemanasan.

Lima langkah sederhana ini tidak dapat mengentaskan virus corona, juga bukanlah obat untuk menuntaskan khawatirku dan khawatirmu. Kekhawatiran akan datang kembali, tapi ketika ia datang, kita bisa mengulangi langkah-langkah ini lagi. Kitab Filipi berjanji, ketika kita membawa kekhawatiran kita kepada-Nya, damai sejahtera Allah yang melampaui segala akan akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus.

Beberapa tahun lalu aku pernah kewalahan karena pekerjaanku. Aku berdiri di tepi pantai dan berdoa seraya melihat ombak. Aku sadar, ombak-ombak itu cukup besar untuk berpindah-pindah, dan tiba-tiba sepenggal lirik lagu mengalun di benakku. Lagu yang muncul saat itu rasanya lagu yang cocok pula untuk situasi kita hari ini:

Kiranya ombak kedamaian dari Allah menerpaku
Membawaku ke tempat di mana seharusnya aku berada

Kedamaian Allah berkuasa untuk memindahkan kita dari tempat yang penuh rasa khawatir, kepada tempat yang penuh percaya. Ini tidak berarti kita tidak akan takut lagi, tapi kita dapat menempatkan ketakutan kita pada konteks yang tepat, ketakutan yang membawa kita mendekat pada Tuhan yang mengasihi kita.

Baca Juga:

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Yesus tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamai ketimbang dalam relasi. Aku pun begitu. Aku melayani-Nya tapi tak merasa dekat dengan-Nya.

Bersyukur dan Percaya di Tengah Kesulitan, Sanggupkah?

Oleh Cana, Surabaya

Pimpinan di tempat kerjaku memanggilku di bulan Desember lalu dan menyampaikan bahwa kontrak kerjaku tidak akan dilanjutkan lagi.

“Oh Tuhan…kejutan apa lagi yang akan terjadi di tahun ini?” Pertanyaan ini segera muncul di benakku.

Sepanjang tahun 2019 lalu, rasanya mudah sekali menuliskan “kejutan-kejutan” yang tak terduga karena begitu banyak hal yang terjadi di luar perkiraanku dan tak terbayangkan sebelumnya.

Perasaan yang paling sering muncul adalah rasa takut dan khawatirku yang semakin menyesaki pikiran. Tahun 2019, suasana hatiku seperti roller-coaster yang naik turun tak tentu. Dimulai dari bulan Januari, bapakku terserang stroke dan harus dirawat di rumah sakit. Kemudian, disusul ibuku yang terkena tumor di payudara dan harus segera dioperasi. Belum selesai di sini, di pertengahan tahun, suamiku tidak dilanjutkan masa kontrak kerjanya. Beberapa bulan kemudian, adik perempuanku menderita sakit yang cukup aneh di bagian bibir.

Hal yang membuat hatiku hancur adalah ketika aku harus kehilangan anak pertamaku—seorang anak perempuan yang kuharap dapat kugendong dan kuajak beribadah bersama saat Natal dan tahun baru.

Namun, semuanya sirna. Anakku hanya bertahan hidup selama empat hari, kemudian pulang kembali ke pangkuan-Nya. Aku larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam saat kehilangan buah hatiku. Seharusnya Oktober 2019 adalah bulan yang kami nantikan untuk bisa bersama-sama dengannya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Aku kira segala kegetiran ini berakhir di sini, ternyata belum. Awal Desember lalu, atasanku di tempat kerja meneleponku. Aku diminta menghadap ke ruangannya. Dia berkata bahwa kontrak kerjaku tidak akan diperpanjang dan masa kerjaku akan berakhir di Januari 2020.

Dari serentetan kejadian demi kejadian, aku mempertanyakan di manakah Dia dan segala penyertaan-Nya? Apakah aku tidak layak menerima segala hal yang baik? Apakah aku masih punya harapan ke depannya? Apakah aku perlu berharap lagi kepada-Nya? Mengapa semuanya terasa seperti sama saja?

Sejujurnya rasa khawatir, takut, sedih, dan kecewa sering datang dan membuatku hampir menyerah atas hidup ini. Namun di sisi lain, banyak orang mungkin bertahan untuk hidup sedangkan aku malah ingin menyerah untuk hidup.

Merenungkan kembali kehidupan

Setelah melahirkan, aku memiliki waktu cuti 3 bulan. Waktu yang cukup panjang untuk merenungkan segalanya, pikirku. Hari-hari aku lewati dengan menangis dan menyesal.

Aku tetap berusaha membaca firman Tuhan, khususnya kitab Ayub dan mendengarkan semangat-semangat yang diberikan oleh keluarga dan suamiku. Namun, semuanya terasa sama dan sepertinya tidak berdampak apa-apa. Aku masih menginginkan segalanya harus sejalan dengan apa yang aku inginkan. Aku ingin kedua orang tuaku tidak sakit. Aku ingin pekerjaan suamiku dilancarkan. Aku ingin anakku hidup dan aku masih bisa bekerja.

Mengapa semuanya terjadi? Apa salahku? Pertanyaan ini kuajukan pada Tuhan.

Tidak ada jawaban yang memuaskan logikaku. Sampai saat ini pun rasanya aku belum menemukan jawaban yang memuaskanku. Rasanya aku hanya diminta percaya saja dan tetap percaya akan apa yang Dia rencanakan…dan aku tidak tahu apa yang Dia rencanakan akan berakhir seperti apa ke depannya. Percaya…yah, cukup percaya tanpa perlu beralasan. Sesuatu yang teramat sulit aku lakukan.

Selama masa cuti melahirkan itu, aku lebih banyak di rumah, mengingat semua hal yang terjadi khususnya selama setahun belakangan. Aku berdoa dan belajar untuk membuka pikiranku satu demi satu hingga pelan-pelan mulai muncul rasa syukur.

Iya, benar kedua orang tuaku sakit. Tapi, bukankah Tuhan juga yang memberikan pemulihan? Sebelumnya, bapakku hanya bisa terbaring di kasur. Kemudian, bapak bisa naik kursi roda, memakai alat bantu jalan dan sekarang sudah bisa jalan sendiri meskipun kadang masih harus digandeng. “Iya, Tuhan menyertai orang tuaku,” kataku dalam hati.

Saat itu, ibuku tahu ada benjolan di bagian payudaranya. Kemudian, ajaibnya, dia bisa mendapatkan rumah sakit dnegan fasilitas yang baik untuk operasi melalui BPJS. Sampai sekarang, tidak ada benjolan yang sakit seperti dulu, meskipun kadang nyerinya masih terasa. Tapi, tidak perlu ada tindakan operasi lagi. “Iya, Tuhan, aku tahu,” kataku lagi dalam hati.

Aku diberitahu oleh ibuku tentang kondisi adik perempuanku yang sedang kuliah di Bandung. Sakitnya tidak segera sembuh, padahal sudah berobat ke sana ke mari. Kemudian, aku inisiatif bertanya ke temanku yang seorang dokter dan disarankan untuk berobat ke rekannya yang sesama dokter di Bandung. Adikku sembuh total! “Iya…iya, Tuhan, aku harusnya berterima kasih kepada-Mu,” pikirku.

Dan, ketika kontrak kerja suamiku dihentikan, tanpa ada jeda menganggur dia dipanggil dan diterima di tempat kerja baru dengan salary yang lebih baik dari sebelumnya. “Ya, aku tahu Engkau memelihara kami berdua,” kataku dalam hati.

“Tapi, untuk yang terakhir ini, saat anakku tidak ada, di manakah penyertaan-Mu Tuhan?” aku lanjut bertanya kepada-Nya.

Anak kami meninggal karena ada masalah pada paru-parunya, sehingga dia sulit bernafas. Ada beberapa teman yang mengatakn bahwa seorang anak dengan kondisi seperti itu kelak akan kesulitan dalam masa pertumbuhannya. Mungkin, inilah jalan terbaik. Sebagai ibu, tentu aku tidak setuju dengan pendapat ini awalnya. Tapi, pada akhirnya, aku pun menerimanya dan berpikir yang sama. “Tuhan, aku sulit menerima hal ini, tapi aku mau tetap percaya ini jalan yang terbaik dari-Mu,” kataku dalam hati.

Dan, untuk pekerjaanku yang akan berhenti di bulan Januari ini, aku masih belum memiliki rencana ingin mendaftar di mana dan belum diterima di tempat mana pun. Namun, aku memberanikan diri untuk mengikuti seleksi CPNS dan baru saja keluar pengumuman kalau aku lolos tahapan administrasi. “Iya, aku tahu, Engkau yang mengizinkanku lolos tahapan ini,” pikirku.

Setelah aku merenungkan satu demi satu peristiwa setahun ke belakang, aku bisa berkata, “Tuhan terima kasih. Ajarku bersyukur dan semakin mantap untuk mempercayai rencana-Mu untukku. Ke depannya, aku tidak tahu kejutan apa lagi yang terjadi, apakah itu baik atau buru. Baik atau buruknya itu menurut otakku manusia, tapi apa pun itu aku akan berusaha memilih untuk selalu percaya dan berharapa kepada-Mu.”

“Karena rancangan-Mu bukanlah rancanganku dan jalan-Mu bukanlah jalaku. Sebab Engkau tahu rancangan terbaik untukku, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadaku hari depan yang penuh harapan” (diadaptasi dari Yesaya 55:8 dan Yeremia 29:11).

Baca Juga:

Imperfect: Menjadi Sempurna dalam Ketidaksempurnaan

“Film besutan Ernest Prakasa dan istrinya, Meira Anastasia yang tayang perdana di akhir 2019 lalu mungkin menjadi film yang dinantikan banyak orang. Film ini mengangkat isu yang hangat di masyarakat saat ini: insecurity.

Bagaimana kamu berjuang mengatasi perasaan insecurity?”

Masa-Masa yang Melelahkan

Senin, 20 November 2017

Masa-Masa yang Melelahkan

Baca: Yohanes 14:15-27

14:15 “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.

14:16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya,

14:17 yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.

14:18 Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu.

14:19 Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup.

14:20 Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.

14:21 Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”

14:22 Yudas, yang bukan Iskariot, berkata kepada-Nya: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?”

14:23 Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.

14:24 Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku.

14:25 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu;

14:26 tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.

14:27 Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.

Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu.—Yohanes 14:27

Masa-Masa yang Melelahkan

Di halaman belakang rumah kami, ada pohon ceri yang dahulu menjulang gagah tetapi sekarang hampir mati. Saya memanggil ahli tanaman untuk memeriksa pohon itu. Ia mengatakan bahwa pohon itu “terlalu stres” dan membutuhkan pemeliharaan khusus segera. “Bukan cuma kamu,” gumam istri saya, Carolyn, pada pohon itu sembari berlalu. Masa-masa itu memang terasa begitu melelahkan baginya.

Kita semua pernah menghadapi masa-masa yang menggelisahkan. Kita khawatir melihat moralitas yang makin merosot atau mencemaskan anak-anak kita, pernikahan kita, usaha kita, keuangan kita, kesehatan dan kesejahteraan diri kita. Meski demikian, Tuhan Yesus menjamin bahwa bagaimana pun sulitnya situasi kita, kita dapat merasa damai. Yesus berkata, “Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu” (Yoh. 14:27).

Hari-hari Yesus juga dipenuhi kesulitan dan tekanan: Dia dikelilingi musuh dan disalah mengerti oleh keluarga dan sahabat-sahabat-Nya. Dia sering tidak punya tempat untuk beristirahat. Namun, tidak terlihat ada kecemasan atau keresahan di dalam sikap-Nya. Yesus mempunyai ketenangan batin. Itulah damai sejahtera yang telah diberikan-Nya kepada kita. Itulah kebebasan dari kecemasan akan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Damai sejahtera-Nya dinyatakan bagi kita.

Dalam situasi apa pun, baik yang serius atau yang sepele, kita dapat berdoa kepada Yesus. Dalam hadirat-Nya, kita boleh mengungkapkan segala kekhawatiran dan kecemasan kita kepada-Nya. Rasul Paulus meyakinkan kita bahwa damai sejahtera Allah akan “memelihara hati dan pikiran [kita] dalam Kristus Yesus” (Flp. 4:7). Bahkan di tengah masa-masa yang melelahkan dan membuat stres, kita tetap dapat menerima damai sejahtera-Nya. —David Roper

Ya Tuhan, terima kasih karena aku dapat datang kepada-Mu apa adanya dan damai sejahtera-Mu akan memelihara hati dan pikiranku.

Di tengah masalah yang berkecamuk, kita selalu dapat menerima damai sejahtera di dalam Yesus.

Bacaan Alkitab Setahun: Yehezkiel 14-15; Yakobus 2

Artikel Terkait:

Mengapa Aku Tetap Berharap

Masa-Masa Yang Tak Pasti

Selasa, 8 Juli 2014

Masa-Masa Yang Tak Pasti

Baca: Filipi 4:6-9

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

4:7 Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus.

4:8 Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.

4:9 Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.

Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:7

Masa-Masa Yang Tak Pasti

Pada masa terjadinya krisis besar ekonomi beberapa tahun yang lalu, banyak orang harus kehilangan pekerjaan mereka. Amat disayangkan, kakak ipar saya juga menjadi salah satu karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Dalam suratnya kepada saya tentang keadaan keluarga mereka, saudari saya menyatakan bahwa meskipun ada banyak ketidakpastian yang dihadapi, mereka tetap merasakan damai sejahtera karena mereka tahu bahwa Allah akan memelihara mereka.

Umat yang percaya kepada Yesus dapat memiliki damai sejahtera di tengah masa-masa yang tidak pasti karena kita memiliki jaminan bahwa Bapa kita yang di surga mengasihi anak-anak-Nya dan mengetahui kebutuhan kita (Mat. 6:25-34). Kita dapat menyerahkan segala kekhawatiran kita kepada-Nya dengan suatu sikap penuh ucapan syukur, sambil mempercayai bahwa Dia akan memenuhi kebutuhan kita dan memberikan kita damai sejahtera (Flp. 4:6-7).

“Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal,” tulis Rasul Paulus, “akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus” (ay.7). Pernyataan bahwa damai sejahtera Allah itu melampaui segala akal menyingkapkan bahwa hal itu tidak dapat kita jelaskan, tetapi dapat kita alami karena Dia memelihara hati dan pikiran kita.

Damai sejahtera kita berasal dari keyakinan bahwa Tuhan mengasihi kita dan Dia tetap memegang kendali. Hanya Dialah yang menyediakan penghiburan yang memberikan ketenangan jiwa, yang memenuhi pikiran kita dengan pengharapan, dan yang memampukan kita berserah bahkan di tengah segala perubahan dan tantangan. —PFC

Bapa Surgawi, Engkau Mahabijaksana, Mahakuasa dan
Maha Pengasih. Di tengah semua ketidakpastian, tolonglah aku
bersandar pada kepastian tentang diri-Mu. Terima kasih karena
damai sejahtera-Mu akan menjaga hatiku. Aku percaya kepada-Mu.

Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya. —Yesaya 26:3

Memiliki Yesus

Selasa, 6 April 2010

Baca: Mazmur 66:1-15

Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau. —Ibrani 13:5

Di dalam sebuah ibadah penginjilan di Irlandia, pembicaranya menjelaskan apa artinya tinggal di dalam Kristus dan percaya sepenuh kepada-Nya di dalam setiap pencobaan. Ketika menyimpulkan khotbahnya, ia berulang kali mengatakan, “Ini berarti bahwa dalam keadaan apa pun, Anda bisa terus berkata, ‘Karena itulah, aku memiliki Yesus.’”

Kemudian, kesempatan untuk bersaksi diberikan pada ibadah itu. Seorang wanita muda berkata, “Beberapa menit yang lalu, aku menerima telegram ini, yang berbunyi, ‘Ibu sakit parah; pulang dengan kereta secepatnya.’ Saat membaca pesan ini, aku sadar bahwa khotbah yang disampaikan pada malam ini ditujukan bagiku. Hatiku melonjak dan berkata, ‘Karena itulah, aku memiliki Yesus.’ Seketika itu juga rasa damai dan kekuatan memenuhi jiwaku.”

Sekitar tiga atau empat minggu kemudian, penginjil tersebut menerima surat dari wanita yang memberikan kesaksian tadi, yang mengatakan, “Terima kasih sekali lagi untuk khotbah yang Anda sampaikan hari itu. Hidupku kini terus-menerus menjadi mazmur kemenangan yang tiada henti, karena aku telah menyadari bahwa apa pun yang terjadi di dalam kehidupan, oleh karena itulah, aku memiliki Yesus.” Wanita yang percaya kepada Kristus ini telah menemukan di dalam Juruselamatnya, seorang Pribadi yang akan bersamanya untuk “menempuh api dan air,” dan “mengeluarkannya sehingga bebas” (Mzm. 66:12).

Jika Anda mengalami pencobaan atau penderitaan besar, ingatlah—karena itulah, Anda memiliki Yesus! —HGB

Aku temukan tempat perlindungan di dalam Yesus,
Aku bersembunyi di dalam kasih-Nya yang ilahi;
Dia sepenuhnya memahami kerinduan jiwaku yang terdalam
Dengan lembut Dia membisikkan, “Kau milik-Ku.” —Christiansen

Jika di tiap situasi kita tinggal di dalam Kristus,
kita akan merasakan Kristus tinggal bersama kita di tiap situasi.