Bolehkah Orang Kristen Merayakan Natal?

Oleh Deborah Fox, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Hang On, Should Christians Be Celebrating Christmas?

Aku tidak tahu bagaimana kamu memandang Natal, namun bagiku sendiri, aku sering memandang Natal dari dekorasi yang meriah, lampu-lampu yang berkelap-kelip, toko-toko yang dibanjiri pengunjung dan membayangkan bagaimana aku bisa ikut serta dalam segala kemeriahan itu. Sebagai orang Kristen, haruskah kita bersikap menentang terhadap segala nuansa Natal yang mungkin tidak berhubungan dengan Natal?

Pengalamanku beberapa tahun lalu membuatku memikirkan pertanyaan itu dengan serius.

Aku sedang membaca buku dengan serius ketika dua pasang mata menatapku tajam. Waktu itu aku berada di rumah sakit, menanti hasil tes laboratorium dan sama sekali tidak berharap untuk mendiskusikan hal-hal yang berat tentang teologi.

Buku yang kubaca ditulis oleh John Piper dengan judul Meditations of a Christian Hedonist. Buku ini tidak dimaksudkan untuk mendukung pikiran-pikiran berdosa, melainkan sebuah buku cetakan ulang dari seri terlaris Desiring God yang bahasan utamanya adalah, “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”.

Dua wanita yang duduk di seberangku bercerita tentang iman mereka dan kita berdiskusi tentang bahayanya mengikuti keinginan hati kita sendiri alih-alih menyenangkan hati Tuhan. Namun, diskusi itu dengan cepat berubah jadi membahas tentang ulang tahun, Natal, dan Paskah. Mereka mempermasalahkan betapa mudahnya hari libur agamawi kehilangan makna aslinya.

Di saat aku setuju dengan pandangan mereka tentang berubahnya makna hari-hari keagamaan, ternyata yang mereka permasalahkan dari perayaan Natal bukanlah tentang hadiah dan selebrasi yang berlebihan, melainkan objek yang dirayakan.

Aku baru menyadari kalau dua perempuan itu berasal dari sekte Kristen yang menolak doktrin tentang Allah Tritunggal sebagai Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Meskipun mereka percaya otoritas Alkitab dan Yesus yang disalibkan, mereka tidak mengakui Yesus sebagai Tuhan. Bagi mereka, Yesus hanya orang istimewa, tapi bukan inkarnasi Allah. Mereka pun bertanya: “Mengapa kamu merayakan kelahiran seseorang yang hidup dan mati lebih dari 2000 tahun lalu?”

Menariknya, respons mereka menolongku untuk menyelidiki apa yang sejatinya istimewa tentang Natal bagi kita, orang percaya. Kita tidak sekadar merayakan kelahiran manusia biasa, kita merayakan sebuah fakta bahwa Yesus—tak seperti manusia lainnya—mengalami kehidupan, kematian fisik, dan mengalahkan maut. Tidakkah itu berharga untuk dirayakan?

Berbicara mengenai perayaan, Yesus sendiri pun berpartisipasi di banyak perayaan Yahudi. Mukjizat-Nya yang pertama terjadi di pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-12). Yesus juga menghadiri jamuan makan malam Matius, di mana para pendosa datang kepada-Nya dan hidup mereka pun diubahkan (Matius 9:9-13). Dan, di Wahyu 19:6-9, kita mendapatkan sekilas gambaran mengenai perjamuan kawin Anak Domba, di mana seluruh kerajaan Allah diundang untuk berpartisipasi dalam perayaan, bersukacita menyembah Tuhan selamanya. Jika Yesus dapat menikmati perayaan bersama kerabat-kerabat-Nya, betapa kita juga tidak bersukacita dan merayakan pemberian terbesar yang telah diberikan-Nya bagi kita?

Jadi, dapatkah orang Kristen merayakan Natal? Jawabannya, kita bisa, selama kita berfokus kepada esensi utama dari iman kita: Kristus. Aku ditantang untuk mundur selangkah dan merenungkan apakah aku sudah menghargai Kristus di Natal kali ini? Apakah aku menempatkan Kristus sebagai pusatku? Aku perlu memikirkan cara-cara perayaan yang dapat mengingatkanku bahwa Allah itu Imanuel, selalu beserta kita. Aku perlu membagikan kisah imanku dan Natal adalah waktu yang baik untuk memulai diskusi tentang Yesus yang adalah hadiah terbesar yang kita pernah terima.

Tahun ini, aku memutuskan untuk mengundang teman-temanku ikut ibadah Malam Natal di gerejaku. Aku juga merencanakan acara mengobrol di Christmas Dinner untukku membagikan kisah tentang harapan dan sukacitaku dalam Kristus. Ada juga beberapa acara outreach yang bisa kuikuti untuk membagikan kabar baik tentang Kristus.

Jika “Tuhan paling dimuliakan dalam ketika kita kita merasa puas di dalam-Nya”, maka kita seharusnya menunjukkan sukacita yang besar kepada orang-orang di sekitar kita. Kita bisa merayakan Natal dengan merayakan Kristus.

Baca Juga:

Bagian Natal yang Terhilang

Mungkin Natal yang kita dambakan adalah Natal yang penuh dengan kado, barang-barang baru, perayaan yang meriah, dan kumpul bersama sanak saudara. Hal tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun bagaimana jika yang kita inginkan tersebut ternyata tidak kita dapatkan? Apakah Natal hanya dapat dinikmati oleh mereka yang keinginannya dikabulkan?

Menyikapi Fenomena Public Figure yang Mendadak Kristen

Oleh Vidia Liu

Photo credit: Carl Bjorklund / Shutterstock.com

Jika kamu mengikuti informasi terkini tentang Kim Kardashians atau berita-berita tentang pop culture, kamu mungkin mengetahui kabar tentang Kanye West yang mendeklarasikan diri sebagai orang Kristen. Yes, Kanye West!

Kanye West ialah seorang selebriti dan rapper yang terkenal karena kontroversinya. Dia sering dikritik karena lirik lagunya yang misoginis dan provokatif. Tanpa diduga, dia memimpin pujian di kebaktian-kebaktian Minggu yang diselenggarakannya di beberapa tempat di Amerika, dan baru-baru ini bahkan merilis album rohani berjudul Jesus is King.

Deklarasi iman Kanye West memancing reaksi publik, ada yang mendukungnya, ada pula yang menganggapinya sinis. Pandanganku sendiri mengenai perpindahannya kepada iman Kristen rasanya campur aduk. Bagaimana seharusnya kita merespons? Apakah dia sungguh menjadi orang Kristen? Apakah dia sungguh-sungguh mengalami transformasi spiritual terlepas dari caranya menjalani hidup? Atau, apakah itu hanya akal-akalan dia saja untuk mendongkrak popularitas?

Respons awalku

Aku berbohong jika aku mengatakan aku optimis ketika membaca berita tentang Kanye West lahir baru. Kesan pertamaku adalah mempertanyakan dan menghakimi, yang aku sendiri tidak banggakan. Aku meragukan bahwa Tuhan bisa bekerja dalam kehidupan tiap orang tak peduli seberapa ‘rusaknya’ orang itu terlihat.

Aku masih berjuang untuk memahami kebaikan-kebaikan maupun keburukan-keburukan apa yang mungkin terjadi setelah seseorang berpindah iman. Aku bisa membayangkan bagaimana seseorang yang terkenal seperti Kanye bisa dengan positif membentuk budaya kita, kalau kesaksian hidupnya baik. Tetapi jika tidak, aku khawatir orang-orang akan salah mengerti kekristenan, berpikir bahwa kamu bisa tetap jadi Kristen meskipun hidupmu jauh dari kesalehan. Pemikiran ini selalu ada di benakku setiap kali aku mendengar para public figure seperti Kanye West, Justin Bieber, dan Selena Gomez yang mendeklarasikan iman mereka kepada Yesus.

Bagaimana pemikiranku berubah

Syukurlah, Roh Kudus menolongku untuk melihat dari sisi yang berbeda. Aku pun punya kekurangan dan sikapku yang menghakimi itu muncul karena aku menilai diriku lebih baik dari mereka. Alkitab mengingatkanku bahwa tidak ada dosa kecil atau besar di mata Tuhan. Segala jenis kejahatan memisahkan kita dari Allah (Yesaya 59:2).

Aku juga diingatkan akan kisah bagaimana Paulus mengenal Kristus. Dari seorang penganiaya umat Kristen, Paulus malah menjadi orang yang berjasa besar membangun gereja mula-mula. Paulus berubah menjadi orang yang berpengaruh dalam Alkitab. Kisah ini menolongku melihat kembali kepada Tuhan, Pribadi yang tidak pernah terbatas oleh keadaan dan dapat bekerja dalam hidup siapa pun, tak peduli betapa hancur, berdosa, atau mengerikannya mereka. Tuhan itu Mahakuasa dan bukanlah hal yang mustahil bagi-Nya untuk mengubah hidup seseorang seperti Kanye.

Setelah menyadari ini, aku merasa tertegur bahwa alih-alih mendoakan agar Tuhan bekerja dalam hidup Kanye, aku malah skeptis. Aku bukan mengatakan bahwa kita seharusnya tidak waspada dan tidak jeli, atau secara buta merayakan perpindahan Kanye sebagai orang Kristen. Aku mengerti ada banyak pertanyaan mengenai motivasi Kanye. Jika kesaksian Kanye itu murni, kita bisa melihatnya nanti melalui buah-buah rohani yang dia hasilkan, yang tentunya akan disertai juga dengan perubahan besar dalam hidupnya (Matius 12:33). Namun, kita tidak dipanggil untuk menghakimi dan merendahkan seseorang yang mencari Tuhan (Matius 7:1-6).

Kesimpulan

Pada intinya, kita tidak pernah tahu apakah seseorang sungguh-sungguh menghidupi imannya atau tidak, dan itu bukanlah tugas kita untuk menghakimi. Kita pun mungkin tidak akan pernah tahu apakah seorang public figure yang menjadi Kristen itu sungguh-sungguh perbuatan yang berasal dari hatinya atau hanya sekadar strategi marketing. Yang sepenuhnya kita tahu adalah Alkitab dipenuhi kisah-kisah akan orang-orang yang hidup dalam dosa atau berbuat kesalahan (Rasul Paulus, Raja Daud, penyamun di salib di sisi Yesus, dan sebagainya) tetapi mendapatkan kasih karunia dan hidupnya diubahkan untuk menyebarkan kabar keselamatan kepada dunia. Jadi, alih-alih mempertanyakan dan menghakimi, marilah kita berdoa dan berharap kiranya melalui kesaksian dan album rohani dari Kanye, orang-orang dapat mendengar Injil (Filipi 1:18).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


 

Baca Juga:

Digitalkan Kabar Baikmu!

Penginjilan di era sekarang tak melulu bicara tentang pergi ke tempat yang terpencil. Dengan segala kemudahan era digital yang ada, sudahkah kita memanfaatkan peluang ini untuk memberitakan Kabar Baik?

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti

Hari ini, 31 Oktober, kita memperingati peristiwa Reformasi Gereja yang dilakukan oleh Martin Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.

Mengapa Film Joker Kali Ini Harus Kita Maknai dengan Serius?

Oleh Caleb Young
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why This Joker Should Be Taken Seriously
Gambar diambil dari Official Trailer

Joker, dibuat oleh Todd Philips dan dibintangi Joaquin Phoenix adalah film yang memicu banyak kritik dan komentar dari para penontonnya di seluruh dunia. Ada yang memuji performa maksimal Phoenix dalam menuturkan kisah saingan terberat Batman, namun ada pula yang menganggap film ini sebagai tayangan yang mengglorifikasi kekerasan dan membenarkan pembunuhan yang dilakukan oleh psikopat.

Saat menonton film Joker minggu ini, aku melihatnya sebagai sebuah film yang jauh lebih dalam dan rumit daripada kritik-kritik yang beredar. Film Joker ini pada beberapa bagiannya menceritakan betapa terbelahnya masyarakat kita, orang-orang yang bergulat dengan depresi, juga menunjukkan pada kita akan kehampaan dan ketidakberartian hidup yang mungkin juga dirasakan oleh kita. Film Joker menjadi semacam kisah peringatan yang bertutur tentang penjahat-penjahat yang bisa kita ciptakan ketika kasih, empati kepada sesama, dan kebenaran kita singkirkan dari kehidupan kita.

Apa yang Joker sesungguhnya bicarakan

Pada dasarnya, Joker adalah kisah awal dari sosok penjahat paling terkenal di serial DC Comic. Ada banyak versi lain dari sosok Joker yang dibintangi oleh Heath Ledger di film The Dark Knight yang menarik banyak perhatian.

Namun, inilah kali pertama Joker difilmkan tanpa kehadiran sosok Batman. Penulis ceritanya, Todd Philips dan Scott Silver menggunakan kesempatan ini untuk menciptakan gambaran tentang kehidupan Joker sesungguhnya—menunjukkan pada kita sesosok orang sakit mental seperti Arthur yang dapat berubah menjadi pembunuh kriminal.

Ada tiga tahapan yang kuamati tentang bagaimana Arthur bertransformasi menjadi Joker. Setiap tahapan ini memunculkan pertanyaan yang berbicara kepada kita hari ini.

1. Apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat?

Salah satu tema kunci dari film Joker adalah perpecahan dalam masyarakat dan kenyataan bahwa kita cenderung menjelek-jelekkan mereka yang tidak kita mengerti. Dalam kasus Arthur Fleck, film ini menunjukkan Arthur berdandan sebagai badut untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang komedian. Arthur bergumul dengan sakit mental yang kemungkinan besar didapatnya dari kekejaman yang diterimanya sewaktu kecil dan setiap leluconnya tidak diapresiasi di semua tempat pertunjukkan yang dia kunjungi.

Beberapa kali ditunjukkan di film, Arthur dirisak, baik secara verbal maupun fisik oleh orang-orang yang berasal dari beragam strata sosial, mulai dari sekelompok anak-anak, tiga profesional muda, hingga oleh seorang pembawa acara profesional yang diperankan oleh Robert de Niro. Setiap perlakuan buruk yang diterima Arthur mendorongnya untuk terluka lebih dalam.

Dalam kasus Arthur, pengalaman-pengalaman buruknya membawa dia kepada kekerasan. Cerita ini sejatinya tidaklah asing. Jika kita melihat berita internasional di televisi atau media sosial, kita mengetahui pernah ada penembakan massal yang terjadi di beberapa tempat di dunia. Film Joker menunjukkan fenomena nyata tersebut dan menantang para penontonnya untuk bertanya, apakah kita punya andil dalam menciptakan penjahat di dunia? Apakah empati dan pengertian kita yang kurang terhadap mereka yang berbeda dari kita mendorong kita untuk mengolok-ngolok atau merendahkan mereka? Atau, apakah kita seperti masyarakat kota Gotham yang yang tidak peduli terhadap perisakan yang terjadi di sekitar kita?

Buatku pribadi, sebagai seorang pengikut Yesus, apakah aku gagal menunjukkan kasih kepada orang-orang yang tak kukenal dan membiarkan mereka hidup tanpa kasih dan perasaan dihargai? Jika ada orang-orang yang sungguh peduli dalam kehidupan Arthur, mungkinkan dia tidak akan berubah menjadi Joker?

2. Apakah kita menyembunyikan pergumulan kita di balik kebahagiaan palsu?

Sebagai badut dan komedian, Arthur punya mimpi untuk membuat semua orang berbahagia, tapi dia mengakui kalau dia tidak pernah merasa bahagia satu hari pun dalam hidupnya. Arthur malah “menggunakan wajah bahagia” untuk menyembunyikan kesedihan yang dirasakannya.

Salah satu akibat dari penyakit mentalnya adalah Arthur bisa tertawa tak terkendali di situasi yang sebenarnya dia tidak ingin tertawa. Salah satu bagian yang menyayat hati adalah ketika Arthur di suatu malam terduduk di sofa. Dia tertawa histeris dan air matanya menetes, menunjukkan depresi yang telah sangat akut menyerangnya.

Penggambaran akan depresi ini begitu menantangku. Meskipun aku sendiri belum pernah merasakan depresi yang mendalam, aku terpikir berapa banyak orang-orang di sekitarku yang mencoba memasang wajah bahagia di balik pergumulan hebat yang mereka alami?

Apakah ada orang-orang, seperti Arthur, yang ingin membuat orang lain tertawa tapi dirinya sendiri tercabik oleh depresi? Apa yang bisa kulakukan atau kukatan supaya mereka tahu kalau ada seseorang yang sesungguhnya bersedia untuk berjalan bersama mereka? Atau, apakah aku terlau egois dengan waktu dan energiku sendiri alih-alih menolong mereka yang bergumul dengan depresi?

3. Apakah hidup ini sebuah tragedi, komedi, atau…?

Salah satu kutipan yang paling kuingat adalah ketika Arthur berubah menjadi sosok Joker si pembunuh. Dia berbicara kepada ibunya yang juga menderita sakit mental. Arthur berkata,”Aku pernah berpikir hidupku adalah sebuah tragedi. Tapi sekarang, aku menyadari hidupku adalah komedi.” Pemahaman ini menjadi tahap akhir yang mengubah Arthur menjadi Joker sepenuhnya.

Kutipan ini berbicara kepada budaya dan masyarakat kita saat ini. Ada banyak berita buruk dan hal-hal negatif tentang masa depan yang membuat kita merasa tak berdaya dan tak punya tujuan, seperti Joker yang pernah berpikir bahwa keseluruhan hidup kita dapat dilihat sebagai sebuah tragedi. Tapi, di sisi lain, mungkin kita lebih mudah melihat kehidupan sebagai komedi ketika kita menganggap kematian, kerusakan, dan kekacauan sebagai sesuatu yang layak ditertawakan.

Jika seandainya Arthur pernah melihat atau mengetahui bahwa ada cara lain untuk melihat eksistensi hidupnya di dunia. Bukan sebagai tragedi atau komedi, tetapi sebagai kisah kasih. Sebuah kisah kasih antara kita dengan Bapa Surgawi. Dalam Joker, tampak jelas bahwa Arthur Fleck, sama seperti kita, mencoba untuk dimengerti, dihargai, dan dikasihi oleh seseorang.

Bagian penting dalam film Joker adalah ketika Arthur mencari tahu ayah kandungnya dan berusaha mengerti mengapa dia ditinggalkan begitu saja. Ketika Arthur bertemu seseorang yang mungkin adalah ayah kandungnya, dia tidak menginginkan uang. Arthur hanya ingin sebuah pelukan. Jika seandainya Arthur mengetahui bahwa Bapa Surgawi, Seseorang yang selalu menantinya dengan tangan terbuka, mungkinkah kisah ini menjadi berbeda?

Ketika film Joker tidak menyajikan akhir yang bahagia, tidak demikian seharusnya dengan hidup kita. Joker adalah tantangan bagi kita orang percaya untuk memohon kepada Roh Kudus untuk membimbing kita kepada ‘Arthur Fleck-Arthur Fleck’ yang ada di dunia dan memberi tahu mereka bahwa kehidupan bukanlah sebuah tragedi ataupun komedi. Hidup ini adalah sebuah kisah kasih dan undanglah mereka untuk masuk ke dalam kisah tersebut.

Setelah Jarrid Wilson Bunuh Diri: Ke Mana Kita Melangkah Selanjutnya?

Oleh Josiah Kennealy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Losing Jarrid Wilson: Where Do We Go From Here?
Foto diambil dari akun Instagram Jarrid

Jarrid Wilson adalah seorang pendeta di Amerika Serikat. Dia juga melayani sebagai advokat kesehatan mental. Pada 9 September 2019 dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Beberapa tahun lalu, aku dan Jarrid Wilson diundang ke acara yang sama dan setelah acara itu usai, kami jadi berteman. Kami mengobrol lewat chat dan saling mendukung satu sama lain. Karena kami sama-sama melayani sebagai pendeta, kami punya banyak kesamaan. Setiap interaksi dengannya selalu membangkitkan semangat.

Hari Senin malam beberapa minggu sebelumnya, kami baru saja mengobrol lewat chat. Dia menutup diskusi kami dengan berkata, “Aku mengasihimu”. Setelahnya aku menulis di Twitter tentang bagaimana dia dan rekan-rekanku lainnya memberkati media sosial dan menjadikan dunia di sekitar mereka lebih baik. Dia membalas tweetku, “Aku mengasihimu”.

Itu adalah kata-kata terakhir yang dia kicaukan di Twitter.

Mengetahui fakta yang terjadi beberapa jam setelah kami berdiskusi membawaku ke dalam kesedihan, syok, kebingungan, dan tidak percaya.

Jarrid WIlson, seorang suami dari istri yang cantik dan ayah dari dua anak lelaki, seorang pendeta yang dikenal baik, penulis, rekan dari banyak orang, mengakhiri hidupnya dengan tiba-tiba dan tragis.

Seminggu belakangan ini aku tidak banyak berkata-kata, pun aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Saat aku menulis tulisan ini, aku merasa tidak memenuhi syarat untuk menuliskan sesuatu yang berharga, tetapi aku mau mencoba untuk memendarkan cahaya dan berbagi harapan.

Aku pun seorang pendeta, dan aku pernah mendatangi seorang konselor untuk kesehatan mental dan emosi. Aku juga pernah mendatangi dokter tulang untuk mengobati sakit tulang belakangku. Setelah kematian bunuh diri pamanku, aku menderita sakit kepala selama tiga tahun. Aku tahu benar rasa sakit yang tak terlihat dari luar namun begitu nyata di dalam—ini tidak ada bedanya dengan depresi.

Jadi, ke mana kita melangkah setelah ini?

Marilah kita jujur. Kita sebagai gereja tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi. Seiring aku bergulat dengan berita tragis kematian Jarrid, inilah beberapa refleksi yang kudapat selama seminggu ini. Kita perlu beranjak dan melangkah:

Dari menghindar ke mengatasi

Bukanlah hal yang baik bahwa 800 ribu orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri (data dari WHO). Di antara remaja dan dewasa muda, bunuh diri adalah salah satu penyebab kematian terbanyak dan ini seharusnya tidak dapat kita terima.

Tapi, membicarakan kesehatan mental di gereja seringkali dianggap tabu, dihindari, dan disalah mengerti. Ayo katakan selamat tinggal pada anggapan ini. Secara individu maupun kelompok, kita sebaiknya memiliki kemauan untuk memulai percakapan atas isu-isu yang rentan, seperti yang Jarrid lakukan.

Melakukan ini bisa diwujudkan dalam banyak cara, tetapi sebagai langkah awal kita perlu menyadari “It’s okay” untuk membicarakannya. Mungkin tidak ada seorang pun yang memberimu izin untuk mengatakan kalau kamu sedang tidak baik-baik saja, tapi aku mau kamu tahu bahwa sama sekali tidaklah bermasalah untuk jujur akan keadaanmu. Kamu mungkin akan diberondong banyak pertanyaan—tentunya. Tapi, tidaklah masalah pula untuk mengakui kalau kita tidak punya jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang hidup.

Kita perlu berkhotbah lebih banyak tentang kekhawatiran, kesehatan mental, dan depresi; kita perlu membicarakannya di dalam kelompok kecil, pertemuan pemuda; atau di obrolan santai sambil minum kopi atau teh dan membagikan bagaimana perjuangan kita pada seorang teman. Alkitab punya cerita, pedoman, dan jawaban mengenai hal-hal ini. Kita bisa bersandar dan membahas topik-topik di dalamnya.

Seiring kita mulai membiasakan diri berdiskusi tentang kesehatan mental dan kesejahteraan hidup secara utuh, kamu akan melihat bahwa kamu bukanlah satu-satunya orang yang berjuang. Ada banyak orang yang juga menghadapi kekhawatiran, depresi, dan pikiran-pikiran gelap. Dan, bagian dari rancangan Allah bagi gereja adalah untuk saling mendukung satu sama lain dan menolong di masa-masa sulit.

Dari mengurung diri ke membuka diri

Survey terbaru dari lembaga riset Barna menunjukkan mayoritas pendeta tidak punya seseorang yang bisa mereka panggil sebagai teman. Baru beberapa minggu lalu, Barna Group juga memublikasikan riset tentang anak muda. Hanya sepertiga dari manusia yang berusia 18-35 tahun (dari berbagai negara) mengetahui bahwa ada seseorang yang sesungguhnya peduli akan mereka. Artinya, 66 persen orang dewasa muda tidak menyadari kalau mereka dipedulikan dan dikasihi.

Iblis ingin orang Kristen percaya kebohongan bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang berjuang dan pemikiran ini ujung-ujungnya akan membawa seseorang pada keadaan mengurung diri. Kita perlu memberi tahu orang-orang di sekitar kita bahwa mereka sungguh berarti buat kita. Kita bisa memulainya dengan mengirimi chat, ataupun menelepon seseorang yang kita kasihi dan bertanya apakah ada sesuatu yang butuh ditolong darinya. Memberi diri untuk mendengar dan hadir adalah hal terbesar yang bisa dipersembahkan seorang teman. Pendetamu juga butuh dorongan dan doa darimu, lebih daripada yang kamu bayangkan.

Tergabung dan terhubung ke dalam komunitas gereja lokal dan memiliki pertemanan yang saleh tidak menyembuhkan segalanya, tetapi itu pasti menolongmu mengatasi kesendirian. Tuhan menciptakan Hawa untuk Adam karena sejak semula Tuhan berkata tidaklah baik apabila manusia itu hidup seorang diri saja (Kejadian 2:18)! Tuhan Yesus pun hidup bersama 12 murid-Nya selama tiga tahun. Gereja mula-mula di Kisah Para Rasul bertambah banyak anggotanya karena setiap orang ingin menjadi bagian dari komunitas yang saling berbagi ini, komunitas yang tumbuh bersama, makan bersama, berdoa bersama, mempelajari Alkitab dan membagikan kebaikan dengan saling memperhatikan (Kisah Para Rasul 2:42-47).

Ayo ambil langkah untuk terhubung dengan teman atau komunitasmu hari ini!

Dari putus asa ke harapan

Tuhan tidak pernah meninggalkanmu, meskipun kamu tidak merasakan kehadiran-Nya. Kamu tidak pernah ditelantarkan sendirian. Lihatlah ke atas bukit-bukit, di sanalah datang pertolonganmu yang berasal dari Yesus. Tuhan Yesus dekat kepada mereka yang patah hati. Dia akan mengusap setiap air mata. Kamu dapat bersandar dan percaya kepada janji-janji-Nya.

Aku pernah putus asa, tetapi Tuhan mengangkat pandanganku. Dia mengubah kesedihan terbesarku menjadi sukacita. Dia membuang kekecewaanku dan menggantinya dengan damai yang baru. Aku masih dalam perjalanan, aku masih berproses. Aku percaya dengan segenap hatiku harapanku ada selama aku ada bersama dengan Yesus, seperti yang Yohanes 15 katakan.

Selama seminggu, pasal ini menolongku mengalami pemulihan, pertolongan, dan harapan. Yesus mengajarkan, “Barangsiapa tidak tinggal di dalam Aku, ia dibuang ke luar seperti ranting dan menjadi kering, kemudian dikumpulkan orang dan dicampakkan ke dalam api lalu dibakar” (Yohanes 15:6). Buatku, dan buat setiap kita, ini adalah janji: kita tidak bisa melakukan apa-apa di luar Yesus. Namun, jika kita terhubung selalu dengan-Nya, kita bisa dan akan melakukan banyak hal.

Bersandar pada Yesus, orang yang kita kasihi, komunitas orang saleh dan sumber-sumber daya lain yang bermanfaat adalah langkah-langkap penting yang kita butuhkan untuk kita melewati hari-hari kita.

Dan akhirnya, aku ingin mengatakan hal ini:

Kepada Jarrid – Aku mengasihimu. Aku berharap seandainya aku bisa membalas pesanmu lebih cepat dan kita bisa mengobrol lebih lama. Aku amat sedih atas keputusan yang kamu buat. Aku mendoakan keluargamu. Aku mengingatmu lewat suaramu untuk orang-orang yang putus asa, rekan-rekanmu, kasihmu kepada Tuhan, keluarga, dan semua orang. Kami menghormatimu dengan mengenakan jubah kepemimpinan yang telah kamu bawa dengan baik untuk sekian lama. Terima kasih atas keberanianmu mengungkapkan perjuanganmu.

Kepada Juli dan anak-anak lelakinya – Kami sangat mengasihimu. Belasungkawa, doa, dan dukungan kami ada untukmu dan keluargamu. Kami ada di sini untukmu. Aku percaya Yesus akan memeliharamu. Aku mendoakan kiranya damai, kekuatan, dan anugerah ada bersamamu sekalian.

Kepada orang-orang yang mengenal Jarrid – aku menerima banyak pesan dan telepon dari teman-teman yang juga mengeal Jarrid. Pertemanan jadi begitu nyata ketika kita bisa berdiskusi sambil ngopi ataupun mengobrol lewat chat. Seiring kita menghadapi duka kehilangan ini, kiranya kita bisa lebih dekat daripada sebelumnya.

Kepada para pendeta – kamu membutuhkan hobimu, teman-temanmu, istirahat dari teknologi. Kamu mengotbahkan tentang pentingnya komunitas, dan sekaranglah waktunya untuk menghidupi itu. Mengakui jika kamu perlu pergi menemui dokter, therapis, atau konselor Kristen bukanlah dosa dan itu bukanlah tanda kelemahan—itu keberanian. Yesus dideskripsikan sebagai seorang muda dalam Lukas 2:52. “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Artinya, Yesus bertumbuh secara mental, fisik, spiritual, juga relasi-Nya dengan orang lain. Marilah kita mengejar kesehatan, kesejahteraan, istirahat, dan keutuhan di setiap area kehidupan kita.

Kepada setiap orang – kita semua akan menghadapi masa-masa sulit, tetapi selalu ada pertolongan, selalu ada pemulihan, dan tentunya juga harapan. Bertahanlah, ada harapan yang besar. Dalam kehidupan selalu ada naik dan turun, gunung dan lembah, gurun dan oase, badai dan ketenangan.

Kamu perlu mengetahui bahwa kamu tidak sendirian di dalam setiap momen-momen hidupmu. Yesus berkata dalam Yohanes 16:33, “Semuanya itu Kukatakan kepadau, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatmu, Aku telah mengalahkan dunia”. Marilah kita sepakat untuk menolong satu sama lain tiba di level pemahaman yang baru ketika kita membicarakan kesehatan mental. Bunuh diri tidak pernah menjadi jawaban.

Doaku adalah kita semua bisa lebih berani membicarakan topik tentang kesehatan mental dan kita mampu melihat orang-orang dengan pandangan yang berbeda. Tidak peduli seberapa baik penampilan orang di luarnya, mungkin saja ada sesuatu yang mereka gumulkan di dalam. Izinkan mereka yang paling dekat dengan kita mengetahui betapa kita mengasihi mereka, dan betapa mereka berarti buat kita tak peduli apapun musim yang sedang mereka hadapi.

Ayo kita tunjukkan kasih dan empati kita.

Baca Juga:

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Sobat muda, bagaimanakah sistem kepemimpinan di gerejamu? Di artikel ini, teman kita, Ari Setiawan mengajak kita untuk menyelediki model kepemimpinan apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus. Yuk kita simak artikelnya.

Menegur dengan Maksud Baik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Sewaktu menjadi pengurus di bagian acara persekutuan kampus kami di Pekanbaru, Johan rekan sepelayananku di bidang acara menunjuk Sari* untuk menjadi singer dalam Kebaktian Awal Tahun Akademik (KATA). Sari adalah adik tingkat kami yang telah mengikuti pembinaan. Kami menilai Sari punya relasi yang baik dengan Tuhan.

Atas pertimbangan relasi pribadinya yang erat dengan Tuhan, juga kedekatan kami dengannya, Johan pun menunjuk Sari sebagai singer di ibadah tersebut. Supaya ibadah bisa berlangsung baik, bisanya kami mengadakan latihan tiga sampai empat kali.

Ketika hari pertama latihan, aku dan seluruh rekan pengurus, termasuk Johan, menyadari bahwa Sari rupanya tidak punya talenta dalam menyanyi. Johan sendiri tidak memastikan apa talenta Sari sebelumnya. Karena takut melukai perasaan Sari, Johan tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Sari. Pun kami sebagai rekan pelayanan tidak berupaya untuk mendorong dan menegur Johan supaya dia berkata jujur pada Sari. Kami tidak ingin dianggap mengambil alih tanggung jawab Johan.

Ibadah KATA pun berlangsung. Sari menyanyikan lagu pengantar saat teduh secara solo. Menyadari hal yang sama dengan para pengurus, jemaat yang harusnya mengambil sikap teduh jadi tidak kondusif. Sari pun menyadari respons jemaat, dia menjadi sangat sedih dan malu. Kejadian ini lalu membuat kami merasa sangat bersalah karena tidak mengatakan hal yang sebenarnya dan menegur Johan.

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Atas dasar relasi yang baik, kita tidak siap dengan risiko atau dampak yang akan dihasilkan, baik sebagai orang yang menyatakan atau menerima kebenaran itu sendiri. Sebagai orang yang akan menyatakan kebenaran kita takut orang yang menerimanya akan terluka, tidak terima dan dapat merusak relasi kita dengannya. Sedangkan sebagai orang yang menerima, kita tidak siap untuk rendah hati menerima teguran atau kebenaran.

Salomo dalam Amsal 27:5-6 mengatakan, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.” Ayat ini mengajarkan kita untuk menyatakan kebenaran dan teguran secara nyata sebagai bentuk kasih. Kita diajarkan bahwa kebenaran ataupun teguran meskipun sakit dan tidak mengenakkan di awal apabila didasarkan dengan kasih dan maksud baik akan mendatangkan kebaikan bagi kita dan setiap orang yang mendengar dan menerimanya.

Salomo juga di dalam kitab Amsal menyatakan beberapa manfaat teguran. Teguran mendidik kita untuk tetap berada di jalan yang seharusnya (Amsal 6:23), membawa kita kepada kehidupan (Amsal 15:31), memperoleh akal budi (Amsal 15:32) dan mendatangkan hikmat (Amsal 29:15).

Mengasihi orang lain, berarti kita bersedia untuk terus mendorong dan membantu orang yang kita kasihi untuk menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk dengan mengungkapkan kebenaran dan teguran yang membangun bagi mereka. Dengan teguran yang dilandaskan kasih, kita mengingatkan orang yang kita kasihi agar tetap berada atau berbalik kepada kebenaran. Kita juga dapat menghindarkan mereka dari kejatuhan ataupun kesalahan yang terlalu dalam. Serta membantu mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

Hal yang sama juga berlaku dengan kita. Ketika kita menerima kebenaran dan teguran dari orang yang mengasihi kita, kita harus melihatnya sebagai bentuk kasih untuk kita dan kerinduan yang mendatangkan kebaikan buat kita. Kita harus merespons teguran dengan sikap terbuka dan merefleksikan diri hingga kita dapat melihat manfaat dan tujuan teguran tersebut sebagai sesuatu yang membangun.

Dalam Wahyu 3:19 dikatakan, “Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!”

Tuhan sendiri pun mengingatkan kita bahwa teguran adalah salah satu bentuk kasih. Justru ketika dalam kesalahan dan kejatuhan kita tidak ditegur atau menegur itu tanda bahwa kita tidak peduli dan dipedulikan. Pukulan dengan maksud baik akan membangun sedangkan pujian yang palsu akan menjatuhkan.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

“Pelayanan” Yang Kurang Pas Disebut Pelayanan

Kita tahu bahwa pelayanan bisa dikritisi dari berbagai macam sisi. Kita bisa melihat motivasinya. Kita bisa melihat caranya. Apakah motivasi dan caranya memuliakan Tuhan? Tetapi, satu sisi dari pelayanan yang jarang kita perhatikan adalah efektivitasnya. Apakah betul yang dilakukan menghasilkan sesuatu yang baik untuk kerajaan Tuhan?

Kisah Cinta Eli

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Lapangan El-Marga di kota Damaskus, Siria, begitu ramai dipadati penduduk kota. Langit masih gelap, matahari belum bersinar.

Masih dini hari di kota yang dulu bernama Damsyik itu. Ratusan polisi dan pengawal militer berjaga-jaga di balik pagar berduri.

Di mana-mana terdapat tentara berjaga-jaga. Di atas atap-atap rumah, di pintu masuk hotel, bahkan di selokan bawah tanah. Para prajurit khusus dan penembak jitu terbaik negeri itu berjaga-jaga dengan kesiapan tempur gerak cepat.

Satu hari sebelumnya radio Damaskus mengumumkan hukuman mati bagi seorang penjahat negara.

Seluruh negeri bersorak-sorai, mungkin karena merasa sudah diperdaya dan dipermalukan oleh seorang yang sebentar lagi akan menemui ajalnya di tiang gantungan, di lapangan yang terkenal dengan sebutan lapangan para martir -El Marga-.

Pria itu bernama Eli Cohen.

Ia sudah mempermalukan presiden, jenderal-jenderal, dan para petinggi negara itu dengan kecerdikan yang jarang dimiliki oleh manusia pada umumnya.

Ia salah seorang mata-mata terbaik yang pernah lahir di muka bumi.

Kini, pria yang menjadi perhatian internasional karena kehebatannya di bidang intelijen itu menghadapi tiang gantungan.

Hidupnya tinggal beberapa langkah kaki lagi. Sang algojo menawarkan tutup kepala kepadanya, dengan gelengan kepala ia menolak.

Para wartawan mendengarnya berdoa dalam bahasa Ibrani. Doanya yang terakhir pada Tuhannya, Allah Israel yang ia banggakan, Tuhan yang disembah leluhurnya: Abraham, Ishak, dan Yakub.

Pintu lantai terbuka, Eli Cohen tewas.

Hari itu pukul 03.35 pagi. Seluruh dunia melihatnya. Rakyat negara Israel berkabung. Istri Eli Cohen menonton kematian tragis suami yang dicintainya melalui televisi. Wanita ini terpukul berat, dan mendapatkan perawatan khusus karenanya.

Semua usaha diplomatik dan lobi-lobi internasional yang dilakukan negeri Zion sebelumnya untuk membebaskan intelijen terbaiknya itu tak berhasil.

Sang agen terbaik Israel itu meregang nyawa lebih cepat dari yang mereka kira.

Empat tahun sebelumnya Eli ditugaskan pada misi paling berbahaya. Menyelinap masuk ke jantung informasi rahasia pemerintah dan departemen pertahanan Siria.

Berperan sebagai pengusaha sukses Siria, ia telah berhasil menguasai seluruh rahasia negara itu lebih dari yang presiden negara itu kuasai.

Ia bahkan akan diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Sang Presiden karena kecerdasan dan karismanya. Misinya berhasil.

Eli memang seorang brilian.

Direkrut dan dilatih dengan baik oleh dinas intelijen Israel, Mossad, pada tahun 1957, untuk sebuah misi yang tak bisa dilakukan oleh agen rahasia biasa. Misi ini memang untuk Eli Cohen.

Dan ia berhasil.

Sungguh menarik jika melihat kehidupan Eli. Sebagai agen intelijen ia memang hebat, tetapi ternyata ia juga seorang pria yang romantis.

Dididik ketat dengan aturan Taurat oleh keluarga Cohen, ia punya satu sisi karakter yang sangat baik.

Ia seorang pria yang setia pada istri dan keluarganya.

Pada awal-awal masa dinasnya di Mossad, Eli bertemu dengan wanita cantik bernama Nadia yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit Hadassah, Tel Aviv.

Eli jatuh cinta padanya. Ia ingin bertemu lagi dengan si perawat cantik itu. Sebagai patriot Israel, Eli dengan wibawa khasnya tak menunda untuk menyatakan isi hatinya pada Nadia, gadis yang menaklukkan hatinya sejak pandangan pertama itu.

Gayung bersambut. Tak sampai seminggu kemudian, di pantai Herzliya, dua sejoli yang dimabuk kasmaran ini memutuskan untuk menikah.

Dari awal Eli sudah mengetahui bahwa wanita ini akan menjadi pendamping hidupnya.

Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, dan berani mengambil keputusan untuk menikahi Nadia, gadis yang baru dikenalnya selama tujuh hari.

Pilihannya tak salah.

Dua sejoli ini menikah. Sebagai ekspresi komitmen dalam romantika cinta, mereka berjanji hidup saling setia sampai maut memisahkan.

Mereka memang saling jatuh cinta sejak awal pertemuan mereka di Tel Aviv, di sebuah restoran khusus tentara Israel yang tangguh itu.

Mereka membangun rumah tangga baru dan menikmati hidup yang tenang. Meskipun Eli sering mendapat tugas-tugas penting yang membuatnya harus meninggalkan istrinya dalam jangka waktu yang cukup lama, tapi pria Yahudi kelahiran Mesir ini sungguh mencintai istrinya, Nadia.

Kecintaannya pada Nadia dibuktikan dengan kesetiaanya yang tinggi pada wanita yang dinikahinya pada tahun 1959 itu.

Laporan intelijen mencatat bahwa, ketika sering kali Eli diharuskan berada dalam posisi “menemani” para jenderal dan pejabat tinggi negara Siria yang melakukan pesta pora dan perselingkuhan dengan wanita-wanita simpanan mereka, agen Mossad ini memilih untuk tidak menyentuh satupun dari para wanita cantik nan seksi yang menggoda itu.

Di hatinya hanya ada satu wanita, Nadia, yang sangat dicintainya.

Sejak 1960 operasi rahasia Eli di Siria mulai dijalankan. Perintah ini resmi dan langsung mendapat perhatian dari Isser Harel, sang direktur Mossad yang legendaris itu.

Dalam operasi rahasinya ini, begitu banyak rahasia pertahanan negara Siria yang telah ia bocorkan ke Markas Besar Mossad di Israel -kelak informasi ini yang membuat Israel menang telak atas Siria pada Perang Enam Hari pada tahun 1967-. Eli sangat profesional.

Ia adalah seorang mata-mata yang sukses. Sampai suatu hari sebuah tim elit kontra-intelijen Uni Soviet yang disewa pemerintah Siria berhasil membongkar operasinya.

Kini, Eli Cohen, agen rahasia yang menguasai bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan Spanyol ini harus rela mengakhiri hidupnya di tengah lapangan kota Damaskus, di tangan musuh negara yang dibelanya, Israel.

Sebelum ia menemui ajalnya di tiang gantungan, di seberang lapangan El Marga, di sebuah pos polisi yang remang-remang ia diantar masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya terdapat meja kayu kosong.

Dengan pengamanan yang super ketat, dan didampingi seorang Rabbi Yahudi, ia diperbolehkan menulis sepucuk surat perpisahan kepada istrinya, Nadia.

*Kepada Nadia, istriku, dan keluargaku yang tercinta. Aku minta agar kalian tetap bersatu. Aku mohon kepadamu Nadia untuk memaafkanku. Aku minta supaya kamu menjaga dirimu sendiri dan anak-anak kita, serta berusaha supaya anak-anak dididik dengan baik. Perhatikanlah dirimu sendiri dan usahakanlah agar anak-anak kita tak kekurangan sesuatu apapun. Peliharalah hubungan baik dengan keluargaku. Aku mau supaya kamu menikah lagi agar anak-anak kita tak bertumbuh tanpa seorang ayah, aku berikan kamu kebebasan penuh untuk berbuat demikian. Aku mohon supaya kamu jangan membuang-buang waktu dengan menangisi aku. Selalu berpikir ke depan! Kukirimkan ciumku yang terakhir kepadamu, Sophie, Iris, Saul, serta anggota-anggota keluarga yang lainnya. Untuk kalian semua, keberikan ciumku yang terakhir dan shalom.*

*Eli Cohen, 18 Mei 1965*

Sementara di luar orang-orang Siria sudah menanti kematian agen terbaik Israel ini, Rabi Andabo mengucapkan doa Shema Israel untuk Eli, *”Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu…,”* suara Rabi itu terhenti dan lama-lama menghilang, orang-orang Siria itu dengan tidak sabar mendorong Eli keluar.

Ia berjalan ke tiang gantungan.

Tak ada ketakutan di matanya.

Ia tau akan segera bertemu Elohim Adonai, Tuhan yang menjadikan leluhurnya sebagai bangsa pilihan.

Menit-menit terakhir terasa begitu cepat.

Pintu Firdaus seakan terbuka di atas lapangan yang sering digunakan sebagai tempat eksekusi itu, dan babak akhir hidup sang intelijen jenius ini ada di situ.

Tak lama kemudian dunia melihatnya mati di tiang gantungan, bersama rasa cintanya pada negaranya Israel, bersama kesetiaanya pada Nadia dan keluarganya.

Tragis? Mungkin saja.

Eli memang mati karena risiko tugas. Tapi yang juga menjadi perhatian kita adalah bahwa ia adalah seorang yang mencintai istrinya dengan kesetiaanya yang tinggi.

Ia mencintai istrinya sama seperti ia mencintai Israel, tanah yang dijanjikan Tuhan bagi leluhurnya. Eli menunjukkan kasih setia pada pasangannya sampai akhir hayatnya.

Memang sejak zaman dahulu, hingga zaman Eli Cohen, hingga zaman kita saat ini, dan bahkan hingga sampai zaman anak cucu kita, kesetiaan selalu melekat pada ungkapan cinta.

Karena cinta sejati adalah kesetiaan, hingga maut memisahkan.

Sebagai agen intelijen, Eli bertekad membela negaranya dari ancaman yang datang dari dalam dan luar negeri.

Sebagai seorang suami, ia mempertahankan cintanya pada sang istri yang telah memberinya 3 orang anak itu.

Nadia menerima surat terakhir suaminya itu, dan melakukan semua permintaan terakhir suaminya, kecuali menikah lagi.

Eli mencintai negaranya, dan ia rela mati demi tugas. Eli mencintai istrinya, dan ia menjaga kesetiaanya sampai tali gantungan memutus nafasnya di lapangan El Marga, di kota Damaskus yang berdebu.

Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah mendapatkannya?” (Amsal 20:6)

Baca Juga:

3 Tips untuk Tetap Menyembah Tuhan di Masa Sulit

Memuji dan menyembah Tuhan terasa mudah ketika segalanya baik-baik saja. Namun, ketika kesulitan melanda, kita merasa Tuhan seolah jauh, atau sepertinya Dia tidak peduli. Sulit pula bagi kita untuk mengasihi, menghormati, dan mengakui Tuhan atas pribadi-Nya, apa yang Dia telah lakukan, dan yang sanggup Dia lakukan.

Sharing: Bagaimana Caramu Menunjukkan Kebanggaanmu akan Bangsa Indonesia?


Sobat muda, bagaimana caramu menunjukkan kebangganmu akan bangsa Indonesia?

Bagikan kisah dan pengalaman sobat muda di kolom komentar. Kiranya jawaban kamu dapat menjadi berkat bagi sobat muda yang lainnya.

#GaliDasarIman: Apakah yang Tidak Tahu Tidak Berdosa?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Pertanyaan di atas mencoba mengeksplorasi keterkaitan antara kesalahan dan pengetahuan. Maksudnya, apakah seseorang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya salah dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, apakah orang itu perlu diberi tahu bahwa tindakan itu adalah salah?

Terhadap pertanyaan ini Alkitab menyediakan jawaban yang cukup jelas dan konsisten. Ketidaktahuan tidak membebaskan seseorang dari dosa. Tindakan seseorang tetap diperhitungkan sebagai dosa walaupun orang itu tidak menyadarinya.

Poin ini diungkapkan dengan baik dalam sebuah perumpamaan Alkitab tentang hamba-hamba yang tidak taat (Lukas 12:37-48). Perumpamaan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan: “Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan” (ayat 47-48a). Alasan di balik hal ini juga dijelaskan: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (ayat 48b). Ketidaktahuan hanya mengurangi, bukan meniadakan, hukuman.

Alkitab juga mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu semua manusia sebenarnya sudah mengetahui kehendak Allah. Persoalan manusia bukanlah “tidak tahu,” melainkan “tidak mau tahu” atau “tidak mampu”. Dosa manusia adalah “menindas kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Kepada mereka sudah dinyatakan kebenaran-kebenaran ilahi melalui wahyu umum, misalnya ciptaan yang dapat dinalar (Roma 1:19-20) atau hukum moral dalam hati mereka (Roma 2:14-15). Permasalahannya, mereka tidak mau dan/atau tidak mampu menaati pengetahuan tersebut.

Untuk memperjelas hal ini, ada baiknya kita mengenal dua istilah: dosa dan pelanggaran. Dosa merujuk pada segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah yang sempurna. Pelanggaran berarti ketidaksesuaian dengan aturan (perintah atau larangan) tertentu. Ada dua teks Alkitab yang perlu untuk disinggung di sini. Roma 4:15 mengajarkan: “Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.” Selanjutnya dikatakan: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Dari teks ini terlihat bahwa semua kesalahan adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu pantas dikategorikan sebagai pelanggaran.

Ketidakmampuan untuk hidup seturut dengan wahyu Allah bersumber dari natur manusia yang berdosa. Hal yang sama bahkan menimpa mereka yang diberi wahyu khusus. Paulus dengan jujur mengungkapkan pengalamannya: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku” (Roma 7:15-17). Jadi, persoalan terbesar manusia bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmampuan.

Sebuah ilustrasi mungkin bermanfaat untuk menerangkan kebenaran di atas. Banyak orang di pedalaman terbiasa mandi di sungai yang kotor. Mereka bahkan menyikat gigi mereka dengan air yang sama. Dari kacamata orang perkotaan yang sudah mengenal beragam informasi kesehatan, kebiasaan ini sangat berbahaya. Dari kacamata mereka sendiri yang sudah tinggal di sana berabad-abad, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam kebiasaan tersebut. Mereka tidak tahu informasi kesehatan yang memadai. Kalaupun tahu, belum tentu mereka mempercayainya. Bahkan sekalipun mereka tahu dan mempercayainya, belum tentu mereka mau dan mampu hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman dan aman dengan apa yang mereka lakukan. Mereka belum tentu mampu mendapatkan air yang bersih dalam jumlah yang memadai.

Apakah ketidaktahuan penduduk setempat terhadap kesehatan menjadikan kebiasaan mereka dapat ditolerir? Apakah tindakan mereka dapat dianggap benar hanya gara-gara mereka tidak mengetahui apa yang ideal? Tentu saja tidak, bukan? Demikian pula dengan dosa dan pengetahuan kita. Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu disebut pelanggaran. Bagi mereka yang tahu, kesalahan mereka tergolong dosa sekaligus pelanggaran. Dalam keadilan Allah yang sempurna, Ia akan mempertimbangkan ketidaktahuan seseorang (yang tidak tahu akan menerima hukuman lebih ringan), tetapi tetap tidak meniadakan hukuman sama sekali (yang tidak tahu tetap dihukum).

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Baca Juga:

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

Banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja.

Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

⠀⠀⠀⠀