Ketika Jumlah Jemaat di Gerejaku Menyusut

Oleh Agustinus Ryanto*, Bandung

Aku berjemaat di sebuah gereja yang jumlah jemaat aktifnya sekitar 300 orang. Selama bertahun-tahun, aku menikmati indahnya persekutuan yang terjalin antara para jemaat. Rasanya tidak ada sekat yang menjadi pemisah antar golongan di gereja.

Di tahun 2011, saat aku duduk di bangku SMA, gereja menunjukku untuk menjadi seorang ketua persekutuan remaja. Aku berdoa dan kemudian menerima panggilan ini. Sebagai ketua, aku jadi lebih banyak terlibat dalam acara internal panitia gereja. Setiap bulan aku harus menghadiri rapat bersama para diaken dan pendeta. Bahkan di rapat anggaran pun aku seringkali hadir, dan menjadi peserta yang paling muda.

Aku menikmati peranku sebagai ketua, sebab jemaat gereja mendukungku untuk melakukan hal-hal baru yang bisa membuat para pemuda menikmati persekutuan di gereja. Namun, seiring aku semakin terlibat aktif, aku mendapati bahwa di balik relasi antar jemaat yang terlihat hangat tersebut tersimpan kerapuhan. Meski saat bertemu satu sama lain mereka tampak hangat dan ramah, tetapi tak jarang aku mendapati ada beberapa dari mereka yang saling menyimpan rasa tidak suka.

Di tahun 2012 aku mundur sebagai ketua remaja karena aku harus menyelesaikan studiku ke lain kota. Praktis, aku jadi tidak terlalu update lagi mengenai kehidupan berjemaat di gerejaku. Aku biasanya pulang ke kota asalku di liburan Natal. Saat itu aku tidak melihat sama sekali kalau konflik di gereja telah menyebabkan susutnya jemaat. Sebab di hari Natal gereja selalu penuh.

Barulah di tahun 2017, saat aku sudah bekerja dan bisa pulang ke rumah setiap bulan, aku menyadari ada banyak orang yang dulu kukenal tak terlihat lagi di gereja. Saat kebaktian berlangsung, barisan kursi di depan terlihat kosong. Aku heran, sebab dulu barisan itu selalu terisi. Pun aku melihat jumlah jemaat yang hadir di minggu ke minggunya tak sebanyak dulu.

“Kok kayaknya jemaat gereja kita semakin sedikit ya?” aku bertanya pada temanku.

Ia mengangguk. “Iya, banyak yang kecewa, saling ngomongin orang, jadi banyak yang milih pindah gereja,” tambahnya.

Selama lima tahun belakangan, konflik yang semula berskala kecil jadi membesar. Awalnya ada kelompok jemaat yang merasa tersinggung dengan ucapan pendeta kami. Yang kutahu adalah sejak awal mereka memang sempat berselisih pendapat dengan sang pendeta. Setelah kejadian itu, alih-alih menegur secara pribadi, kedua pihak saling menceritakan kejelekan masing-masing ke orang lain. Akibatnya, konflik tidak selesai dan banyak jemaat kemudian merasa tidak lagi nyaman bergereja di situ. Sekarang, gerejaku telah kehilangan sekitar seratusan lebih anggota jemaatnya.

Fenomena ini membuatku merasa sedih dan bertanya-tanya, bagaimana bisa ikatan jemaat yang adalah anggota tubuh Kristus terkoyak karena konflik?

Perenunganku akan pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membawaku pada sebuah poin-poin pembahasan yang kupikir relevan dengan bagaimana seharusnya kita berelasi dengan sesama tubuh Kristus.

1. Komunitas orang percaya bukanlah objek yang kebal dari konflik

Komunitas orang percaya, entah itu berupa persekutuan mahasiswa di kampus atau gereja, bukanlah objek yang kebal dari konflik. Menjadi orang Kristen bukan berarti menghilangkan risiko konflik dalam relasi dengan sesama tubuh Kristus. Konflik akan terus ada, hanya, menjadi pengikut Kristus seharusnya membuat kita mengatasi konflik tersebut dengan cara-cara yang meneladani Kristus.

Alkitab, dalam Kisah Para Rasul 15:35-41 mencatat bahwa Paulus dan Barnabas pernah berkonflik saat mereka berada di Antiokhia. Waktu itu Paulus berencana melakukan perjalanan mengunjungi jemaat-jemaat. Barnabas ingin supaya Markus turut serta dalam perjalanan itu. Tapi Paulus menolak usul Barnabas, sebab dia menganggap bahwa Markus pernah memiliki track-record yang buruk, sedangkan Barnabas ingin memberi kesempatan kedua kepada Markus. Akibatnya timbul perselisihan tajam di antara Paulus dengan Barnabas (ayat 39). Mereka pun lalu berpisah.

Alkitab memang tidak mencatat bagaimana kelanjutan pelayanan Barnabas dan Markus setelah perselisihan ini. Tapi satu hal yang menarik adalah Tuhan mengizinkan hal ini terjadi supaya Injil tersebar lebih luas lagi. Dalam Kisah Para Rasul 16:6-7, tertulis bahwa kunjungan Paulus dan Silas menjadi perjalanan untuk menyebarkan Injil kepada bangsa-bangsa lain.

Ketika konflik terjadi, hal yang perlu kita lakukan adalah berdoa memohon kepekaan dari Tuhan supaya kita dapat melihat masalah dengan jernih, dengan sudut pandang kasih, bukan melulu untuk menunjukkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Apabila konflik terasa terlalu rumit untuk diselesaikan sendiri, kita dapat meminta bantuan pihak lain yang lebih dewasa. Dan yang juga penting adalah jangan menyerang pribadi pihak yang kita anggap sebagai lawan.

Aku tidak tahu bagaimana keadaan jemaat-jemaat di gerejaku yang undur diri tersebut. Aku berharap kiranya mereka tidak undur dari iman mereka, melainkan tetap melayani Tuhan di mana pun mereka berada.

2. Komunitas orang percaya harus siap untuk menegur dan ditegur

Hal yang memperuncing konflik di gerejaku adalah sikap jemaat yang suka membicarakan orang lain di belakang. Ketika si A melihat si B melakukan kesalahan, dia tidak menegur secara pribadi, melainkan si A akan menyebarkannya kepada orang-orang lain. Aku menyaksikan sendiri bagaimana seorang jemaat yang kukenal menceritakan keburukan seorang jemaat lainnya kepadaku, padahal aku tidak tahu apa-apa, baik tentang masalah mereka maupun orang yang dia ceritakan. Mungkin ada beberapa orang yang menganggap bahwa “curhat” kepada orang lain yang dirasa netral adalah baik, tetapi kita perlu mengeceknya kembali dengan apa yang firman Tuhan katakan.

Dalam Matius 18:15, Tuhan Yesus berkata: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.”

Ketika seseorang berbuat kesalahan atau mungkin memiliki keburukan, Tuhan Yesus tidak meminta kita untuk menyebarkan kesalahan itu kepada banyak orang. Melainkan, Tuhan Yesus meminta kita untuk menegurnya secara empat mata. Sampaikanlah teguran itu dengan rendah hati. Pikirkanlah kata-kata yang tepat dan membangun, bukan dengan caci maki atau umpatan. Serta, kita bisa meminta pertolongan Roh Kudus agar lewat kata-kata yang kita ucapkan, orang tersebut dilembutkan hatinya.

3. Kuantitas bukanlah permasalahan utama

Konflik yang telah terjadi di gerejaku mungkin telah membuat banyak jemaatnya mengundurkan diri, hingga jumlah kehadiran di gereja terus menyusut. Sebelum menyalahkan mereka yang undur dari gereja, kupikir ini adalah momen yang tepat untukku juga jemaat gereja yang masih bertahan, untuk menyelidiki kembali hati kami masing-masing. Apakah kami sudah melakukan bagian kami sebagai jemaat dengan baik atau tidak?

Di dalam Kisah Para Rasul 2:42-47, para jemaat mula-mula dituliskan sebagai jemaat yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Mereka berkumpul untuk memecah roti dan berdoa. Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan saling berbagi dan memperhatikan kebutuhan masing-masing. Mereka melakukan semuanya itu dengan gembira dan dengan tulus hati. Hingga akhirnya, dalam ayat 47 tertulis demikian: “Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Mungkin ada di antara kamu yang di gerejanya juga mengalami keadaan serupa sepertiku. Aku percaya bahwa konflik dalam gereja juga bisa dipakai Tuhan sebagai sarana untuk mendewasakan jemaat-Nya. Mungkin jemaat di gerejaku sekarang semakin sedikit, tetapi kupikir ini adalah pelajaran berharga agar kami kembali kepada cara hidup jemaat seperti yang Kisah Para Rasul tuliskan. Ketika jemaat Tuhan bertekun dalam pengajaran dan mengikuti teladan Kristus, maka Tuhan jugalah yang akan mempercayakan lebih banyak jiwa-jiwa untuk digembalakan di gereja.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Yang Aku Pelajari Ketika Retret Kampusku Dibatalkan di Hari H

Acara yang sudah kami persiapkan berbulan-bulan dan menelan biaya puluhan juga harus batal hanya karena surat izin kegiatan yang tidak pernah kami tahu. Kami kecewa. Namun, di sinilah Tuhan mengajari kami satu hal.

Tuhan Yesus Menyelamatkanku dengan Cara-Nya yang Tak Terduga

Oleh Aisha*, Jakarta

Aku bukanlah orang Kristen sejak lahir. Orang tua dan keluarga besarku pun tidak ada yang percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Keluargaku melarangku berteman dengan orang yang tidak seiman dengan kami. Sampai aku duduk di kelas 2 SMP, aku tidak pernah tahu Yesus itu siapa. Hingga akhirnya aku pun pindah sekolah ke Jakarta dan di sekolah itu aku memiliki teman-teman yang beraneka ragam.

Suatu ketika, aku berdiskusi dengan temanku yang Kristen. Dia bercerita kepadaku tentang Tuhan, dan itu membuatku sangat penasaran. Katanya, Tuhannya itu bernama Yesus yang sangat penuh kasih. Yesus rela mati di kayu salib demi menebus dosa manusia. Tapi, aku merasa apa yang disampaikan temanku itu berbeda dengan apa yang disampaikan oleh guruku dulu dan aku malah ngotot bahwa apa yang temanku percayai itu salah. Namun, aku merasa ada sebuah pertanyaan besar mengganjal di hatiku, “Siapakah Yesus sebenarnya?”

Diselamatkan melalui tragedi

Saat itu aku adalah orang yang suka tidak bersyukur dan hidup tanpa hikmat. Ayah dan ibuku telah bercerai sejak aku masih bayi dan aku pun dirawat oleh nenekku. Latar belakangku dari keluarga broken-home membuatku sering berpikir pendek atas masalah-masalah yang kuhadapi. Aku sering merasa lelah dengan hidupku dan sempat beberapa kali mencoba bunuh diri.

Hingga suatu ketika, saat aku berusia 14 tahun, suatu hal yang tidak kuinginkan terjadi kepadaku. Aku divonis menderita sakit kanker darah stadium dua. Untuk mengobati penyakit itu seharusnya aku menjalani operasi pencangkokan sumsum tulang belakang. Tapi, karena tidak mendapat pendonor sumsum tulang belakang yang cocok, akhirnya aku hanya menjalani pengobatan kemoterapi dan radioterapi selama beberapa kali.

Penyakit ini membuatku merasa menjadi beban buat keluargaku. Nenekku tidak dapat membiayai pengobatanku, jadi ibukulah yang bertanggung jawab untuk masalah keuanganku. Tapi, saat itu ternyata ibuku sedang kesulitan ekonomi. Kalau sebelumnya aku pernah ingin bunuh diri, saat itu aku ingin bertahan hidup. Aku ingin sembuh supaya bisa membalas budi perjuangan ibuku. Tapi, melihat keadaan yang sepertinya tidak baik itu, aku jadi sangat sedih dan aku pun pasrah atas hidupku, mungkin sudah waktunya aku pulang ke pangkuan Tuhan.

Hari-hariku kemudian terasa berat. Rasa sakit yang timbul dari sakit kanker itu luar biasa. Hingga suatu ketika, saat aku sedang kesakitan di rumah sakit, tanpa sadar aku teringat akan Tuhan Yesus, nama yang dahulu pernah temanku ceritakan kepadaku.

“Aku sakit, aku sesak, tolong aku! Tolong aku, Yesus! Jikalau memang Engkau adalah Tuhan, aku mohon pulihkan aku!” kataku pada Tuhan.

Air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku, tapi saat itu aku merasakan ada kedamaian yang tak biasa. Aku merasa seperti ada harapan dan kekuatan untuk berjuang melawan penyakit kankerku.

Singkat cerita, aku pun terus melanjutkan proses pengobatan radioterapiku. Hingga suatu ketika, saat dokter melakukan pemeriksaan kembali, hasilnya mengejutkanku. Dokter melihat bahwa sel-sel kankerku hilang, dan aku dapat dinyatakan sembuh. Dokter dan orang tuaku yakin bahwa kesembuhan ini terjadi sebagai buah dari pengobatan rutin yang kulakukan. Tapi, buatku pribadi, aku merasa yakin bahwa kesembuhan ini adalah anugerah dari Tuhan Yesus yang telah mendengarkan seruan minta tolongku.

Menjalani hidup yang baru bersama Tuhan Yesus

Saat itu usiaku 14 tahun, tapi aku begitu yakin untuk memantapkan imanku kepada Tuhan Yesus. Lewat bantuan beberapa temanku yang percaya pada Yesus, aku pun bertemu dengan seorang hamba Tuhan dan mengucapkan pengakuan iman percayaku dengan lidahku sendiri. Aku melakukan semuanya itu secara sembunyi-sembunyi, sebab aku tidak ingin menimbulkan kegaduhan dalam keluargaku.

Sekarang, sudah tiga tahun berlalu sejak Yesus masuk ke dalam hidupku. Selama waktu inilah aku mendapati bahwa mengikut Kristus bukanlah hal yang mudah. Berbagai masalah tetap ada dalam hidupku. Namun, di balik semua masalah itu, Tuhan tidak pernah meninggalkanku. Di malam sebelum Paskah, aku teringat akan betapa beratnya proses yang Tuhan Yesus lakukan sampai Dia disalib di Golgota. Aku pun merasa tertegur. Tuhan Yesus sudah begitu baik buatku. Dia tidak hanya menyembuhkanku dari sakit fisik di dunia, melainkan juga menyelamatanku dari kesakitan kekal akibat dosa. Aku pun menangis, bukan karena sedih, tapi tangis bahagia karena aku punya Tuhan yang sangat mengasihiku yang hina ini.

Melalui ujian-ujian dalam hidupku, imanku semakin kuat dan semakin besar juga keinginanku untuk lebih mengenal dan dekat dengan Tuhan. Aku mengenal Tuhan Yesus sebagai Pribadi yang penuh kasih. Dia adalah Tuhan yang ingin agar kita, ciptaan-Nya kelak tinggal bersama-sama dengan Dia di surga. Dan, untuk itulah Dia rela disiksa dan disalib. Aku bersyukur kepada Tuhan atas iman yang Dia berikan padaku. Sekarang hidupku sudah terjamin, karena aku tahu ke mana tujuanku kelak setelah kehidupan ini berakhir.

“Sebab jika kamu mengaku dengan mulutmu, bahwa Yesus adalah Tuhan, dan percaya dalam hatimu, bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kamu akan diselamatkan” (Roma 10:9).

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Belajar dari Kisah Aldi, Yang Kita Butuhkan Bukan Hanya Makanan Jasmani Saja

49 hari terkatung-katung di laut, Aldi putus asa dan hampir saja mengakhiri hidupnya. Namun, ada satu yang membuatnya kembali menemukan harapan: firman Tuhan.

Sharing: Bagaimana Tuhan Menolongmu Mengatasi Konflik di Gereja?

Hai sobat muda, bagaimana Tuhan menolongmu mengatasi konflik di gereja?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Oleh Caleb Young, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Searching: How Far Will You Go For Your Loved Ones?

Searching adalah film pertama yang disutradarai oleh seorang sutradara berusia 27 tahun yang bernama Anesh Chaganty. Film ini bergenre crime-thriller, dengan John Cho yang berperan sebagai David, seorang ayah yang mati-matian mencari anak perempuannya yang hilang.

Setelah Margot, putri David menghilang, David tidak diperbolehkan untuk berperan aktif dalam investigasi yang dilakukan oleh kepolisian. Jadi, satu-satunya cara yang bisa David lakukan adalah menelusuri jejak digital Margot di dunia maya untuk mencari petunjuk tentang kehilangannya. Disorot dari sudut pandang yang unik, melalui smartphone dan layar laptop, film ini mengeksplorasi berbagai topeng yang kita pakai untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi atau kita rasakan. Melalui lika-liku dalam investigasi tersebut, David belajar betapa sedikitnya yang dia ketahui tentang putrinya sendiri, dan upayanya untuk menemukan kembali putrinya itu akan menjadi perjalanan yang panjang.

Searching bukanlah film pertama yang sudut pandangnya diambil dari layar laptop, tetapi yang paling menarik adalah film ini secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial. Dari adegan pertama yang menunjukkan Windows XP sedang dioperasikan, film ini kemudian menampilkan cuplikan-cuplikan nostalgia melalui adegan MSN Messenger, tampilan awal Youtube, hingga versi awal Facebook, seiring kita diajak untuk melihat kenangan-kenangan masa kecil Margot. Adegan lima menit pertama ini sangat menyentuh buatku. Aku belum pernah melihat film dengan efek serupa selain daripada film ini dan film Up dari Pixar yang membuatku terharu.

Film Searching ini pun kemudian menceritakan tentang penggunaan aplikasi komunikasi di zaman ini seperti Facetime dan iMessage beserta media sosial lainnya yang terkenal seperti Instagram, Facebook, dan bahkan Tumblr untuk mengungkap cerita di balik hilangnya Margot. David bahkan menggunakan Google Sheets dan Google Maps untuk menolongnya melakukan investigasi pribadi untuk menemukan Margot. Chaganty, sang sutradara, menambahkan detail-detail kecil seperti panggilan video call yang gambarnya terputus-putus, salah ketik ketika berkirim pesan, atau keputusan untuk menghapus tulisan sepanjang 200 kata dan menggantinya dengan sebuah kalimat pendek yang tegas, untuk menambahkan nuansa yang lebih nyata dari pengalaman online.

Walaupun teknik pembuatan film yang digunakan untuk membentuk cerita Searching membuat film ini unik, daya tarik emosional dari karakter David dan Margotlah yang membuat film ini menjadi film yang bagus. Beberapa komentar yang beredar tentang film Searching adalah film ini merupakan film terkenal Hollywood pertama yang menjadikan seorang aktor dari Asia sebagai karakter utamanya. Menariknya, meskipun John Cho adalah seorang keturunan Korea, tetapi itu tidak mempengaruhi penggambaran karakter David. Film ini lebih berfokus pada tema yang lebih universal, tema tentang dinamika keluarga yang rumit, tentang kedukaan dan kehilangan, dan—yang paling menonjol—adalah tentang kasih seorang ayah.

Kasih seorang ayah inilah tema yang paling berbicara kepadaku ketika aku merenungkan film tersebut. Aku diingatkan akan perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Lukas 15:1-7) di mana Yesus menceritakan tentang seorang Gembala yang akan “meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor” domba-Nya dan “pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya” (Lukas 15:4).

Di dalam film Searching, David menemukan banyak hal yang awalnya dia kira tidak mungkin dilakukan oleh putrinya. David menemukan bagaimana Margot selama ini menipunya dan melalukan perbuatan yang dia tidak percaya akan dilakukan oleh putrinya. Pada suatu titik dalam film ini, David meratap kepada seseorang yang menjadi pemimpin investigasi, “Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengenal putriku.” Meskipun temuan-temuan tersebut mengguncang David, tetapi tujuan utama David untuk menemukan putrinya tidaklah goyah.

Seperti kegigihan David, tak peduli apapun keadaannya, kasih Allah kepada kita selalu tetap dan tidak tergoyahkan. Namun, berbeda dengan David, Bapa kita di surga mengenal anak-anak-Nya dengan intim. Dia mengetahui topeng-topeng yang kita kenakan dan kebohongan-kebohongan apakah yang kita sampaikan kepada orang-orang supaya kita bisa berbaur atau diterima oleh mereka. Bapa tahu tentang perilaku-perilaku berdosa kita. Bapa juga tahu bahwa kita akan membuat-Nya kecewa, tidak taat kepada-Nya dan mengikuti kemauan kita sendiri. Meski begitu, Bapa tetap akan meninggalkan yang “sembilan puluh sembilan ekor domba” dan mencari kita dengan kerinduan yang jauh lebih besar daripada yang David tunjukkan dalam film tersebut. Bahkan, Bapa kita di surga telah memberikan persembahan terbaik-Nya untuk kita, bukan karena kebaikan apapun yang ada dalam kita, tetapi karena kasih-Nya yang besar untuk kita anak-anak-Nya.

Aku berharap kita takkan pernah harus mengalami apa yang David dan Margot alami dalam film tersebut. Doaku adalah kiranya setiap kita dapat merasakan kasih Bapa di surga dan mengizinkan diri kita untuk ditemukan oleh-Nya ketika kita kehilangan arah.

Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Gambar artikel diambil dari Official Trailer

Baca Juga:

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku sebagai seorang yang terlahir Albino melalui tulisan ini.

Sharing: Apa yang Menjadi Doamu bagi Indonesia?

Hai sobat muda, apa yang menjadi doamu bagi Indonesia?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.

Sharing: Kontribusi Positif Apakah yang Pernah Kamu Berikan bagi Dunia Ini?

Hai sobat muda, kontribusi positif apakah yang pernah kamu berikan bagi dunia ini?

Bagikan jawaban kamu di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat memberkati dan menginspirasi sobat muda lainnya.

Sharing: Pelajaran Berharga Apakah yang Tuhan Berikan Kepadamu Saat Kamu Mengalami Kegagalan?


Sobat Muda, pelajaran berharga apakah yang Tuhan berikan kepadamu saat kamu mengalami kegagalan?
Bagikan cerita kamu di kolom komentar. Kiranya sharing kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.

Sharing: Hal Apakah yang Membuatmu Menyadari Bahwa Dirimu Berharga di Mata Allah?

Sobat muda, hal apakah yang membuatmu menyadari bahwa dirimu berharga di mata Allah?
Bagikan cerita kamu di kolom komentar. Kiranya sharing kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.

Sharing: Bagaimana Perjuanganmu untuk Membaca Alkitab dengan Konsisten Setiap Hari?

Sobat muda, bagaimana perjuanganmu untuk membaca Alkitab dengan konsisten setiap hari? Bagikan cerita kamu di kolom komentar. Kiranya sharing kamu dapat memberkati sobat muda lainnya.