Posts

5 Cara untuk Menjaga Diri Tetap Berakar di dalam Firman Tuhan

Menjaga firman Tuhan untuk terus berakar di dalam kita tidaklah cukup hanya dengan membacanya. Kita perlu pertolongan Roh Kudus ketika melakukannya. Namun tak cukup sampai situ, kita juga perlu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari dan membagikannya juga pada orang lain.

Kiranya cara-cara berikut dapat menolongmu untuk tetap bertumbuh dan berakar dalam firman Tuhan 🤗

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today).

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Setia: Kualitas yang Langka?

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Ketika tulisan ini ditulis, berita soal perselingkuhan Adam Levine dan Reza Arap sedang menjadi trending topic di Twitter dan juga sosial media lainnya. Orang-orang di dunia maya ramai membicarakannya dan muncul beragam respons. Ada yang mulai meragukan kesetiaan pasangannya, ada juga yang mempertanyakan apakah masih ada laki-laki yang setia di dunia ini?

Sebagai seorang wanita yang menjalani masa single selama 12 tahun, mungkin aku dirasa kurang tepat untuk membicarakan perihal kesetiaan. Namun, aku memiliki kisah yang meneguhkanku bahwa kesetiaan adalah sebuah keputusan dan komitmen luhur yang seharusnya dimiliki oleh semua orang. Kesetiaan adalah kualitas diri, dan untuk menjadi seorang yang “setia” tidak perlu menunggu untuk memiliki pasangan terlebih dulu.

Aku berteman dengan laki-laki yang sudah memiliki pacar, mereka sedang menjalani hubungan jarak jauh (LDR). Ketika kami bekerja di kota yang sama, beberapa kali dia menawarkan bantuan untuk mengantar-jemputku untuk mengikuti kelompok pendalaman Alkitab bersama yang ada di kota tersebut. Bagi seseorang yang tidak memiliki kendaraan pribadi, aku sangat bersyukur dengan tawaran itu. Namun, ada kegelisahan dalam diriku. Karena aku tahu dia sudah berpacaran, aku khawatir pacarnya keberatan jika aku diantar jemput untuk pendalaman Alkitab bersama.

“Pacarmu tahu nggak, kalau kamu jemput aku?” tanyaku pada suatu hari ketika aku sedang dibonceng olehnya.

“Tahu, kok.”

Namun aku tetap gelisah, meski aku hanya menganggapnya seorang teman. Aku tidak ingin jadi orang yang oportunis, yang diuntungkan dengan diberi tebengan tetapi tak peduli dengan dampak di baliknya. Pergi berdua dengan teman lelakiku ini membuatku bertanya-tanya, bagaimana perasaan pacarnya: apakah dia akan cemburu?

Sesampainya di kos, aku mengirim pesan kepada pacar teman lelakiku itu. Kebetulan aku juga mengenalnya. Aku memberi tahu bahwa beberapa kali aku keluar dengan pacarnya untuk PA bersama dan bertanya apakah dia tidak keberatan akan hal tersebut.

Benar saja, ternyata mereka sempat bertengkar perihal pacarnya mengantar-jemputku beberapa kali. Aku meminta maaf kepadanya, karena sudah merepotkan dan membuatnya khawatir. Kemudian aku meyakinkan hati pacar temanku ini untuk percaya bahwa aku akan menjaga relasi pertemanan di antara kami bertiga. Aku menghormati hubungan pacaran mereka berdua.

Pengalamanku ini mengajariku bahwa perlu ada batasan ketika kita berelasi dengan seseorang yang sudah berpasangan, entah itu sudah menikah atau mungkin baru di tahap berpacaran. Bukan berarti kita tidak bisa berteman dengan mereka yang telah berpasangan, tetapi dalam tiap aktivitas kita, kita dapat mengomunikasikan batasan kita dengan jelas sehingga terbangun pengertian. Bagi yang sudah berpasangan, bukan berarti kita harus selalu meng-update apa pun aktivitas kita, tetapi kepada hal-hal yang berisiko disalahpahami, kita dapat membangun pengertian dan meyakinkan sang pasangan bahwa kita adalah sosok yang berkomitmen untuk setia. Dan, selalu minta tuntunan Allah agar berhikmat dalam mengambil tindakan.

Setia dimulai dari diri sendiri

Karena sebuah relasi adalah kesepakatan dari dua belah pihak, perselingkuhan yang kerap dituding murni sebagai ketidaksetiaan satu pihak mungkin tidak sepenuhnya akurat. Masing-masing punya andil di balik perilaku curang ini. Salah satu penelitian terbaru yang diterbitkan dalam Journal of Sex & Marital Therapy tahun 2021 menemukan bahwa ada delapan alasan utama mengapa seseorang selingkuh: kemarahan, menginginkan harga diri, kurangnya cinta, lemahnya komitmen, tidak adanya variasi, pengabaian, hasrat seksual, dan situasi-kondisi yang mendukung.

Alkitab pun menjunjung kesetiaan sebagai nilai yang luhur. Allah menunjukkan pada kita bahwa Dia setia (Ibrani 13:5), dan kita pun dipanggil untuk hidup di dalam-Nya agar hidup kita menghasilkan buah-buah roh yang salah satunya adalah kesetiaan (Galatia 5:22-23).

Buah roh berupa kesetiaan tidak muncul dengan tiba-tiba. Itu bisa muncul jika kita sebagai ranting terhubung pada pokok yang benar (Yohanes 15). Jika Kristus adalah pokok yang menjadi dasar kita, maka buah-buah roh dapat kita hasilkan. Artinya, kesetiaan adalah sebuah proses yang perlu diupayakan, dimulai dari hal-hal kecil dan tak selalu berkaitan dengan relasi romantis. Alkitab berkata barangsiapa setia dalam perkara kecil, ia juga akan setia dalam perkara besar (Lukas 16:10).

Bagiku yang sedang menjalani masa single, kesetiaan bisa kulatih dengan hidup jujur dan kudus di dalam Tuhan. Kesetiaan adalah komitmen luhur yang kita persembahkan bagi Allah, sang empunya hidup. Jadi, jika kepada Allah kita mampu bersikap setia, itu akan memudahkan kita untuk juga berlaku setia bagi sesama kita. Aku menghormati masa single-ku sebagai masa indah, yang kudus, dan berkenan bagi Allah, sehingga aku pun membangun batasan yang jelas dalam berelasi dengan orang-orang yang telah berpasangan. Firman Tuhan berkata bahwa kita perlu memiliki cara hidup yang baik, supaya pada akhirnya nama Tuhan dipermuliakan (1 Petrus 2:12). Kisah perselingkuhan Daud dan Batsyeba di Alkitab pun menunjukkan bahwa di hadapan Allah, perselingkuhan merupakan hal yang jahat dan perbuatan yang menghina Tuhan (2 Samuel 12:9).

Pada akhirnya, menjaga kekudusan dan kesetiaan bukan hanya karena kita mencintai pasangan hidup kita di dunia ini, tetapi karena kita mau menghormati Allah. Dia adalah Allah yang kudus dan setia, maka sebagai pribadi yang telah ditebus sudah sepatutnya kita menjalani hidup yang kudus dan setia serta tidak merusak hubungan yang dimiliki oleh pasangan lain dengan menjadi selingkuhan.

Di tengah dunia yang penuh dengan curiga, anak-anak Tuhan diundang untuk merayakan kesetiaan sehingga setiap orang dapat memuliakan Tuhan ketika melihat dan mengalaminya. Memelihara karakter yang setia dapat kita lakukan dengan terus melekat kepada Yesus, karena di luar Dia kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Merenungkan dan menjadi pelaku firman, bersedia untuk melayani dan dilayani dalam komunitas, mewujud-nyatakan kasih dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kiranya Allah yang adalah kasih itu memampukan kita untuk memiliki kualitas pribadi yang setia pertama-tama kepada-Nya, Kekasih jiwa kita. Serta menjadi teladan di dalam relasi kita dan menunjukkan kepada dunia bahwa kesetiaan bukanlah hal yang langka.

Soli Deo Gloria!

Bermain dengan Sukacita

Senin, 24 Juni 2019

Bermain dengan Sukacita

Baca: Galatia 5:22-26

5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.

5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

5:26 dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.

Buah Roh ialah: . . . sukacita. —Galatia 5:22

Bermain dengan Sukacita

Salah seorang putra kami, Brian, adalah pelatih bola basket di sebuah SMA. Suatu kali, saat timnya sedang berjuang dalam Turnamen Bola Basket Negara Bagian Washington, orang-orang yang mendukung mereka mengajukan pertanyaan, “Apakah kalian akan menjuarai turnamen tahun ini?” Pertanyaan itu membuat para pemain maupun pelatih merasa sangat terbebani, maka Brian kemudian menyemangati timnya dengan semboyan: “Bermain dengan sukacita!”

Saya teringat pada kata-kata perpisahan dari Rasul Paulus kepada para penatua di Efesus dalam salah satu terjemahan Alkitab: “sehingga aku dapat mengakhiri perlombaanku dengan sukacita” (Kis. 20:24 MILT). Paulus bertujuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan Tuhan Yesus kepadanya. Saya menjadikan kata-kata tersebut sebagai semboyan dan doa saya: “Kiranya aku dapat menjalani dan mengakhiri perlombaanku dengan sukacita.” Itu seperti yang dikatakan Brian, “Bermain dengan sukacita!” Puji syukur, tim yang dipimpin Brian akhirnya berhasil memenangi kejuaraan tahun itu.

Ada saja yang bisa membuat kita bersungut-sungut: kabar yang mencemaskan, tekanan hidup sehari-hari, atau masalah kesehatan. Meski demikian, Allah dapat memberi kita sukacita yang melampaui segala keadaan tersebut apabila kita memohon kepada-Nya. Kita dapat memiliki apa yang disebut Yesus, “sukacita-Ku” (Yoh. 15:11).

Sukacita adalah buah dari Roh Yesus (Gal. 5:22). Karena itu kita harus ingat setiap pagi untuk memohon kepada-Nya agar menolong kita: “Mampukan aku hidup bersukacita!” Penulis Richard Foster berkata, “Dengan berdoa, kita berubah. Ini anugerah yang luar biasa. Betapa baiknya Allah karena Dia menyediakan jalan bagi kita untuk hidup dipenuhi dengan . . . sukacita.” —David H. Roper

WAWASAN
Saat membaca Alkitab, penting bagi kita untuk membedakan apakah sang penulis sedang menuturkan apa yang sudah dilakukan Allah atau memberikan nasihat tentang apa yang harus kita perbuat. Dalam Galatia 5:22-23, rasul Paulus menyebutkan buah Roh, yang merupakan hasil dari pekerjaan Roh dalam hidup kita, bukan usaha kita. Namun, dalam ayat 25-26 ia mengatakan agar kita hidup “dipimpin oleh Roh.” Kata bahasa Yunani untuk “dipimpin” atau “berjalan menurut” (TL) memiliki makna “berbaris menurut pangkat militer; menata diri sesuai dengan kebajikan dan kesalehan; berjalan teratur.” Yang digambarkan di sini adalah pertumbuhan rohani yang berasal dari kerja tim. Buah yang tumbuh adalah tanggung jawab Roh Kudus, tetapi tugas kita adalah melihat apa yang sedang Roh Kudus kerjakan dalam hidup kita dan bersedia “dipimpin” oleh-Nya. Kita adalah peserta dalam pertumbuhan rohani kita, tetapi tidak bertanggung jawab sendirian untuk itu. —J.R. Hudberg

Apa yang menyebabkan kamu putus asa? Apa yang dapat memberi kamu sukacita?

Aku mengarahkan pandanganku hanya kepada-Mu, ya Allah. Aku sungguh bersyukur dapat mengandalkan kesetiaan-Mu. Bawalah aku ke dalam sukacita-Mu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 1-2; Kisah PARA RASUL 7:22-43

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Lemah Lembut Sekaligus Perkasa

Jumat, 8 Maret 2019

Lemah Lembut Sekaligus Perkasa

Baca: Yesaya 40:10-11

40:10 Lihat, itu Tuhan ALLAH, Ia datang dengan kekuatan dan dengan tangan-Nya Ia berkuasa. Lihat, mereka yang menjadi upah jerih payah-Nya ada bersama-sama Dia, dan mereka yang diperoleh-Nya berjalan di hadapan-Nya.

40:11 Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya; anak-anak domba dipangku-Nya, induk-induk domba dituntun-Nya dengan hati-hati.

Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. —Filipi 4:5

Daily Quotes ODB

Ketika wilayah pendudukan musuh di Belanda makin meluas, Anne Frank dan keluarganya menyiapkan diri lalu pindah ke tempat persembunyian untuk menghindari bahaya. Mereka bersembunyi selama dua tahun di masa Perang Dunia ke-2, sebelum akhirnya ditemukan dan dikirim ke kamp konsentrasi. Walaupun demikian, dalam catatannya yang kemudian diterbitkan sebagai buku terkenal berjudul Diary of a Young Girl, Anne menulis, “Untuk jangka panjang, senjata yang paling ampuh adalah kebaikan hati dan kelemahlembutan.”

Namun, kelemahlembutan bukan hal yang mudah saat kita berhadapan dengan dunia nyata.

Dalam Yesaya 40 kita melihat gambaran Allah yang lemah lembut sekaligus perkasa. Di ayat 11 kita membaca, “Seperti seorang gembala Ia menggembalakan kawanan ternak-Nya dan menghimpunkannya dengan tangan-Nya.” Namun, ayat itu muncul setelah yang ini, ”Lihat, itu Tuhan Allah, Ia datang dengan kekuatan dan dengan tangan-Nya Ia berkuasa” (ay.10). Berkuasa penuh, tetapi lemah lembut saat melindungi yang lemah.

Ingatlah juga pada Yesus, yang meraih cambuk dan mengayunkannya untuk membalikkan meja para penukar uang di Bait Allah, tetapi bersikap lemah lembut kepada anak-anak. Dia berkata-kata dengan keras untuk mengecam orang Farisi (Mat. 23) tetapi mengampuni seorang wanita yang membutuhkan belas kasihan-Nya yang lembut (Yoh. 8:1-11).

Memang ada saatnya kita harus bersikap tegas membela yang lemah dan menantang yang lain untuk memperjuangkan keadilan, tetapi kita juga perlu membiarkan “kebaikan hati [kita] diketahui semua orang” (Flp. 4:5). Dalam melayani Allah, terkadang menunjukkan hati yang lemah lembut kepada siapa saja yang membutuhkan pertolongan justru menjadi kekuatan kita yang terbesar. —Dave Branon

Bagaimana kamu mengupayakan keadilan dan belas kasihan dengan lembut tetapi tegas hari ini? Bagaimana Roh Kudus menolong kita agar lemah lembut dan perkasa?

Kelemahlembutan menolong kita menyatakan sikap tanpa menciptakan musuh.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 5-7; Markus 11:1-18

Wajah

Jumat, 8 Juni 2018

Wajah

Baca: Galatia 5:22-26

5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.

5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

5:26 dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.

Kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. . . . kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. —2 Korintus 3:18

Wajah

Ketika cucu kami, Sarah, masih kecil, ia berusaha menjelaskan kepada saya apa yang terjadi ketika seseorang meninggal: “Yang masuk surga itu cuma wajah kita, bukan tubuh kita. Di surga nanti kita punya tubuh baru, tetapi wajah kita tidak berubah.”

Tentu saja, konsep Sarah tentang keberadaan manusia dalam kekekalan itu masih pemikiran kanak-kanak. Namun sebenarnya, ia telah menangkap satu kebenaran yang penting, yaitu bahwa wajah kita, bisa dikatakan, merupakan cerminan kasatmata dari jiwa kita yang tak terlihat.

Ibu pernah mengatakan bahwa jika saya sering memasang raut wajah yang galak maka itu bisa menjadi tampang saya seumur hidup. Ibu memang bijak. Alis yang berkerut, mulut yang menyeringai, dan tatapan culas dari mata kita mungkin menunjukkan bahwa jiwa kita sedang merana. Sementara itu, meski keriput, kerut, dan perubahan fisik lainnya mulai menghiasi wajah kita, tetapi sorot mata yang teduh, raut wajah yang tenang, senyum yang hangat dan ramah bisa menandakan adanya hati yang telah diubahkan.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan terhadap wajah yang kita miliki sejak lahir. Namun, kita bisa melakukan sesuatu untuk bertumbuh menjadi pribadi yang kita inginkan. Kita dapat berdoa agar kita makin memiliki kerendahan hati, kesabaran, kebaikan, toleransi, rasa syukur, kerelaan mengampuni, damai sejahtera, dan kasih (Gal. 5:22-26).

Oleh anugerah Allah, dan pada waktu-Nya, kiranya hatimu dan saya bertumbuh semakin menyerupai Tuhan kita, dan keserupaan itu tecermin pada wajah kita seiring dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, seperti diungkapkan penyair Inggris, John Donne (1572-1631), kita bertambah tua “semakin indah hingga akhir hayat”. —David H. Roper

Tuhan Yesus, aku ingin semakin menyerupai-Mu dari hari ke hari. Tolonglah aku untuk rela dibentuk saat Engkau berkarya di dalam hatiku.

Tiada yang dapat menandingi keindahan hati yang penuh kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30-31; Yohanes 18:1-18

Lemah Lembut

Minggu, 17 Desember 2017

Lemah Lembut

Baca: Efesus 4:1-6

4:1 Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.

4:2 Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.

4:3 Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:

4:4 satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,

4:5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,

4:6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.

Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. —Efesus 4:2

Lemah Lembut

Masalah-masalah yang kita alami dalam hidup ini terkadang membuat kita mudah tersinggung dan lepas kendali. Namun, kita tidak patut membenarkan perilaku buruk tersebut karena akan menghancurkan hati orang-orang yang kita kasihi dan menyebabkan kesengsaraan kepada mereka yang ada di sekeliling kita. Kita gagal menjadi berkat bagi orang lain ketika perilaku kita tidak menyenangkan bagi mereka.

Perjanjian Baru memiliki istilah untuk sebuah sifat yang meluruskan sikap kita yang tidak menyenangkan, yaitu lemah lembut. Istilah tersebut menggambarkan kebaikan dan kemurahan hati dalam diri seseorang. Efesus 4:2 mengingatkan kita, “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.”

Lemah lembut berarti bersedia menerima keterbatasan dan kesulitan yang ada tanpa melampiaskan kejengkelan kita terhadap orang lain. Itu berarti menunjukkan rasa syukur atas perlakuan sesederhana apa pun yang kita terima dan menoleransi mereka yang tidak memperlakukan kita dengan baik. Itu berarti sabar terhadap orang yang menyusahkan—terutama anak-anak kecil yang berisik dan gaduh; karena bersikap baik kepada anak-anak merupakan ciri dari orang yang baik dan lemah lembut. Lemah lembut berarti tetap berbicara dengan tenang dan lembut saat dihasut. Itu dapat berarti mengambil sikap diam; karena ketenangan sering menjadi respons yang tepat terhadap kata-kata kasar.

Yesus itu “lemah lembut dan rendah hati” (Mat. 11:29). Jika kita memohon kepada-Nya, pada waktunya, Dia akan membentuk kita serupa gambar-Nya. George MacDonald berkata, “[Allah] tidak ingin mendengar dari [kita] sebuah nada yang menyinggung atau sepatah kata yang melukai hati orang lain . . . . Yesus lahir untuk menebus kita dari dosa tersebut, seperti juga dari dosa-dosa lainnya.” —David H. Roper

Tuhan, aku ingin menjadi orang yang lemah lembut. Tolonglah aku untuk bersikap baik dan ramah terhadap orang lain hari ini.

Sikap rendah hati di hadapan Allah membuat kita mau bersikap lemah lembut kepada orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Amos 7-9 dan Wahyu 8

Pakaian yang Sesuai Iklim

Rabu, 27 September 2017

Pakaian yang Sesuai Iklim

Baca: Kolose 3:8-17

3:8 Tetapi sekarang, buanglah semuanya ini, yaitu marah, geram, kejahatan, fitnah dan kata-kata kotor yang keluar dari mulutmu.

3:9 Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya,

3:10 dan telah mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya;

3:11 dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu.

3:12 Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran.

3:13 Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.

3:14 Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.

3:15 Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.

3:16 Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu.

3:17 Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.

Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. —Kolose 3:14

Pakaian yang Sesuai Iklim

Saat mencabut label harga dari selembar pakaian musim dingin yang baru saya beli, saya tersenyum membaca kalimat di bagian belakang label itu: “PERINGATAN: Produk inovatif ini akan membuatmu ingin berlama-lama main di luar.” Dengan mengenakan pakaian yang sesuai iklim, seseorang dapat bertahan hidup dan bahkan berkembang dalam iklim yang buruk dan berubah-ubah.

Prinsip yang sama berlaku bagi kerohanian kita. Sebagai pengikut Yesus, pakaian rohani untuk segala iklim telah ditentukan Tuhan bagi kita dalam firman-Nya, Alkitab. “Sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kol. 3:12-13).

Pakaian yang disediakan Allah—kemurahan, kerendahan hati, dan kelemahlembutan—memampukan kita untuk menghadapi permusuhan dan kritik dengan penuh kesabaran, pengampunan, dan kasih. Semua itu memberi kita kekuatan untuk bertahan di tengah badai kehidupan.

Ketika kita menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, baik di rumah, di sekolah, atau di tempat kerja, “pakaian” yang Allah mau kita kenakan akan melindungi kita dan memampukan kita untuk memberi pengaruh yang positif. “Di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (ay.14).

Pakaian yang sesuai dengan petunjuk Allah memang tidak mengubah iklim, tetapi akan menolong pemakainya untuk siap menghadapi iklim tersebut. —David McCasland

Bapa Surgawi, tolong aku untuk mengenakan pakaian kasih-Mu agar aku siap menghadapi apa pun yang terjadi dalam hidupku hari ini.

Kebaikan adalah pelumas yang mengurangi gesekan kita dengan sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 3-4 dan Galatia 6

Buah yang Melimpah

Selasa, 29 Agustus 2017

Buah yang Melimpah

Baca: Galatia 5:16-25

5:16 Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging.

5:17 Sebab keinginan daging berlawanan dengan keinginan Roh dan keinginan Roh berlawanan dengan keinginan daging—karena keduanya bertentangan—sehingga kamu setiap kali tidak melakukan apa yang kamu kehendaki.

5:18 Akan tetapi jikalau kamu memberi dirimu dipimpin oleh Roh, maka kamu tidak hidup di bawah hukum Taurat.

5:19 Perbuatan daging telah nyata, yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu,

5:20 penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah,

5:21 kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya. Terhadap semuanya itu kuperingatkan kamu—seperti yang telah kubuat dahulu—bahwa barangsiapa melakukan hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.

5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.

5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap. —Yohanes 15:16

Buah yang Melimpah

Selama musim semi dan musim panas, saya mengagumi buah buahan yang tumbuh di halaman tetangga kami. Pohon anggur yang mereka rawat merambati pagar dan menghasilkan banyak dompolan anggur. Ranting-ranting yang dipenuhi buah plum dan jeruk menjuntai dalam jangkauan tangan kami.

Meski kami tak mengelola tanah, menanam benih, menyirami, atau menyiangi rumput liar di taman, pasangan yang tinggal di sebelah rumah kami telah membagikan kelimpahan mereka kepada kami. Pasangan itu bertanggung jawab untuk memelihara tanaman mereka dan memungkinkan kami untuk bersukacita dengan sebagian dari panen mereka.

Buah-buahan dan pohon anggur di sebelah pagar kami mengingatkan tentang hasil panen lain yang menguntungkan saya dan orang-orang yang Allah tempatkan dalam hidup saya. Hasil panen itu adalah buah Roh.

Para pengikut Kristus diminta untuk mengklaim manfaat dari menjalani hidup oleh kuasa Roh Kudus (Gal. 5:16-21). Sama seperti benih kebenaran Allah bertumbuh di hati kita, Roh pun meningkatkan kemampuan kita untuk mengekspresikan “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (ay.22-23)

Setelah kita menyerahkan hidup kita kepada Yesus, kita seharusnya tidak dikendalikan lagi oleh kecenderungan kita yang egois (ay.24). Seiring waktu, Roh Kudus dapat mengubah pikiran, sikap, dan tindakan kita. Ketika kita bertumbuh dewasa di dalam Kristus, kita dapat memiliki sukacita tambahan saat kita mengasihi sesama dengan membagikan keuntungan dari pemberian Allah yang melimpah. —Xochitl Dixon

Tuhan, peliharalah buah Roh dalam hati dan pikiran kami sehingga sesama kami dapat menikmati keharuman di dalam dan melalui kehidupan kita.

Buah Roh mengubah kita sehingga kita dapat mempengaruhi kehidupan orang-orang di sekitar kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 126-128 dan 1 Korintus 10:19-33

Menghasilkan Buah yang Baik

Selasa, 28 Maret 2017

Menghasilkan Buah yang Baik

Baca: Mazmur 1:1-3

1:1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,

1:2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.

1:3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.

Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya. —Mazmur 1:3

Menghasilkan Buah yang Baik

Pemandangan yang terlihat dari jendela pesawat yang saya tumpangi sungguh mempesona: ladang gandum yang siap dituai dan kebun buah-buahan yang terbentang di antara dua gunung yang tandus. Di lembah itu terdapat sebuah sungai. Tanpa air sungai yang memberikan hidup itu, pohon-pohon di sekitarnya tidak akan dapat menghasilkan buah.

Sama seperti panen yang berlimpah tergantung pada ketersediaan sumber air bersih, kualitas “buah” dalam hidup saya— perkataan, perbuatan, dan perilaku saya— tergantung pada santapan rohani yang saya terima. Pemazmur menggambarkan hal itu dalam Mazmur 1: Orang “yang kesukaannya ialah Taurat Tuhan . . . [itu] seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya” (ay.1-3). Rasul Paulus menulis dalam Galatia 5 bahwa mereka yang hidup sesuai dengan pimpinan Roh akan mempunyai ciri-ciri “kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (ay.22-23).

Adakalanya pandangan saya terhadap keadaan yang saya alami menjadi suram, atau saya terus-menerus melakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak benar. Hidup saya tidak menghasilkan buah yang baik dan saya menyadari bahwa saya tidak lagi bersaat teduh untuk merenungkan firman Allah. Namun, ketika hari-hari saya berakar pada ketergantungan saya kepada Allah, saya pun akan menghasilkan buah yang baik. Kesabaran dan kelemahlembutan mewarnai interaksi saya dengan sesama, dan saya lebih mudah bersyukur daripada mengeluh.

Allah yang telah menyatakan diri-Nya kepada kita adalah sumber kekuatan, hikmat, sukacita, pengertian, dan ketenteraman kita (Mzm. 119:28,98,111,144,165). Ketika jiwa kita diresapi oleh firman yang mengarahkan kita kepada-Nya, buah karya Roh Allah akan muncul menjadi nyata dalam hidup kita. —Peter Chin, penulis tamu

Roh Allah hidup di dalam umat-Nya agar Dia dapat berkarya melalui diri mereka.

Bacaan Alkitab Setahun: Hakim-Hakim 4-6; Lukas 4:31-44

Artikel Terkait:

5 Hal Baru yang Kupelajari dari Kisah Orang Samaria yang Murah Hati

Apa yang kamu pelajari dari “Kisah Orang Samaria yang Murah Hati” yang terkenal itu? Biasanya kita akan mendengar nasihat untuk berbuat baik tanpa membeda-bedakan latar belakang orang yang ditolong. Namun, ketika Tri Setia Kristiyani membaca sendiri catatan Alkitab tentang kisah tersebut, ternyata ada banyak hal menarik yang bisa dipelajari.

Berikut 5 hal baru yang bisa dipelajari dari kisah orang Samaria yang murah hati.