Posts

Menjadi Bijaksana di Usia Muda

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kawula muda, pernahkah kamu diremehkan oleh orang lain—khususnya mereka yang lebih senior dari kamu—karena kamu masih muda? Kalau kamu pernah mengalaminya berarti kita sama, karena aku juga pernah mengalami bagaimana rasanya diremehkan saat aku memberikan nasihat kepada orang lain yang lebih senior dariku terkait keputusannya yang bertentangan dengan kehendak Tuhan.

Pengalamanku itu terjadi sekitar empat tahun yang lalu, saat itu aku menegur seorang senior karena keputusan dan tindakannya berselingkuh dengan orang lain yang bukan pasangannya, padahal dia sudah menikah. Empat tahun lalu aku belum menikah dan masih studi dan antara usiaku dengan senior itu terpaut cukup jauh. Nasihatku itu pun tidak diindahkannya. Bahkan, dia menyerangku dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, “kamu masih kecil, belum menikah, gak mungkin ngerti.”

Pengalaman ini sungguh menggelisahkanku. Seolah-olah masa muda berarti kebodohan, atau bahkan kebebalan. Di sisi lain, pengetahuan dan kebijaksanaan seolah-olah hanya milik orang tua. Namun, aku tidak menampik fakta bahwa ada anak muda yang mengisi waktu mudanya yang penuh energik dan gairah dengan hal-hal yang sia-sia, seperti kecanduan bermain game, shopping, dan kecanduan yang lain. Walau begitu, bukankah hal serupa dapat juga dilakukan oleh mereka yang dianggap senior atau tua? Lagipula, Alkitab jelas mengajarkan bahwa siapa pun punya peluang yang sama untuk melakukan dosa, bahkan dikatakan “Semua orang telah berbuat berdosa.” (Roma 3:23).

Kalau begitu, mungkinkah seorang muda memiliki kebijaksanaan? Atau, seperti pertanyaan retoris pemazmur di Mazmur 119:9, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai firman-Mu.” Ya, benar bahwa Allah dan firman-Nya adalah sumber kebijaksanaan atau hikmat manusia. Kita memperoleh kebijaksanaan bukan melalui pengalaman kita seperti yang banyak diajarkan oleh banyak orang, karena ada orang yang sudah mengalami atau punya banyak pengalaman pun tetap bisa jatuh lagi di kesalahan yang sama, karena dia tidak merenungkan pengalamannya itu di bawah terang firman Tuhan. Padahal, di Amsal 2:6 mengajarkan, “Karena Tuhanlah yang memberikan hikmat, dari mulut-Nya datang pengetahuan dan kepandaian.” Lalu, di Mazmur 19:7 dituliskan, “Taurat TUHAN itu sempurna, menyegarkan jiwa; peraturan TUHAN itu teguh, memberikan hikmat kepada orang yang tak berpengalaman.” Jadi, tanpa berelasi secara pribadi dengan Tuhan dan juga mengenal-Nya lewat Alkitab, kebijaksanaan hanyalah utopia bagi siapa pun, bahkan orang yang sudah tua sekalipun.

Amsal 1:7 juga mengajarkan kepada kita bahwa “Takut akan TUHAN adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Jadi, pengetahuan atau kebijaksanaan kita peroleh saat kita takut akan Tuhan, bukan karena kita merenungkan pengalaman kita sendiri. Takut akan Tuhan di sini bukan takut dalam pengertian negatif menjauhi karena menyeramkan, melainkan respek akan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah sebuah cara hidup anak-anak Tuhan di mana kita tahu bahwa kehendak dan perintah Tuhanlah yang harus kita utamakan dan lakukan, bukan keinginan kita. Kita tahu bahwa mengingini milik orang lain adalah salah (Keluaran 20:17), sekalipun hati kita sungguh mendambakannya.

Takut akan Tuhan berarti kita berani untuk tampil berbeda atau bahkan beroposisi dengan dosa dan kejahatan di dunia ini. Kita berani untuk mengatakan “ya” pada kebenaran, dan “tidak” pada dosa, meski kita dijauhi atau bahkan dimusuhi oleh orang-orang terdekat kita yang menghidupi dosa tersebut. Namun, bagi sesama orang percaya, kebijaksanaan yang kita hidupi dalam hidup sehari-hari tentu akan menjadi teladan bagi mereka. Itulah yang dipesankan oleh rasul Paulus kepada anak imannya yang bernama Timotius, “Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kesetiaanmu dan dalam kesucianmu.” (1 Timotius 4:12).

Kemudaan bukanlah masalah bagi kebijaksanaan, tapi dosa dan kesewenang-wenangan (atau bahasa Surabaya sak karepe dewe”) akan Tuhan itulah yang menjadikan manusia bodoh dan bebal. Oleh karena itu, aku mengajak kawula muda yang juga mengembara bersama di dunia ini untuk mengejar hikmat dari Tuhan dan melakukannya dalam hidup kita sehari-hari. Di satu sisi, kita bukan bagian dari dunia (not of the world), tapi di sisi lain kita berada di dunia (in the world). Aku berharap kebijaksanaan yang kita tunjukkan lewat perbuatan kasih dan keadilan terhadap sesama bukan hanya menjadi teladan bagi sesama orang percaya, tetapi juga menjadi terang bagi dunia ini, walau tak jarang dunia juga menolak kebijaksanaan yang kita tunjukkan dalam aksi nyata.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Arti Cukupmu = Cara Pandang Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

“Del, kamu punya uang kecil gak, itu ojek onlineku sudah nunggu didepan, bapaknya gak punya uang kembalian…”

Terdengar suara dari luar kamar kosku yang bukan lain adalah suara Ningsi, sahabatku yang paling sosialita. Sambil membukakan pintu, aku menjawabnya, “Itu dompetku, di atas meja. Kamu cek aja, lihat yang tulisannya uang jajan,” lalu kembali fokus dengan laporan di laptopku.

Setelah membayarkan uang ojol-nya, dia masuk dengan mata dan wajahnya yang menatapku keheranan.

“Del, aku baru tau dompetmu sampai ada rincian penggunaan uangnya, udah kayak ibu-ibu yang mau mikirin kredit KPR aja deh. Heran, masih ada ya zaman sekarang orang sedetail itu. Sejak kapan?”

Aku hanya tersenyum kecil, menatap kembali laporan yang belum selesai. Tapi wajahnya yang masih menatapku dengan penuh keheranan itu, membuatku berhenti sejenak.

“Nit, memangnya hanya ibu-ibu saja yang mesti memikirkan pentingnya penggunaan uang? Kita juga kali. Aku masih baru memulai sih, tapi aku rasa itu work di aku. Pengeluaranku bulan lalu benar-benar terkendali, sampai aku bisa nabung lebih dari bulan biasanya,” jawabku.

Kulihat wajahnya mulai menyiratkan sesuatu, pasti kali ini dia mau curhat kalo sudah begitu.

“Aku kalau udah bahas soal keuangan, kamu tau lah, aku pasti akan berujung dengan penyesalan saja. Pengen banget sih aku berubah, tapi kok sulit banget ya rasanya…” Suaranya mulai mengecil.

Ningsi adalah sahabatku selama aku menjadi mahasiswa. Dia baik, loyal, enak diajak cerita,  setia dan juga stylish banget. Secara strata ekonomi dia berasal dari keluarga menengah. Selama kuliah, orang tuanya tidak pernah memberikan uang bulanannya lewat dari batas seharusnya. Tapi dulu dia sering mengeluh merasa itu kurang, dan rupanya setelah bekerja dan mendapat upah yang menurutku lumayan, dia masih juga mengeluhkan hal yang sama.

“Kan yang mahal sebenarnya bukan biaya hidup, bestie. Tapi gaya hidup” kataku sambil duduk di sebelahnya. “Belum ada yang terlambat kok, justru kalo kamu sadar dan masih merasa menyesal, artinya kamu masih aware sama kondisimu, apalagi dengan berbagi begini. Aku rasa kita bisa belajar sama-sama lagi menata keuangan kita, kan masih banyak mimpi yang belum kita raih, ya gak?” Sambil memperkatakan itu, aku sadar betul itu kuperkatakan kepada diriku sendiri juga.

Bercerita begini, memang sering kali membuat kami nangis bareng-bareng, rangkul-rangkulan. Benar saja, wajahnya mulai seperti ingin meneteskan air mata.

“Kenapa ya Del, aku susah banget buat belajar taat dan berkomitmen sama apa yang udah aku janjikan ke diriku sendiri? Setiap bulan, aku pengen banget menabung, tapi aku selalu kalap dengan discount di aplikasi orange itu, apalagi kalo udah ketemu sama temen-temenku di tongkrongan, aku sering lupa diri udah menghabiskan uangku untuk makan-makan, atau sekedar melihat mode baru apa yang mereka gunakan agar bisa aku ikuti.”

Sambil merangkulnya, kukatakan, “Kamu tau kan Ning, pergaulan buruk merusak kebiasaan baik. Kita gak salah kok nongkrong dan punya banyak teman, tapi perlu juga lho sesekali mengevaluasi diri kita sendiri, bagaimana kualitas pertumbuhan diri kita dalam circle itu. Atau mungkin begini, kita akan selalu merasa tidak puas, kalau kita sendiri belum menetapkan standar puas dan cukup untuk diri kita sendiri.”

Kali ini dia bertanya sangat serius. “Kamu sendiri, apa standar puasmu menghadapi dunia zaman sekarang ini?”

“Hmm, sebenarnya aku benar-benar masih belajar sih ya, aku juga bukan tidak pernah seperti kamu, tapi sekarang aku benar-benar mulai mem-push diriku untuk selalu mau mencukupkan diri dengan apa yang ada dan itu sangat erat kaitannya dengan bagaimana hubunganku sama Tuhan, caraku memandang Tuhanlah yang mempengaruhi cara berpikirku, termasuk soal uang dan rasa cukup,” jawabku.

Ya, dulu juga aku pernah di posisi Ningsi, tapi aku bersyukur aku cepat ditangkap Tuhan untuk sadar. Awalnya mulai untuk menaati firman yang aku dengar, itu susah sekali. Keinginan daging untuk selalu ingin tampil sama dengan dunia ini sangat menarik, sampai sampai perihal mengelola keuangan ketika masih muda itu kurang penting. Perasaan “YOLO”, You Only Live Once itu sangat mempengaruhiku. Tapi rupanya itu salah, dan kita hanya akan tahu itu salah ketika mulai belajar mendengar dan merenungkan firman Tuhan dengan taat. Karena saat mengetahui Firman, kita kembali ke landasan kebenaran. Arti cukup yang sesungguhnya itu bukan soal kepuasaan kita terpenuhi ketika memiliki materi atau fisik yang sesuai standar dunia. Identitas diri kita ditentukan hanya oleh Tuhan saja.

“Gimana kalau kita buat plan mengelola keuangan kita bareng-bareng aja?” balasku lagi kemudian.

Yap, sambil sharing- sharing kami mulai mau saling mengingatkan, dan beberapa yang kami mau kerjakan adalah:

1. Mulai buat rincian pengeluaran setiap bulan

2. Mengurangi belanja dan nongkrong yang berlebihan

3. Belajar konsisten menabung walau sedikit

4. Bergaya sesuai keadaan

5. SALING MENGINGATKAN SATU SAMA LAIN

“Del, kayaknya selain aku belajar taat, yang kelima tugas berat kamu deh,” katanya sambil tertawa, menunjukkan kelegaan yang juga aku rasakan setelah sharing kami hari ini.

“Aku sih yes, kamu juga ya ke aku, jangan pikir aku selalu bisa konsisten dan udah pasti gak jatuh di area ini…” Begitulah percakapan dua orang generasi Z yang sering jatuh ini.

Hari ini aku sendiri sadar, Tuhan tidak pernah kehilangan cara mengingatkan kita melalui siapa saja. Sadar juga punya teman yang bisa diajak mau belajar itu penting. Jadi penting banget mengevaluasi circle pertemanan kita, dan yang paling utama HUBUNGAN DENGAN TUHAN YANG MEMBUAT KITA MENGERTI ARTI CUKUP YANG SEBENARNYA.

IBRANI 13:5: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman : “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Itung-itungan Soal Persembahan

Oleh Jessie

Sebagai seorang pedagang, topik keuangan merupakan topik yang sangat dekat di hati. Buatku, profesi ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk memberikan lebih. Sehingga, dengan terus terang, meskipun topik ini terasa dekat tapi juga agak menyebalkan untuk dibahas. Hehehe… Kenapa?

Apa yang kutahu dengan apa yang ingin dilakukan seringkali bentrok. Dalam kasusku, jiwa cinta Tuhan dan jiwa pelit sering beradu. Terasa berat untuk mengembalikan persembahan yang sesuai. Kasih sih kasih, tetapi sesuai atau tidaknya itulah yang selalu jadi pertanyaan besar. Saat memberi, kok rasanya sedikit banget, jadi ditambahkan. Tapi, setelah ditambahkan, kok kayaknya kebanyakan ya… jadinya dikurangi lagi. Agak kacau memang.

Ceritaku di atas hanyalah pengantar dari topik menarik yang akan kita gali bersama: tentang persembahan. Dalam kekristenan, memberi persembahan adalah bagian tak terpisahkan dari iman kita. Alkitab mencatat sejak zaman Perjanjian Lama, umat memberikan persembahan sebagai wujud syukur kepada Allah. Pada zaman modern, jenis persembahan yang kita kenal dalam peribadahan umumnya persembahan mingguan dan persepuluhan.

Konsep persepuluhan tertulis jelas dalam Perjanjian Lama bahwa 10% dari penghasilan kita sudah selayaknya dikembalikan untuk Tuhan. Nah, untuk jiwa pedagang sepertiku, 10% penghasilan ini nominalnya bisa dialokasikan untuk banyak hal. Jadi, mengembalikan 10% merupakan latihan rohani yang kugumulkan. Kesulitanku bukan dari sisi finansial, tetapi jiwa pedagang dalam diriku yang seringkali menuntutku untuk itungan. Untuk menyiasati ini, ada teman-temanku yang langsung mengatur settingan di banknya untuk langsung autodebet sepuluh persen ke kas persepuluhan gereja setiap bulannya. Katanya itu sangat membantu, “supaya gak mikir-mikir lagi atau berat hati sampai akhirnya tidak memberi.” Aku salut dengan mereka karena ini salah satu strategi mereka untuk memantapkan niatan hati.

Tapi, apakah 10% pada zaman sekarang adalah angka mutlak? Untuk menjawabnya, ada banyak teori dan penafsiran yang dapat dengan mudah kita jumpai di luar sana. Tapi secara sederhana, kurasa angka 10% yang jelas tertulis tidak bisa kita abaikan begitu saja. Namun, semuanya kembali kepada kondisi finansial kita. Aku percaya Tuhan tidak pernah melihat kuantitasnya, melainkan kualitas hati kita karena sesungguhnya, esensi dari persembahan yang kita berikan adalah sikap hati kita.

Ceritaku tentang jumlah persembahanku yang tidak sesuai karena urusan hati yang pelit memang sudah jadi pergumulan dosa dan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Seorang peneliti Alkitab bernama Angel Manuel Rodriguez menjabarkan beberapa poin dari apa yang disebut acceptable offering, atau artinya “persembahan yang layak”.

Persembahan yang layak bukan dilihat dari jumlah yang kita berikan, namun dari sikap hati saat memberi.

Yang pertama, persembahan yang layak harus disertai dengan self-offering, di mana si pemberi mau menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan (Lukas 21:3-4). Cerita dari janda yang memberikan dua peser mengilustrasikan hati seorang yang penuh kasih terhadap Tuhan dan ingin menyerahkan seluruh dirinya pada Kristus dengan seluruh uang (dua peser) yang dimilikinya. 

Yang kedua, persembahan yang layak itu dilakukan dengan iman akan penyertaan Tuhan yang selalu mencukupkan kita (2 Korintus 8:3).

Yang ketiga, persembahan diberikan atas bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Kalau kata pepatah, “Ngomong aja gak cukup, mana aksinya?” Nah, sama juga dalam konteks ini. Doa dan ucapan syukur kita juga harus ada aksinya. Salah satu contohnya adalah memberikan persembahan. Selain itu, poin ini juga mengingatkan kita bahwa persembahan yang kita berikan merupakan respons dari hati kita yang penuh dengan rasa syukur, bukan karena Tuhan yang butuh uang kita.

Yang keempat, persembahan itu disebut layak jika kita memberikan dengan penuh kerelaan hati, tidak dengan keberatan hati ataupun dengan paksaan (2 Korintus 9:7). Rasul Paulus mengajak orang Kristen untuk memberi dengan setia, tapi dengan catatan pemberian tersebut dilakukan dengan hati yang bersukacita.

Yang kelima, ini merupakan poin yang menurutku penting sekali dan sering dilupakan. Persembahan yang layak harus dilakukan dengan hati yang damai, damai dengan Tuhan dan sesama. Banyak dari kita datang setiap minggu ke gereja dengan pergumulan relasi, baik dengan Tuhan dan sesama kita. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Matius 5:23-24). Menjaga relasi yang baik dengan sesama kita juga merupakan kewajiban yang setara pentingnya dengan membawa persembahan kita kepada Tuhan.

Yang terakhir, Tuhan tidak ingin kita memberikan lebih dari kemampuan kita, sehingga jumlahnya tidak boleh didasari emosi sesaat, melainkan dengan konsistensi dan komitmen yang sudah kita perhitungkan di awal saat kita mulai memberi. Yang diberkati lebih diharapkan untuk memberi lebih, dan untuk yang lainnya, dianjurkan untuk memberi sesuai dengan kondisi finansial nya. Ingat bahwa Tuhan tidak pernah mewajibkan kita memberi melebihi kapasitas kita.

***

Untuk menutup artikel kali ini, aku ingin membagikan cerita lucu dari salah satu temanku yang juga seorang pengusaha. Boleh dikatakan, ia adalah seorang yang sangat giat pelayanan dan rajin sekali memberi. Ia bercerita bahwa ia pernah kelebihan satu nol saat menuliskan angka persepuluhannya. Karena ini sudah era digital, di mana semuanya tinggal dilaksanakan dengan satu klik saja, tahu-tahunya tulisan “m-Transfer BERHASIL” sudah muncul di layar. Ini bukan zaman kertas gir, yang kalau salah tulis, bisa disobek aja. Lebih satu nol ini tidak bisa dianggap remeh; karena akibatnya bisa fatal kalau lalai teliti. Karena kami teman-teman setianya yang baik hati, tentu kami menertawakan dia, apalagi mengingat bahwa kefatalan extra “0” ini merupakan uang persepuluhan, bukan persembahan mingguan. Saat kongkow, ia bercerita bahwa walau tidak sengaja, ia benar-benar merasakan berkat Tuhan yang senantiasa memeliharanya. Kami, teman-temannya pun melihat perkembangan usahanya yang terus meningkat drastis setiap bulannya dari bertambahnya karyawannya serta penjualannya. Tolong jangan disalah pahami cerita ini ya; persembahan bukan strategi kita agar mendapatkan uang lebih lagi dari Tuhan. Poinnya adalah, dengan motivasi yang benar dan kerelaan hati untuk memberi, Tuhan seringkali memberkati mereka yang memberikan dengan segenap hatinya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Berhadapan dengan Ekspektasi Orang Tua

Oleh Olivia E.H, Jakarta

Ketika kecil, aku suka menghibur diri dengan berbagai kisah mitologi Yunani di perpustakaan sekolah. Salah satu yang paling berkesan buatku adalah dongeng tentang Persephone dan Hades. Begini ceritanya: 

Persephone dikenal sebagai dewi musim semi, dia adalah putri dari Demeter, dewi pertanian. Dalam narasi mitologi paling mainstream dan klasik, dewa Hades selaku penguasa dunia bawah jatuh cinta pada kecantikan Persephone. Tanpa seizin Demeter, Hades menculik Persephone dan membawanya tinggal bersama di dunia bawah. 

Demeter sangat sedih dan marah karena kehilangan putrinya. Dia mencari Persephone ke seluruh dunia, tetapi tidak berhasil menemukannya. Karena kesedihannya, tanah-tanah menjadi tandus dan tak ada tumbuhan yang hidup. 

Melihat kesengsaraan yang timbul di bumi akibat kesedihan Demeter, akhirnya Hades mengizinkan Persephone kembali ke bumi selama setengah tahun yang melambangkan musim semi dan panen. 

Dongeng tentang Persephone di masa sekarang pun dimaknai ulang oleh beberapa seniman visual. Persephone tidak semata digambarkan sebagai damsel in distress alias korban pasif yang tiba-tiba saja diculik, tetapi dia dilihat sebagai sosok wanita yang berdaya dan bisa mengambil keputusannya sendiri. 

Dalam tafsiran para kreator modern, Demeter dianggap menaruh berbagai harapan dan idealismenya pada Persephone hingga sang putri pun muak dan memilih hidup di dunia bawah bersama Hades. Tapi, kok bisa ya? Bagaimana mungkin sosok dewi yang merepresentasikan musim semi bisa bahagia di antara orang mati?

Demeter yang berekspektasi tinggi berharap Persephone akan jadi “duplikat” dirinya. Ketika akhirnya Persephone hilang, Demeter sedih dan marah hingga nyaris membunuh satu bumi dengan tidak mau menumbuhkan apa pun.

***

Seru rasanya ya membahas cerita dongeng kuno. Tapi, di tulisan ini aku mau mengajakmu untuk melihat, memahami, dan bagaimana kita bisa menanggapi orang tua yang seringkali memaksakan ekspektasinya kepada anak-anak mereka. 

Aku lahir di keluarga yang bisa kukatakan banyak masalah. Suatu ketika saat aku SMP, aku akan pergi ke mall untuk jalan-jalan sekaligus photobox bareng teman sekelas. Rencana sudah matang dibuat, namun ketika aku akan berangkat, orang tuaku bertengkar di rumah. Di usia ketika aku mencari validasi diri, disuguhkan pemandangan keributan membuatku ingin cepat kabur. Kakakku yang tahu aku akan pergi main bersama teman, ikut mengomel: “Rumah lagi begini, kamu bisa jalan-jalan sama temen?! Batalin!” 

Kakakku yang usianya enam tahun di atasku punya harapan padaku untuk mengikuti jejak langkahnya menjadi “penjaga” keluarga. Padahal, aku lebih ingin menjadi “pengelana.” 

Di kesempatan berbeda, aku mulai belajar untuk mencernah ekspektasi-ekspektasi lain. Orang tuaku berharap aku jadi anak yang tidak menyusahkan, atau melipur kekecewaan mereka akan pernikahannya. Kakakku sering berkata betapa ia bahagia dengan kehadiranku sebagai adik, karena ia berharap mendapat teman setim untuk menghadapi orang tua. 

Seiring berjalannya waktu, ekspektasi bergulir. Ketika aku bekerja kantoran, orang tuaku menganggapnya tidak keren karena tidak jadi pengusaha. Ketika aku merintis usaha sendiri, dibanding-bandingkan terus hasilnya dengan gaji orang kantoran. Selain urusan kerja, orang tuaku juga menuntutku untuk rajin dan aktif di gereja yang harus sealiran dengannya. Bahkan urusan selera makan dan hobi olahraga pun aku dipaksa untuk sama seperti mereka.

Ekspektasi-ekspektasi yang menuntut itu mendorongku bertemu dengan konselor. Di satu sesi konselingku, dia berkata, “Kebahagiaan keluargamu bukan tanggung jawabmu. Kamu tahu itu, kan? Kebahagiaan sejati seseorang yang sudah dewasa seharusnya lahir dari dalam dirinya sendiri, bukan karena perbuatan atau sikap orang di luar dirinya, bahkan meskipun itu anak sendiri.”

Aku melihat sikap orang tuaku dalam mengasuh anak-anak mereka sebagai pola asuh yang tidak baik, atau mungkin bisa dikategorikan sebagai pola pengasuhan toksik. Dalam pola asuh ini, orang tua seringkali menggunakan kekuasaan, kontrol, dan manipulasi untuk mempengaruhi dan mengendalikan. Mereka mungkin memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap anak, sehingga mengabaikan kebutuhan dan perasaan anak, serta seringkali memberikan hukuman fisik atau verbal yang tidak pantas.

Dalam pengasuhan toksik, orang tua seringkali tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka mungkin mengharapkan anak untuk selalu memenuhi harapan dan standar mereka, tanpa memperhatikan keunikan dan potensi anak itu sendiri. Akibatnya, seorang anak bisa merasa tidak berharga, tidak dihargai, dan kurang percaya diri. Bahkan perasaan negatif ini bisa bertahan hingga remaja dan dewasa.

Namun, bukan berarti orang tua tidak boleh berekspektasi terhadap anaknya. Memiliki ekspektasi atau harapan terhadap sosok yang kita kasihi adalah natur manusia yang wajar. Ekspektasi yang realistis dan sehat justru jadi bagian penting dalam perkembangan anak dan untuk mewujudkannya diperlukan cara-cara yang suportif. 

Literatur Kristen melalui Alkitab memberiku role model ibu-anak yang lebih positif dan empowering, bahkan meskipun tanpa ikatan darah. Dua tokoh ini tidaklah asing buat kita, mereka adalah Rut dan Naomi. 

Rut adalah menantu Naomi. Setelah kematian suami dan anak-anak Naomi, Rut memilih tetap setia pada ibu mertuanya dan menganggapnya seperti ibu kandungnya sendiri. Kasih sayang yang tulus dari ibu mertualah yang membuat Rut bertahan. Berdua, mereka pergi bersama menuju petualangan terbesar dalam hidup. 

Di kitab Rut pasal 1 ayat 16-17, Rut berkata kepada Naomi: “Jangan desak aku untuk meninggalkan engkau dan untuk berbalik dari padamu; sebab ke mana engkau pergi, ke situ aku akan pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ aku akan bermalam. Bangsamu adalah bangsaku dan Allahmu adalah Allahku. Di mana engkau mati, di situ aku akan mati dan di situ aku akan dikuburkan. Demikianlah TUHAN kiranya berbuat kepadaku, dan demikianlah ditambahnya, jikalau bukan hanya maut yang memisahkan aku dan engkau.”

Loyalitas, rasa hormat, dan kasih sayang Rut terhadap Naomi, merupakan teladan yang baik untuk relasi antara ibu dan anak. Hubungan mereka mencerminkan kehangatan, kasih sayang, dan komitmen yang ada dalam relasi ibu dan anak secara natural, tanpa paksaan. Naomi berekspektasi Rut akan meninggalkannya saja dan memulai hidup baru. Rut ternyata berekspektasi untuk ikut Naomi mudik. Naomi pun mau mengubah rancangan hidupnya dengan menyertakan Rut di dalamnya.

Dalam zaman sekarang, kita sering kali melihat kepahitan dalam relasi, terutama antara mertua dan menantu. Namun, kisah Rut dan Naomi mengajarkan kepada kita tentang pentingnya memiliki hubungan yang penuh kasih dan saling menghormati, meski ada saling ekspektasi di dalamnya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa relasi keluarga adalah tentang saling mendukung dan mengasihi, meski satu sama lain punya ekspektasi yang berbeda. Dengan saling menghormati ekspektasi satu sama lain, kita dapat membangun hubungan yang kuat dan manis seperti Rut dan Naomi.

***

Tapi tapi tapi… Demeter & Persephone ‘kan mitologi Yunani kuno, dan Rut & Naomi adalah kisah sejarah Yahudi ribuan tahun lalu! Apa kabar dong buatku yang masih sering keselek karena sulit menelan ekspektasi orang tua hari ini?

We have to give agency to ourselves. 

Frase “giving agency to ourselves” berarti memberikan kekuatan atau otoritas kepada diri kita sendiri. Dalam konteks psikologi, ini berarti bahwa kita mengakui dan menggunakan kekuatan kita sendiri untuk membuat keputusan, menentukan pilihan, dan mengendalikan arah hidup secara mandiri. Jadi, memberikan agency kepada diri kita sendiri berarti mengambil alih kendali atas hidup kita dan bertindak sesuai dengan keinginan, tujuan, dan nilai-nilai kita.

Namun, meskipun kita punya pilihan bebas untuk menentukan hidup kita sendiri, ingatlah bahwa identitas kita yang sejati ada di dalam Kristus. Dialah yang telah menebus kita dari dosa-dosa, sehingga ketika dunia mengatakan dan mendorong kita untuk menjadi diri sendiri sebebas-bebasnya sesuai dengan keinginan hati kita, meminjam kutipan dari Gregg Morse, kita bisa tanamkan pemahaman ini: 

Don’t just be yourself. Be something greater. Be the version of you that Jesus died to create. 

Jangan sekadar jadi dirimu sendiri, tetapi lebih dari itu. Jadilah dirimu yang ingin diciptakan Kristus lewat kematian-Nya. 

Identitas kita di dalam Kristus memampukan kita menjadi anak-anak yang bijaksana, yang ketika menyuarakan isi hati kita tetap bertindak menghormati orang tua sebagai sosok yang mengasihi kita. Pengasuhan toksik yang mungkin kita alami bisa jadi adalah buah dari buruknya pengasuhan generasi di atas orang tua kita. Bagi kita yang telah mengenal firman dan juga diberkati dengan zaman di mana ilmu parenting dengan mudahnya tersedia, kelak saat kita menjadi orang tua, kita dapat belajar banyak untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti generasi di atas kita. 

Jadi, ketika keluarga menyodorkan ekspektasi pada kita, tak perlu seketika emosi atau marah-marah. Sodorkan balik ekspektasi kita untuk mereka, lalu jalanin proses saling berinteraksi dengan sehat. Dan, yang tampak klise tetapi penting adalah doakan orang tua kita. Bukan semata-mata agar mereka berubah, tetapi agar baik kita dan mereka dikaruniakan hikmat dan kebijaksanaan untuk menimbang apa yang paling baik, untuk tetap mengutamakan kasih sebagai pengikat relasi. Jika ekspektasi itu berlandaskan kasih dan kita pun mengasihi mereka, pastilah akan ada solusi untuk menemukan jalan tengahnya.

Selamat menimbang dan mengunyah ekspektasi dari orang tua yang masuk sehari-hari dengan lebih berhikmat!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

3 Hal yang Kupikirkan Sebelum Memposting di Media Sosial

Oleh Michelle Lai, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Would Jesus Like Your Post On Social Media?

Kalau Tuhan memiliki akun di media sosial, apakah Dia akan menyukai postingan yang kamu buat?

Dulu aku adalah orang yang selalu memposting foto ke Instagram setiap hari. Di bawah foto itu aku menuliskan caption untuk memberitahu para followers-ku tentang apa yang kurasakan saat itu. Aku memposting cerita refleksi diri yang sedih, cerita lucu, dan bahkan kemarahan. Itulah caraku untuk mengekspresikan diriku, juga mengatasi kebosanan dan kesepianku. Aku bisa “bicara” kepada para followers-ku tanpa harus benar-benar berdiskusi atau bertemu langsung dengan mereka.

Namun, kemudian aku belajar satu kenyataan yang keras, bahwa meskipun kita punya kebebasan untuk mengekspresikan diri, kita juga seharusnya bertanggung jawab atas apa yang kita ekspresikan atau unggah di ruang publik.

Aku telah belajar bagaimana seharusnya aku bertindak di media sosial dengan cara yang sehat, dan inilah tiga pertanyaan yang seringkali kuajukan kepada diri sendiri sebelum aku memposting sesuatu:

1. Apakah postinganku bermanfaat buat temanku?

Aku suka mendengarkan lagu-lagu bernuansa sedih, dan sering memposting liriknya dengan atau tanpa maksud pribadi. Karena postingan itu bersifat emosional, temanku sering bertanya apakah aku baik-baik saja atau tidak. Aku tidak mau menjelaskan apapun kepada mereka, sebab aku cuma ingin mendapatkan respons dari mereka. Tapi, seringkali respons yang kudapat tidak seperti itu. Mereka yang bukan teman terdekatku malah mengomentari seputar hidup dan aktivitasku. Sedangkan teman-teman yang kuanggap paling dekat malahan menjadi orang yang paling akhir mengetahui masalah-masalah yang kualami karena mereka tidak melihat postinganku di Instagram.

Semuanya ini membuatku merasa rentan tapi aku ingin dikenal oleh dunia. Ini adalah dilema yang lucu. Di satu sisi aku merasa lega ketika mengungkapkan perasaanku di media sosial, tapi aku juga merasa kosong kalau tidak ada orang yang menanggapiku. Dan, di sisi lainnya, aku pun merasa kewalahan kalau semisal teman-temanku menanggapiku.

Aku tidak sedang memuliakan Tuhan dengan perkataan mulutku dan perenungan di hatiku (Mazmur 19:15). Kebiasaanku di media sosial itu tidak hanya menghadirkan masalah dalam relasiku dengan teman-temanku, itu juga membuatku menjadi seorang yang haus akan penerimaan, menjelaskan diriku, dan mencari kepuasan yang instan.

Jika dahulu aku memperlakukan media sosial seperti buku harianku, sekarang aku menggunakannya sebagai alat untukku terhubung dengan teman-teman dekatku. Sebagai contoh, aku memposting puisi-puisi Kristen untuk menguatkan teman-temanku, atau membagikan sedikit pencapaianku untuk merayakannya bersama teman-temanku dan menyemangati mereka. Aku juga berusaha untuk mengurangi intensitasku mengunggah sesuatu tentang kehidupan sehari-hariku, dan hanya memposting gambar bersama orang yang kukasihi. Aku mengingatkan diriku untuk tidak terus mengecek media sosialku setelah aku mengunggah sesuatu, menanti like demi like yang diberikan oleh followers-ku. Ketika aku melihat sesuatu yang menarik yang dibagikan temanku di media sosial, seperti foto-foto dari perjalanan mereka, aku coba untuk bertemu mereka secara langsung dan mengobrol lebih banyak tentang apa yang sudah mereka unggah.

2. Sudahkah aku mengambil waktu sejenak untuk memikirkan kembali apa yang mau kuposting?

Sekarang, aku tidak segera menuliskan status ketika aku merasa ingin melakukannya. Aku memberi waktu sejenak kepada diriku untuk berpikir apakah postingan ini diperlukan, apakah itu baik, dan apakah itu membuatku memanjakan diri

Aku belajar bahwa menceritakan perasaanku kepada seseorang—daripada mempostingnya di media sosial—memberikanku privasi untuk menjaga isu itu tetap pribadi dan profesional dalam situasi tertentu. Ketika aku membagikan pergumulanku kepada temanku atau pembimbingku, aku seringkali bisa mendapatkan perspektif yang lain. Ini memberikanku waktu untuk memproses pemikiranku. Aku menyadari ketika aku memberikan jeda beberapa saat untuk memikirkan apakah aku akan mengunggah sesuatu atau tidak, seringkali keinginan itu pudar dan kuanggap tidak lagi mendesak. Aku perlu berhati-hati dengan emosiku untuk tidak gegabah mengunggah sesuatu.

3. Apakah aku memuliakan Tuhan atau menjadi batu sandungan buat orang lain?

Aku pernah bekerja kelompok dengan seorang rekan sekelas. Ketika aku berselisih pendapat dengan salah satu dari mereka, aku mengirimkan emoji marah di grup chat kami. Akibatnya relasiku dengan seluruh kelompok jadi terganggu.

Media sosial memang diciptakan bukan untuk sekadar berbagi hal-hal yang membahagiakan, tapi sebagai pengikut Kristus kita tidak seharusnya mengunggah sesuatu yang dapat menjadi batu sandungan buat orang lain. Aku tidak seharusnya beraktivitas di media sosial tanpa mempertimbangkan bagaimana kata-kata yang kutulis nanti akan berdampak kepada orang lain.

Pemazmur dalam Alkitab tidak takut untuk menuliskan mazmur yang sedih dan marah, tetapi yang paling utama adalah segala tulisannya, pemazmur selalu berfokus kepada Tuhan. Meski aku tidak berpikir bahwa kita harus menahan diri dari memposting sesuatu tentang isu-isu seperti depresi, atau bahkan membagikan cerita pengalaman kita bahwa kita lelah atau merasa sedih pada suatu hari, aku belajar dari pemazmur bahwa postinganku harus selalu mengarahkan orang lain kembali pada Tuhan. Contohnya, ketika aku menuliskan puisi-puisi terkait depresi, aku menyertakan Tuhan di dalamnya. Aku juga menyertakan link yang ketika diklik akan mengarahkan pembacaku kepada lembaga yang mampu menolong mereka secara profesional. Aku memastikan untuk mengakhiri puisi-puisiku dengan harapan.

Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebiasaanku bermedia sosial, aku belajar bahwa kita semua dipanggil untuk mengasihi orang-orang di sekitar kita, dan menjaga kata-kata yang keluar dari mulut atau ketikan jari kita adalah permulaan yang baik.

Baca Juga:

Menjadi Pemimpin di Kelompok Kecil, Cara Tuhan Mengubahkan Hidupku

Aku pernah menolak panggilan untuk melayani sebagai pemimpin kelompok kecil. Aku merasa tidak layak dan dak mampu. Namun, Tuhan menggerakkan hatiku hingga akhirnya aku menjadi pemimpin dari kelompok kecil beranggotakan 8 orang, dan melalui inilah Tuhan mengubahkanku.

Wallpaper: Mazmur 90:12

“Ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!