Posts

Sepotong Brownies

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Aku mendaratkan diri di sofa café di seberang kosanku. Aku baru selesai kerja dan sengaja tidak langsung pulang ke kos. Tampaknya aku perlu secangkir kafein untuk hari yang mendung ini. Sejak pagi rasanya aku terus mengantuk.

Aku menguap, menatap ke jendela, ada titik-titik embun di sana. Mengaburkan barisan kaca-kaca panjang di salah satu sisi kafe ini. Dari sini harusnya kosanku terlihat jelas, bangunan tiga lantai dengan cat biru muda. Bangunan yang menjadi tempatku pulang sejak hampir tujuh tahun ini.

Aku perantau di kota ini. Sejak aku menempuh kuliah, kemudian terasa nyaman dan memutuskan untuk bekerja di kota ini. Dan hanya sesekali aku pulang ke rumah. Dua atau tiga kali dalam setahun.

Aku sih nggak mau merantau ya, apalagi beda provinsi seperti kamu Des, nanti lama-lama jadi terasa jauh sama orangtua sendiri,” kata seorang teman kerjaku saat suatu hari kami tidak sengaja ngobrolin tentang tempat tinggal sebelum memulai rapat.

Kalau aku sih kenapa nggak pengen merantau karena aku nggak bisa tinggal sendiri, nggak siap menjalani hidup sendiri, kayaknya bakal banyak masalah kalo tidak tinggal bersama orangtua,” sambung seorang temanku yang lain. Aku menggumam samar, saat itu tidak sempat menanggapi karena rapat akan segera dimulai.

Sekarang entah bagaimana aku tiba-tiba teringat akan percakapan itu. Berpikir.

Seorang pelayan café yang cukup mengenalku mendekat, membawa nampan di tangan kirinya dengan secangkir kopi latte, pesanan standarku setiap kesini. Aku tersenyum, lalu menyeruput isinya. Rasa hangat menjalar di tenggorokanku. Nyaman.

Aku kembali memikirkan hal tadi. Apakah sekarang aku dan orangtuaku jadi terasa jauh? Apakah selama ini aku mendapat banyak masalah selama tinggal jauh dari orangtua?

Pelayan café tadi terlihat kembali berjalan ke arahku, kemudian meletakkan sepotong brownies dalam piring kecil di samping cangkir kopiku. Aku memandang bingung, rasanya aku tidak memesan apapun yang lain. Dan bukannya café ini tidak menjual brownies?

“Ini menu baru café kami. Silakan dinikmati,” kata pelayan itu tersenyum ramah. Aku ikut tersenyum membalasnya, mengucapkan terimakasih.

Sepotong brownies coklat ini tampak cukup menggugah selera, pasangan yang pas untuk secangkir kopi hangat. Aku langsung menyendok dan menikmatinya. Beberapa detik aku hanyut dengan brownies itu, sampai aku merasa seperti sedang de javu. Aku merasa seperti di rumah. Seperti sedang menikmati brownies buatan Mama yang selalu dibuatnya saat aku pulang.

Aku memejamkan mata. Tiba-tiba teringat akan ayat SaTeku tadi pagi:

Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu.” (Mazmur 32:8).

Aku mengulang kata demi katanya dalam pikiranku.

Memang, aku sudah bertahun-tahun merantau ke kota ini. Aku jarang pulang ke rumah dan aku memang bukan tipe anak yang selalu menghubungi orangtuanya setiap hari. Orangtuaku mungkin tidak selalu tahu semua aktivitas yang kulakukan, tapi mereka selalu memastikan bahwa aku baik-baik saja. Masalah demi masalah ada-ada saja, tapi aku sesungguhnya tidak pernah mengatasinya sendirian. Dan, bukankah jauh ataupun dekat dari mereka, masalah bisa saja tetap ada? Yang penting adalah kita tetap saling terhubung.

Aku kemudian menyadari sesuatu. Untuk hubungan anak dan orangtua saja bisa begitu terasa, apalagi hubungan kita dengan Tuhan, ya? Tuhan pasti selalu ingin mengajar dan menunjukkan jalan yang harus kutempuh, oleh karena itu Dia ingin agar aku selalu dekat pada-Nya, selalu terhubung dengan-Nya. Meski dekat pada-Nya tidak berarti semua masalah yang ada akan sirna, tapi mengetahui bahwa aku selalu terhubung dengan-Nya membuatku tenang; bahwa aku tidak pernah ditinggalkan. Bahwa Dia selalu ingin memberi nasihat kepadaku. Bahwa mata-Nya tertuju kepadaku. Bahwa Dia tidak akan pernah jauh, bahkan saat aku sering menjauh.

Ponselku bergetar di atas meja, aku tersentak. Sebuah pesan di grup obrolan kelompok PA-ku.

Kak Lestari: Guys, besok kita PA-nya jam 7 aja yaa. Sepertinya kakak sedikit terlambat karena ada pelayanan di tempat kerja.

Perasaan bersyukur menjalari hatiku. Aku bersyukur untuk orang-orang yang Tuhan berikan untuk menolongku bertumbuh secara rohani selama ini. Orang-orang yang membimbing aku belajar Alkitab, belajar bercerita Alkitab, dan belajar untuk selalu terhubung dengan-Nya.

Sepotong brownies dapat membuat aku merasa sedang di rumah, merasa dekat dengan orangtuaku meski sedang jauh jaraknya. Tapi Yesus, Dia tidak hanya terasa dekat karena diingatkan oleh suatu kenangan apa pun. Dia memang benar dekat, dan selalu di sini.

Aku menghembuskan napas pelan, tersenyum sendiri. Menyadari betapa pentingnya untuk selalu terhubung dengan-Nya. 

Ponselku bergetar lagi, kali ini dari grup obrolan dengan nama “Elshaday”.

Mama: Lagi pada di mana anak-anak Mama? Udah pulang kerja?

Sekali lagi aku tersenyum, lalu mengetikkan balasan yang kemudian ditimpali oleh kakak dan adikku. Kemudian sebuah foto dikirim lagi, foto Bapak yang sedang menikmati sepotong brownies yang pasti adalah buatan Mama. Senyumku semakin mengembang; keluarga ini pun wujud kasihNya kepadaku. Bagaimana mungkin aku dapat menjauh dari-Mu ya Tuhan, kalau segala sesuatunya adalah anugerah-Mu?” bisikku pelan.

Aku meraih cangkir kopiku, mencoba menghirupnya, tapi ternyata sudah dingin. Kopinya dingin, cuacanya pun dingin, tapi suasananya entah mengapa hangat. Aku meneguk kopi dingin itu sampai tidak bersisa. Besok lusa aku akan menikmatinya lagi selagi hangat, kala itu pasti akan ditemani sepotong brownies lagi.

“Hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku.” (Mazmur 62:2).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Ketika kulihat hidupku penuh cela dan noda…

Benar adanya firman Tuhan ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” ( Yohanes 15:13).

Kasih-Nya pada kita adalah kasih yang besar dan tulus. Dia yang suci telah merelakan nyawanya untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Yuk, bersyukur selalu atas cinta kasih Yesus dengan tetap hidup di dalam-Nya 🤗

Artspace ini ditulis oleh @nonielina, dibuat oleh @meilimu, dan diterjemahkan juga dalam bahasa Inggris @ymi.today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Apakah Kitab Imamat Masih Relevan Bagi Kita?

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Siapa di antara kalian yang sudah khatam atau tuntas membaca seluruh isi Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu? 

Aku berikan dua jempolku untuk kalian yang sudah pernah membaca seluruh isi Alkitab! Tapi, terlepas kalian pernah khatam atau tidak, kalian pasti setidaknya pernah membaca kitab Imamat. Nah, ketika membaca kitab ini, apa yang kira-kira kalian pikirkan? 

Ketika membaca Imamat, di pikiranku terlintas sebuah pertanyaan: “untuk apa aku membaca aturan ibadah dan hari raya Perjanjian Lama? Kan sekarang sudah tidak dilakukan lagi.”

Rincian detail tentang aturan-aturan di kitab Imamat menunjukkan bahwa pada masa Perjanjian Lama ada hukuman mengerikan bagi mereka yang melanggar aturan ibadah atau hari raya karena pada masa itu ketidaktaatan dianggap sama dengan memberontak terhadap Allah yang suci dan kudus. Di kitab Perjanjian Baru, ketika Yesus sudah menjadi Juruselamat bagi manusia, mereka yang melawan dan membohongi Roh Kudus juga mendapat hukuman mengerikan seperti di kisah Ananias dan Safira. Tapi, kok di kehidupan sehari-hari kita tidak melihat hukuman instan seperti itu ya? Semisal ketika kita tidak hadir beribadah di gereja saat Paskah tapi malah jalan-jalan ke tempat wisata, kita tidak seketika dihukum, malah yang ada kita jadi senang karena liburan.

Pertanyaan-pertanyaan ini membuatku penasaran. Aku percaya bahwa seluruh isi Alkitab adalah firman Allah yang relevan bagi pendengarnya di segala masa. Namun di sisi lain, aku juga penasaran apakah kitab Imamat atau aturan-aturan lainnya yang tertulis di kitab lain masih relevan dengan masa sekarang atau tidak. Apakah kalian juga pernah penasaran sepertiku?

Aku akhirnya menemukan jawabannya di kitab Ibrani. Pada pasal 10 ayat 18 tertulis, “Jadi apabila untuk semuanya itu ada pengampunan, tidak perlu lagi dipersembahkan korban karena dosa. Sekarang, ketika pengampunan bagi semuanya itu telah tersedia, maka tidak diperlukan lagi kurban untuk menebus dosa. Tetapi di mana ada ampun, di situ tiada perlu lagi korban karena dosa.”

Dari ayat ini, tersurat bahwa aturan-aturan yang ada di kitab Imamat tidak perlu kita lakukan lagi karena kita sudah mendapat pengampunan dosa melalui kematian Yesus. Karya keselamatan Yesus di atas kayu salib mendamaikan relasi kita dengan Allah Bapa sehingga kita dapat langsung datang dan berkomunikasi dengan Tuhan tanpa harus melakukan berbagai aturan. Wah… berarti jawabannya kitab Imamat tidak relevan? Bukan seperti itu, kitab Imamat sejatinya tetap relevan hingga saat ini. 

Anugerah keselamatan dari Kristus kepada manusia inilah yang sebenarnya menjadi alasan mengapa kita harus mengetahui atau mengenal aturan ibadah dan hari raya di Perjanjian Lama. Tujuannya supaya kita paham mengapa keselamatan yang Yesus berikan itu benar-benar berharga dan diberikan kepada kita tanpa syarat. Tidak hanya itu, dengan kita tahu aturan-aturan serta respons para tokoh dalam Perjanjian Lama terhadap tiap detail aturan, akan menolong kita paham apa yang menjadi penyebab banyak orang saat itu—terutama para pemuka agama Yahudi—meminta Pontius Pilatus untuk menyalibkan Yesus. Ketatnya aturan membuat mereka cenderung mementingkan aspek legalitas. Pokoknya semua aturan ibadah itu harus benar-benar dilakukan tanpa cela, sampai-sampai dalam melakukannya mereka jadi kehilangan kasih. Dan, seperti kita dapat simak dalam Injil, orang-orang Farisi yang dikenal “saleh” itu lebih memilih segudang aturan daripada menerima kasih Yesus yang sebenarnya jauh lebih berharga dari apa yang mereka anggap penting itu.

Memang kita saat ini tidak lagi melakukan aturan-aturan Taurat karena Yesus Kristus telah menjadi “korban sempurna” untuk kita. Atas pengorbanan-Nya, kita menerima pengampunan tanpa harus memberikan korban penghapusan dosa di waktu-waktu tertentu, dan relasi kita dengan Tuhan pun telah dipulihkan. Kita dapat bertemu dan berbicara dengan Tuhan kapan pun dan di mana pun tanpa kita harus pergi ke bait Allah di Yerusalem atau melakukan ritual seperti memberi korban bakaran untuk dapat bertemu dengan-Nya. Namun, ini tidak berarti makna dari aturan ibadah dan hari raya dalam Perjanjian Lama—secara khusus kitab Imamat—tidak bisa kita terapkan maknanya di masa sekarang.

Aturan ibadah dan hari raya pada masa Perjanjian Lama diberikan Allah kepada manusia bukan tanpa maksud. Selain supaya manusia yang berdosa dapat bertemu dengan-Nya yang kudus, Taurat juga diberikan supaya manusia ketika melakukannya dapat mengingat akan kasih dan kuasa Tuhan yang telah menyelamatkan mereka dari penderitaan dan yang membawa mereka kepada “tanah yang baik”. Jadi, meskipun kita saat ini tidak melakukan segala aturan detail kitab Imamat lagi, kita tetap harus  melihat bahwa hukum-hukum tersebut sebagai tanda kasih Tuhan yang sudah menyelamatkan manusia dari penderitaan, dan membawa manusia kepada “tempat” yang menghadirkan sukacita. 

Hmm…sepertinya aku membuat kalian pusing. Coba aku berikan contoh ya.

Setiap kita ibadah di gereja, kita biasanya memberikan persembahan. Nah, apa sih tujuan dari persembahan? Tujuannya adalah sebagai bentuk ucapan syukur kita kepada Tuhan atas berkat dan kasih-Nya yang Ia berikan kepada kita. Tanpa kita mengerti tujuan dari persembahan, maka kita bisa saja menganggap persembahan sebagai sesi “memberikan sumbangan sukarela.”

Nah, sama halnya ketika kita melihat kitab Imamat. Ketika kita hanya membaca kita Imamat tanpa melihat tujuan penulisannya, maka kita hanya akan menemukan aturan ibadah dan hari raya yang sudah kuno dan tidak berlaku. Namun, apabila kita melihat kitab Imamat lebih dalam, maka kita akan melihat bahwa aturan-aturan itu sebenarnya diberikan karena Allah ingin dekat dengan umat-Nya. Tak cuma itu, segudang aturan ibadah itu sebenarnya bisa menjadi sarana bagi umat Tuhan untuk menanggapi anugerah yang Tuhan sudah berikan. 

Setelah menemukan bahwa ternyata kitab Imamat itu relevan di masa sekarang, lalu apa tanggapan kita atau respons kita terhadap kitab Imamat?

Jawabannya, kita sebaiknya tidak lagi melewatkan kitab Imamat atau kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama yang berbicara mengenai aturan beribadah ataupun peringatan hari raya. 

Meski detail-detail ritual di Perjanjian Lama tak lagi kita lakukan, tetapi makna di balik itu semua masih bisa kita terapkan dalam liturgi ibadah kita, baik itu dalam ibadah komunal hari Minggu, ataupun ibadah personal kita setiap hari. Semisal, ketika kita ada liturgi pengakuan dosa, persembahan, doa berkat, dan lain sebagainya mari kita tidak asal-asalan dalam mengikutinya. Ikuti tiap liturgi gereja dengan sikap hati bersyukur sebagai respons kita atas anugerah keselamatan yang sudah kita terima dari Tuhan. Kemudian, ketika kita merayakan atau memperingati hari raya Kristiani, mari melakukannya bukan hanya karena formalitas, namun kita sungguh-sungguh memaknai apa yang menjadi latar belakang dan maksud Allah dari peringatan tersebut.

Semoga dengan kita tahu relevansi kitab Imamat di masa sekarang, dapat memberi kita semangat untuk mau sungguh-sungguh lagi dalam beribadah kepada Tuhan. Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Jalan Panjang Menang dari Candu Pornografi dan Masturbasi

Oleh Aaron Sebastian Surya

Shalom!

Perkenalkan, aku Aaron, seorang dokter yang tengah dalam pemulihan dari candu, dan pada kesempatan ini izinkan aku menceritakan kisah pribadiku.

Perjalanan panjangku terikat dengan candu ini berawal dari kegemaranku bermain jigsaw puzzle dan duduk kursi berlengan dengan motif Winnie the Pooh saat aku berumur 9 tahun. Pokoknya nyaman banget deh kalo duduk di situ. Saat mau menyelesaikan puzzle tersebut, ada beberapa bagian puzzlenya tersisip di selipan kursinya. Pada saat itu aku mencoba merogoh selipan kursi empuk itu sampai ketemu bagian-bagian puzzle yang terselip, dan setelah ketemu aku duduk di kursinya. Tanpa sengaja, saat aku merogoh sambil berlutut, bagian genitalku tergesek. Gesekan itu membuatku merasakan sensasi yang mengenakkan sekali, tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Yang membuat aku bingung pada saat itu, kok celanaku basah? Itulah momen aku pertama kali melakukan masturbasi tanpa disadari.

Saat itu aku masih anak kecil kelas 3 SD. Tidak ada pemikiran apa pun yang kupahami tentang seksualitas. Namun, insting eksploratif yang berkembang pada usia tersebut membuatku mencari cara untuk merasakan sensasi enak yang pernah kurasakan tadi. Tidak ada anggota keluarga yang tahu tentang aktivitasku ini karena aku tidak menceritakannya. Sejak saat itu, aku jadi senang melihat lawan jenis yang tampil dengan busana-busana seksi di televisi. 

Mendekati usia puber, saat di kelas 6SD aku semakin kecanduan dengan aktivitas masturbasi ini karena aku bisa mengakses internet. Ada satu temanku yang aku anggap dekat. Saat di kelas dia berbisik, “Ron, nanti pas di rumah coba akses ini deh, tinggal buka komputer, sambungin internet, terus di browsernya ketik kata-kata kunci ini. Habis itu tinggal klik deh link-nya mau yang mana.” Karena yang menyarankan itu teman baikku dan juga mulai muncul rasa penasaran, aku lakukan apa yang dia disarankan. Itulah momen aku pertama kali menyaksikan pornografi tanpa disadari.

Semenjak itu, kombinasi masturbasi dan pornografi menggerogoti hidupku perlahan-lahan. Aku benar-benar hidup dalam dosa tersebut tanpa aku sadar dan tahu bahwa ini adalah dosa. Awalnya berupa ketidaksengajaan dan rasa penasaran, pada akhirnya melekat sebagai rutinitas. Syukur kepada Tuhan, saat aku kelas 1 SMP kebenaran Tuhan telah disingkapkan padaku. Lewat pelajaran agama di sekolah, guruku memberi tahu bahwa kedua hal yang telah kulakukan dari SD itu adalah dosa. Sejak saat itu, setiap kali aku jatuh dalam dosa, aku selalu mengakui dosa-dosaku dalam ibadah di gereja. Namun, perjalanan untuk bisa lepas dari candu ini adalah perjalanan yang tidak mudah. 

Dalam tahun-tahun hidupku setelahnya, aku sempat bertanya-tanya, apakah aku sungguh jadi orang Kristen jika tetap memelihara kehidupan seperti ini? Kucari tahu berbagai cara untuk bisa lepas dari dosa yang menjerat ini. Kucari khotbah di YouTube tentang masturbasi, pornografi, identitas Kristen, melawan keinginan daging, serta spiritualitas. Pelan-pelan, semua materi yang kusimak menolongku menyusun strategi untuk menanggulangi pergumulan dosaku. Dan, yang aku yakini adalah Roh Kudus tidak tinggal diam. Lewat kerinduan untuk berubah yang mendorongku mencari khotbah-khotbah, aku tahu Roh Kudus sedang bekerja untuk memimpinku lepas dari kecanduan ini. Beberapa Firman yang dibukakan kepadaku antara lain Matius 5:27-28, 1 Korintus 6:18-20, dan Roma 12:1-2. Mulai saat inilah aku berjuang melawan candu ini, peperangan antara melakukan kehendakku atau kehendak-Nya terus berlanjut. Yang dulunya aku tidak sadar bahwa yang kulakukan itu dosa, kini aku telah disadarkan.

Namun setiap kali aku tergoda, seringkali aku jatuh berulang-ulang kali di lubang yang sama. Efeknya, aku selalu diikuti rasa bersalah, merasa tidak layak untuk menghampiri Tuhan, sehingga inginnya menjauh dari hadirat-Nya. Namun, puji Tuhan! Dia tidak membiarkanku lari terlalu lama dan jauh daripada-Nya. Aku ingat kisah Alkitab tentang si bungsu yang melarikan diri dari bapanya. Si bungsu terhilang dan menghabiskan hidupnya di kandang babi. Aku yang tahu kisah itu tidak ingin berlama-lama di dalam ‘kandang babi’. Aku ingin dan harus segera kembali ke pelukan Bapa. Aku juga diingatkan bahwa di luar Tuhan, aku tidak bisa berbuat apa-apa (Yohanes 15:5). Meskipun aku berusaha menjauh dari Tuhan, aku tidak akan pernah bisa terpisahkan dari-Nya (Mazmur 139:7-10). Tuhan juga berfirman bahwa saat aku mendekat kepada-Nya, Dia akan mendekat kepadaku (Yakobus 4:8a).

Aku terus berdoa mengaku dosa-dosaku kepada Tuhan, dan diakhiri dengan berkomitmen untuk menjauhi masturbasi dan mengonsumsi pornografi lagi. Apakah aku segera bebas dari candu itu? Bagi aku tidak semudah itu. Siklus jatuh dalam dosa masturbasi dan pornografi, merasa bersalah, menjauh, mengaku dosa, berjanji untuk tidak mengulang, kemudian jatuh lagi terjadi terus-menerus, seperti lingkaran setan. Tuhan mengizinkan aku berproses selama bertahun-tahun untuk mengalami kebebasan dari candu tersebut.

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13). Inilah salah satu ayat Alkitab yang menguatkanku. Tuhan memberikan aku jalan keluar, tetapi itu dimulai dari aku memberanikan diri untuk mengakui dosa-dosaku kepada sesamaku, karena selama ini kupikir aku cukup mengakui dosa kepada Tuhan saja. Kepada rekan-rekan di gereja aku memberanikan diri untuk mengaku dan mereka pun mendukungku untuk hidup benar. Setelah bersaksi, aku bukannya dihakimi atau dipandang rendah, tetapi aku diberikan penguatan dan dukungan doa oleh sesamaku, sesuai dengan Firman yang berbunyi: “…hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh” (Yakobus 5:16). Dari kejadian itulah aku disadarkan bahwa aku tidak perlu malu dengan dosaku, malah justru perbuatan-perbuatan gelap tersebut perlu dibawa ke dalam terang Kristus supaya hilang kuasanya atas diriku. Keterbukaan memang adalah awal dari pemulihan.  Namun, penting untuk kita ingat bahwa keterbukaan ini perlu kita lakukan pada tempat yang aman dan benar, yakni kepada saudara seiman dalam kelompok kecil, keluarga, atau mentor-mentor rohani yang dapat dipercaya, yang setelah mendengar kesaksian kita bersedia menjadi kawan yang mengingatkan dan menuntun kita untuk tidak terus jatuh di dalam dosa.

Dari sinilah aku semakin bertekun dalam pengenalan akan Firman Tuhan, berpartisipasi dalam kelompok kecil di gereja, menjalin hubungan yang bertanggung jawab bersama sesama dengan pergumulan yang sama sehingga aku bisa di titik sekarang ini. Kini Tuhan menganugerahkan kekuatan kepadaku untuk bisa mengatakan tidak pada keinginan dagingku, dan ya pada keinginan Roh Kudus. Syukur kepada Tuhan, Ia telah membebaskanku dari candu dosa seksual selama 1 bulan lebih, setelah 20 tahun bergumul. Aku tidak kebal dengan pencobaan-pencobaan tersebut, tetapi Tuhan telah menyadarkan aku kembali kepada identitasku yang sesungguhnya. Di dalam Kristus, aku adalah ciptaan baru, yang lama sudah tiada, yang baru telah datang.  

Ketika godaan itu datang, aku menggunakan strategi B.R.A.C.E:

B: Breath, take a few deep breaths

Ambil waktu untuk tarik napas yang dalam, untuk memberi kesempatan supaya otak dapat berpikir lebih jernih.

R: Remember the Truth

Mengingat kebenaran Firman Tuhan mengenai dosa seksual dan identitas kita sesungguhnya sebagai anak Tuhan yang kudus. Hal ini dapat dilakukan bila kita terlebih dahulu menghafal, mengerti dan menghidupi ayat-ayat Alkitab tersebut.

A: Ask God for help

Memohon pertolongan Tuhan. Jujur dan akui kelemahan kita bahwa kita tidak sanggup, dan doa “Tuhan, tolong aku!”

C: Call an accountability partner

Menghubungi teman akuntabel yang sama-sama berjuang dalam memenangkan pergumulan yang sama.

E: Escape the situation

Kabur sejauh mungkin dari situasinya, katakan TIDAK pada keinginan dagingnya.

Aku yakin sepenuhnya, Tuhan Yesus yang telah memulihkan aku dari candu yang aku sempat tidak sadari akan memulihkan teman-teman sekalian juga. Hanya saja, apakah kamu mau mengakui ketidakberdayaanmu dan memohon pertolongan saudara seiman serta pertolongan-Nya?

Tuhan Yesus Kristus memberkati teman-teman sekalian. Salam sehat tubuh, jiwa, dan roh!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tak Selamanya Muda, Tak Selamanya Sehat

Oleh Jenni, Bandung

Amsal 20:29 bertuliskan, “Hiasan orang muda adalah kekuatannya, dan keindahan orangtua ialah uban.” Ayat ini benar adanya dan mengingatkan akan diriku yang masih remaja hingga pemudi. Masa itu memang luar biasa. Di sela kesibukanku bersekolah dan bekerja, tubuhku sanggup begadang dan makan makanan pedas sesukaku. Hampir setiap malam, hampir setiap hari. Akan tetapi segalanya punya batas, termasuk tubuhku.

Aku pun jatuh sakit, dan akhirnya setelah memperbaiki gaya hidup, sekarang aku bisa kembali sehat dan berkegiatan. Namun, melihat ke belakang, aku sadar bahwa menjaga kesehatan itu bukan sekadar supaya tidak sakit. Kali ini, dengan tuntunan Tuhan serta pengalamanku, aku ingin berbagi mengenai mengapa kita perlu menjaga dan merawat kesehatan.

1. Kesehatan adalah sebuah anugerah yang perlu kita pertanggungjawabkan

Usia muda-mudi adalah usia gemilang. Tubuh yang kuat, daya serap tinggi, dan organ tubuh beserta metabolisme yang ajaib, semuanya berfungsi dengan maksimal. Aku adalah salah satu pemudi yang merasakan hal yang sama. Akan tetapi berdasarkan pengalamanku, ada satu karakter orang muda yang bisa menjadi kelemahan, yaitu pengendalian diri.

Pada Mazmur 127:4 tertulis, “Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.” Kemampuan dan kapasitas orang muda yang begitu besar bisa melakukan banyak hal. Namun, tanpa bimbingan dan pengendalian diri, kaum muda bisa jadi tidak terarah. Itulah yang aku abaikan saat remaja. Aku mengabaikan teguran dan peringatan orang tuaku untuk tidak bergadang dan makan sehat. Dan sebelum usiaku mencapai 25, penyakit asam lambung yang tidak terkontrol adalah buah yang aku tuai dari perbuatanku.

Kesehatan adalah anugerah yang kita dapat dengan cuma-cuma. Tapi, tidak selamanya kita sehat. Akan ada saatnya kita menuai apa yang kita konsumsi dan lakukan di masa muda. Karena itulah menjaga kesehatan adalah salah satu tanggung jawab. Namun, sebagai orang muda, ada kalanya kita tidak mampu mencari arah. Dengan emosi yang menggebu-gebu, sulit untuk mengendalikan diri. Karena itulah, selagi bimbingan itu ada untuk kita, yuk lebih dengar-dengaran dan memegang didikan itu.

2. Kita tidak hidup untuk diri kita sendiri

Dulu aku tidak mengerti bahwa menjaga kesehatan diri sendiri memiliki hubungan dengan orang lain. Kukira aku sehat itu untuk diri sendiri. Ternyata aku salah. Setelah jatuh sakit karena asam lambung, barulah aku paham.

Ternyata kalau kita sakit, orang sekeliling kita pun akan terdampak. Perhatian, waktu, dan tenaga mereka akan tercurah pada kita. Saat sakit asam lambung membuatku tidak bisa bekerja, mamaku tanpa mengeluh merawatku hingga sembuh. Karena kecerobohan dan kurangnya pengendalian diri, aku sakit dan mamaku terkena dampaknya.

Sejak saat itu aku sadar arti menjaga kesehatan untuk orang sekitar. Aku pun jadi berpikir lebih jauh mengenai penyakit yang bisa timbul dari pola hidup dan bisa diturunkan risikonya. Menjaga kesehatan manfaatnya tidak hanya buat diri kita sendiri, tapi juga buat orang sekitar kita dan masa depan. Dan, mudah-mudahan dengan tubuh yang kuat kita bisa melakukan rencana Tuhan dalam hidup kita.

3. Bagaikan talenta, dengan kesehatan kita bisa melakukan banyak perbuatan baik

Di Alkitab, Musa tercatat telah melakukan banyak sekali hal. Dari memimpin orang Israel keluar Mesir ke Tanah Kanaan, hingga menulis kitab-kitab di Perjanjian Lama. Bahkan Pada Kitab Ulangan 34:7 tertulis, “Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang.” Betapa hebatnya perpaduan tubuh yang kuat dengan rencana Tuhan!

Baru-baru ini ada sebuah kejadian. Saat hendak pulang kerja ternyata ban motorku kempes. Aku jadi harus ke tukang tambal ban. Begitu ditambal, aku bisa pulang tanpa terhambat apa pun lagi. Begitu juga dengan sebuah perjalanan hidup. Saat sakit, kegiatan kita terbatas. Mungkin ruang lingkup perbuatan kita pun jadi tidak seluas saat masih sehat.

Untuk melakukan hal besar maupun yang terlihat kecil, kita memerlukan tubuh dan pikiran yang kuat dan sehat. Jasmani dan rohani yang sehat akan memperlengkapi kita dalam melakukan perbuatan baik, yang bisa Tuhan pakai untuk menyentuh hati seseorang dan berdampak berlipat ganda dalam kehidupannya.

***

Masa muda adalah pemberian Tuhan yang berharga. Di sana ada semangat yang menggebu-gebu, dan kekuatan fisik yang luar biasa. Bagian kita adalah mengelola dengan menjaga dan merawatnya. Dengan tubuh dan pikiran yang sehat, kita bisa melakukan dan menghasilkan hal baik dalam pimpinan Tuhan. Semoga sharing tadi bisa memberikan hal yang baik bagi teman-teman!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Merengkuh Kegagalan untuk Berjalan Lebih Jauh di dalam Anugerah

Oleh Tabita Davinia Utomo, Jakarta

Disclaimer: Jangan takut untuk melanjutkan studi setelah membaca sharing ini.

Sebagai anak sulung, aku dibentuk dengan ekspektasi bahwa aku adalah sosok panutan bagi kedua adikku. Ekspektasi ini tumbuh sejak aku masih berada di bangku SD, tepatnya sejak mengenal istilah “ranking” atau peringkat. Ada yang sama denganku? Online toss dulu.

Walaupun Papa tidak terlalu memaksaku meraih peringkat terbaik, Mama mendorongku dengan keras agar setidaknya aku bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak heran jika mamaku sangat kecewa karena peringkat keempatku di semester satu kelas 2 SD terjun bebas ke peringkat ke-11 atau ke-12 di semester berikutnya, ditambah lagi wali kelasku itu berkata, “Tabita sebenarnya bisa, kok (lebih dari ini).” Sejak saat itu, mamaku juga mulai lebih serius dalam mendampingiku belajar dan mencari tahu siapa saja teman-teman sekelasku yang berpotensi masuk ke peringkat sepuluh besar. Kalau teman-teman pernah melihat video meme yang mencontohkan omelan bernada tinggi dari seorang ibu karena anaknya tidak bisa menangkap pelajaran dengan cepat, nah… aku pun mengalaminya.

Tahun berganti tahun, jenjang demi jenjang, aku berusaha meraih dan mempertahankan posisiku di dalam peringkat sepuluh besar itu. Aku pernah satu kali masuk peringkat lima besar di semester satu saat kelas 1 SMP, dan aku sangat senang karena “kompetisi” bersama anak-anak yang excel di dalamnya sangat sengit-tetapi-sehat. Namun, “kompetisi” itu makin menjadi-jadi karena aku terlempar di semester berikutnya—dan hanya selisih beberapa poin dari murid di peringkat kesepuluh. Untuk mengembalikan posisiku ke dalam peringkat sepuluh besar sudah jadi hal yang mustahil buatku saat itu, apalagi selama tiga tahun, aku berada di kelas yang sama dengan mereka. Okelah, pikirku, nanti di SMA aku akan berusaha masuk ke peringkat kembali.

Tanpa disadari, kedua momen itu menjadi salah satu konteks yang mendorongku berprinsip bahwa aku tidak boleh gagal dalam apa pun—khususnya studi. Bagaimana tidak? Dengan penampilan seadanya dan perasaan minder karena tidak bisa merawat diri kala itu, hanya prestasi akademik yang bisa aku perjuangkan semaksimal mungkin: mendaftar ke SMA Negeri jalur akselerasi (yang ternyata tertolak, tetapi bisa diterima di jalur reguler), mengambil jalur SNMPTN untuk pendaftaran ke jurusan psikologi di salah satu PTN ternama dan mempertahankan predikat cumlaude di sana, hingga studi magister teologi konsentrasi konseling sekali daftar. Semuanya terlihat lancar dan ideal, ya?

Ternyata kenyataan berkata lain.

Pada akhir masa studi sebagai mahasiswi magister teologi itu, aku mengalami dua kegagalan yang berdampak pada keterlambatan kelulusanku. Sebelumnya, aku berekspektasi bisa lulus kurang dari tiga tahun (karena tahun pertama adalah tahun matrikulasi), tetapi nyatanya aku membutuhkan hampir empat tahun untuk menyelesaikan studiku.

Pertama, aku gagal dalam satu mata kuliah prasyarat. Kalau aku fail, otomatis aku tidak bisa melanjutkannya ke mata kuliah berikutnya yang juga jadi mata kuliah terakhir buatku. Mata kuliah ini pula menjadi gambaran apakah aku dianggap layak untuk lulus dari kelas itu sebagai konselor. Kegagalan itu membuatku beranggapan bahwa aku salah menanggapi panggilan Tuhan sebagai konselor. Iya, aku merasa bahwa Tuhan memanggilku menjadi konselor sejak kelas 3 SMP. Dan selama studi di SMA, S1, hingga menuju akhir S2, aku jarang mendapatkan remedial class. Kalau memang dipanggil jadi konselor, bukankah seharusnya aku bisa melalui setiap kelas tanpa kegagalan? Okelah, kelas ini akan berlalu, kok. Ngulangnya cukup sekali ini aja. Yang lain juga ada yang pernah ngulang. Aku menggunakan pengalaman orang lain untuk “membenarkan” kekecewaan atas diri sendiri yang gagal itu, dan yah aku lulus kelas tersebut.

Kedua—dan lebih parah—adalah aku gagal sidang tesis dua kali. Yang pertama adalah karena aku pernah mundur dari jadwal sidang yang seharusnya (berdasarkan peraturan di konsentrasi kami, ini termasuk gagal), yang kedua… aku gagal di hari-H. Saking fatalnya, aku makin yakin bahwa tesis itu bukan milikku; tesis itu milik para dosen yang berintervensi di dalamnya, dan aku hanyalah tukang bikin tesis sesuai keinginan mereka. Bahkan sampai proses revisinya pun aku masih belum bisa menerima bahwa tesisku gagal—dan harus revisi mayor. Bagaimana aku bisa memperbaiki tesis itu kalau aku sendiri tidak paham dengan apa yang aku tuliskan di dalamnya?

Kedua kegagalan itu membuatku merasa sudah mengecewakan keluarga, pasangan, maupun teman-teman yang mendukungku, dan seolah-olah “membuktikan” bahwa kuliah di tempat itu adalah sebuah kesalahan karena sulit untuk lulus. Pengalaman tersebut juga menyebabkan berbagai keraguan tentang panggilan hidupku, seperti, “Mungkinkah aku terlalu percaya diri untuk mengklaim ‘jadi konselor’ sebagai panggilan yang Tuhan percayakan untukku?”

Syukur kepada Allah: justru di masa-masa sulit itulah aku belajar bersama Tuhan untuk merengkuh kegagalan sebagai bagian yang tidak terhindarkan dari perjalanan hidup. Ketika mendampingiku di awal pengerjaan revisi, salah satu dosen pembimbingku sempat berkata, “Kan, enggak mau, ya, kalau kita sudah mengerjakan tesis susah-susah, tapi dapatnya B- saja.” Bahkan ada pula dosen pembimbing lainnya yang berujar, “Waktu Tabita gagal sidang itu, malemnya saya sampai enggak bisa tidur. Kalau Tabita gagal, Tabita enggak gagal sendirian. Saya juga gagal, karena Tabita, kan, bikin tesisnya sesuai arahan saya.” Namun, yang paling memantapkan hatiku untuk memperbaiki tesis itu adalah pernyataan konselorku, “Tesismu itu milikmu. Kamu yang harus jauh lebih paham daripada para dosen, karena yang bikin, kan, kamu. Kalau kamu enggak paham, bagaimana dengan mereka yang mendengarkan presentasimu?”

Singkat cerita, dalam waktu tiga bulan sejak kegagalan sidang tesis, akhirnya aku bisa kembali mempresentasikannya dengan cara pandang yang baru. Tuhan juga memakai seorang teman untuk meneguhkan hatiku menjelang sidang: dia memberikan beberapa cemilan dengan tulisan, “Tesismu penting, Tabita. Hasil penelitianmu berguna.” Sidang tesis itu pun berbuah manis: aku lulus dengan materi yang lebih aku kuasai dibandingkan sebelumnya, dan aku sadar bahwa setiap proses pengerjaan tesis pun tidak terlepas dari anugerah Tuhan yang menopang.

Kelihatannya semua berakhir dengan bahagia, ya?

Nyatanya, masih ada kegagalan baru yang Tuhan izinkan hadir dalam hari-hari terakhirku sebagai mahasiswi: aku gagal apply kerja di sebuah sekolah yang aku ekspektasikan akan menerimaku. Namun, berbeda dari sebelumnya, aku telah belajar bahwa ada kalanya kegagalan diperlukan untuk mensyukuri apa yang sedang diperjuangkan. Selain itu, aku diingatkan oleh momen ketika seorang dosen lain mendoakanku dalam proses apply kerja, “Jika Tuhan berkenan agar Tabita berkarya di sekolah ini, tolong bukakan semua jalan. Jika tidak, tolong tutup semua jalan dan arahkan dirinya ke sekolah lain yang Tuhan kehendaki.” Doa itu terjawab, walau ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan… sampai akhirnya, aku mencoba untuk mendaftar ke sekolah lain, dan akhirnya diterima di sana untuk mulai melayani sebagai guru Bimbingan Konseling per semester depan.

Mungkin teman-teman yang membaca sharing ini menemukan bahwa kata “aku” dan “-ku” jauh lebih banyak dibandingkan kata “Tuhan”, “Allah”, dan “-Nya”. Yah… bisa dibilang, karena takut gagal lagi, aku ingin mengendalikan semua yang bisa aku lakukan. Saking takut gagal, aku jadi sering overthinking—padahal apa yang di pikiranku itu belum tentu terjadi. Bahkan ada kalanya aku ragu-ragu bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik, toh Dia tidak terlihat. Bagaimana aku bisa percaya sepenuhnya pada Tuhan yang tidak tampak secara fisik? Namun, di situlah aku belajar untuk beriman kepada-Nya sebagai “dasar dari segala sesuatu yang diharapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak dilihat.” (Ibrani 11:1 TB2).

Walaupun memahami keraguanku, Allah pun tahu bahwa pengenalanku terhadap diriku dan diri-Nya tidak boleh buntu. Belakangan, aku baru menyadari kalau keberhasilan yang dicapai justru bisa menjadi bibit kesombongan kalau tidak kuwaspadai. Aku juga disadarkan bahwa ujian sesungguhnya bukan hanya tentang menuntaskan kelas dan tugas akhir atau mengikuti seleksi wawancara kerja, melainkan juga—bersama Tuhan—menghadapi dan berdamai dengan diri sendiri yang rapuh. Aku bersyukur karena menemukan fakta itu sebelum benar-benar lulus. Selain itu, aku juga belajar mengenal Tuhan yang menyukai paradoks. Iya, mungkin tanpa kegagalan-kegagalan itu, aku akan sulit berempati kepada teman-temanku yang bergumul dalam penulisan tugas akhir mereka. Kalau jalan studiku mulus bagaikan jalan tol, aku akan lebih percaya diri mengatakan bahwa anggapan kuliah di kampusku itu tidaklah sesulit asumsi kebanyakan orang.

Berkaca pada pengalaman di atas, aku jadi teringat pada ungkapan John Calvin, seorang tokoh reformator gereja yang menulis buku berjudul The Institutes:

“Without knowledge of self, there is no knowledge of God.

Without knowledge of God, there is no knowledge of self.”1

Tanpa mengenal diri sendiri, aku tidak akan bisa mengenal Allah—begitu pula sebaliknya. Melalui relasi pribadi dengan Allah, aku menemukan harta berharga dari pengalaman merengkuh kegagalan itu, yaitu bahwa Dia adalah Bapa yang selalu beserta—bahkan saat sang anak ini mengambil keputusan yang keliru dan menyalahkan-Nya. Allah yang sama jugalah sumber strength unknown yang selalu menguatkanku dengan cara-Nya untuk berjalan kembali ketika aku merasa sudah menyerah. Jika begitu besar kasih Allah kepadaku, mengapa aku masih ingin menyia-nyiakannya—bukannya makin berpaut teguh pada-Nya?

Teman-teman, mungkin perjalanan hidup kita tidaklah semudah yang dialami orang-orang yang kita kenal. Ada kalanya kita melakukan kebodohan-kebodohan atas pilihan yang didasarkan pada survival instincts tanpa melibatkan Allah di dalam-Nya. Bahkan mungkin kita berulang kali mengasihani diri atas realitas pahit yang terjadi dan sudah tidak ingin memperbaiki diri—yang sebenarnya masih bisa kita lakukan. Namun, anugerah dan belas kasihan Allah melampaui kesalahan yang kita lakukan. Walaupun Dia adalah Sang Mahatahu yang melihat dosa-dosa kita, Allah berkenan mengampuni kita. Tidak berhenti di sana, Allah juga bersedia melibatkan kita di dalam narasi keselamatan-Nya—yang bukan hanya bagi diri kita sendiri, tetapi bagi setiap orang yang Allah pilih untuk menerimanya.

Selain membebaskan kita dari dosa dan kekhawatiran kita akan the unknown, Allah juga mengundang kita untuk menghadapi the unknown bersama-Nya. Kekhawatiran itu memang tidak serta-merta hilang bahkan setelah kita belajar teologi dan mendengarkan banyak khotbah. Namun, Allah berkenan menyambut kita yang khawatir; Dia ingin agar kita tidak pasrah dalam menghadapi the unknown, tetapi ada sebuah tindakan iman yang Dia kehendaki, seperti yang disampaikan oleh Paulus dalam Filipi 4:6, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” Di sini, kehadiran Roh Kudus dan support system sangat penting dalam menolong kita memahami rencana Allah yang misterius itu, agar kita tidak berjalan sendirian menyongsongnya.

Kiranya bersama Allah Tritunggal, kita dimampukan untuk berjalan di dalam anugerah-Nya, karena ada strength unknown yang disediakan-Nya, dan belajar beriman bahwa Kristuslah—Sang Batu Penjuru itu—landasan iman kita.

Selalu Ada Kesempatan Kedua yang Tuhan Berikan Untukmu

Oleh Edwin Petrus, Medan

Sudah sekian lama aku tidak menginjakkan kaki di bioskop karena pandemi Covid-19. Akhirnya, pada awal Januari 2022, aku kembali memanjakan diri dengan menonton di layar lebar. Aku memilih film “Spider-Man: No Way Home.” Tidak ada alasan lain di balik pilihan ini. Spider-Man memang telah menjadi favoritku sejak Marvel merilis seri pertamanya.

Selama lebih kurang dua setengah jam menyaksikan sang manusia laba-laba beraksi, aku berulang kali memikirkan tentang frasa yang secara terus menerus dicetuskan oleh beberapa pemain: second chance (kesempatan kedua). Spider-Man sangat meyakini kalau semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua. Pemikiran Spider-Man ini sempat mendapatkan penolakan keras dari rekan-rekannya. Namun, adegan demi adegan terus memperlihatkan segala daya upaya dari Spider-Man yang tidak berhenti memperjuangkan kesempatan kedua kepada tokoh-tokoh yang dianggap tidak layak untuk mendapatkan kesempatan itu sekali lagi. Pada akhirnya, Spider-Man menjadi seorang yang terlupakan oleh publik, termasuk sahabat karibnya, tetapi dia tetap memilih konsekuensi itu demi kesempatan kedua.

Orang-orang sering berkata: “Seandainya saja waktu bisa diputar kembali.” Ya, mereka berharap bahwa dengan memutar kembali waktu, mereka bisa mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan yang pernah diperbuat pada masa lalu. Pada kenyataannya, waktu terus bergerak maju dan keinginan untuk kembali ke waktu silam hanyalah angan-angan belaka. Kawan, sadarkah kamu kalau hidup kita sekarang ini adalah “kesempatan kedua” yang dianugerahkan oleh Allah?

Memang benar, kejatuhan manusia ke dalam dosa yang dinarasikan di Kejadian 3 seakan menutup kesempatan kedua. Keputusan dari Adam dan Hawa untuk melawan kehendak Allah telah mengantarkan mereka kepada kematian rohani, yaitu keterpisahan dengan Allah. Namun, Allah selalu membuka tangan-Nya lebar-lebar untuk menawarkan kesempatan kedua kepada kita. Sesungguhnya, kesempatan kedua itu selalu tersedia bagi semua orang.

Allah mengetahui bahwa orang-orang yang gagal ini membutuhkan kesempatan yang kedua. Ia menyodorkan solusi yang berkemenangan bagi ketidakberhasilan manusia. Ia tidak perlu memutar kembali waktu dan menghindarkan manusia untuk jatuh dalam dosa. Di dalam kasih-Nya, kesempatan kedua justru diberikan oleh Allah melalui Anak-Nya, Yesus Kristus. Melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib, Allah menawarkan kesempatan kedua kepada semua orang yang mau menerima anugerah keselamatan ini. Di dalam Kristus, semua orang percaya berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua, yaitu hidup kekal dengan relasi yang telah dipulihkan bersama-sama dengan Allah untuk selama-lamanya.

Kalau kita sudah memperoleh kesempatan kedua di dalam Kristus, bagaimana seharusnya respons kita terhadap kesempatan kedua itu? Aku mau mengajak kamu untuk memberikan tiga respons yang akan membuat hidupmu dipenuhi dengan damai sejahtera dari Allah.

Menerima kesempatan kedua dari Allah

Kamu pasti mengenal seorang murid Yesus yang bernama Simon Petrus. Mantan nelayan dari Galilea ini adalah pribadi yang memiliki pengaruh yang besar di dalam kelompok murid-murid Yesus. Petrus menjadi satu-satunya murid yang dengan tegas dan yakin mengakui bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat. 16:13, Mrk. 8:29, Luk. 9:20). Petrus tampil beda di tengah kebimbangan dari saudara-saudaranya yang masih bertanya-tanya “Siapakah Yesus?”

Namun, jawaban Petrus yang mengesankan ini berakhir dengan tragedi di mana si pemberani berubah menjadi si pengecut. Di tengah kerumunan orang banyak yang menonton Sang Anak Allah ditangkap dan diolok-olok oleh prajurit Romawi, Petrus justru menyangkal pengenalannya terhadap Mesias sebanyak tiga kali. Petrus yang pernah tampil menonjol, harus menangis dengan penuh penyesalan karena ia gagal mempertahankan pengakuan publiknya terhadap Mesias (Mat. 26:75, Mrk. 14:72, Luk. 22:62).

Kisah kemuridan Petrus tidak berakhir di sini. Pasca kebangkitan, Yesus mendatangi Petrus secara pribadi dan berbicara empat mata dengannya (Yoh. 21). Yesus seakan mengulangi lagi momen pertemuan pertama antara mereka berdua di danau Galilea (bnd. Mat. 4:18-22). Yesus memberikan kesempatan yang kedua kepada Petrus untuk menjalankan tugasnya sebagai penjala manusia (Mat. 4:19). Yesus meminta Petrus untuk menggembalakan domba-domba-Nya (Yoh. 21:15-19). Kedua terminologi ini memang terdengar berbeda, tetapi memiliki makna yang sama. Kesempatan kedua bagi Petrus adalah menjadi saksi Injil bagi seluruh bangsa di dunia dan iapun telah menerima dan mengerjakan kesempatan kedua itu pada sisa hidupnya.

Kawan, kesempatan kedua dari Yesus juga tersedia buat kamu hari ini. Masa lalumu yang kelam bukan persoalan bagi Dia, karena kedatangan-Nya adalah untuk memulihkan hidupmu. Yesus memiliki rencana yang luar biasa dalam hidupmu. Oleh karena itu, Dia mau memberimu kesempatan kedua. Aku sudah menerima kesempatan kedua ini. Yuk, jangan sungkan untuk menerima anugerah Ilahi itu pada hari ini dan jangan sampai kelewatan ya karena kesempatan kedua belum tentu juga datang dua kali ya kawan.

Menghidupi kesempatan kedua pada diri sendiri

Kesempatan kedua akan mengubahkan setiap anak-anak Tuhan menjadi manusia baru di dalam Yesus. Rasul Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2Kor. 5:17). Ketika setiap anak Tuhan sudah menerima kesempatan kedua, kita bertanggung jawab untuk menghidupi kesempatan kedua sesuai dengan kehendak Allah.

Hidup sebagai manusia baru di dalam kesempatan kedua adalah hidup yang dipenuhi dengan ucapan syukur. Chuck Colson adalah seorang mantan narapidana yang sudah putus asa dengan keadaan dirinya; belum lagi, anaknya juga terjerat kasus narkoba. Namun, di balik jeruji penjara, ia mengalami pembaruan iman melalui saudara-saudara seiman yang selalu silih berganti menjenguknya dan berdoa baginya siang dan malam. Iman Colson kembali diteguhkan dan ia juga mendapatkan visi baru untuk dapat melayani para narapidana dan keluarga mereka serta memberikan bantuan hukum. Setelah menghabiskan masa tahanannya, ia mendirikan Prison Fellowship (Persekutuan Penjara) pada 1976 dan sampai hari ini, organisasi nirlaba ini masih eksis untuk membawa pengharapan kepada mereka yang pernah melakukan kesalahan di masa lalu.

Kawan, mungkin kamu seperti aku yang mempunyai kebiasaan untuk menuliskan resolusi di awal tahun. Ya, kita pasti mengidamkan kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru. Resolusi-resolusi itu hanya akan berupa tulisan yang mati jika kita tidak pernah menghidupi kesempatan kedua itu. Ketika suara alarm membangunkan kita dari tidur, inilah penanda bahwa hari baru telah dimulai dan saatnya bagi kita untuk kembali menjalani kesempatan kedua. Di dalam tuntunan Roh Kudus, kita dipimpin untuk menghidupi iman kita di dalam Kristus agar hidup kita semakin memuliakan Allah.

Aku pun menyadari kalau sering kali diri kita sendirilah yang justru menjadi penghalang untuk bisa menikmati kesempatan kedua itu. Sejuta alasan menjadi dalih yang terus menghantui dan menghakimi kita. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya, aku tidak bisa memaafkan diriku, kesalahanku yang sangat buruk, trauma itu terlalu mendalam buatku, aku menderita luka batin yang amat menggores hatiku, aku itu sampah busuk…. Benar gak kawan?

Namun, bukankah salib Kristus sudah membereskan semua masa lalu kita dan kasih anugerah-Nya lebih besar dari semua ketidaklayakan yang pernah kita bayangkan itu? Yuk, jalani kehidupan dalam kesempatan kedua bersama Yesus dengan penuh antusias! Ingat kawan, kesempatan kedua terkadang tidak datang dua kali. Jadi, mari kita berjuang menghidupi kesempatan kedua seolah-olah itu adalah kesempatan terakhir kita.

Memberi kesempatan kedua bagi orang lain

Kawan, setelah kita memperoleh kesempatan kedua dan menghidupi kesempatan kedua itu, saatnya bagi kita untuk memberi kesempatan kedua kepada orang lain. Siapa sih yang tidak butuh dengan kesempatan kedua?

Markus, sang penulis Injil Markus adalah seorang yang mendapatkan kesempatan kedua dari rekan pelayanannya, Paulus. Kisah Para Rasul 15:35-41 mencatat bahwa Markus menjadi penyebab perselisihan sengit antara Barnabas dan Paulus. Barnabas ingin mengajak Markus lagi dalam perjalanan misi mereka berikutnya, tetapi Paulus menentang hal ini. Markus pernah diajak dalam perjalanan sebelumnya, tetapi dia tidak menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik.

Kesalahan yang pernah dibuat oleh Markus bukan menjadi akhir dari segalanya. Paulus tidak langsung mendaftarhitamkan Markus di dalam tim pelayanannya. Markus kembali mendapatkan kesempatan kedua dari Paulus. Di kemudian hari, Markus dan Paulus bekerja sama lagi bagi pemberitaan Injil. Markus pernah diutus oleh Paulus untuk mewakilinya di dalam mengunjungi jemaat di kota Kolose (Kol. 4:10). Markus pun pernah mendapatkan pujian dari Paulus bahwa pelayanannya adalah penting bagi Paulus (2Tim. 4:11).

Kawan, aku menyadari bahwa memberi kesempatan kedua memang terasa lebih sulit dibandingkan dengan menerima dan menikmati kesempatan kedua itu. Kita sering memandang bahwa kegagalan orang lain lebih besar daripada kesalahan kita. Namun, kemampuan untuk bisa memberi kesempatan kedua menunjukkan kedewasaan rohani kita. Jikalau kita masih sulit memberikan kesempatan kedua itu bagi orang lain, kita bisa berdoa dan meminta Roh Kudus yang melembutkan hati kita untuk melakukan hal itu. Yesus sendiri yang mengajarkan kita untuk bisa mengampuni dosa orang lain sebagaimana kita telah diampuni oleh Bapa di surga (Mat. 6:12). Dia juga pasti rindu untuk memampukan kita melepaskan kesempatan kedua bagi sesama kita.

Damai sejahtera dari Allah baru dapat kita rasakan dengan utuh jika kita sudah menerima kesempatan kedua dari Allah, menghidupi kesempatan kedua pada diri sendiri, dan memberi kesempatan kedua bagi orang lain. Kawan, sudahkah kamu melakukan ketiga hal ini?

2 Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Menganggap Remeh Waktu Tidur

Oleh Edwin Petrus, Malang

Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang teman lama. Dia membawa serta istri dan anaknya yang berusia satu tahunan. Di pertemuan itu, ada satu hal yang menarik perhatianku. Kulihat anak temanku itu dengan gampangnya tertidur ketika sudah dipeluk mamanya. Padahal, beberapa menit sebelumnya, dia masih begitu lincah jalan ke sana-sini.

“Kayaknya dia sudah capek,” gumamku dalam hati. Aku dan orang tuanya pun lelah karena mengejar-ngejar dia, takut apabila dia jatuh. Memandang ekspresinya tidur, aku yakin sekali kalau tidurnya tenang dan nyenyak. Rasanya tidak ada ketakutan sama sekali; yang ada hanyalah rasa aman dan hangat.

Aku jadi bertanya, apakah orang-orang dewasa juga bisa menikmati indahnya tidur seperti si balita itu?

Jawabannya adalah: iya. Tidur adalah kebutuhan manusia dan Allah peduli dengan urusan tidur kita. Tidur adalah anugerah yang disediakan Allah bagi anak-anak-Nya.

Lewat tulisan ini, aku mau membagikan dua refleksiku tentang tidur menurut kata Alkitab:

1. Tidur memberi tubuh kita waktu untuk beristirahat

Dunia yang tak pernah tertidur selama 24 jam memang bisa membuat kita terjebak pada keinginan untuk selalu terjaga. Walaupun langit sudah gelap dan orang-orang sudah pulang ke rumah, tapi gawai yang kita genggam bisa menyediakan segala hiburan yang kita butuhkan 24 jam sehari, 7 jam seminggu; seakan dunia menuntut kita untuk terus beraktivitas dan tidur menjadi suatu hal yang dipandang tidak produktif.

Namun, Allah tidak mendesain tubuh manusia untuk beraktivitas tanpa beristirahat. Pemazmur berkata: “Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah—sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur” (Mazmur 127:2). Allah memberikan kita waktu untuk tidur, tapi itu akan jadi sia-sia jika kita tidak memanfaatkannya dengan baik. Di waktu kita tidur, Dia memberkati kita.

Di Amerika Serikat pada tahun 1963 pernah dilakukan sebuah riset untuk menguji seberapa lama seorang manusia dapat terjaga tanpa tidur. Seorang bernama Randy Gardner memang berhasil memecahkan rekor dunia dengan tidak tidur selama 11 hari 25 menit. Akan tetapi, selama masa penelitian itu terbukti bahwa kondisi tubuh Randy semakin hari semakin menurun. Awalnya dia sangat bersemangat, tapi setelah hari keempat, dia mulai berhalusinasi, daya ingatnya memburuk, suaranya tidak jelas, dan juga mengalami paranoia.

Kawan-kawan, tidur adalah anugerah Tuhan buat setiap kita. Tuhan tidak ingin kita menjadi manusia pekerja yang terus bekerja tanpa beristirahat. Namun, betapa seringnya kita menolak anugerah itu. Kita tahu tubuh kita sudah capek. Tapi, kita beri asupan kafein biar kita tetap segar. Kita bilang “Sebentar lagi ya baru tidur, tanggung ini; Aku selesaikan dulu tugas yang ini; Aku habisin dulu drama yang satu ini; Aku menangin dulu game yang ini”.

Tubuh kita perlu tidur. Di saat tidur, sel-sel tubuh kita yang rusak akan dipulihkan. Kondisi fisik kita yang lemah akan disegarkan kembali. Dengan tidur yang cukup, kita pun dapat terus menjaga kesehatan tubuh kita dan terhindar dari banyak penyakit. Bukankah dengan tubuh yang sehat kita bisa berkarya lebih maksimal bagi Tuhan?

Jadi, jangan anggap remeh waktu tidur. Di saat kita harus bekerja, berjuanglah dengan sekuat tenagamu dan di waktu kita harus tidur, nikmatilah waktu untuk mengisi kembali energi tubuh kita. Inilah gaya anak Kristen yang memuliakan Tuhan. Mari, kita belajar menikmati anugerah Tuhan lewat waktu tidur.

2. Tidur menandakan kebergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan

Di awal tulisan ini aku menceritakan bagaimana anak temanku bisa tertidur pulas tanpa rasa takut karena dia yakin bahwa di dalam pelukan mamanya, dia mendapatkan keamanan yang dia butuhkan. Demikian pula yang dikatakan oleh raja Daud: “Aku membaringkan diri, lalu tidur (Mazmur 3:6a)”, bukan pada saat dia akan segera tidur di kamar istananya yang nyaman dan disertai dengan penjagaan yang ketat dari pasukan bersenjata lengkap. Namun, ketika dia sedang berada di suatu tempat persembunyian dan dikepung oleh puluhan ribu orang yang siap menyerang dia kapan saja (Mazmur 3:1,7).

Aku membayangkan bagaimana Daud bisa mengatakan kalau dia bisa tidur dengan tenang; entah di mana dia membaringkan diri, tidak ada kasur yang empuk, dan pastinya ada musuh yang siap menghabisi nyawanya. Masih segar di ingatanku, ketika gempa bermagnitudo 6,1 SR yang berpusat di bagian selatan Kabupaten Malang menggetarkan wilayah Jawa Timur pada 10 April 2021. Lokasiku memang masih jauh dari pusat gempa, tapi info-info mengenai akan adanya gempa susulan membuat aku takut untuk memejamkan mata dan tidur pada malam itu.

Kita memang tidak bisa tahu apapun yang bakal akan terjadi ketika kita tidur. Bisa saja terjadi bencana alam, kebakaran, kemalingan, dan segala kemungkinan yang terburuk pasti ada. Namun, ketika kita memilih untuk tidur, kita sedang menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Kita tidak bisa terus terjaga untuk menjaga diri kita maupun orang lain. Kita membutuhkan Seorang Pribadi yang lebih berkuasa untuk menjaga seluruh hidup kita.

Inilah yang diungkapkan oleh raja Daud. Dia menyerahkan seluruh hidup-Nya kepada Allah yang adalah penopangnya (Mazmur 3:6b). Daud percaya bahwa bersama-sama dengan Allah, dia selalu menemukan keamanan itu. Daud yakin bahwa perisai Allah siap membungkusnya dan melindungi dirinya dari tombak dan panah musuh-musuhnya. Keesokan harinya, ketika dia bangun, dia pun masih dapat menemukan dirinya tetap aman di dalam dekapan Tuhan. Daud juga mengatakan: “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman.” (Mazmur 4:9).

Kita bisa menikmati anugerah Tuhan di waktu tidur yang dinikmati oleh Daud. Aku pun telah merasakannya. Setiap kali, ketika menaikkan doa sebelum tidur, aku sering teringat dengan Mazmur 121:3b-4 yang berkata: “Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.” Aku sering menaikkan syukurku karena aku tahu Sang Penjaga Israel adalah penjaga dan pemelihara waktu tidurku. Ketika mataku sudah tertutup dan aku tidak berdaya, aku tidak perlu takut karena aku tetap aman di dalam Tuhan. Aku bisa dengan tenang membaringkan diri dan tidur.

Kawan, apa yang sering menghalangimu untuk bisa memejamkan mata dan tidur? Pikiran-pikiran seperti apa yang menganggumu untuk bisa masuk ke dalam mode tidur?

Kawan, ketahuilah kalau Allah itu Imanuel, Dia selalu beserta dengan kita dan tidak pernah meninggalkan kita. Kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh-Nya. Dia pun telah mati untuk menyelesaikan permasalahan terbesar di dalam hidup kita, yaitu dosa. Karya salib Yesus menunjukkan bahwa Dia peduli dengan setiap kita. Kalau begitu, ada masalah apa lagi yang tidak bisa diselesaikan oleh Allah?

Mari, berdoalah sebelum tidur dengan kepasrahan di hadapan Tuhan dan yakinlah kalau Tuhan akan menyingkirkan semua hal yang menganggumu untuk dapat tidur dengan tenang.

Datanglah kepada-Nya dan nikmatilah anugerah yang indah untuk bisa tidur di dalam dekapan Allah.

Cerpen: Hanya Sepasang Sepatu

Oleh Tri Nurdiyanso, Surabaya

Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya tahun 2000, aku masih duduk kelas 2 SD Negeri di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Satu kelas hanya diisi dengan 22 siswa, termasuk aku. Bangunanya juga tidak sebagus sekarang. Dulu, temboknya bisa mengelupas sendiri karena termakan usia.

Di tempat inilah aku belajar mengenal angka dan huruf. Jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalku, sehingga aku hanya perlu berjalan kaki untuk berangkat sekolah. Aku bukan siswa yang mudah bergaul dengan teman-temanku. Lebih baik diam dan menyendiri di sudut ruangan. Penampilanku yang kumal dan rambut berantakan, membuatku minder untuk bergaul. Memulai pembicaraan saja, aku gagap.

Kadang juga mempertanyakan kenapa aku harus sekolah, jika sebenarnya orang tuaku saja kesulitan membiayai uang SPP-ku. Seingatku biayanya hanya tiga ribu rupiah per bulan, tetapi mereka tidak mampu membayarnya. Hingga sekarang nominal itu terngiang di kepalaku, karena hampir tiap bulan namaku disebut untuk menagih uang bulanan tersebut. Hal inilah yang menambah keminderanku untuk bergaul, kadang juga malas untuk sekolah.

Bisa dilihat bagaimana tertekannya seorang anak kecil yang melihat temannya bisa menikmati jajanan di kantin, sewaktu jam istirahat. Tak ada uang satu koin pun di dalam kantong, yang ada hanya perasaan iri. Kadang pertanyaanku pun muncul pada waktu itu, “Kenapa Tuhan mengizinkanku lahir di keluarga ini?” Aku tidak bisa menerima segala kekurangan yang kumiliki. Pertanyaan itu hanya tinggal sebuah penyesalan yang kubawa semasa kecil.

* * *

Seperti biasanya, hari Senin adalah hari untuk upacara. Kepala Sekolah menjadi pembina upacara dan seluruh peserta memadati halaman depan. Semua petugas tampak terlatih dalam menjalankan upacara Senin seperti biasanya. Semuanya terlihat sama seperti upacara bendera sebelumnya, kecuali suara dari sang pembina di tengah pidatonya.

“Tolong maju ke depan! Siswa yang berada di barisan kelas 2,” tangan kepala sekolah itu menunjukku. Tetapi aku tidak merasa ditunjuk dan diam di barisanku.

“Tolong siswa yang berada di barisan ketiga, sebelah kanan. Untuk maju ke depan,” lanjutnya.

Benar saja, aku dipanggil oleh kepala sekolahku selaku pembina upacara. Aku melangkah dengan sedikit gemetar. Lututku juga tidak bisa kukendalikan, meski hanya berdiri di samping kirinya. Aku hanya menundukkan kepalaku ke tanah. Betapa malunya aku tampil di depan umum seperti ini. Padahal aku juga tidak merasa melakukan kesalahan apa pun, aku juga tidak memenangkan suatu perlombaan.

“Coba, anak-anakku sekalian. Lihatlah penampilan siswa kelas 2 ini,” kata Kepala Sekolah sembari tersenyum. Semua pasang mata terlihat mengamatiku lebih detail lagi. Semakin malu aku dibuatnya.

“Nak, sepatu yang kamu pakai itu belinya di mana?”

“Kata ibu, ini belinya dari pasar, Pak”

“Kamu tahu harganya berapa?”

“Tiga ribu, Pak.” Kepalaku semakin menunduk. Aku tahu harganya sangat murah. Merek pun tak tertempel di sepatuku. Hanya berbahan kain berwarna abu-abu, yang tingginya tidak sampai mata kakiku. Betapa memalukan aku ini!

“Nah, seharusnya kalian semuanya harus mencontoh anak ini! Dia mau memakai sepatu yang murah dan pantas dipakai. Sekolah bukan berarti harus berpenampilan bagus dengan memakai sepatu bagus. Kalian masih diberi kesempatan belajar di SD ini, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan malu apa yang kalian pakai, tetapi fokuslah belajar,” jelasnya dengan penuh semangat.

Aku pun dipersilahkan untuk kembali ke barisanku. Perasaan malu sedikit terangkat oleh sebuah kebanggaan. Mungkin memang murah kalau dilihat dari segi harganya, tetapi perkataan kepala sekolahku telah membuatnya menjadi mahal nilainya. Semenjak itu, aku belajar untuk mensyukuri segala kekuranganku dan melihat seperti apa yang dilihat oleh kepala sekolahku.

Mungkin ini yang dimaksud sebuah sukacita. Bukan masalah perasaan senang mendapatkan suatu yang mahal dan mewah. Tetapi bagaimana sikap hati yang mampu mensyukuri atas apa yang diterima dan memiliki sudut pandang yang dimiliki oleh Tuhan terhadapku. Mungkin memang hidupku itu penuh kekurangan, tetapi Tuhan melihatku sebaliknya seperti perkataan kepala sekolahku terhadap sepatuku.

Tuhan memberkati, Amin.

“Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak dari pada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur” (Mazmur 4:7).

Baca Juga:

Ketika Pekerjaan Tak Hanya Sebatas Cari Uang dan Kerja Kantoran

Aku belajar bahwa kita tidak akan pernah menemukan tempat kerja se-sempurna yang kita inginkan. Bahkan seorang petani pun harus turun menjejakkan kakinya di lumpur agar bisa bertani.