Posts

Ruang Operasi: Terlihat Menegangkan, Namun Penuh Penyertaan Tuhan

Oleh Febe Valencia

Tahun baru seharusnya dirayakan, makan enak bersama keluarga sepulang ibadah akhir tahun. Seharusnya bersukacita, menuliskan semua hal yang ingin dicapai. Seharusnya aku fokus mendaftar magang. Namun, berakhir di sinilah aku, di ruang inap rumah sakit untuk merawat kakek yang biasa aku panggil Opung Doli. Aku satu-satunya cucu yang tinggal bersama opung di rumah. Sedari kecil aku dirawat dan dibesarkan olehnya dan Opung Boru (nenek). Saat aku sudah dewasa, otomatis akulah yang diandalkan di rumah karena usia mereka yang tak lagi muda.

Sabtu pagi, Opung Doli terpeleset karena lantai licin sehabis hujan. Aku pun bimbang. Sehari sebelum insiden ini, hubunganku dengannya tidak baik. Beliau gelisah, aku dimarahi dan jadi sedikit kecewa. Kuberikan pertolongan pertama lalu berjuang membawanya ke rumah sakit karena opung tidak bisa berjalan, sementara opung boru di rumah saja karena dia memiliki riwayat penyakit jantung.

Di rumah sakit, kupikir pemeriksaan dan hasilnya tidak akan rumit. Tapi, foto rontgen berkata lain. Bonggol paha kirinya retak dan harus dioperasi. Rumah sakit pertama yang kami kunjungi ini tidak bisa melanjutkan tindakan karena keterbatasan alat, ditambah lagi kami pun menggunakan jalur BPJS. Ada dua rumah sakit lain yang direkomendasikan. Saat itu aku takut karena semuanya kuusahakan sendiri. Rumah sakit rekomendasi pertama tidak bisa memberi jadwal operasi yang pasti karena harus menunggu antrean. Aku pun makinlah takut.

Namun, Tuhan begitu setia. Pertolongan-Nya mewujud lewat orang-orang yang tidak kami sangka. Setelah opsi-opsi yang kami coba, opung akhirnya bisa dirawat dengan baik di rumah sakit yang pelayanannya baik pula. Kurasa ini sudah cukup, namun penyertaan Tuhan terus kurasakan tiap hari. Tanpa disangka, jadwal operasi bisa lebih cepat dengan harapan pemulihannya juga bisa lebih cepat dan beliau bisa beraktivitas seperti semula.

Kurasakan Tuhan baik saat aku menemani opung. Mungkin tidak tepat waktunya sakit ketika akhir tahun, tapi justru ini waktu ketika aku liburan semester yang cukup panjang. Sembari menunggu opung, aku juga menjadi pendengar yang baik buat seorang ibu yang sedang menunggu anaknya dioperasi. Ada tumor pada mata dan bibir dalam tubuh sang anak yang baru berusia enam tahun. Ayahnya sudah meninggal. Tangisan anak itu terdengar di ruang bedah sentral. Mendengar itu, ibunya pun meneteskan air mata. Dia sudah menjanjikan anaknya liburan, namun ternyata operasi.

Setelah operasi opung, Tuhan menggunakan momen sakit ini untuk menghancurkan namun membentuk kembali hati kami. Opung dipindahkan ke ICU selama satu malam untuk observasi lebih lanjut. Pasca operasi semuanya normal. Beliau sempat sadar, bisa bicara, terjadi pendarahan. Semua ini wajar. Opung tidak rela ditinggal di ICU sendirian, sehingga malam itu aku pun susah tidur. Jantungku berdebar kencang. Memang sulit rasanya perlahan melepaskan kendali yang selalu kupegang. Tapi, lagi dan lagi, Tuhan baik. Siang harinya opung bisa kembali ke kamar perawatan biasa karena hasil observasinya baik.

Hubunganku dengan opung yang awalnya sempat tegang mulai membaik. Kami saling mengampuni, semua kesalahpahaman diluruskan. Kami juga meminta ampun pada Tuhan, Sang Juruselamat yang sering kami ragukan kesetiaan-Nya karena banyaknya tuntutan yang kami pinta. Aku yakin dan percaya, lewat kejadian ini Tuhan ingin berbicara kepadaku, kepada opung, keluargaku, bahkan buat kamu yang sedang membaca kesaksian ini. Berkat itu bisa sesederhana kita dapat berjalan kaki setiap hari, namun sering lupa kita syukuri, bukan?

Mengurus segala sesuatunya sendiri, aku belajar menjadi pribadi yang mandiri. Aku belajar banyak sabar. Kulihat di kiri-kananku, bagaimana orang-orang sedemikian sabarnya mengurus anaknya, suami atau istrinya, atau orang tuanya.

Menutup tulisan ini ada dua kutipan yang kurasa baik untuk kita renungkan bersama:

“Jika kamu mencoba menyelamatkan hidupmu, kamu akan kehilangannya. Tetapi jika kamu menyerahkan hidupmu karena Aku, kamu akan diselamatkan.” (Lukas 9:24 AMD).

“Dihancurkan supaya jadi utuh, kerajaan Allah berawal di dalam diri Anda. Ketika Anda sampai di akhir ke-aku-an Anda, di mana Anda menyadari bahwa Anda tidak punya apa pun yang bisa Anda berikan.” – Buku The End of Me, Kyle Idleman.

Tuhan Yesus memberkati.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

4 Cara Menjumpai Tuhan di Kehidupan Sehari-hari

Oleh Justin

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 4 Ways We Can See God In Everyday Life

Aku sering mengalami momen-momen di siang hari ketika aku asyik sendiri dan lupa kalau Tuhan sebenarnya selalu ada bersamaku. “Lupa” ini sering terjadi saat aku melakukan kegiatan yang tampaknya “duniawi”—pekerjaan, tugas kuliah, hobi.

Salah satu hobiku adalah mendengarkan musik klasik, terutama ketika aku sedang bekerja, supaya aku lebih rileks. Dalam playlist yang biasanya kuputar acak, kadang ada lagu yang enak, yang tiba-tiba terputar seperti, “The Lark Ascending” dari Vaughan William—dan untuk sesaat, aku seperti  dibawa ke dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan keagungan dan keindahan. Musik yang indah mengingatkanku bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup ini daripada apa yang terlihat oleh mata, dan aku pun mengingat Dia yang menciptakan segala keindahan.

Momen-momen seperti ini membuatku sadar, seperti yang Yakub alami di Betel, bahwa Tuhan ada di sini, bersama kita, meskipun kita tidak mengetahuinya (Kejadian 28:16). Aku mengakui bahwa Tuhan selalu menyertaiku, di mana pun aku berada dan apa pun yang aku lakukan (Yeremia 23:24; Mazmur 139:7-10).

Saat kita sadar bahwa Tuhan senantiasa hadir, kita dapat memiliki cara pandang surgawi dan kita pun mampu merenungkan kasih dan kesetiaan-Nya yang tak pernah berakhir. 

Jadi, bagaimana kita dapat “melihat” Allah dengan lebih baik dalam kehidupan kita sehari-hari? Kita dapat berdoa, memohon agar Tuhan menolong fokus dan perhatian kita kepada-Nya. 

Berikut adalah empat cara agar kita dapat melihat lebih banyak tentang Allah:

1. Lihatlah Allah dalam ciptaan-Nya

Setiap kali aku melihat seekor burung hinggap di ambang jendela, atau melihat matahari bersinar, atau merasakan angin sepoi-sepoi menerpa wajah, aku memandang semua itu sebagai pengingat akan Sang Pencipta dan betapa menakjubkannya Dia menciptakan semua ini untuk kesenangan-Nya dan kesenangan kita.

Alkitab berkata, “Langit memberitakan kemuliaan Allah” (Mazmur 19:1). Dia membuat rumput tumbuh (Mazmur 104:14), menurunkan hujan pada waktunya (Yeremia 5:24), dan menentukan batas-batas gelombang laut (Ayub 38:10-11).

Selain mengingatkan kita akan keberadaan dan kuasa Allah, ciptaan mengajarkan kita untuk memandang Allah sebagai pemelihara dan penolong kita. Yesus mengajak kita untuk merenungkan bagaimana Allah memberi makan burung-burung di udara dan memberi pakaian kepada bunga bakung di padang, sehingga kita tidak perlu khawatir dengan apa yang kita makan dan kenakan (Matius 6:25-33). Kita dapat melihat ke bukit-bukit dan mengingat bahwa Allah yang sama yang menciptakannya adalah Allah yang menolong kita (Mazmur 121:1-2).

Aku pun merasa beruntung karena aku kuliah di kampus yang banyak ruang terbuka hijaunya. Setiap kali aku stres ketika menghadapi ujian, aku akan pergi ke area yang dekat dengan alam untuk melihat burung-burung yang melompat-lompat di atas rumput atau memandangi pepohonan yang bergoyang tertiup angin. Atraksi sederhana dari alam menolongku untuk mengingat bahwa Pencipta alam semesta ada di sini bersamaku. Dialah yang menjadi sumber dari segala kebijaksanaan dan pengertian, dan apa pun hasil ujianku nanti, semuanya akan baik-baik saja.

2. Melihat Allah di dalam berkat-berkat-Nya

Dunia adalah anugerah dari Allah buat kita, tapi kadang kita tidak merasa dunia ini se-spesial itu karena kita membandingkannya dengan berkat-berkat khusus yang Tuhan berikan pada kita masing-masing, seperti makanan apa yang kita makan, pakaian apa  yang kita kenakan, di mana tempat tinggal kita, dan sebagainya. 

Setiap kali aku merenungkan berkat-berkat yang kuterima, entah itu secangkir kopi, atau sesendok besar es krim, kulatih diriku untuk meluap dalam rasa syukur. Makanan dan minuman bisa saja dikonsumsi dengan sikap hambar, seolah itu hanya ‘rutinitas’ supaya kita bertahan hidup, tapi pada kenyataannya, saat kita makan, kita menikmati berbagai macam rasa dan aroma. Tuhan memberi kita indera pengecap untuk menikmati semua ini! Tidaklah mengherankan jika pada pernikahan di Kanan, Yesus tidak membuat sembarang anggur, tetapi anggur yang baik (Yohanes 2:1-10). 

Jika kita menikmati manisnya madu dan mendapatkan energi darinya, terlebih lagi manisnya firman Tuhan (Mazmur 119:103) dan nutrisi rohani yang kita dapatkan dari tiap firman Allah. Janji-janji Allah menyenangkan jiwaku, sebab janji-janji itulah yang memberiku kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masa depan. 

Jika kita menikmati kebersamaan dengan sahabat-sahabat kita, persahabatan dengan Yesus, sahabat kita yang sejati, tentulah memberi kita sukacita sejati. Aku telah diberkati dengan teman-teman yang baik hati, penuh kasih, dan penyayang, yang selalu bersamaku dalam suka dan duka. Aku bersyukur atas kehadiran mereka. Melalui mereka, Allah menunjukkan kasih setia-Nya padaku. Dan, aku semakin bersukacita karena Yesus yang melebihi segalanya yang dapat kubayangkan. 

Bapa kita tahu bagaimana memberi kita pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Meskipun kita mungkin menganggap remeh sebagian besar berkat-berkat-Nya, sudah sepatutnya kita lebih menghargai tiap berkat-Nya dan berterima kasih kepada sang Pemberi yang memberkati kita setiap hari.

3. Melihat Allah di dalam pekerjaan

Allah telah menugaskan pekerjaan kepada manusia bahkan sebelum kejatuhan dalam dosa (Kejadian 2:15). Pekerjaan adalah bagian dari rancangan Allah, yang berarti pekerjaan bukanlah suatu beban. Masing-masing kita memiliki panggilan yang diberikan Tuhan untuk kita kerjakan di bumi ini. Sebagai contoh, ketika kita memesan makanan dari sebuah restoran, kita diberkati oleh pekerjaan petani, koki, dan semua orang yang terlibat dalam proses produksi makanan tersebut. Melalui pemeliharaan-Nya, Tuhan dapat menggunakan pekerjaan kita untuk memberkati orang lain.

Pekerjaanku terkait pengelolaan keuangan sebuah bisnis kecil dengan sekitar sepuluh karyawan. Sekilas pekerjaanku tampak sekadar memantau arus kas sepertinya tidak terlalu berdampak dibandingkan dengan pekerjaan lain yang lebih hebat, tetapi aku telah belajar bahwa Tuhan dalam hikmat-Nya yang tak terbatas memberikan pekerjaan yang berbeda kepada setiap orang sesuai dengan tujuan-Nya. Bahkan ketika aku menulis ini, aku sejatinya sedang mengkhotbahkan kebenaran ini kepada diriku sendiri, dan aku pun berdoa agar aku dapat lebih melihat Tuhan dalam pekerjaanku, dan memandang pekerjaanku lebih dari sekadar sarana untukku mendapatkan penghasilan.

Seperti yang dikatakan A.W. Tozer, “Bukan apa yang dilakukan seseorang yang menentukan apakah pekerjaannya itu sakral atau sekuler, melainkan mengapa ia melakukannya.” Aku tahu bahwa dalam pekerjaanku, pada akhirnya aku bertanggung jawab kepada Tuhan, dan setiap pekerjaan kecil yang dilakukan sepenuh hati, entah itu menulis cek belanja atau mengecek kembali arus kas keuangan, tidak akan luput dari perhatian-Nya. 

Meskipun pekerjaan kita seringkali tidak menyenangkan dan suram karena kita dan seisi dunia telah jatuh dalam dosa (Kejadian 3:17-19), kita dapat yakin bahwa setiap pekerjaan yang dilakukan dengan sepenuh hati bagi Tuhan akan mendapatkan upahnya (Kolose 3:23-24). Apa pun pekerjaan yang kita lakukan, besar atau kecil, dibayar atau tidak dibayar, kita tahu bahwa jerih payah kita di dalam Tuhan tidak sia-sia (1 Korintus 15:58) dan kita dapat meminta kasih karunia untuk memperlengkapi kita dalam setiap pekerjaan baik (2 Korintus 9:8).

4. Melihat Allah dalam pencobaan

Pencobaan dan penderitaan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kristen (Kisah Para Rasul 14:22), entah itu penyakit ragawi, masalah keuangan, penganiayaan, atau bahkan hal-hal kecil yang membuat kita tidak nyaman. Momen-momen penderitaan ini berfungsi sebagai pengingat bahwa dunia ini bukanlah rumah kita yang kekal, rumah kita pada akhirnya adalah bersama Bapa.

Setiap kali aku merasa tidak enak badan, entah itu migrain, mual, atau asam lambungku kumat, aku merasa terhibur karena mengetahui bahwa di surga, tubuh kemuliaan kelak tidak akan mengenal sakit atau nyeri. Meskipun penyakit-penyakit yang sering terjadi ini terkadang membuat frustrasi, semua ini mengajariku untuk lebih rendah hati dan lebih bergantung hanya pada Tuhan saja. 

Setiap pencobaan adalah kesempatan untuk kembali mempercayai Allah dan bersandar pada kasih karunia-Nya yang amat mencukupi di dalam kelemahan kita (2 Korintus 12:9). Ketika kita mengalami banyak penderitaan, kita didorong untuk tidak berkecil hati, mengingat bahwa kemuliaan kekal sedang dipersiapkan bagi kita, dan hadiah surgawi yang tak terlihat itu bersifat kekal (2 Korintus 4:16-18).

Ketika kita mencari Tuhan dengan lebih sungguh-sungguh dalam keseharian kita, kiranya kita dapat mengalami sukacita persekutuan dengan-Nya. Ketahuilah, Dia menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman (Matius 28:20).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Pada Akhirnya, Adalah Kehilangan yang Menjadikan Kami Berubah

Oleh Serminya Karlen Patoding, Minahasa

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menyakitkan, apalagi ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Itulah yang aku rasakan ketika aku kehilangan sosok ayahku.

Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa semester akhir, dan aku kehilangan ayahku pada tahun 2014, waktu aku masih kelas 1 SMP. Kejadian sembilan tahun lalu itu mungkin dianggap sebagian orang sudah cukup lama, jadi kepedihan karena kehilangan perlahan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak sakit hati lagi. Tetapi, yang aku rasakan tidaklah begitu. Pada waktu ayah baru meninggal mungkin aku tidak terlalu merasakan sakit hati, karena, yah namanya juga masih anak-anak yang pemikirannya belum terbuka.

Aku justru merasakan sakit hati paling dalam ketika aku sudah memasuki bangku kuliah. Aku merasa pemikiranku sudah mulai terbuka. Aku mengingat kembali apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebelum kehilangan ayah, keluarga kami hidup berkecukupan, apapun kebutuhan kami terpenuhi.

Tetapi, kehidupan keluarga kami berubah drastis setelahnya. Di situlah aku mulai berpikir kenapa Tuhan melakukan itu kepada keluarga kami? Kenapa Tuhan mengambil ayah kami? Padahal ibu tidak bekerja, kami 9 orang bersaudara dan anak pertama waktu itu masih SMA dan anak terakhir masih 3 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana ibu kami akan menghidupi kami 9 orang? Bagaimana dia akan membiayai sekolah kami? Dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan lain kami akan terpenuhi?

Nah, singkat cerita, tahun demi tahun berlalu .Tak terasa kami melalui itu semua dan mulai berdamai dengan keadaan. Ternyata, berkat Tuhan datang dari segala arah dan memberi kami kecukupan sampai saat ini. Meskipun banyak pergumulan yang kami hadapi dalam keluarga, tetapi di sisi lain ada satu hal yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Sebelumnya kami bisa dikatakan cukup jauh dari Tuhan, bahkan ayah jarang menginjakan kaki di gereja dan saudaraku yang lain juga jarang ke gereja. Namun, setelah kehilangan ayah, ibu sudah sering ke gereja, saudara-saudaraku juga, dan kami semua perlahan mulai kenal dengan dunia pelayanan.

Ibu juga sudah sering mengajarkan kami untuk terus berdoa dan berpengharapan kepada Tuhan. Membaca Alkitab, menyanyi memuji Tuhan sebelum tidur, dan menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan firman Tuhan.

Waktu demi waktu berlalu dan sekarang ibuku sudah memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan di gereja. Kakak juga memberi diri untuk dipakai Tuhan dan sekarang mengambil studi Teologi, juga ada adikku yang terus belajar dan memberi diri dalam pelayanan di gereja. Aku juga bersyukur meskipun kuliahku bukan jurusan Teologi, tetapi dapat diperkenalkan dengan dunia pelayanan kampus.

Dari sisi tersebut aku belajar bahwa ternyata di balik kehilangan seorang yang kami sangat kasihi bukanlah semata-mata suatu musibah, tetapi ada satu hal yang begitu luar biasa terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Ada pengharapan yang besar bagi kami. Tuhan mengubahkan hidup kami dan memanggil kami menjadi pelayan-Nya di tempat yang sudah di tentukan-Nya. Melalui pertolongan Tuhan, kami yang pada awalnya merasa tidak terima akan apa yang terjadi pada keluarga kami justru mengimani bahwa penyertaan Tuhan senantiasa ada atas kami. Dia terus setia dan hadir dalam setiap langkah kehidupan kami.

Kehilangan membuat kita bergantung pada Tuhan dan menantikan karya Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi di atas semua penderitaan, pergumulan, kesedihan dan kehilangan yang kita alami Tuhan berjanji bahwa Dia ambil kendali.

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Hal yang akan terjadi pada kehidupan kita di hari esok bagaikan teka-teki yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Karena itu, iman bahwa Tuhan menyertai kita memberi dorongan kepada untuk kita terus memberikan yang terbaik bagi orang lain, bagi diri kita sendiri dan terlebih bagi Tuhan.

Saat kehilangan kita boleh bersedih, kita boleh menangis, dan awalnya memang tidaklah mudah bagi kita untuk menerima. Namun dalam kesedihan dan keterpurukan kita marilah kita coba untuk memberi ruang kepada Tuhan untuk mengisi kekosongan hati kita.

Rahmat-Nya Tak Pernah Absen di Hidup Kita

Oleh Olyvia Hulda, Sidoarjo

Sebelum tahun yang baru ini kita masuki, kata beberapa orang ini akan jadi tahun yang gelap. Iya, gelap. Akan ada banyak krisis yang merugikan manusia. Juga katanya ada 2,45 juta anak remaja Indonesia yang memiliki masalah kesehatan mental dalam dua tahun terakhir, entah itu gangguan kecemasan, depresi dan sebagainya.

Tak perlu kusebut lebih banyak lagi, kita mungkin telah terbiasa terpapar dengan beragam prediksi maupun kabar-kabar buruk yang menjadikan dunia dan masa depan terasa suram. Namun, apakah ini artinya tidak ada lagi kesempatan untuk berharap? Atau, apakah harapan akan sesuatu yang lebih baik hanyalah sebuah impian, omong kosong belaka?

Memang tidak mudah berharap di tengah masa-masa suram, ibarat seorang pendaki yang tersesat di antah berantah mengharapkan datangnya pertolongan yang entah kapan dan dari mana datangnya. Kesuraman ini pernah juga dialami oleh bangsa Israel, yakni saat mereka berada di padang gurun (Keluaran 16-17) maupun saat para raja memerintah setelah zaman raja Yosia (2 Raja-raja 23-25), ketika mereka mulai dikuasai oleh negara Babel. Perasaan takut, khawatir, bahkan bimbang menguasai bangsa Israel dalam menghadapi tekanan-tekanan yang ada, baik tekanan dari luar maupun dari dalam. Sebagai bangsa terjajah, hidup mereka amat bergantung pada penjajahnya. Harapan untuk terbebas dan hidup sebagai bangsa merdeka pun seolah padam.

Walau demikian, saat kucermati perjalanan Israel dari yang Alkitab tuliskan, aku melihat ada satu hal yang tak pernah berubah. Telah berbagai tempat, pemerintahan, dan situasi mereka hadapi, tetapi satu hal yang teguh dan pasti adalah kehadiran Tuhan di tengah-tengah tekanan dan krisis itu. Tuhan tidak absen, Dia hadir melalui nabi-nabi dan orang-orang yang Dia izinkan memegang posisi penting di sana seperti Nehemia, Daniel, Ester, Nabi Yehezkiel dan Nabi Yeremia. Tentu saja, mereka ikut merasakan tekanan yang sama karena mereka juga tinggal di tengah-tengah bangsa Israel. Bahkan, Nabi Yeremia pun menumpahkan rasa sedih dan tertekannya selama pembuangan berlangsung dalam kitab Ratapan.

Namun, aku melihat hal yang berbeda. Mereka yang dipilih dan diutus Tuhan punya respons yang kontras di tengah kesuraman, khususnya respon dari nabi Yeremia yang menggelitik hatiku. Dalam Ratapan 3, Nabi Yeremia memang mengakui bahwa ia terluka—bahkan terluka karena Allah (Ratapan 3:1-20). Dalam ayat 1 misalnya, dia berseru “Akulah orang yang melihat sengsara…” Tetapi, menariknya sekalipun nabi Yeremia menyadari akan lukanya, dia justru memilih untuk memperhatikan hal yang penting, melebihi hal yang dialaminya. Di tengah ratapannya, dia yakin teguh bahwa “tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi” (ay. 23-24).

Nabi Yeremia adalah salah satu nabi yang dapat mengajarkan kita akan pentingnya “mengakui diri bahwa kita terluka” di hadapan Tuhan, lalu memilih untuk memfokuskan dirinya akan pribadi Tuhan yang dikenalnya. Yeremia tahu bahwa kasih-Nya tak berkesudahan, Tuhan tidak selamanya menghukum namun juga membalut luka (Ratapan 3:31-38). Yeremia benar-benar jujur dengan dirinya sendiri; tak malu mengakui dirinya dalam keadaan terpuruk di hadapan Allah; dan dengan rendah hati menerima keadaannya seperti tertulis di Ratapan 3 tersebut.

Tak berhenti sampai di situ. Nabi Yeremia pun “memilih” untuk memperhatikan hal yang lebih penting, dibalik perasaannya itu! Ia tetap mempercayai Tuhan, dan tetap yakin bahwa Tuhan masih menyayangi dirinya dan juga bangsa Israel, bila bangsa Israel bertobat dengan sungguh-sungguh. Dan kisah Nabi Yeremia pun merujuk pada Tuhan Yesus, yang memilih untuk memperhatikan hal yang lebih penting dibandingkan dengan rasa sakit dan lukanya akibat dicambuk, dipukul dan dipaku di kayu salib: menyelamatkan hidup kita.

Jujur pada diri sendiri adalah langkah awal bagi kita untuk mengenal diri kita sendiri, serta mengurangi beban hidup kita. Menurut konselor yang kutemui, salah satu faktor depresi adalah sulitnya seseorang untuk jujur dengan diri sendiri; cenderung gengsi/enggan mengakui perasaan sedih, marah, kecewa, takut, dan memendamnya, atau bahkan menutupinya dengan mencari kesenangan yang tidak wajar (ketagihan bermain game, pornografi, miras, dsb).

Mungkin sebagian besar orang, termasuk aku, adalah orang yang paling tidak suka untuk merasakan perasaan tersebut. Rasanya ingin sekali membuang perasaan sedih, marah, kecewa, dsb, apalagi saat menghadapi sesuatu yang tidak sesuai harapan. Tetapi setelah melihat Nabi Yeremia, dan juga Yesus Kristus, yang tetap “menelan” dan (terkesan) “menikmati” penderitaan/tekanan/krisis tanpa harus malu dan kabur mencari kesenangan lain, aku belajar untuk tidak mengakui emosi yang dirasakan, dan tidak kabur untuk mencari kesenangan demi menghilangkan emosi negatifku, emosi yang tidak kuharapkan.

Namun, tak berhenti sampai di situ. Kita perlu melakukan hal yang lebih penting setelahnya: “memilih” untuk yakin dan beriman, bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang penuh kasih, yang tidak akan selamanya “tega” dengan kita, selama kita hidup sesuai kehendak dan perintah-Nya dalam Alkitab. Sebenarnya tak hanya Nabi Yeremia saja, tokoh-tokoh Alkitab di masa lampau seperti Daud, memilih untuk menguatkan hatinya pada Tuhan, di tengah-tengah krisis yang dialaminya, seperti tulisan dalam Mazmur 27:14.

Di tahun 2023 ini, mungkin kita akan mengalami banyak hal, entah itu baik maupun buruk. Dan, hal itu bisa jadi dapat mengguncang perasaan kita. Namun satu kebenaran yang dapat kita percayai, sama seperti Nabi Yeremia percayai: tak berkesudahan kasih setia Tuhan, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi (Ratapan 3:22-23).

Aku percaya, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah seizin Tuhan, serta masuk dalam kedaulatan-Nya. Meskipun dunia yang kita tinggali saat ini “gelap”, aku berdoa agar kasih Tuhan senantiasa menerangi hati kita senantiasa, sehingga kita mampu menguatkan hati kita untuk tetap percaya pada Tuhan. Amin.

Nantikanlah TUHAN! Kuatkan dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN! (Mazmur 27:14)

Sedikit Lagi, dan Lihat Apa yang Dia Lakukan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianey, Medan

Aku melirik jam di komputer di meja kerjaku, beberapa menit lagi waktu kerja berakhir. Aku mengecek ulang laporan yang sudah kubuat sejak kemarin, baru satu jam lalu aku menyelesaikannya. Kugulir kursor beberapa kali untuk memastikannya sekali lagi. Setelah yakin, kuklik send, dan aku menghembuskan napas berat.

Hari ini hari terakhir kerja di tahun ini, seminggu lagi tahun baru dan aku sudah mengajukan cuti untuk 10 hari ke depan. Kuhembuskan napas sekali lagi, aku berdiri, kuregangkan otot-otot yang mulai kaku karena minim pergerakan sepanjang hari ini. Lalu bersiap-siap mengemas barang-barangku untuk meluncur pulang. Layar ponselku menyala, sebuah notifikasi muncul. Kulirik sesaat, tapi bukan pada notifikasi itu fokusku. Kuraih ponsel itu dan kunyalakan kembali layarnya. Aku memandangi wallpaper home-screen-ku lekat-lekat. Itu daftar resolusi yang kubuat tahun lalu, untuk dicapai di tahun ini.

Mungkin tepat satu tahun lalu aku menyusun daftar resolusi itu. Itu adalah daftar panjang yang kususun sedemikian rupa dan sengaja kujadikan sebagai wallpaper untuk mengingatkanku setiap waktu aku membuka ponsel. Kupandangi satu per satu daftar itu, kubaca setiap nomor, setiap kata demi kata. Aku tersenyum pada diri sendiri. Banyak yang sudah kuberi checklist, tapi lebih banyak yang belum. Otakku langsung memutar hari demi hari di sepanjang tahun ini. Bagaikan film yang diputar mundur, momen demi momen bermunculan. Perpisahan dan pertemuan, saat-saat penuh tawa dan masa-masa penuh haru bangga, kehilangan dan mendapatkan, menangis, kecewa, patah hati, pencapaian, perjuangan, berdiam diri, dll.

Aku kembali duduk di kursi kerjaku, menatap kosong ke layar komputer yang sudah mati, pikiran jauh melayang ke hari-hari di tahun ini. Aku mengingat-ingat lagi apa saja usaha yang sudah kulakukan sepanjang tahun ini. Malam-malam begadang, weekend-weekend produktif di berbagai tempat, kegiatan-kegiatan di pelayanan, dan semua kesibukanku hampir sepanjang tahun. Tapi.. mengapa masih ada resolusi yang belum tercapai? Apakah aku masih kurang berusaha? Atau aku masih kurang serius dalam mewujudkannya? Apa aku masih kurang nge-push diriku sendiri?

“Kamu serius? … Wahh selamat yaa! Aku senang banget mendengarnya… Iya.. pasti… Good luck ya! okee.. bye!” Suara Mbak Ayu terdengar dari balik meja kerjanya di seberang ruangan, baru selesai teleponan dengan seseorang tampaknya. Aku yang sempat melamun mau tidak mau menoleh juga padanya, lalu melihat sekeliling ruangan, hanya tersisa kami berdua ternyata.

“Din, kamu ingat sepupuku yang aku ceritain batal nikah tahun lalu?” tanyanya padaku dengan mata berbinar.

Aku mengangguk samar, “Yang batal karena calon suaminya dapat beasiswa lanjut studi di luar negeri itu, Mbak?”

“Iya, kamu ingat kan? Tahun lalu mereka udah mantap banget buat menikah, itu kayak resolusi terbesar mereka deh tahun lalu dan it’s too close to happened kan? Soalnya dia itu awalnya udah hopeless banget sama aplikasi beasiswanya itu, dia pikir udah pasti nggak disetujuilah soalnya dia apply tahun lalu dan lama banget nggak ada kabar. Eh ternyata sebulan sebelum nikah malah datang approvement letter-nya.”

“Kalau aja dia diterima setelah mereka menikah pasti bakal beda cerita ya, Mbak,” komentarku.
“Bakal beda cerita banget, Din. Soalnya persyaratan beasiswanya itu tidak boleh yang sudah menikah dan tidak boleh menikah selama menempuh pendidikan. Makanya kemarin mesti ngomong lagi antar keluarga, karena keduanya sama-sama penting kan, dan memang harus ada yang mengalah, bersabar sedikit lagi. Mereka benar-benar mempertimbangkan banget waktu itu, berdoa, berpuasa, sampai akhirnya mengambil keputusan itu.”

Aku hanya menggumamkan sesuatu, ikut berpikir.

“Oh jadi lupa tadi aku mau cerita apa” seru Mbak Ayu tiba-tiba, “Jadi, tadi itu dia ngabarin kalau si calon suaminya itu bakal lulus awal tahun depan dan sudah langsung dapat pekerjaan di sana. Jadi mereka bakal tinggal di sana deh. Aku terharu aja dengarnya, Din, kesabaran yang membuahkan hasil yang lebih baik dari yang direncanakan sebelumnya.” lanjut Mbak Ayu mengakhiri.

Aku mengangguk-angguk, tiba-tiba mulai memikirkan hal-hal lain.

“Aku ingat banget waktu itu kami lagi pulang ibadah bareng sebelum mereka mengambil keputusan, orangtuanya bilang gini, Nggak semua resolusi harus tercapai di waktu yang sesuai dengan ekspektasi kita, kadang Tuhan memilih waktu yang lain dan justru memberikan sesuatu yang bahkan tidak ada dalam daftar kita. Tidak mencapai salah satu dari daftar itu bukan berarti kita gagal, tapi mungkin Tuhan meminta kita bersabar sedikit lebih lama karena ada hal lain yang lebih kita butuhkan. Yang penting kita tetap merencanakan yang terbaik, dan berusaha melakukan yang terbaik. Untuk Tuhan.”

Mbak Ayu mengucapkan kata-kata itu seperti itu memang ditujukan padaku, seolah-olah Tuhan sedang berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaanku beberapa saat lalu. Aku tertawa kecil, menyadari betapa indah Tuhan memperhatikan aku dengan begitu detail. Aku hampir saja menjatuhkan air mata karena merasa Tuhan sedang melihat aku dan tahu apa yang paling aku butuhkan. Sekali lagi kubaca daftar resolusiku itu, aku terlalu fokus dengan tanda check-list di daftar itu dan melupakan bahwa ada banyak hal hebat lain yang Tuhan lakukan untukku sepanjang tahun ini yang tidak ada dalam daftar ini. Betapa aku sudah salah fokus dari kedaulatan Tuhan menjadi pembuktian diri sendiri.

“Din!” seru Mbak Ayu, tiba-tiba dia sudah berdiri di dekat pintu, “Ayo pulang! Kamu mau di sini sampai tahun baru?”
Aku tertawa lagi, buru-buru menyusulnya.

Memang baik jika kita membuat daftar resolusi tahunan untuk menolong kita menjadi lebih baik dan fokus pada tujuan kita kan, tapi jangan sampai kita salah fokus untuk SIAPA sesungguhnya kita melakukan dan mencapai itu semua.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Seperti Tuhan Menyertai Yosua, Dia juga Menyertai Kita

Oleh Jenni, Bandung

Tahun 2022 telah berakhir! Sepanjang tahun kemarin pastilah banyak yang terjadi. Mungkin ada teman-teman yang merasakan transisi belajar atau bekerja dari online ke offline. Mungkin juga ada yang menemukan hal baru atau mengalami kehilangan. Tahun 2022 tidaklah mudah, tapi tahun 2023 pun tidak ada jaminan jadi lebih mudah. Malahan banyak prediksi mengatakan tahun ini akan diwarnai kesuraman dan ketakutan.

Belum lama ini aku mendapat kabar mengejutkan. Ayahku harus menjalani operasi pengangkatan kanker yang kedua kalinya. Operasi ini sebenarnya dihindari dokter onkologi karena berisiko tinggi, sehingga pengobatan yang disarankan adalah lewat metode terapi. Namun, kenyataannya terapi dinilai kurang maksimal. Mau tidak mau, pengangkatanlah yang jadi jadi solusi.

Jujur, hatiku ciut. Aku takut kehilangan ayahku. Jeda antara waktu pemberitahuan sampai tanggal operasi dilakukan hanyalah satu bulan. Di waktu yang singkat itu aku cuma bisa berdoa. Saat itu aku tidak bisa memperlihatkan ketakutanku pada keluargaku karena mereka pun butuh dukungan. Hanya pada Tuhanlah aku mengadu.

Pelan-pelan tetapi pasti Tuhan menolongku mengubah ketakutan jadi kekuatan. Walaupun aku gentar, tapi aku sanggup mengendalikan pikiran dan bekerja seperti biasa. Aku juga mampu memberi dukungan pada ayah dan ibuku. Aku percaya kekuatan ini berasal dari Tuhan yang selalu mendengar seruanku.

Pengalamanku ini lantas mengingatkanku akan peristiwa ketika Tuhan menuntun dan menyertai bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Kisah ini pastilah sudah sering kita dengar sejak dari sekolah Minggu dulu. Buatku sendiri, kisah ini menyajikan pertanyaan menggantung: kenapa ya Tuhan malah membuat bangsa Israel mengitari padang gurun selama 40 tahun lebih?

Kubaca kembali Alkitabku dan kutemukan bahwa saat berada di Mesir dan ditindas, orang-orang Israel mengerang pada Tuhan dan seruan itu didengar-Nya. Tuhan mengingat janji-Nya pada Abraham dan Dia pun menuntun mereka keluar dari perbudakan. Tapi, jalan untuk sampai ke sana tidak mudah. Ada orang-orang Kanaan yang harus mereka perangi. Sebenarnya, mungkin jika mereka siap bertempur, mereka bisa saja tiba di Kanaan lebih cepat. Namun, ada pertimbangan lain: apakah bangsa yang baru keluar dari perbudakan ini mampu bertempur? Jangan-jangan nanti mereka malah memilih kembali ke Mesir.

Kita yang hidup di masa kini bisa dengan mudah memahami maksud dan rencana Tuhan bagi Israel dari teks yang kita baca. Tetapi, bagaimana jika kita adalah salah satu dari orang Israel pada masa pengembaraan itu? Mungkin kita juga akan merasa sulit memahami apa maksud dan rencana Tuhan. Dalam hidupku pun aku merasa sulit menemukan jawaban akan apa yang sebenarnya jadi tujuan Tuhan buatku. Aku tetap berdoa meskipun bingung dan setelah beberapa tahun aku mengalami bahwa Tuhan memanglah mendengar doa-doaku.

Dari situlah muncul keingintahuan untuk membaca Alkitab dari awal. Perlahan-lahan aku mulai melihat Pribadi Tuhan secara lebih utuh. Upayaku untuk mengenal dan menjalani ajaran Tuhan tidak hanya memperbaiki cara hidupku, tapi juga membantuku mengenal diri dan tujuan hidupku.

Kembali pada kisah bangsa Israel, ada satu momen ketika mereka menolak masuk Kanaan karena tidak percaya Tuhan akan sungguh-sungguh melaksanakan janji-Nya (Bilangan 13:1-33). Dalam benak mereka, bagaimana mereka bisa menang dari orang-orang Kanaan? Karena satu ketakutan, mereka lupa bahwa mereka telah menyeberangi Laut Teberau yang terbelah oleh kuasa Tuhan. Mereka juga sudah meminum air di Mara yang tadinya pahit tetapi diubah Tuhan menjadi manis. Masih banyak bukti penyertaan Tuhan yang ajaib, tetapi bangsa Israel mengabaikan semuanya dan terus melukai hati Tuhan dengan tidak mempercayai-Nya.

Sepanjang tahun kemarin, aku memiliki sejumlah pokok doa tentang masa depanku yang belum terjawab. Ketika aku mulai ragu, aku akan mengingat kembali kisah penyertaan Tuhan bagi bangsa Israel. Pada kitab Yosua pasal 1 dituliskan bahwa setelah Musa meninggal, Yosua dipilih untuk jadi pemimpin. Tugas ini tidak mudah dan Tuhan menguatkan Yosua dengan tiga kali berfirman:

“Bukankah telah kuperintahkan kepadamu: kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu? Janganlah kecut dan tawar hati, sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi” (Yosua 1:9).

Kisah perjalanan bangsa Israel menuju tanah Kanaan memberikan gambaran mengenai siapa Tuhan kita. Dia Tuhan yang setia, baik, juga pemerhati. Seperti bangsa Israel yang harus menghadapi prajurit-prajurit Kanaan yang perkasa, mungkin kita pun akan menghadapi kesukaran di tahun 2023. Kesukaran itu bisa saja berbentuk ketidakpastian, ketakutan, dan krisis. Akan tetapi, teman-teman, kita tak perlu merasa tak berdaya. Kita punya Tuhan yang hebat dan bisa dipercaya. Mari kita lakukan bagian kita dan berjalan bersama Tuhan.

Aku Ingin Menceritakan Kebaikan Tuhan

Oleh Nikita Theresia, Depok

Halo teman-teman, ini adalah pengalaman pertamaku menulis sebuah artikel rohani. Aku berdoa tulisan sederhana ini jadi berkat buat siapa pun yang membacanya. Judul artikel ini adalah isi hatiku, tentang pengalamanku merasakan sendiri kebaikan-kebaikan Tuhan khususnya sepanjang tahun 2022 yang baru saja kita tutup.

Aku merupakan fresh-graduate dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perjalanaku sepanjang 2022 sangat menguras tenaga, pikiran, waktu, dan perasaan. Selain jadi mahasiswa, aku merangkap juga sebagai tulang punggung keluarga. Aku tidak pernah menganggap status gandaku ini sebagai beban, melainkan aku percaya bahwa Tuhan sedang memakaiku untuk menjadi berkat buat keluargaku.

Perjalananku menuntaskan skripsi kulalui dengan penuh air mata. Sembari kuliah, aku harus memenuhi kebutuhan keluarga. Aku bekerja sambilan sebagai guru les dan kadang membantu proyek dosenku seperti menulis jurnal dan membantu beberapa kegiatan. Ada suatu momen ketika pengeluaranku membengkak, yang membuatku sempat pesimis. Tapi, berkat kebaikan Tuhan, dosen pembimbingku memberiku tawaran mengajar di sebuah sekolah sebagai guru pengganti selama tiga bulan. Tanpa berlama-lama aku menerima tawaran itu.

Sampai tibalah waktu sidangku. Jujur aku takut karena kegiatanku sangat banyak. Aku khawatir jika nanti hasil sidangku mengecewakan. Namun, berkat dukungan keluarga dan doa mereka, aku dapat melewati sidangku dan puji Tuhan, hasil akhirnya aku dinyatakan lulus. Aku pulang dengan penuh sukacita, dan berkat Tuhan tidak berhenti di sini saja. Esoknya ketika aku datang ke sekolah, murid-murid memberiku kejutan sederhana. Mereka menulis di papan, “Ms. Nikita lulus sidang.” Ini adalah suatu hal yang tidak terduga bagiku, dan aku tidak menyangka penyambutan sederaha itu membuatku terharu.

Tanpa terasa, setelah sidang dan mengurus berkas-berkas wisuda, waktu mengajarku selama tiga bulan sebagai guru pengganti pun usai. Ada perasaan sedih karena aku tidak akan bertemu dengan siswa-siswaku lagi. Di hari terakhirku di sekolah, lagi-lagi aku merasakan kebaikan Tuhan. Para siswa di setiap kelas yang kuajar meninggalkan beragam tulisan yang menyatakan perasaan mereka selama diajar olehku. Aku tersentuh dan sangat bersyukur karena Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa bagiku.

Setelah tugasku di sekolah usai, aku kembali menghadapi dilema. Bagaimana hidupku setelah ini? Apakah aku akan menganggur? Pikiran negatif ini membuatku sampai jatuh sakit selama seminggu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah aku mencoba berpikir positif, tetap berdoa dan mengandalkan Tuhan. Kukirimkan beberapa lamaran ke sekolah dan puji Tuhan semuanya direspons baik. Ada satu sekolah yang mencuri perhatianku dan tanpa ragu kukirimkan lamaranku. Tanpa berselang lama, mereka menghubungiku dan aku mengikuti semua tahapan rekrutmen. Kurang dari satu minggu aku diterima sebagai guru full time dan penerimaan ini terjadi tepat satu minggu sebelum aku diwisuda.

Pada hari wisudaku, aku merasakan kebahagiaan kedua orang tuaku dengan wajah tersenyum, empat tahun mereka menanti momen indah ini dan setelah wisuda besoknya aku sudah bekerja. Aku meneteskan air mataku karena aku bersyukur Tuhan menolongku melewati semua yang terjadi dalam hidupku.

Aku bersyukur dan sangat bersyukur kepada-Nya. Aku menjalani tahun-tahunku selama perkuliahan bukan hal yang mudah, terutama di tahun 2022. Tuhan masih memberikan kepadaku kesempatan untuk bertumbuh di tempatku yang baru dan aku percaya Dia akan memberikan kekuatan kepadaku melewati semuanya. Aku teringat pada satu ayat Ibrani 13:8, “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya”.

Tahun demi tahun bisa berganti, setiap momen pasti berlalu dan berganti. Tetapi Yesus Kristus tetap sama, dan aku ingin menceritakan kebaikan Tuhan hari ini dan sampai selama-lamanya.

Mendoakan Apa yang Kita Kerjakan, Mengundang Tuhan Hadir untuk Berkarya

Oleh Ledyana, Kediri 

Berdoa dulu sebelum berbuat sesuatu. Inilah yang belakangan ini semakin giat kulakukan. Bukan supaya langkahku jadi semakin mudah, tapi aku meminta agar Tuhan hadir dan berkarya melalui apa pun yang aku kerjakan. 

Awal Juli 2022 aku terdaftar sebagai peserta sidang skripsi, tepat di jadwal terakhir pada semester genap. Sehari sebelum ujian, nama dosen penguji diumumkan dan apa yang kutakutkan pun terjadi. Dosen yang terkenal killer menjadi salah satu dosen pengujiku. Aku pernah ikut kelas yang diampu beliau dan tak pernah sekalipun aku memperoleh nilai lebih dari C+. Aku merasa beliau akan jadi tantangan terbesarku, namun aku masih tetap optimis bisa mengatasinya. 

Sidang skripsi pun berlangsung. Setelah selesai aku menangis, tapi bukan karena terharu bahagia. Aku menangis karena sedih. Seperti dugaanku, dosen yang kutakuti itu memberikan kritik tajam dan mengajukan beberapa pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan lancar. Saat sidang berakhir, aku juga tidak tahu apakah aku lulus atau tidak karena majelis penguji tidak mengatakan apa pun mengenai hasilku. Aku yang awalnya optimis sekarang susah untuk berpikir positif karena aku tahu kalau revisi skripsiku nanti bersifat mayor… dan menurut buku pedoman, skripsi dengan revisi jenis mayor akan menyebabkan mahasiswa tidak diluluskan. 

Di tengah ketidakpastian, aku bisa saja membiarkan ketakutan dan rasa putus asa menguasaiku, tetapi aku memutuskan untuk tetap melangkah dan mengandalkan Tuhan. Aku ingat Filipi 4:6 yang mendorongku untuk tidak khawatir, melainkan aku bisa menaikkan segala keinginanku pada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Aku bersyukur Tuhan menuntunku sampai ke titik ini dan aku pun belajar berserah karena aku yakin Tuhan pasti akan membuka jalan dan semua yang Dia izinkan adalah untuk kebaikanku. 

Awalnya aku bertanya-tanya, mengapa jalan yang kulalui terasa sulit meskipun di awal aku sudah berdoa. Aku masih takut menghadapi dosenku yang killer itu, tapi aku tetap berusaha menghubunginya terkait revisiku. Pada revisi pertama, beliau membalasku dengan kata-kata yang terasa pedas. Doa-doa yang kunaikkan memang tidak mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi Tuhan mendengar doaku dan menguatkan hatiku untuk berani bertindak. 

Masa revisi yang diberikan seharusnya dituntaskan dalam maksimal dua minggu, tetapi aku harus molor sampai hampir satu bulan karena banyaknya saran perbaikan. Pada awal Agustus, tiba-tiba ada pengumuman jadwal penyerahan berkas revisi diperpanjang sampai tanggal 12, artinya aku masih bisa menyempurnakan revisianku. Sekali lagi, kuajukan hasil revisiku ke dosen yang kutakuti. Dengan pertolongan Tuhan, pada tanggal 10 aku memperoleh persetujuan hasil revisi dari beilau sehingga hasil revisi finalku bisa kukirimkan lengkap ke staf akademik fakultas dan aku pun bisa bebas uang kuliah di semester depannya. 

Masa-masa akhir kuliahku sungguh jadi perjalanan iman yang menguatkanku. Sebenarnya bukan hanya di akhir perkuliahan saja aku mengalami kendala yang cukup sulit. Sempat selama tiga semester berturut-turut IPK-ku turun, tetapi Tuhan terus menolong sampai IPK-ku bisa konsisten naik di semester-semester selanjutnya. 

Pengalamanku berdoa dan dituntun Tuhan selama masa-masa skripsiku mungkin tidaklah sebanding dengan beragam badai kelam yang kita semua sedang hadapi, tetapi keyakinan yang dapat selalu kita pegang adalah tidak ada badai yang terlalu hebat yang tak bisa Tuhan atasi. Jika skripsi saja Dia sertai, tentu Dia pun akan menyertai dan berkarya lebih banyak dalam hidup kita. 

Marilah kita senantiasa berdoa dan izinkan Tuhan berkarya. 

Eben Haezer: Sampai di Sini Tuhan Menolong Kita

Oleh Meliani Chandra

Ketika aku mengalami pergumulan, ketika aku dapat melewati fase-fase berat, aku selalu teringat kata yang tertulis di judul tulisan ini. Kali ini aku mau bercerita tentang penyertaan dan pertolongan Tuhan selama dua tahun pertamaku bekerja.

Saat itu aku adalah seorang fresh graduate dari jurusan kesehatan. Berawal dari penantian panjang dalam mendapatkan pekerjaan tetap, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang. Sebenarnya sangat banyak pertimbangan yang aku gumulkan apakah aku sebaiknya mengambil kesempatan ini atau tidak. Di satu sisi, aku merasa inilah jawaban dari doaku, kerinduanku untuk bekerja di bidang klinis. Namun di sisi lain, jika aku bekerja di sana, aku harus meninggalkan rumah dan tinggal di Tangerang (jam kerja shifting membuatku sulit untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang setiap hari) dan meninggalkan banyak hal : 1) quality time bersama keluarga; 2) persekutuan di mana aku bertumbuh sejak kecil, serta pelayanan dan orang-orang di dalamnya; 3) pendapatan yang lebih besar dibanding yang sekarang (ya memang karena dulu kerja siang malam). Ditambah lagi, sistem kerja yang shifting; yang tidak mengenal weekend dan tanggal merah. Namun, setelah aku bercerita ke beberapa orang terdekat, menggumulkan, serta mendoakan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini.

Pada saat awal masuk, rasanya super duper berat untuk dijalani. Mulai dari jobdesc pekerjaan yang kurang sesuai ekspektasi, pengalaman yang minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, dituntut untuk cepat bisa, senioritas tinggi, waktu kerja yang shifting dan antimainstream (ketika aku libur, teman-temanku masuk, mereka libur, aku yang masuk), jadi anak rantau (walaupun cuma jarak Jakarta-Tangerang) yang tidak punya teman karena aku masih junior, dan lain-lainnya. Bisa dibilang, setiap hari aku ingin cepat-cepat libur supaya bisa pulang ke Jakarta.

Selain itu, dalam kehidupan spiritual aku pun harus beradaptasi. Sejak bekerja di tempat ini aku harus terbiasa bekerja di hari Minggu. Memang ada saat-saat tertentu aku bisa dapat libur di hari Minggu. Namun, di masa-masa awal, hal ini terasa begitu berat (sampai sekarang juga masih menjadi pergumulan tersendiri). Dinas di hari Minggu membuatku kejar-kejaran dengan waktu. Jangankan persekutuan. Jangankan pelayanan. Bisa ibadah saja sudah bersyukur.

Ya, begitulah kurang lebih pergumulanku di masa awal aku mulai bekerja. Untuk survive saja rasanya sulit dan mau menyerah. Seringkali aku bertanya, “Apa benar ini maunya Tuhan? Sepertinya ini hanya keinginanku saja. Sepertinya aku salah memilih jalan.”

Tapi … dalam dua tahun inilah aku mengalami apa yang namanya diproses Tuhan. Proses itu memang tidak enak, ibarat logam yang dipanasi, dilelehkan, dan ditempa. Aku percaya Tuhan memprosesku untuk menjadi lebih indah melalui masa-masa tidak enak dan menyakitkan yang kualami. Dia mengajarkan aku banyak hal. Dia mengizinkan aku untuk menikmati pengalaman-pengalaman berharga. Sangat jelas dan nyata penyertaan dan pertolongan-Nya di dalam kehidupanku (dan tentunya kita semua).

Inilah empat hal yang kupelajari yang aku ingin bagikan buatmu.

1. Di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan sempurna

Ketika aku berada di titik terendah, stres dalam beradaptasi dengan pekerjaan, Tuhan menyediakan keluarga, teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan mendoakan, yang tidak bosan-bosannya mendengarkan cerita dan keluh kesahku. Merekatidak mencibir aku payah karena mengeluh terus dan merasa tidak sanggup, tapi selalu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang sudah hampir rusak. Di dalam kelemahan dan keterbatasanku, ketika aku merasa tidak bisa apa-apa, justru Tuhan yang memampukan aku untuk melewati satu demi satu rintangan, bukan dengan caraku, tapi dengan cara-Nya yang di luar akal manusia. Ia mengizinkan aku mengalami “kesengsaraan” untuk membentuk diriku menjadi tekun dan tahan uji, serta selalu berharap pada Tuhan.

2. Harta yang paling berharga adalah keluarga

Walaupun seminggu sekali aku selalu pulang setiap libur, tetap saja rasanya 1 hari dalam seminggu itu kurang untuk quality time bersama keluarga. Belum lagi, aku juga harus membagi waktu untuk bersosialisasi dan temu kangen dengan teman-teman. Walaupun jaraknya hanya Jakarta-Tangerang, aku menyadari bahwa tinggal bersama keluarga itu paling membuatku nyaman dan aman.

3. He makes all things beautiful in HIS time

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1). Yup. Ayat ini benar sekali. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3:4).

Tuhan tidak membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Perlahan-lahan, badai pun mereda dan terbit pelangi yang indah.

Ketika kita dengan sungguh-sungguh belajar dan berusaha, tentu hasil tidak akan mengkhianati usaha. Ketika saat ini aku bisa memberikan konsultasi dan edukasi ke banyak orang, bahkan ketika mereka bisa pulang dengan sehat, di situ aku merasa “It’s only by HIS Grace!” Bahkan, Tuhan berikan aku bonus untuk mencicipi berkat yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya, sebuah prestasi yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Siapalah aku, kalau bukan Tuhan yang memanggil? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang memampukan? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang membentuk dan memproses? Layakkah seorang ciptaan dan alat untuk memegahkan diri? Tentu tidak! Yang keren dan hebat itu ya Penciptanya, Allah sendiri.

Dalam hal kebutuhan spiritual pun, perlahan-lahan aku lebih dapat mengatur jadwal hari Mingguku untuk dapat beribadah, bersekutu, dan melayani. Kuncinya tetap berdoa dan berusaha. Walaupun tidak sebebas dulu sebelum bekerja, tapi kondisi saat ini lebih baik dibanding waktu baru masuk bekerja. Terpujilah Tuhan!

4. Pelayanan adalah anugerah

Memang hidup ini adalah pelayanan. Pelayanan itu tidak terbatas pada konteks kehidupan bergereja. Aku setuju. Tapi bagiku, ikut kebaktian seminggu sekali saja tidaklah cukup. Aku butuh persekutuan, aku butuh pembinaan, aku butuh pelayanan. Persekutuan, pembinaan, maupun pelayanan membantuku semakin menikmati dan mengenal Allah. Dan, di sini aku kembali menegaskan bahwa pelayanan adalah anugerah. Tidak semua orang bisa melayani. Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk melayani. Tidak semua orang memiliki kesehatan untuk dapat melayani. Maka dari itu, ketika kita masih diberi waktu, masih diberi kesempatan, masih diberi kesehatan oleh Tuhan, mari kita beri diri untuk dipakai-Nya.

Kira-kira, inilah yang bisa kubagikan. Masih banyak berkat Tuhan yang tidak kuceritakan di sini, karena terlalu banyak berkat dan pertolongan Tuhan di dalam kehidupanku.

Satu hal kuyakini, Tuhan yang telah menolong kita sampai disini, Tuhan yang sama akan senantiasa menolong kita sampai kapanpun. Semoga bisa menjadi berkat bagi teman-teman yang membaca. GBU.