Posts

3 Alasan Mengapa Aku Menunggu

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Must I Wait?

Kita hidup di dalam masyarakat yang serba cepat: informasi yang instan, makanan cepat saji, dan hal-hal yang serba otomatis. Sulit untuk menghindari segala kemajuan zaman tersebut selain belajar untuk menjadi lebih peka terhadap teknologi. Namun ketika segalanya menjadi lebih cepat, generasi seperti kita sering menganggap bahwa menunggu itu— meskipun itu cuma lima menit—bisa jadi aktivitas yang terasa sangat berat.

Oleh karena itu, kita mencari hal-hal yang bisa kita lakukan selama kita menunggu. Sedang menunggu bus? Atau sedang mengantre makan siang? Waktunya untuk mengecek email dan media sosial. Masalah datang ketika tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan untuk mengalihkan perhatian kita saat kita menunggu. Inilah yang membuat menunggu terasa jadi penderitaan yang berat.

Tapi, bukankah sesungguhnya dalam hidup ini kita selalu menunggu sesuatu? Seperti seorang lajang yang menunggu pasangan hidup yang takut akan Tuhan; seorang pelajar yang dengan gelisah menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi; atau seorang pemuda yang menunggu masa akhir baktinya di wajib militer supaya dia bisa kembali ke kehidupan normal dan menumbuhkan kembali rambutnya. Atau, sepasang suami istri yang menunggu kehadiran anak pertama mereka.

Enam belas tahun sudah berlalu sejak aku mendengar panggilan Tuhan untuk melayani di ladang misi-Nya. Panggilan ini telah diteguhkan oleh para pemimpin gereja, dinubuatkan oleh para pembicara di youth-camp, dan dikuatkan melalui waktu-waktu teduh pribadiku dengan Tuhan. Tapi, beginilah hidupku sekarang: seorang ibu rumah tangga yang mengurusi anak balita di tanah airku, dan istri dari seorang calon pendeta yang harus memenuhi kontrak pelayanan selama empat tahun setelah lulus dari seminari.

Sejujurnya, masa menunggu ini membuatku frustrasi. Sekalipun aku tahu kalau belum seorangpun di keluargaku yang siap untuk melayani ladang misi tersebut, aku tetap tidak sabar untuk segera diutus. Setiap tahun, gereja kami memiliki “Bulan Misi” dan di minggu terakhirnya, pembicara selalu menantang para jemaat yang merasa terpanggil melalui panggilan altar. Sebagai seorang pemuda, dulu aku bergegas turun ke altar dengan tangan terangkat. Tapi, beberapa tahun belakangan, aku hanya berjalan ke altar dalam diam sembari hatiku terus menerus bertanya, “Kapan waktunya, Tuhan? Kapan?”

Namun tahun ini berlalu dengan sangat berbeda. Aku memutuskan untuk tidak tergesa-gesa. Selama masa penantian inilah aku mempelajari beberapa hal tentang menunggu yang Tuhan ajarkan kepadaku:

1. Proses menunggu dialami oleh setiap orang Kristen

Sesulit apapun menunggu, setiap kita dipanggil untuk menunggu.

Kita semua menjalani kehidupan kita di bumi sebagai pengembara. Kita menunggu untuk kelak pulang ke tempat peristirahatan yang kekal, seperti yang telah dijanjikan oleh Yesus. Tapi, masa-masa menunggu ini bukanlah masa yang kita jalani dengan berdiam diri. Sebaliknya, Yesus memerintahkan kita untuk memuridkan dan mengikuti Roh Kudus dalam melaksanakan pekerjaan Bapa.

Seorang misionaris yang pernah tinggal sambil melayani bersamaku selama semusim di Thailand baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-60 di Singapura. Setiap kali dia ditanya mengapa dia tidak menikah, dia dengan mudah menjawab bahwa Tuhan mungkin masih menyiapkan dirinya untuk menjadi pengantin wanita yang terbaik—dan jika itu tidak terjadi di kehidupan sekarang, maka itu akan terjadi di kekekalan nanti, bersama Tuhan di surga.

Tapi, alih-alih hanya duduk diam, dia adalah orang yang mempraktikkan perkataan “jangan pernah sia-siakan satu momen pun”. Dia bangun pukul lima pagi setiap hari untuk berdoa dan menyiapkan sarapan sebelum dia pergi berkeliling mengunjungi warga. Dia melakukan pekerjaan Tuhan dengan taat—memuridkan, berdoa, dan melayani orang-orang di sekitarnya.

Selagi kita menunggu hal-hal yang diinginkan oleh hati kita, mengapa kita tidak melakukan hal-hal yang menyenangkan hati Tuhan dengan penuh semangat? Buat sebagian besar dari kita yang sudah menjadi orang percaya untuk waktu yang lama, kita bisa menggunakan waktu kita untuk mempelajari Alkitab, membimbing orang-orang yang baru percaya, atau mengajari anak-anak yang lebih muda di gereja kita.

2. Menunggu adalah proses yang terpuji

Menunggu di bawah kaki Tuhan adalah sesuatu yang menyenangkan-Nya—tepat seperti yang dilakukan Maria ketika Marta menyibukkan dirinya di dapur. Yesus berkata Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya. Aku yakin bagian terbaik yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika Maria memilih untuk mendengarkan perkataan-Nya, yang adalah anak Allah.

Kita semua menanti Tuhan dengan cara yang berbeda. Beberapa orang lebih suka menulis dalam catatan harian mereka, sedangkan yang lain membaca dan mendengarkan ayat-ayat Alkitab dalam perjalanan mereka. Terlepas dari bagaimana cara kamu berdoa, yang terpenting adalah kamu menanti di dalam Tuhan. Di dalam firman-Nya, ada kehidupan. Dan ketika kita menerima-Nya, kita akan merasakan sukacita yang melimpah.

Ketika aku memperhatikan saudara-saudari seimanku yang sedang menantikan kehadiran seorang anak, aku dibuat malu oleh iman yang mereka tunjukkan. Alih-alih marah atau menyalahkan Tuhan, mereka berserah sepenuhnya pada Tuhan untuk memberikan kekuatan selama mereka menunggu. Aku melihat bagaimana Tuhan membalas waktu-waktu yang telah mereka berikan pada-Nya. Tuhan memberikan penghiburan dalam setiap tetesan air mata mereka, juga memberikan sukacita yang tak terukur dari firman-Nya.

3. Tuhan juga menunggu

Tuhan sendiri sedang menunggu kita untuk datang bertobat. 2 Petrus 3:9 mengatakan, “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya, sekalipun ada orang yang menganggapnya sebagai kelalaian, tetapi Ia sabar terhadap kamu, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.”

Jadi sekarang, alih-alih bertanya “kapan” pada Tuhan, aku belajar untuk bertanya “mengapa”—mengapa aku masih di sini? Pada saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan memberikan sebuah peran untukku lakukan sekarang, tepat di tempat di mana aku berada sekarang. Aku masih memiliki anggota keluarga besarku yang belum kujangkau. Ada para pemuda dan ibu-ibu muda di gerejaku yang harus kulayani. Ada orang-orang asing di seminari yang harus kusambut ke dalam rumahku. Dan masih banyak lagi.

Untuk kita yang sedang menunggu apapun itu, izinkan aku menguatkanmu dengan perkataan ini: jangan hanya berdiam ketika menunggu, karena Tuhan punya pekerjaan untuk kamu kerjakan sekarang.

Baca Juga:

Kupikir Menjadi Cantik dan Menarik Adalah Segalanya

Ketika aku sangat mengagumi selebritis idolaku, aku pun mulai membandingkan mereka dengan diriku. Aku ingin menjadi cantik dan terkenal seperti mereka hingga aku mulai merasa tidak puas dengan diriku dan membenci tubuhku.

Ini Caraku Memberitakan Injil

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Oh Dear, Am I Ashamed Of The Gospel?

Masa-masa itu datang lagi. Gerejaku menyebutnya sebagai “masa penginjilan”.

Pendetaku berkata kalau ini adalah momen yang tepat untuk membangkitkan kembali semangat penginjilan dengan mengundang teman atau kerabat datang ke gereja. Aku membuka daftar kontak di ponselku. Siapakah yang mungkin kuundang ke gereja kali ini? Semua temanku tahu cerita Paskah. Maksudku, hampir semua temanku dulu belajar di sekolah Methodist, apa lagi yang harus aku ceritakan kepada mereka?

Di persekutuan pemuda, aku malah merasa lebih buruk. Mereka mengatakan kalau kita bisa menggunakan media sosial untuk menyebarkan Injil kepada teman-teman kita. Ayat-ayat Alkitab ditulis dengan tipografi dan diletakkan di atas foto yang bagus. Isi caption-nya mungkin seperti ini: “Pernahkah kamu merasa hilang dan sendirian?”, atau kutipan-kutipan populer dari penulis Kristen: “Jangan sia-siakan hidupmu.” Aku terduduk di kursiku. Aku pernah mendengar teman-temanku mengeluh tentang orang-orang yang mengunggah konten inspirasional tapi tidak menghidupinya di keseharian mereka. Tidak otentik, kata mereka. Aku pun tidak mau kalau ada orang lain yang mengatakan demikian terhadapku.

Ketika aku mengajukan keberatanku kepada pemimpin persekutuan itu, dia dengan cepat menyimpulkan, “Kamu malu terhadap Injil.”

Aku berpikir kembali tentang pertobatanku dulu. Dua cara di atas tidak berefek kepadaku. Meski aku sudah mengikuti ibadah pra-paskah berkali-kali dan melihat ratusan konten Kristen seperti kutipan-kutipan Injil di media sosial, itu semua tidak meyakinkanku tentang kebenaran.

Di sisi lain, kekurangan yang dimiliki oleh tokoh-tokoh Alkitab dan juga orang-orang Kristen di sekitarkulah yang justru meyakinkanku akan kebenaran Injil. Jika Allah dapat menggunakan pembohong seperti Abraham untuk menjadi orang benar, dan seorang pezinah seperti Daud untuk menjadi seorang yang berkenan pada-Nya; jika Allah dapat menyelamatkan kakak kelasku di sekolah yang vulgar dan menjengkelkan, atau membawa seorang mantan pengedar narkoba menangis di altar-Nya; jika Allah menginginkan orang-orang berdosa seperti mereka, maka Dia pun mungkin juga menginginkanku.

Jangan salah sangka. Aku tidak ingin meremehkan acara-acara gereja ataupun pelayanan media sosial untuk menjangkau jiwa. Aku menyaksikan ada orang-orang yang diberkati melalui pesan-pesan yang dibagikan lewat cara-cara itu. Tapi, cara itu tidak berhasil buatku. Dan, mungkin juga tidak berhasil buatmu. Apa yang ingin aku katakan adalah kita tidak menjadi kurang Kristen jika tidak menggunakan cara-cara itu.

Jadi, bagaimana aku memberitakan Injil?

Aku tidak memberitakan Injil seperti yang gerejaku inginkan. Aku mengundang orang-orang untuk datang dan makan bersama di rumahku. Aku menjalin relasi yang dekat dan menjaga komunikasi dengan teman-temanku yang bukan Kristen. Seperti yang orang lain juga lakukan, aku menghadiri pernikahan mereka, upacara pemakaman orangtua mereka, dan juga pesta ulang tahun anak-anak mereka. Aku mendengar keluhan-keluhan mereka, dan mereka pun mendengarku. Ketika mereka bertanya kepadaku tentang bagaimana aku bisa mengatasi situasi yang sulit, dengan jujur aku mengatakan kalau aku mendapat kekuatan dan harapanku dalam Kristus. Ketika mereka harus menghadapi operasi atau anak-anak mereka sakit, dan mereka memintaku untuk berdoa buat mereka, dengan senang hati aku melakukannya, tapi dalam kondisi di mana mereka mengizinkanku untuk berdoa bersama mereka.

Beberapa temanku telah datang kepada Kristus, dan dua keluarga juga telah menghadiri ibadah di gerejaku. Tidak hanya itu, Allah menggunakan keterbukaan dan kebaikan yang kulakukan untuk melembutkan hati orang-orang yang berseteru dengan Kekristenan, dan Dia mengizinkanku untuk membangun relasi yang bertumbuh dan berarti dengan orang-orang yang berbeda iman dariku supaya berita Injil bisa disebarkan dan suatu saat juga diterima.

Kekuatan Injil itu jauh lebih besar daripada ayat-ayat Alkitab yang dikemas cantik atau kutipan-kutipan terkenal. Jangkauannya jauh lebih besar daripada pengkhotbah yang berkarisma dan berbagai strategi pemasaran. Kekuatan Allah dinyatakan melalui kelemahan dan keterbatasan kita, dan aku pun tidak malu untuk berbangga atasnya.

Ketika membagikan hidupku dengan orang-orang di sekitarku, aku membagikan ketakutanku sebagai seorang ibu atau pergumulanku dengan pelayanan pemuda. Di dalam kenyataan dan ketidaksempurnaan hidupku, biarlah orang lain dapat melihat kemuliaan Tuhan.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Menghakimi Orang Lain

Aku merasa malu. Aku hanya melihat orang dari luarnya saja, aku menghakiminya sejak dalam pikiranku. Aku selalu merasa kalau akulah yang paling rohani di antara yang lain.