Posts

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Oleh Christine Emmert
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Learned The Secret To Time Management

Hari sudah terlampau siang. Aku masih duduk di depan komputerku, mengedit sebuah artikel yang harus segera ditayangkan. Anak lelakiku duduk di lantai dan bermain mobil-mobilan dengan berisik—sebuah pengingat bagiku kalau siang itu aku tidak punya waktu untuk bermain dengannya. Selain itu, aku pun masih harus memasak makan malam sebelum suami dan saudariku pulang ke rumah.

Tapi, bukannya memperhatikan kata-kata dan tanda baca di artikel, atau mengerjakan aktivitas lain yang harus segera kukerjakan, aku malah mencari tahu buku-buku apa yang baru temanku baca di postingannya di media sosial.

Itu terjadi ketika sebuah notifikasi muncul di layarku, memberitahuku kalau setahun lalu aku telah membaca 19 buku.

Sebagai seorang kutu buku, angka itu membuatku merasa tidak percaya. Biasanya aku bisa membaca buku dua kali lipat dari angka itu. Mengapa sangat sedikit buku yang kubaca saat ini?

Selama beberapa minggu setelahnya, pertanyaan ini menggantung di benakku. Aku mulai memerhatikan bagaimana caraku meluangkan waktuku. Tidak butuh lama untuku menyadari bahwa pekerjaanku mengambil jatah waktu lebih lama daripada seharusnya. Bukan karena beban kerja yang meningkat tajam, tapi karena aku sering mengambil waktu “break” untuk scrolling media sosial atau situs berita daripada berfokus ke pekerjaanku. Waktu-waktu jeda ini seringkali memakan waktu lebih lama dari yang kurencanakan, dan membuatku jadi lupa akan pekerjaan utamaku.

Menanggapi fakta yang baru kutemukan ini, aku memutuskan untuk membuat pagi hariku lebih bermakna. Aku pergi ke kedai kopi yang mahal di kotaku, dan memikirkan cara terbaik apa yang bisa kulakukan untuk ‘menyelamatkan’ waktu-waktuku di masa depan. Aku merasa senang dengan langkah-langkah praktis yang telah kupikirkan. Lalu, untuk mengingatkan diriku tentang langkah-langkah yang bisa ditindaklanjuti ini, aku menuliskannya di sticky notes, dan menempelnya di komputer.

Hari pertama, strategi ini berhasil. Aku bisa menggunakan waktuku dengan maksimal. Tapi, seminggu berselang, aku kembali berjuang melawan kebiasaan lamaku. Aku lupa untuk mengendalikan waktuku atau menggunakan waktu jedaku jauh dari komputer. Aku tergoda dan mulai menjelajahi Internet ketika seharusnya aku mengerjakan beberapa riset untuk pekerjaanku. Ada beberapa hari yang kurasa aku bisa kembali menjalankan manajemen waktuku, tapi di hari-hari lainnya, kupikir aku tidak jauh lebih baik dari sebelumnya.

Tak peduli seberapa keras aku berjuang, rasanya aku masih menjadi hamba dari tiap-tiap distraksi yang muncul. Dan segala perenungan dan langkah-langkah praktis yang sudah kususun tidak banyak membuatku berubah.

Hingga akhirnya, ketika aku membaca Alkitabku, aku membuka Mazmur 51. Pasal ini bercerita tentang mazmur pertobatan Daud setelah dia berbuat zinah dan membunuh (2 Samuel 11-12). Ada satu ayat yang menyentakku:

“Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!” (Mazmur 51:12).

Apa yang menegurku adalah ketika menyesali perbuatannya dan memperbaiki diri, Daud tidak fokus kepada bagaimana memperbaiki dirinya sendiri yang berdosa. Dia tidak mengucap janji untuk menjadi lebih baik di masa depan. Daud berbalik kepada Tuhan dan belas kasihan-Nya, dan meminta Tuhan untuk memperbarui hatinya.

Dalam perjuanganku mengatur manajemen waktu yang baik, aku telah menuliskan tujuan-tujuan dan langkah-langkah yang bisa kulakukan—mempercayai kekuatanku sendiri untuk membuat perubahan dan menjadikan pekerjaanku berhasil. Tapi, tak ada satupun yang berhasil! Aku melupakan apa yang Daud ketahui dengan sangat baik—Tuhan tidak hanya mampu mengampuni, tetapi Dia juga mampu untuk menjadikan hati kita murni dan memperbaruinya dengan roh yang teguh!

Siang itu, aku menempelkan sticky notes yang baru di depan komputerku. Bukan catatan tentang langkah-langkah praktis yang kupikir sendiri, aku hanya menuliskan ayat Mazmur 51:12, dan menjadikan ayat itu sebagai doa pribadiku. Ketika aku duduk untuk bekerja, ketika aku menikmati waktu jeda, dan bahkan ketika aku tergoda untuk terlarut dalam Internet, aku memandang kepada catatan kecil itu dan berdoa, “Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!”

Kamu tahu bagaimana dampaknya? Siang itu pun terasa luar biasa. Aku bisa bekerja dengan fokus, sesuatu yang jarang terjadi di tahun-tahun belakangan. Dan, bukan hanya aku bisa mengerjakan pekerjaanku secara cepat, tapi juga dengan baik. Aku bahkan punya waktu lebih untuk mencuci baju, merapikan rumah lebih rapi daripada biasanya, dan mengajak anakku bermain—semua itu kulakukan sebelum aku memasak makan malam untuk keluargaku.

Dua minggu pun berlalu setelah hari itu. Ada hari-hari di mana aku merasa kurang fokus dan bekerja lebih lama dari waktu yang seharusnya. Kadang pula makan malam kusajikan sedikit terlambat. Tapi, secara keseluruhan, aku merasa punya waktu lebih dan pekerjaan yang kulakukan hasilnya jauh lebih baik.

Yang menjadi inti adalah, aku telah mencoba mengatur waktuku dengan kekuatanku sendiri, dan aku gagal. Ketika aku menyadari bahwa aku tidak bisa melakukannya sendiri, aku memohon pertolongan Tuhan. Aku berdoa agar Dia mengubah hatiku supaya aku tidak dengan mudah terdistraksi, dan bisa lebih fokus pada pekerjaanku. Aku memohon Tuhan untuk memampukanku melakukan apa yang kuanggap sebagai kemustahilan untuk kucapai.

Dan, Tuhan dengan murah hati menjawab doaku. Dengan anugerah-Nya saja, aku dimampukan-Nya untuk bekerja dengan baik dan bertanggung jawab atas waktu-waktuku.

Pengalamanku ini adalah sebuah pengingat bahwa Tuhan mampu mengubah hati. Dia menciptakan hati yang murni untuk Daud. Dia telah memperbarui hatiku di masa lalu, dan melakukannya kembali secara ajaib di dalam dua minggu yang lalu. Dan aku tahu, Tuhan akan terus memperbarui hatiku di masa depan, menolongku untuk mengalahkan dosa-dosa dan kesalahanku ketika aku tak dapat melakukannya. Hingga suatu hari, aku kelak akan menghadap-Nya dengan penuh kegembiraan dan tak bernoda di hadapan kemuliaan-Nya (Yudas 1:24).

Temanku, saat ini adakah suatu hal yang sedang kamu gumulkan dalam hidupmu? Adakah tujuanmu yang ingin kamu capai namun kamu belum mampu mewujudkannya? Mohonlah supaya Tuhan memberimu hati yang baru.

Perubahan mungkin tidak terjadi dalam semalam. Beberapa doaku ada yang dijawab Tuhan setelah bertahun-tahun. Tapi, meskipun di dalam masa kita menanti, ktia dapat memohon Tuhan untuk menolong kita mempercayai-Nya dan bersandar pada kekuatan-Nya. Bahkan ketika kita tersandung dan jatuh lagi, kita tahu bahwa Tuhan terus membentuk dan menguduskan kita. Ketika kita terus berdoa dan percaya, Tuhan memperbarui kita dari hari ke hari. Tuhan sedang bekerja untuk mengubah hati. Tuhan ingin memberikan kita hati yang baru dan Dia pun memperbarui roh kita; yang perlu kita lakukan adalah meminta kepada-Nya.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengizinkanku untuk Menunggu dalam Masa Mencari Pekerjaan

Aku melamar kerja ke banyak perusahaan, menanti, dan berharap hingga akhirna mendapatkan pekerjaan. Mungkin kisah seperti ini terdengar klise, tapi ada pelajaran berharga yang Tuhan ajarkan kepadaku.

Ketika Perkataan “Aku Dukung Dalam Doa Ya” Terasa Tidak Berdampak Apa-apa

Oleh Christine, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When “I’m Praying For You” Feels Hollow

Pernahkah kamu berjumpa dengan seorang teman yang sedang mengalami masalah tapi kamu tidak bisa melakukan apapun untuk menolongnya?

Aku punya seorang teman baik yang menderita banyak masalah kesehatan. Hal terbaik yang bisa kulakukan adalah memeluk dan mengatakan padanya bahwa Tuhan memegang kendali atas hidupnya. Selain itu, dia juga bergumul dengan masalah keuangan. Keluarganya tidak punya pemasukan yang tetap. Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka membayar biaya pengobatannya.

Sekarang setelah aku pindah ke luar negeri, aku tidak bisa lagi memeluknya ketika dia mengalami hari yang buruk. Sepertinya satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah berkata padanya, “Aku dukung kamu dalam doa ya.”

Apakah perkataan itu terasa kosong buatmu? Kadang aku pun merasa begitu. Aku mengatakan “Aku dukung kamu dalam doa ya” ketika aku tidak bisa melakukan hal-hal lainnya.

Tapi aku belajar mengingatkan diriku bahwa berdoa untuk seseorang sesungguhnya adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan untuk mereka. Dengan berdoa, aku menyerahkan segala yang aku dan temanku butuhkan di hadapan Tuhan kita yang Mahakuasa. Mencari pertolongan Tuhan dalam kehidupan seseorang adalah sesuatu yang jauh lebih efektif daripada sekadar mengajak makan malam ataupun memeluknya.

Seiring aku belajar mendoakan orang lain, aku semakin menyadari bahwa doa itu bukanlah pertolongan ala kadarnya yang bisa aku berikan kepada temanku.

Ketika Yesus berdoa sebelum kematian-Nya, “Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah” (Lukas 22:44). Ketika Paulus menulis suratnya kepada gereja di Roma, dia meminta mereka untuk “bergumul bersama-sama aku dalam doa kepada Allah untuk aku” (Roma 15:30).

Berdoa itu bisa jadi sebuah perjuangan yang sulit. Ketika dihadapkan dengan masalah-masalah kehidupan, naluri pertama kita adalah kita akan melakukan sesuatu untuk mengatasinya, bukan meluangkan waktu kita di dalam ruangan yang tenang untuk memohon pada Tuhan. Berdoa dan bertindak itu diperlukan, tapi mudah buat kita untuk melupakan yang mana yang lebih efektif.

Ketika aku belajar lebih banyak tentang berdoa, aku lebih dan lebih yakin lagi bahwa berdoa adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan di dalam segala situasi.

Di dalam doa, aku mengakui ketidakberdayaanku

Ketika seorang teman mengalami kesulitan, aku ingin menolongnya. Mungkin aku bisa menawarkan diriku untuk meluangkan waktu bersama mereka. Mungkin aku bisa memasak makanan untuk mereka atau menawarkan diriku untuk menolong hal lainnya. Atau, paling tidak aku mungkin mengirimi mereka pesan singkat yang isinya memberitahu mereka kalau aku juga memikirkan tentang mereka.

Kadang aku mencoba untuk menyelesaikan masalah mereka—aku memberi temanku buku yang bagus, meluangkan beberapa jam untuk mengobrol tentang masalah mereka, atau sekadar berbasa-basi supaya mereka sedikit lupa akan masalahnya…Tapi, meskipun penting untuk mengasihi teman-temanku dan berjalan bersama mereka di tengah masa-masa sulit yang mereka lalui, aku perlu menyadari bahwa aku tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah mereka. Aku sendiri tidak dapat menolong mereka pulih dari pedihnya perpisahan, menyembuhkan luka akibat dukacita dalam keluarga, atau memulihkan kesehatan mereka.

Itulah sebabnya mengapa aku berdoa—aku perlu mengakui ketidakberdayaanku untuk menolong teman-temanku atau bahkan diriku sendiri. Mungkin aku punya maksud yang baik, tapi faktanya adalah aku bukanlah seorang penyembuh. Ketika aku berdoa, aku menyatakan dengan imanku bahwa Tuhan akan menyembuhkan temanku seturut dengan waktu-Nya, dengan cara-Nya. Tanggung jawabku adalah untuk mengasihi mereka dan berjalan bersama mereka. Selebihnya harus aku serahkan kepada Tuhan, yang tentu dapat melakukan segalanya jauh lebih baik daripada aku.

Di dalam doa, aku mengakui kedaulatan Tuhan

Tuhan itu berdaulat. Tidak ada satu hal pun yang terjadi di luar kehendak-Nya (Matius 10:29). Ketika hal buruk terjadi di dalam kehidupan kita atau teman kita, kita perlu menyadari bahwa Tuhan turut bekerja. Kita berdoa dan percaya janji Tuhan bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28). Ketika dihadapkan dengan tragedi, kita dapat berdoa dan mengakui keyakinan kita akan kebaikan Tuhan, bahkan meskipun hati kita hancur berkeping-keping.

Ketika seorang teman divonis menderita penyakit parah, atau ketika seorang ibu muda mengalami keguguran, atau ketika seorang anak meninggal dalam kecelakaan mobil… Sejujurnya, adakah sesuatu yang bisa kita lakukan untuk membuat keadaan itu lebih ringan ditanggung? Kita melakukan yang terbaik dengan memberikan kehadiran kita untuk berbagi duka. Tapi, segala penderitaan itu tidak akan berakhir sia-sia, sebab kita memiliki Kristus yang telah dibangkitkan dari kematian (1 Korintus 15:13-14).

Tidaklah mudah untuk mengakui kedaulatan Tuhan ketika sesuatu berjalan tidak seturut keinginan kita. Tidaklah mudah untuk mempercayai kebaikan Tuhan ketika hidup kita hancur berantakan. Tapi, untuk itulah mengapa kita berdoa. Kita berdoa meskipun kita menangis dalam kekhawatiran dan kesakitan. Kita berdoa pada titik di mana kita percaya bahwa bagaimanapun caranya, Tuhan kita akan membuat sesuatu yang baik dari kehidupan kita yang hancur.

Di dalam doa, aku belajar cara terbaik untuk menolong orang-orang di sekitarku

Ketika aku berdoa untuk seseorang, aku belajar untuk melihat mereka melalui cara pandang Tuhan. Doa itu bukan sekadar aku berbicara di ruangan yang gelap, tapi aku berbicara kepada Tuhan! Ketika aku berdoa dengan tulus, aku membawa permohonanku kepada Tuhan yang Mahakuasa, dan mempercayai bahwa Dia akan bertindak.

Aku sering memulai doaku dengan memohon supaya Tuhan menolongku untuk berdoa. Aku tidak selalu tahu cara terbaik untuk berdoa buat seseorang. Jika doa menurut isi hatiku sendiri, doaku mungkin akan terdengar seperti wishlist di hari Natal: “Pemulihan, keuangan yang dicukupkan, dokter yang bijaksana, dan sebagainya.” Tidak ada yang salah dengan hal itu, tapi itu bukanlah percakapan yang baik dengan Tuhan yang Mahakuasa. Tuhan telah menjanjikan penolong ketika kita tidak tahu bagaimana berdoa (Roma 8:26), jadi aku memanfaatkan sepenuhnya janji itu dengan meminta bantuan dari Tuhan.

Tuhan tidak hanya mendengar doaku, tetapi Dia juga membimbingku dalam doa-doaku sehingga aku bisa menyampaikan permohonan-permohonanku pada-Nya. Tuhan mengasihi teman-temanku dan keluargaku jauh lebih dalam daripada yang bisa kubayangkan. Tuhan mengetahui segala kebutuhan mereka, baik besar maupun kecil. Seiring aku semakin menyadari ini, aku mendapati diriku lebih sedikit berdoa mengenai kesembuhan fisik atau pemulihan keuangan, tapi aku berdoa lebih supaya Tuhan memberi mereka penghiburan yang sejati, supaya Tuhan mengingatkan temanku dan aku juga bahwa Dia memegang kendali, supaya Tuhan menunjukkan penyelenggaraan-Nya yang ajaib di dalam situasi yang mereka tengah hadapi. Ketika aku diingatkan betapa Tuhan mengasihi teman-temanku—bahwa Tuhan memberikan hidup-Nya bagi mereka!—aku bisa berdoa dengan penuh keyakinan bahwa kehendak-Nya akan dinyatakan.

Hasilnya, aku percaya bahwa Tuhan bekerja melalui doa-doaku. Ketika aku membuka hatiku di dalam doa, aku belajar bagaimana mengasihi sesamaku seperti Tuhan mengasihi mereka, dan juga ketika muncul keinginanku untuk menjadi penolong bagi orang lain, aku bisa menanggapinya dengan cara yang lebih tepat.

Di saat aku ingin menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh orang-orang di sekitarku, aku diingatkan bahwa berdoa adalah cara terbaik yang bisa kulakukan untuk mereka.

Dunia kita telah jatuh ke dalam dosa. Kita diingatkan akan hal ini setiap kali kita mendengar atau membaca berita, juga setiap kali kita mendapati orang yang kita kasihi mengalami penderitaan. Setiap kali kita merasa kewalahan karena masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan kita, marilah kita mengingat hal ini: Hanya Tuhan yang bisa memberikan damai sejahtera yang melampaui segala akal. Hanya Dia yang dapat menghapus setiap tetes air mata. Dan, ketika kita berdoa, kita berpegang pada janji-Nya dan mendapatkan penghiburan bahwa dalam segala keadaan, kehendak-Nya akan dinyatakan dalam kehidupan kita (Yesaya 46:10).

Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibrani 4:16).

Baca Juga:

Belajar Melihat Hidup dari Kacamata Orang Lain

Tuhan mengingatkanku bahwa hidup ini terlalu sayang untuk dijalani dengan hanya memperhatikan kepentingan diriku semata. Banyak kesempatan-kesempatan emas yang dapat kuambil untuk memberkati sesama.

Kapan Terakhir Kali Kamu Menikmati Waktu Luangmu?

Oleh Christine Emmert, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Did You Last Stop For A Coffee Break?

Satu setengah bulan yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat dari seorang temanku yang baru saja menikah dan sedang menjalani pendidikan pascasarjana. Dia bercerita padaku bahwa hidupnya sibuk, dan dia bertanya tentang bagaimana aku dan suamiku mengelola waktu di masa-masa awal pernikahan kami.

Sebagai seorang yang baru menikah selama tiga tahun, aku memberinya beberapa nasihat. Jika dirangkum, nasihat tersebut berbicara tentang dua hal: meluangkan waktu bersama Tuhan dan juga bersama pasangan. Sejujurnya, saat itu kupikir aku bukanlah orang yang paling tepat untuk dimintai nasihat. Suamiku bekerja penuh waktu, selain itu dia juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya, dan kami pun sedang dalam proses untuk berpindah ke sebuah negara baru yang letaknya berada di seberang samudera Pasifik.

Dalam proses pengambilan keputusan ini, aku dan suamiku memikirkan dan mendoakan apakah kami benar-benar harus pindah atau tidak. Berbekal kemampuan dan passion yang kami miliki, kami rasa kepindahan kami ke tempat yang sebenarnya merupakan kampung halamanku itu akan membawa kebaikan bagi keluarga kami, juga memberi kami kesempatan untuk memberitakan Kabar Baik.

Jadi, selama beberapa minggu aku menyiapkan banyak hal, mulai dari berkemas, membersihkan rumah, juga sambil menjaga anakku yang baru berusia dua tahun. Waktu untuk saat teduh bersama Tuhan hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Di tengah kehidupan yang begitu sibuk inilah kami jadi mudah lupa akan apa yang menjadi alasan awal dari keputusan kami untuk pindah.

Aku dan suamiku jadi mudah kesal terhadap satu sama lain. Aku merasa lebih banyak melakukan pekerjaan dibandingkan dengannya. Sedangkan dari sisinya, dia merasakan hal yang sebaliknya. Anakku melihat orang-orang di rumah sangat sibuk untuk menyiapkan kepindahan kami. Mereka mengambil rak bukunya beserta segala perabot yang ada di rumah, dan saat dia mengajak kami bermain, kami menjawabnya: “Aku tidak punya waktu untuk bermain saat ini.” Tak heran bila dia jadi lebih sering ngambek daripada biasanya.

Sampai pada suatu titik, kami merasa marah karena para pegawai yang seharusnya menolong proses kepindahan kami ternyata tidak banyak menolong. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan menikmati coffee-break. Anak kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya, dan inilah saatnya untuk kami berdua melepas penat di sebuah kedai kopi untuk menghubungkan kembali relasi kami yang sempat renggang.

Ketika kami membicarakan tentang satu per satu hal yang membuat kami khawatir, kami sadar bahwa sesungguhnya hal-hal yang kami khawatirkan itu tidaklah penting. Kami mampu membayar banyak biaya tagihan tanpa perlu kehilangan akses internet. Lalu, jika seandainya kami menjual mobil dan harga yang kami dapatkan ternyata lebih rendah dari yang kami harapkan, hal itu pun tetap tidak akan mengganggu rencana-rencana kami yang lain. Bahkan, jika hal yang paling buruk terjadi, kami bisa membuang rak-rak buku yang kami miliki daripada harus repot-repot membawanya ke toko barang bekas untuk dijual.

Ketika aku dan suamiku meluangkan waktu bersama untuk mengintrospeksi diri, kami menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kami perlukan. Kami memiliki uang di bank yang bahkan jumlahnya melebihi yang kami harapkan. Ketika kami pindah nanti kami sudah memiliki tempat tinggal, dan kami akan tinggal bersama dengan keluarga yang artinya kami tidak perlu membayar uang sewa. Dan, kami berdua pun punya begitu banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baru yang punya prospek bagus. Pada akhirnya, hal-hal lainnya hanyalah perkara remeh-temeh yang seharusnya tidak memusingkan kami.

Saat aku memikirkan kembali apa yang menjadi alasan kami untuk pindah ke negara lain, kami mendapati bahwa kami banyak mendapat peneguhan dari banyak saudara seiman dalam Kristus. Kami berdua percaya bahwa sebagai sebuah keluarga, kami sudah melakukan hal yang benar. Keputusan kami untuk pindah ke negara lain adalah demi kepentingan keluarga, dan sangat aneh bila ini malah jadi penyebab keributan di tengah-tengah keluarga kami.

Setelah menghabiskan kopi, kami pun berdoa, memohon pengampunan dari Tuhan atas kesalahan kami, bersyukur atas pemeliharaan-Nya yang luar biasa, dan meminta pimpinan-Nya saat kami melangkah maju.

Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali akrab dengan suamiku. Suamiku menyadari dan meneguhkan pekerjaan yang kulakukan, dan aku pun melakukan hal yang sama untuk setiap pengorbanan yang dia berikan bagi kami sekeluarga. Kami berjanji untuk tidak mengabaikan berdoa dan membaca firman Tuhan. Kami juga mendedikasikan waktu kami untuk fokus bermain bersama anak kami sekalipun kami hanya punya sedikit waktu.

Meluangkan waktu sejenak untuk Tuhan, sesama, juga secangkir kopi

Ketika kami meluangkan waktu untuk menikmati waktu luang berupa coffee-break, sebenarnya itu tidak membuat daftar pekerjaan yang harus kami lakukan jadi selesai. Tapi, waktu luang ini sesungguhnya sangat baik bagi kami. Seperti nasihat yang pernah kuberikan kepada temanku yang baru menikah, bahwa sekalipun hidup berubah menjadi kacau, kita perlu meluangkan waktu untuk Tuhan dan pasangan kita.

Efesus 5:21 mengajar kita untuk saling merendahkan diri di hadapan satu sama lain di dalam takut akan Kristus. Ketika kita terlalu terpaku pada tuntutan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sulit rasanya bagi kita untuk bersikap rendah hati dan rela meluangkan waktu kita untuk orang lain. Menciptakan waktu luang di tengah jadwal yang padat dan sangat sibuk adalah suatu bentuk pengorbanan; dan tiap pengorbanan tentunya akan mendatangkan berkat tersendiri.

Alkitab juga berkata demikian:

“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’” (Ibrani 13:4-5).

Aku merasa stres karena memikirkan tentang kepindahan kami dan segala sesuatunya yang perlu aku selesaikan. Tidak semua hal yang kupikirkan itu memang bernilai, tapi kupikir kesemuanya itu adalah hal-hal yang harus kucapai sesuai dengan standar dunia. Tapi, kembali Tuhan berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Diperlukan iman yang sungguh-sungguh agar kami mampu menghargai pernikahan kami sekalipun hidup kami dipenuhi dengan kesibukan. Kami harus percaya bahwa Tuhan akan memelihara kami, sekalipun jika kami tidak mampu menyelesaikan semua hal yang ada di daftar pekerjaan kami, atau bahkan jika kami membuat kesalahan fatal atau melupakan sesuatu yang sangat penting. Kami harus percaya bahwa Tuhan tahu keterbatasan kami sebagai manusia dan Dia peduli akan setiap aktivitas kami, entah itu ketika kami meluangkan waktu sebatas satu atau dua saja untuk berkomunikasi bersama pasangan, menjalin relasi, melayani satu sama lain, juga ketika kami berusaha memenuhi kebutuhan emosional anak kami.

Pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan yang tak terlukiskan, kami dimampukan untuk melangkah. Kami memang belum sepenuhnya memahami bagaimana segala sesuatunya akan berjalan dengan baik atau tidak, tapi yang kami tahu bahwa Tuhan telah memberkati kami dengan teman-teman dan keluarga yang luar biasa. Tuhan mendorong kami untuk mengambil waktu luang yang berkualitas ketika kami memang benar-benar membutuhkannya.

Baca Juga:

Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Ketika hatiku disakiti, mudah bagiku untuk merasa kecewa dan terpuruk. Tapi, aku percaya segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karenanya, aku memilih untuk berdoa.