Kemuliaan setelah Penderitaan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:9-11

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Pernahkah kamu bekerja sangat keras dan berharap hasil kerjamu tersebut akan setimpal dengan upayamu?

Beberapa tahun lalu, otot ligamen di lututku sobek saat bermain sepak bola. Pada pemeriksaan pertama setelah dioperasi, aku hanya punya satu pertanyaan—apa yang perlu kulakukan agar aku bisa bermain sepak bola lagi sama seperti sebelum aku mengalami cedera?

Dokter memberitahuku bahwa aku perlu mengikuti program rehabilitasi yang intensif, menghabiskan waktu di gym dan di fisioterapi untuk memperkuat otot di sekitar lututku yang cedera. Jadi, itulah komitmenku untuk setahun ke depan—menghabiskan banyak waktu untuk memulihkan cedera lututku. Prosesnya sangat panjang dan sulit, tapi aku tahu aku harus berusaha keras agar bisa kembali ke lapangan bersama teman setimku.

Kita melihat prinsip yang sama di Filipi 2:9-11. Dalam ayat-ayat sebelumnya (ayat 5-8), kita melihat Paulus mendorong gereja Filipi untuk rendah hati seperti Kristus—kerendahan hati yang tetap ada bahkan di saat-saat sebelum Ia mati.

Dan, dalam bacaan ini (ayat 9-11), kita melihat kerendahan hati dan ketaatan akan memimpin kita kepada kemuliaan. Kata “itulah sebabnya” di awal ayat ke-9 adalah kunci; itu menunjukkan hubungan antara ayat kemarin dengan ayat hari ini. Kerendahan hati dan ketaatan Yesus membawa-Nya kepada hadiah yang Paulus telah tuliskan untuk kita di Filipi 2:9-11. Apakah sebenarnya hadiah ini? Hadiahnya adalah kemuliaan yang jauh melampaui akal manusia—Yesus dimuliakan di atas segalanya dan disembah oleh seluruh dunia.

Di sini, Paulus sedang menunjukkan kepada gereja Filipi tentang apa yang akan mereka dapatkan dari pengorbanan mereka. Sebelumnya, Paulus mendorong para jemaat Filipi untuk terus “bersama berjuang sebagai kesatuan dalam kepercayaan kepada Injil” (Filipi 1:27), dan kita lihat bahwa perjuangan mereka dapat membuat mereka menderita demi iman mereka (1:29).

Filipi 2:3-4 menunjukkan apa yang jemaat seharusnya lakukan, dan mengorbankan kenyamanan merupakan salah satunya. Tidak akan mudah bagi para jemaat Filipi untuk menghargai orang lain di atas diri mereka sendiri (2:3), dan untuk memperhatikan kepentingan orang lain dan bukan kepentingan mereka sendiri (2:4). Tapi di ayat 5, Paulus mendorong mereka untuk “memiliki pola pikir yang sama dengan Kristus Yesus”—kerendahan hati dan ketaatan kepada Tuhan, karena seperti Yesus, hal itu akan membawa mereka kepada hadiah yang Tuhan telah persiapkan dalam kekekalan.

Jemaat Filipi dapat yakin dengan janji ini karena mereka telah melihatnya dalam kehidupan, kematian, dan kenaikan Yesus; mereka bisa yakin bahwa ketekunan mereka sekarang akan membawa mereka kelak menikmati kemuliaan yang kekal bersama Tuhan. Dan lebih dari itu, mereka dapat yakin bahwa kemuliaan yang sedang menanti mereka akan jauh melampaui pengorbanan yang harus mereka lakukan sekarang.

Sama seperti harapan dapat bermain sepak bola lagi membantuku melewati masa-masa pemulihan yang sulit, Paulus mengingatkan kita untuk berharap pada janji mulia Tuhan, yaitu kekekalan. Ketika kita merasa kita tidak mau lagi mengasihi dan melayani orang lain seperti yang diminta Tuhan pada kita, mengingat hadiah yang kelak akan kita terima di akhir bisa membantu kita untuk terus taat.

Mungkin saat ini kita menderita, tetapi jika kita terus meneladani Yesus, segala penderitaan itu tak akan ada lagi artinya saat kita kelak bertemu dengan-Nya.

Ketika saat itu tiba—terkagum dengan kemuliaan dan kehadiran Allah yang kekal—tidak salah lagi bahwa semua penderitaan yang telah kita tanggung sepadan dengan apa yang kita dapatkan.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Kristus telah ditinggikan di atas segala-Nya. Bagaimana pemahaman ini memengaruhi cara kita memuji dan bertindak bagi-Nya?

2. Apa yang memotivasimu untuk menjadi rendah hati dan memikirkan orang lain lebih dahulu daripada dirimu sendiri?

3. Bagaimana pengharapan akan kekekalan menyemangatimu hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Berjalan dalam Kerendahan Hati Kristus

Hari ke-8 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:5-8

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman ketika aku pindah di tahun pertama kuliahku. Gejolak emosiku memuncak saat aku menghadiri kebaktian khusus bersama rektor. Beliau adalah seorang guru dan teolog yang dihormati. Orang tuaku antusias untuk mendengar khotbahnya dan bahkan menyalaminya. Bagi mereka, beliau adalah seorang “raksasa iman”.

Di akhir pidatonya, beliau melakukan tindakan yang luar biasa untuk seseorang dengan status terhormat sepertinya. Beliau meminta semua mahasiswa tahun pertama untuk maju menghadap mimbar dan berlutut menerima berkat. Sang rektor, dalam usianya yang melampaui 70 tahun, mengenakan setelan resmi, turut berlutut hingga hampir terjatuh. Beliau kemudian menengadahkan tangannya ke atas para mahasiswa dan berdoa untuk kami.

Rasanya mengejutkan untuk melihat pemimpin senior dan dihormati ini berkenan memosisikan dirinya dalam postur yang tidak nyaman demi para mahasiswa muda. Sikap berlututnya menggambarkan kerendahan hatinya.

Dalam suratnya kepada gereja Filipi, Paulus menasihati para pengikut Kristus untuk selalu rendah hati dan “berpikir seperti Yesus Kristus” (Filipi 2:5). Kebanyakan dari kita akrab dengan gambaran Yesus sebagai seorang pelayan yang rendah hati—halus, lembut, baik hati. Tapi penting juga untuk tidak melupakan betapa kerendahan hati ini sangat berlawanan dengan dunia ini yang begitu menghargai prestasi, status sosial, dan kekayaan.

Paulus memberitahu para jemaat Filipi bahwa meskipun Yesus dalam naturnya adalah Tuhan, Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Bapa sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Malahan, Yesus “membuat dirinya menjadi bukan siapa-siapa”—bukannya menggunakan hak istimewanya yang Ilahi untuk keuntungan-Nya sendiri, Yesus menanggalkan semuanya untuk menjadi sama seperti manusia (ayat 7). Dia juga “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7), bukan rupa sebagai raja, yang seharusnya bisa dipilih-Nya.

Yesus memilih untuk dilahirkan sebagai seorang manusia, menerima semua keterbatasan tubuh manusia yang terikat dengan tempat dan waktu dan dibalut dalam kulit yang tidak sempurna. Sampai akhirnya, Yesus “merendahkan diri-Nya sendiri dengan menundukkan diri kepada kematian—bahkan kematian di atas kayu salib!”. Ia menyerahkan diri kepada rancangan indah Allah meskipun itu membuat Ia sengsara dan terhina (ayat 8).

Ketika Paulus mendorong orang-orang Kristen untuk “memiliki pola pikir yang sama” seperti Yesus (ayat 5), hal itu bisa terasa susah dan tidak nyaman bagi kita. Tapi, itu juga memerdekakan kita. Ketika kita bersedia memiliki kerendahan hati, kita bisa keluar dari jerat perlombaan mengejar kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan yang dunia agung-agungkan. Kita bisa mengaku bahwa kita memang terbatas, tapi ada Satu yang tidak terbatas. Kita dapat menundukkan diri kepada rencana Tuhan, meskipun itu tidak masuk akal bagi dunia sekitar kita. Pemahaman inilah yang mengubah cara kita berhubungan dengan anggota lain dalam keluarga Tuhan—gereja. Hidup dengan kerendahan hati memungkinkan kita untuk menjadi “sepemikiran, memiliki kasih yang sama, dan menjadi satu dalam roh dan satu dalam pikiran” (ayat 2).

Jadi, bagaimana cara kita mengikuti kerendahan hati Yesus dalam keseharian kita? Mungkin kita tidak dipanggil untuk memanggul salib dengan cara disiksa sampai berdarah-darah, tetapi kita bisa mencari cara untuk memakai hak istimewa kita untuk memberkati orang lain, bukan untuk keuntungan kita sendiri. Alih-alih mengejar posisi yang tinggi, kita bisa mulai melayani dari posisi bawah. Alih-alih berusaha tampil sempurna, kita bisa menerima dan menghargai keterbatasan kita. Dan, kita pun bisa dengan rendah hati menerima apa yang Tuhan telah berikan kepada kita sebagai bagian dari rancangan indah-Nya.— Karen Pimpo, Amerika Serikat.

Handlettering oleh Gerardine Eunike

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kamu dapat meniru kerendahan hati Kristus dalam keseharianmu?

2. Bagaimana kamu dapat “memiliki pola pikir yang sama seperti Kristus” dalam hubunganmu dengan sesama?

3. Adakah seseorang yang dapat kamu layani dengan rendah hati hari ini?

4. Hal-hal apa yang sulit kamu lepaskan? Bagaimana teladan Kristus dapat mendorongmu untuk melakukannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen menyukai musik, bertemu orang-orang, dan makan camilan sebanyak mungkin. Karen juga suka mencari dan menemukan kebenaran di dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

#WSKSaTeFilipi: Lock Screen Filipi 1:6

Sebagai jemaat Tuhan yang telah mendapatkan kasih karunia, hendaknya kita tetap bertekun mengerjakan tanggung jawab yang sudah Tuhan berikan kepada kita, seperti pesan yang Rasul Paulus tuliskan, “Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Filipi 1:6).

Sobat muda, yuk download dan gunakan lockscreen ini di HPmu, dan jangan lupa untuk aplikasikan firman Tuhan telah kamu baca ke dalam kehidupanmu setiap hari.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Melangkah dalam Kesatuan

Hari ke-7 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:1-4

2:1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan,

2:2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan,

2:3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;

2:4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.

Aku tumbuh besar di keluarga Kristen, jadi aku menghabiskan banyak hari Minggu pagiku di gereja. Namun aku tidak pernah memiliki keinginan untuk terlibat di dalamnya.

Bahkan, sepanjang masa kuliahku, aku datang tepat waktu untuk ibadah Minggu, lalu langsung menyelinap keluar setelah lagu terakhir selesai dinyanyikan. Hingga suatu hari, seorang teman bertanya padaku, “Tidakkah kamu ingin tinggal sejenak dan mengobrol bersama saudara-saudarimu dalam Kristus?

Nyatanya, jangankan menganggap mereka sebagai saudara dan saudariku, aku bahkan tidak pernah berpikir mengenai kesamaanku dengan orang-orang di gerejaku. Namun ketika temanku bertanya dengan terus terang, aku merasa bersalah karena tidak berusaha mengenal mereka.

Orang-orang di gereja bukanlah kumpulan orang-orang asing. Kita tidak dipersatukan oleh ketertarikan yang dangkal, atau kesamaan latar belakang belaka. Kita memiliki kesamaan yang jauh lebih dalam. Rasul Paulus, dalam suratnya pada jemaat Filipi, mengingatkan mereka bahwa orang-orang Kristen dipersatukan oleh penguatan yang sama-sama kita dapatkan melalui Kristus, penghiburan dalam kasih-Nya, persekutuan dalam Roh, oleh kasih mesra dan belas kasihan.

Pernahkah kamu merasakan karya Tuhan dalam hidupmu? Pernahkah kamu merasakan kedamaian ilahi yang Ia berikan setelah kamu menaikkan sebuah doa? Pernahkah kamu digerakkan pada belas kasih dan kelemahlembutan seperti Kristus? Pengalaman-pengalaman ini juga dirasakan oleh orang-orang yang duduk di sebelahmu di gereja. Hal itulah yang menyatukan kita semua.

Paulus mengatakan jika Kristus ada di dalam hidup kita, maka seharusnya kita “sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan.” Mengapa kita harus sedemikian disatukan? agar kita dapat “sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil” (Filipi 1:27).

Jika kita tidak mengenal saudara-saudari kita di dalam Kristus, jika kita tidak memberi diri kita dalam kehidupan mereka, dan tidak mengizinkan mereka memberi diri dalam hidup kita, bagaimana mungkin kita dapat sehati sepikir berjuang bersama demi Berita Injil?

Alih-alih bertengkar atas perbedaan semu dan mencoba mengungguli satu sama lain, orang-orang Kristen seharusnya bekerja sama untuk menunjukkan keberagaman dan kesatuan yang indah, yang telah dikaruniakan oleh Kristus.

Secara praktis, bagaimana kita dapat menghidupi kesatuan ini? Paulus memberikan petunjuk yang jelas dalam ayat 3-4: “tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”

Ketika aku langsung menyelinap keluar dari gereja setelah ibadah Minggu selesai, aku sedang memperhatikan kepentinganku saja. Namun Paulus mendorongku untuk menganggap orang lain lebih utama daripada diriku sendiri. Aku sedang mencoba untuk tinggal lebih lama setelah ibadah. Aku berusaha melakukan perbincangan yang berarti dan tidak basa-basi semata dengan saudara-saudariku, dengan menanyakan bagaimana Allah berkarya di hidup mereka minggu ini, atau jika ada suatu hal yang dapat kudoakan. Semakin aku berusaha mengenal mereka, semakin aku diberkati untuk menanggung beban sesamaku, dan juga bersuka dengan yang orang-orang lain.

Maukah kamu berusaha bersamaku untuk mengesampingkan kepentingan diri atau pujian yang sia-sia, dan memperhatikan kepentingan orang-orang di sekitar kita demi menjalankan tugas yang dipercayakan Allah pada kita? Tentunya hal ini tidaklah mudah, namun sebagaimana kita telah diselamatkan oleh pengorbanan Kristus, kita juga dapat percaya bahwa kasih dan penguatan-Nya akan memampukan kita untuk hidup bersama dalam kesatuan yang luar biasa, yang tidak dikenal dunia.—Christine Emmert, Amerika Serikat

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu sedang menjadi orang yang memikirkan diri sendiri atau orang lain? Bagaimana bacaan hari ini meyakinkan dan menguatkanmu?

2. Apakah kamu memiliki ambisi atau kepentingan pribadi yang menghalangimu untuk hidup dalam kesatuan? Apa langkah-langkah praktis yang dapat kamu lakukan untuk mengesampingkan hal-hal tersebut?

3. Bagaimana kamu telah mengalami Kristus minggu ini (Filipi 2:1)? Apakah ada orang percaya lainnya yang dapat kamu temui untuk kamu bagikan pengalamanmu tentang karya Kristus dalam hidupmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Christine Emmert, Amerika Serikat | Christine adalah seorang pengikut Kristus, kutu buku, dan penyuka makanan. Hidup ini indah, setiap hembusan nafas adalah pengingat bahwa apapun keadaannya, Tuhan itu baik.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Anugerah Menderita Bagi Kristus

Hari ke-6 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:29-30

1:29 Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia,

1:30 dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.

Kisah Romo Damien selalu menjadi inspirasiku. Beliau berumur 24 tahun ketika berlayar dari kampung halamannya di Belgia untuk melayani orang-orang Hawaii.

Beberapa tahun kemudian di tahun 1873, ada sebuah panggilan bagi sukarelawan untuk melayani penderita kusta di Kalowao. Daerah itu lokasinya terpencil, tiap penduduk asli Hawaii yang menderita kusta akan dikirim ke sana, menghabiskan waktu, hingga akhirnya meninggal.

Tentunya tempat tersebut bukanlah tempat yang nyaman. Romo Damien akan selalu dikelilingi penyakit, dan juga oleh kesedihan dari orang-orang yang keluarganya telah direnggut dari mereka. Singkatnya, ia akan dikelilingi oleh penderitaan.

Meski demikian Romo Damien berkomitmen untuk melayani penduduk Kalowao hingga pada akhirnya, ia pun mengidap penyakit kusta dan meninggal di Hawaii pada usia 49 tahun.

Pelayanan Romo Damien untuk Tuhan di tengah penderitaan yang harus ia tanggung adalah contoh jelas bagi kita mengenai apa artinya menjadi seorang Kristen, dan mengarahkan orang-orang pada sang Juruselamat yang telah menderita bagi kita.

Seperti Romo Damien, kehidupan Rasul Paulus pun tidak asing dengan penderitaan. Ia telah menerima 39 cambukan lima kali, didera tiga kali, dilempari batu, mengalami karam kapal, dan mengalami begitu banyak bahaya dalam perjalanannya, terkadang bahkan dari sesama orang Yahudi (2 Korintus 11:24-29).

Namun tetap saja ia tidak pernah terlihat mengeluh. Bahkan, dalam surat Paulus untuk jemaat Filipi, ia berkata bahwa kita seharusnya menerima kenyataan bahwa setiap kita yang percaya pada Yesus juga akan menderita bagi-Nya—dan kita seharusnya menganggap itu sebuah “anugerah” (ayat 29, BIS). Paulus melanjutkan perkataannya untuk menunjukkan bahwa penderitaannya belum berakhir (ayat 30).

Pada awalnya, perkataan Paulus tidak terlihat menguatkan bagi jemaat Filipi maupun setiap kita yang sedang berada dalam penderitaan.

Ada baiknya bagi kita untuk berhenti sejenak dan menanyakan diri kita pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa gunanya menderita? Mengapa percaya pada Kristus dan penderitaan sangat berkaitan erat?

Pada ayat 30, Paulus berempati dengan penderitaan jemaat Filipi dengan mengingatkan mereka bahwa ia pun menjalani hal yang serupa. Di tengah segala penderitaan yang dialami Paulus, ia mencontohkan pada jemaat Filipi—dan juga pada kita hari ini—kebaikan Allah di tengah semua itu.

Jemaat Filipi mengetahui penderitaan Paulus, dan dapat melihat bagaimana Tuhan memeliharanya di tengah segala pencobaan dan masa-masa sulit yang ia lewati (ayat 19). Mereka juga mengetahui bahwa Paulus menemukan kekuatan untuk menanggung penderitaannya karena ia melihatnya sebagai sebuah cara untuk berpartisipasi dalam penderitaan Yesus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10-11). Lalu mereka dapat memperoleh penghiburan bahwa Tuhan akan menopang mereka juga, dan pada akhirnya kesaksian mereka akan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa pada suatu saat kita akan menderita. Bagaimana kita akan merespons penderitaan itu ketika saatnya tiba? Mungkin beberapa orang di antara kita telah mengalami penderitaan dalam bentuk tertentu—bagaimana ayat-ayat ini dapat menguatkan kita hari ini?

Harapanku adalah agar seperti Paulus, kita dapat menganggap penderitaan demi Kristus sebagai suatu anugerah. Mari kita menatap pada sumber kekuatan surgawi yang telah menopang Paulus dan jemaat Filipi—Bapa kita di surga. Seperti Paulus dan jemaat Filipi, mari kita berjuang bersama-sama untuk iman dan Injil, melanjutkan pekerjaan warisan kita untuk menuntun orang pada Yesus bahkan di tengah penderitaan.—Caleb Young, Selandia Baru

Handlettering oleh Marcella Leticia Salim

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu sedang mengalami penderitaan? Bagaimana pesan dari bacaan ini dapat menguatkan kamu?

2. Apakah kamu mengenal orang-orang yang pernah atau sedang menderita bagi Kristus? Bagaimana ketekunan mereka menguatkanmu untuk melakukan hal yang sama?

3. Apakah kamu mengenal orang yang sedang mengalami penderitaan? Bagaimana saat teduh hari ini mendorongmu untuk ikut masuk ke dalam penderitaan mereka dan menguatkan mereka?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Selandia Baru | Caleb adalah penyuka film, makanan, hiburan, dan juga keluarga. Dia ingin semakin menjadi serupa dengan Kristus, dan bersyukur memiliki Juruselamat yang mengasihinya meskipun dia punya banyak kekurangan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Garis Besar Kitab Filipi 1:1-28

Sobat muda, selama lima hari bersaat teduh bersama Kitab Filipi, bagian manakah yang paling menginspirasi atau menegurmu?

Yuk kita simak infografik ini untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan pelajaran dari saat teduh bersama Kitab Filipi yang sudah kita pelajari selama lima hari ke belakang.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Apakah Kamu Mencari Alasan untuk Memaklumi Dosa?

Hari ke-5 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1: 27- 28

1:27 Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus, supaya, apabila aku datang aku melihat, dan apabila aku tidak datang aku mendengar, bahwa kamu teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman yang timbul dari Berita Injil,

1:28 dengan tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu. Bagi mereka semuanya itu adalah tanda kebinasaan, tetapi bagi kamu tanda keselamatan, dan itu datangnya dari Allah.

Kita sangat ahli membuat alasan ketika kita melakukan dosa. Kita memakai imajinasi kita untuk membuat alasan-alasan baru, untuk menjelaskan dosa yang kita lakukan tidaklah seburuk yang dikira. Biasanya, mudah sekali bagi kita untuk menyalahkan kondisi yang sulit sebagai penyebab kita bersikap.

“Ya, memang aku tadi bersikap kasar, tetapi aku mengalami masalah dalam pekerjaanku hari ini.”

“Mungkin aku tadi tidak bisa menahan amarahku, tetapi itu karena ia bersikap bodoh.”

“Betul aku tidak membayar tiket kereta tadi, namun perusahaan itu juga sudah mendapatkan banyak keuntungan tanpa aku harus membayar.”

Jemaat Filipi, sebagai jemaat yang berhadapan dengan pengajaran sesat, argumen-argumen di dalam jemaat, dan persekusi dari luar, mungkin memiliki banyak alasan untuk memaklumi sikap buruk. Namun Paulus tidak menerima alasan apapun. Dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, seperti tercantum dalam Alkitab versi NIV, tertulis demikian: “Whatever happens, conduct yourselves in a manner worthy of the gospel of the Christ.” yang artinya, “Apapun yang terjadi, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus…”

Bagi orang Kristen, tidak peduli tekanan apa pun yang kita alami atau seberapa sulitnya kondisi yang terjadi, hidup kita harus dijalani dengan suatu cara yang akan membuat Kristus bangga, cara hidup yang menghormati dan memuliakan-Nya. Tidak ada cara hidup lain yang dapat diterima selain ini bagi seorang Kristen.

Sebuah standar yang tinggi, bukan? Selalu memiliki sikap yang berpadanan dengan Injil tidaklah mudah. Namun ada hal yang dipertaruhkan di sini: dunia yang perlu tahu bahwa kekristenan menawarkan kepuasan yang radikal sedang melihat kita, dan seharusnya mereka dapat melihat melalui kehidupan orang Kristen bahwa mereka sedang melewatkan suatu hal yang menakjubkan!

Maka dari itu, Paulus mencatat dua cara khusus agar kita dapat memiliki sikap yang berpadanan dengan Injil. Pertama-tama, kita harus disatukan—kita harus “teguh berdiri dalam satu roh, dan sehati sejiwa berjuang untuk iman” (ayat 27).

Mungkin kita tidak menyangka standar pertama Paulus adalah untuk dipersatukan dengan saudara-saudari kita di dalam Kristus. Ini tugas yang sulit, namun sangat diperlukan untuk menunjukkan dunia bahwa Yesus yang menyelamatkan dan mempersatukan kita jauh lebih penting dari hal apapun yang dapat memisahkan kita.

Karena kita suka berselisih dan berdebat, perintah ini menantang kita sebagai orang Kristen untuk tidak membiarkan keangkuhan diri kita mengalahkan kesatuan. Melihat semua fitnah dan gosip yang berada di sekitar kita, terlihat jelas bahwa perintah Paulus untuk jemaat Filipi masih relevan bagi kita hari ini.

Kedua, kita harus berani—kita harus hidup dengan “tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu” (ayat 28).

Menulis surat ini dari dalam penjara pada abad pertama, Paulus tahu persis bahwa ada banyak alasan yang logis untuk merasa takut pada lawan. Namun melakukan apapun dengan didasari rasa takut pada manusia tidaklah pantas bagi seorang Kristen; hal itu berarti kita lupa bahwa Dia yang bersama kita lebih besar dari kuasa maupun pencobaan apapun, lupa bahwa Yesus sudah menaklukkan dunia!

Maka sebagai ganti dari menggunakan ancaman penderitaan atau kesulitan untuk memaklumi dosa dan kegagalan kita, Paulus mengatakan kita harus menjadi seperti orang-orang Kristen berabad-abad lalu yang tidak takut, orang-orang yang terlihat berbeda dari kasihnya yang rela berkorban dan bukan dari rasa takutnya. Tidak ada hal lain yang bisa lebih membedakan orang Kristen dengan yang lainnya dibanding ini.

Jadi, standar dan harga yang harus dibayar dari kehidupan orang Kristen sangatlah tinggi. Kenapa kita tidak menjauh saja dari masalah, menunggu surga, dan menghindar dari drama-drama yang dapat terjadi?

Alasannya adalah, pola hidup Kristen untuk menderita sekarang dan dimuliakan nanti bukanlah suatu ketidaksengajaan. Pada Filipi 1:29, Paulus mengatakan dan mencontohkan bahwa salah satu ciri-ciri orang Kristen adalah kita mendapat penderitaan karena iman kita. Dan ketika kita menanggung penderitaan demi Kristus, tanpa dilumpuhkan oleh ketakutan atau mengabaikan saudara-saudari kita, dan dalam keberanian dan kesatuan yang tampak dengan jelas, kita menunjukkan pada dunia bahwa Kristus adalah pribadi yang layak untuk kita pertaruhkan nyawa kita.

Dan mari kita bayangkan; ketika pada akhirnya kita menyembah dengan sukacita yang mendalam pada takhta Anak Domba Allah bersama dengan orang-orang percaya lainnya di dunia yang baru, kita tidak akan menyesal sudah berkorban demi Kristus pada masa sekarang.—James Bunyan, Inggris

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Alasan apa yang kamu gunakan untuk meremehkan dosa atau kegagalanmu? Bagaimana bacaan hari ini mendorongmu untuk menjalani hidup yang berpadanan dengan Injil?

2. Langkah praktis apa yang dapat kamu ambil untuk memastikan kamu tetap disatukan dengan orang Kristen lainnya?

3. Kapan kamu merasa sulit untuk menjadi berani demi Kristus? Mengapa?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

James Bunyan, Inggris | James tinggal dan bekerja di London, menolong para mahasiswa berjumpa dengan Yesus lewat pembacaan Alkitab. Itu bukanlah pekerjaan yang sulit, sebab Alkitab memang buku yang luar biasa!

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Apa yang Kau Kejar dalam Hidupmu?

Hari ke-4 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:19-26

1:19 karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.

1:20 Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. 1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

1:22 Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.

1:23 Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik;

1:24 tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. 1:25 Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman,

1:26 sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.

Berlari, aku sedang berlari

Untuk mendapatkan segalanya.

Cepat, ayo cepatlah,

Aku perlu meraih

Satu hal lagi

Aku menulis puisi ini lebih dari 10 tahun yang lalu. Beberapa tahun sebelumnya, aku hampir kehilangan ibuku karena kanker, tak lama setelah aku menjadi seorang Kristen. Kematian memiliki kesan baru bagiku: rasa sakit yang ditinggalkannya benar-benar nyata. Aku merasa kesal, takut, dan kebingungan. Aku mulai mengejar hal-hal seperti harta, pencapaian dan keluarga yang harmonis, untuk menghilangkan rasa sakit dan sedih.

Sementara itu, aku tetap melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang Kristen: pergi ke gereja, memberi persembahan, berdoa, menyanyikan beberapa lagu, dan membaca Alkitab. Semua hal ini baik dan penting untuk perjalananku bersama Tuhan, namun aku kehilangan hati untuk berelasi dengan-Nya. Kekristenan hanyalah suatu hal yang kutambahkan ke dalam daftar hal-hal yang membuatku aman, sebuah jaminan untuk memperoleh puncak kebahagiaan—kehidupan abadi. Bagiku, hidup berarti bahagia, dan mati adalah sebuah tragedi.

Yang belum kumengerti adalah berelasi dengan Allah berarti menjadikan segalanya tentang Yesus. Termasuk menjadikan kerinduan dan misi-Nya—menjadikan segala bangsa murid-Nya (Matius 28:19)—menjadi kerinduan dan misiku. Inilah bagaimana Paulus menjalani hidupnya.

Surat Paulus kepada jemaat Filipi banyak berisi hasrat terdalam dan harapannya: bahwa Kristus dimuliakan di dalamnya baik dalam hidup maupun matinya. Cara pandang Paulus sangat bertentangan denganku—karena baginya, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (ayat 21).

Seluruh kehidupan Paulus adalah tentang Kristus. Ketika ia menuliskan deklarasinya yang indah mengenai kesetiaannya pada Kristus, ia sedang berada di dalam penjara yang dijaga oleh tentara Romawi. Deklarasi tersebut bukanlah kata-kata kosong belaka, namun sebuah pernyataan yang berasal dari kepercayaan diri. Paulus siap menanggung segala konsekuensi dari menjalani hidup bagi Kristus—bahkan kematian.

Kematian bukanlah tamu yang tidak diundang bagi Paulus, karena mati berarti pulang untuk bersama dengan Kristus, yang baginya adalah jauh lebih baik daripada hidup (ayat 23)—sebuah keuntungan terbesar bagi orang yang alasan keberadaannya dalam hidup adalah Kristus. Namun bahkan dalam pemikirannya mengenai apakah ia lebih memilih untuk hidup atau mati, Paulus memilih apa yang lebih mendatangkan kebaikan bagi orang lain dibanding bagi dirinya sendiri (ayat 24-25). Ia menuntun orang lain untuk semakin bersukacita di dalam Kristus (ayat 26).

Pilihan Paulus adalah sebuah contoh yang indah mengenai pengosongan diri demi orang lain dan demi Kristus. Pilihan itu adalah sebuah jenis pilihan yang dapat dengan mudah tersingkirkan ketika kita berfokus pada kebahagiaan dan keuntungan diri kita sendiri. Paulus tidak berpegang erat pada apapun, kecuali Kristus. Ia menyambut apapun yang terjadi demi Kristus.

Teladan Paulus mengubah tujuan pribadiku dalam hidup. Alih-alih mengejar hal-hal duniawi, kini kerinduanku adalah untuk mengenal Yesus lebih lagi dan mengarahkan orang-orang pada-Nya—meskipun itu berarti beranjak dari zona nyamanku dan membagikan Injil dengan orang-orang di sekitarku.

Aku berdoa untuk semua orang percaya di seluruh dunia, termasuk diriku, supaya memiliki visi yang sama yang dimiliki Paulus—sebuah kerinduan untuk menjalani hidup kita bagi Kristus di atas segalanya, dan sebuah sikap yang tidak takut pada kematian karena itu berarti kita akan “bersama-sama dengan Kristus” (ayat 23). Mari kita terus mengevaluasi apa yang kita kejar dalam hidup, mengarahkan kembali prioritas kita dengan prioritas Allah, dan membuat keputusan yang akan mengarahkan orang lain pada Kristus.

Aku berdoa agar seperti Paulus, mengenal, mengejar, dan hidup bagi Kristus adalah satu-satunya hal yang berarti bagi kita.—Kezia Lewis, Filipina

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Renungkan apa yang Paulus tulis dalam Filipi 1:19-26 dan minta Tuhan untuk menunjukkan isi hatimu. Apa tujuan hidupmu? Hal apa yang deminya kamu rela mati?

2. Dalam hal apa cara pandangmu mengenai kehidupan dan kematian sama atau berbeda dengan cara pandang Paulus?

3. Bagaimana teladan Paulus dapat mendorongmu untuk menjalani hidupmu dengan berbeda hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Kezia Lewis, Filipina | Tiada hal yang lebih menyenangkan bagi Kezia selain naik mobil selama dua jam bersama suaminya, sembari mendengarkan rekaman khotbah. Tapi, menikmati hujan ditemani secangkir kopi juga merupakan waktu yang berkualitas buatnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Apakah Kamu Takut Membagikan Injil?

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:12-18

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.

Seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Aku mengingat kesempatan yang kudapat baru-baru ini untuk memberitahu seorang temanku tentang Yesus Kristus. John telah membagikan pergumulannya padaku tentang keluarganya dan perjuangannya melawan depresi.

Pada saat itu, aku tahu persis apa yang perlu kukatakan, namun entah mengapa kata-kata tersebut tersangkut di tenggorokanku, seperti sebuah gumpalan yang besar dan membuat tidak nyaman. Pada akhirnya, dalam pembicaraan tersebut untuk sebagian besarnya aku hanya mendengar dan menawarkan beberapa nasihat, sementara aku sadar bahwa yang seharusnya kulakukan adalah membagikan pengharapan Kristus padanya.

Mengapa aku tidak melakukannya? Dalam perenunganku, aku takut. Sejak kami berkenalan, John selalu berkata terus terang mengenai kepercayaan ateisnya dan kritikannya terhadap agama. Dan meskipun kami pernah membahas topik seputar Tuhan, aku selalu gagal membagikan Injil secara lengkap karena rasa takut akan bagaimana John merespons.

Bagaimana jika ia tersinggung akibat aku membagikan Injil? Tidakkah itu akan membuat pertemanan akrabku menjadi retak dan canggung? Lebih lagi, bagaimana jika ia kesal hingga ia memberitahu teman-teman kami yang lainnya mengenai usahaku yang dianggapnya ingin mendorongnya berubah kepercayaan? Tidakkah itu akan menghancurkan reputasiku, dan dengan efektif membuatku dikucilkan?

Teladan Paulus dalam Filipi 1:12-18 merupakan teguran yang keras buatku. Dalam ayat-ayat ini Paulus mencontohkan bagaimana seharusnya kita memiliki pola pikir. Ketika kita fokus menyebarkan Injil, maka mencari kenyamanan diri sendiri tidaklah menjadi suatu hal yang penting.

Dalam ayat-ayat ini, kita mendapati Paulus sedang berada di situasi yang tidak mudah. Tidak hanya menulis surat untuk jemaat Filipi di dalam penjara, namun sebagaimana ditulis di ayat 17, Paulus memiliki alasan untuk khawatir yang berasal dari ketidakhadirannya akibat pemenjaraannya. Nampaknya beberapa orang yang menggantikan Paulus untuk menyebarkan Injil memiliki motivasi yang buruk; sebagaimana Paulus menuliskan “sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.”

Namun, respon Pauluslah yang paling menguatkan kita. Alih-alih bersedih atas situasinya, ia justru bersukacita (ayat 18)! Yang terpenting bagi Paulus adalah pemenjaraannya telah terbukti menghasilkan buah bagi Injil. Pemenjaraannya memberikan kesempatan bagi Paulus untuk membagikan Injil pada penjaga penjara, dan telah membuat orang-orang Kristen lainnya memiliki keberanian untuk memberitakan Injil (ayat 13-14). Di tengah situasinya yang buruk dan motivasi jahat yang dimiliki orang-orang lain (ayat 17-18), yang paling Paulus pedulikan adalah tersebarnya Injil itu.

Jadi seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Kegagalanku untuk membagikan Injil pada John membuktikan bahwa aku lebih memperhatikan kenyamanan dan reputasiku; aku tidak bersedia menanggung kemungkinan yang membuat tidak nyaman dan canggung. Aku perlu memiliki pola pikir yang Paulus tunjukkan di surat Filipi—pola pikir untuk mengasihi John, untukku memiliki keberanian membagikan kabar terbaik yang pernah kudengar apapun resikonya.

Hal itu tidak berarti aku harus menjadi orang yang kurang ajar dan menghancurkan setiap percakapan, namun contoh Paulus mendorongku untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana aku bisa membagikan Injil dengan teman-temanku. Kiranya kita menjadi seperti Paulus, tidak membiarkan ketakutan kita menghalangi tersebarnya Injil. Melihat lebih banyak orang menemukan pengetahuan tentang Kristus yang menyelamatkan merupakan hal yang jauh lebih penting.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ketakutan apa yang menghalangimu dari memberitakan Yesus Kristus pada orang-orang di sekitarmu?

2. Kesulitan apa yang sedang kamu jalani saat ini? Bagaimana caranya kamu dapat mendoakan supaya kesulitan tersebut menjadi kesempatan untuk menyebarkan Injil?

3. Apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat Injil dibagikan dengan motivasi yang tidak murni? Bagaimana sikap Paulus dapat menantangmu untuk memberikan respon yang berbeda?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi