Media Sosial Bukanlah Tempat Curhat Terbaik

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Kita semua tentu mengenal Facebook. Lewat media sosial itu, kita bisa memposting foto, tulisan, dan berbagai info yang ingin kita sebarkan serta saling terhubung dengan teman-teman kita. Buatku sendiri Facebook punya satu fungsi lainnya, yaitu tempat untukku menceritakan segala keluh kesahku.

Hal itu persisnya terjadi beberapa tahun lalu. Ketika aku memiliki masalah atau mendapati hal-hal yang membuat aku sedih dan kesal, aku langsung mengambil ponselku dan meng-update status di Facebook. Bahkan masalah keluarga pun pernah aku utarakan di sana. Kadang, kalau aku terlibat konflik atau merasa tidak suka dengan seseorang, aku juga menuliskan kalimat-kalimat sindiran dalam status Facebookku.

Emank susah ya berurusan dengan orang yang pengennya terus menerus dimengerti, merasa dia yang paling benar. Coba kalau sama atasannya di tempat kerja, apa dia masih berani seperti itu?” tulisku di salah satu status Facebookku.

Melampiaskan segala keluhan serta menyindir orang lain di Facebook membuatku merasa puas. Kalau belum update, rasanya selalu tidak tenang. Dengan mencurahkan masalah-masalahku di sana, aku pikir orang lain jadi tahu akan pergumulanku dan mungkin saja mereka akan mendukungku atau ikut menyalahkan orang yang kusindir.

Hingga suatu ketika, aku meng-update status tentang kekesalanku pada pasanganku yang kuanggap tidak mau meluangkan waktu untukku. Ternyata status itu ditanggapi oleh banyak orang, mereka menyemangatiku. Tapi, aku malah menanggapi mereka dengan kembali mengeluh. Aku menceritakan masalah-masalah pribadi antara aku dan pasanganku di komentar. Kemudian, ada seorang kawan menegurku. Dia menuliskan di kolom komentar bahwa masalah pribadiku dengan pasanganku seharusnya tidak diumbar ke media sosial yang jelas-jelas adalah ruang publik, yang bisa dibaca banyak orang. Komentar-komentar keluh kesahku itu tidak akan mengatasi masalah, malah bisa jadi kelak memperbesar masalah.

Saat itu perasaanku campur aduk. Ada rasa kecewa karena tidak suka dikomentari seperti itu, tapi ada juga rasa malu dan menyesal. Aku malu karena ternyata apa yang aku lakukan dengan mencurahkan keluh kesahku di media sosial itu tidak sepenuhnya tepat dan bijak. Malah mungkin juga banyak orang yang melihatnya sebagai contoh yang tidak baik.

Sejak saat itu aku jadi lebih berusaha untuk lebih selektif ketika mau memposting sesuatu di Facebook. Aku malu dan tidak mau sampai ada yang menegurku lagi, aku tidak ingin kalau orang-orang menilai buruk diriku. Namun, kala itu motivasiku hanya sekadar supaya aku tidak dinilai buruk, tidak lebih. Sampai suatu ketika, saat aku sedang mengikuti kelas Alkitab, aku diingatkan bahwa aku harus berhati-hati dengan perkataanku bukan saja supaya aku tidak dicap buruk, tapi terlebih agar nama Tuhan tidak dipermalukan oleh kata-kataku yang tidak memberkati orang lain. Sebagai orang Kristen aku dipanggil untuk menjadi terang yang bercahaya, supaya orang-orang melihat perbuatanku yang baik dan memuliakan Bapa di surga (Matius 5:16).

Apabila kamu pernah mengalami pergumulan serupa denganku, aku mengajakmu untuk merenungkan dua ayat firman Tuhan ini.

1. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Dulu, media sosial adalah tempat pertamaku untuk menceritakan segala keluh kesahku. Namun sekarang, aku belajar untuk mengungkapkan segala isi hatiku kepada Tuhan. Tuhan adalah Pribadi pertama yang aku cari ketika aku butuh untuk menceritakan sesuatu. Aku mencari Tuhan dengan menaikkan doa secara langsung kepada-Nya, atau menuliskannya di dalam buku catatan pribadiku. Aku merasa saat ini Tuhan adalah teman curhatku juga.

Menjadikan media sosial sebagai tempat pertama mencurahkan masalah mungkin terasa melegakan. Tetapi, itu tidak bisa menjadi solusi untuk mengatasi semua masalah-masalah kita. Bisa jadi kita malah menambah masalah baru dengan tindakan kita yang tidak bijak di sana. Firman Tuhan memberi janji demikian kepada kita: “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Tuhan selalu siap mendengar dan menyelamatkan kita. Tuhan tidak bosan dengan curahan hati kita. Tuhan pun tidak mengabaikan kita ketika kita berbicara kepada-Nya, Dia sanggup menyelamatkan kita dari permasalah-permasalahan yang menjerat kita.

2. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Efesus 4:29).

Ketika masalah datang, respons hati kita mungkin merasa stres dan panik hingga kita butuh untuk mengungkapkannya dengan segera. Namun, meluapkan perasaan kita secara asal-asalan di media sosial yang adalah ruang publik bukanlah hal yang bijak, apalagi jika perkataan-perkataan yang kita kemukakan di sana adalah kata-kata yang negatif, yang menjelek-jelekkan orang lain, yang menyangkut privasi seseorang.

Kita bisa datang terlebih dahulu kepada Tuhan, memohon hikmat dan pertolongan-Nya. Kalaupun kita ingin mengungkapkan apa yang jadi pergumulan kita di media sosial, kita perlu melakukannya dengan cara yang bijak, dengan kesadaran penuh bahwa kita ingin menjadi berkat di sana. Kita bisa belajar untuk menuliskan sesuatu yang bermakna positif, yang ketika orang lain membacanya, itu bisa menguatkan mereka, menjadi berkat buat mereka. Sekarang, ketika aku hendak menuliskan sesuatu di media sosialku, aku akan berpikir dahulu apakah Tuhan berkenan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sana? Selain itu, aku pun belajar untuk bisa menggunakan lidahku dan jariku untuk perkataan-perkataan yang baik, yang benar, yang membangun, yang bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang membaca atau mendengarnya.

Pada akhirnya, media sosial adalah sarana yang baik untuk kita berinteraksi dengan sesama kita, tetapi bukanlah tempat pertama dan terbaik untuk kita mengutarakan segala keluh kesah kita. Sebagai orang Kristen, kita memiliki Tuhan yang selalu mendengar kita dalam apapun keadaan kita.

Baca Juga:

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Film Searching secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial, dan juga mengingatkan kita akan satu nilai rohani, yaitu kasih Bapa Surgawi buat kita.

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Oleh Liu Yang
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: “阳仔,在帝都做销售累不累?”(有声中文)

Aku bekerja sebagai seorang sales. Seperti pekerjaan sales pada umumnya, aku pun menghadapi tekanan besar untuk mendapatkan klien dan harus mencapai target penjualan.

Baru-baru ini, manajerku memutuskan untuk mengganti tim kerja kami dengan alasan supaya kami bisa mencapai angka penjualan yang lebih tinggi. Alih-alih menanangani klien kami sendiri, aku dan temanku malah dibagi ke dalam dua tim yang berbeda, dan tiap tim bertanggung jawab atas klien dan proyek masing-masing. Meski kelihatannya kami sekarang memiliki tanggung jawab lebih, sebenarnya ada yang salah dengan pengaturan ini—konflik bisa saja muncul apabila rekan kerjaku dari dua tim yang berbeda menemui klien yang sama di waktu yang sama pula.

Malangnya, tidak butuh waktu lama untuk konflik itu terjadi. Rekan kerjaku dari tim yang lain telah memberitahu supervisor kami tentang proyek yang potensial dengan seorang klien. Aku tidak menyadari bahwa klien yang kudekati itu ternyata sama dengan klien rekanku itu. Lagipula klien itu juga tidak menyebutkan bahwa dia sudah dihubungi lebih dulu oleh rekanku.

Setelah menyusun proposal dengan teliti dan menyerahkannya kepada supervisorku untuk disetujui, dia memberitahuku bahwa rekan kerjaku sudah lebih dulu mendapatkan klien ini. Aku sangat kecewa, aku tidak bisa menyelesaikan proyek ini.

Peristiwa ini bukanlah yang pertama kali terjadi kepadaku. Waktu itu, meski kecewa, aku memilih untuk menyerah karena aku tidak ingin menimbulkan perselisihan di dalam departemenku demi memenuhi target penjualan.

Kejadian serupa pun pernah terjadi empat tahun lalu. Waktu itu aku bekerja di perusahaan lain. Aku sudah bekerja sangat keras demi sebuah proyek hingga kemudian supervisorku masuk dan mengklaim kalau proyek itu miliknya. Aku pun berusaha membantahnya karena sesungguhnya itu adalah proyek yang aku kerjakan sendiri. Aku berusaha mendapatkan proyek itu kembali. Tapi, upayaku ini mengakibatkan kondisi perusahaanku menjadi penuh keresahan.

Aku benar-benar tidak ingin melepaskan proyek itu begitu saja. Aku sudah bekerja begitu keras tanpa mengetahui pembicaraan apa yang berlangsung di antara rekan kerjaku dan klien itu. Risikonya terasa lebih besar kali ini. Jadi, aku pun bersikukuh tidak mau menyerah.

Namun akhirnya, aku memilih untuk menyerah setelah berbicara dengan supervisorku, kemudian aku membawa amarah dan rasa putus asaku ke hadapan Tuhan.

“Ya Tuhan, kalau ini bukan cara yang Engkau kehendaki supaya aku mencapai target penjualan, aku memilih untuk taat kepadamu,” ucapku dalam doa.

Setelah itu, aku pun berpikir: sedemikian pentingkah pengejaran akan sesuatu yang bersifat duniawi? Apakah aku belum memiliki karunia yang paling berharga, yaitu Tuhan Yesus sendiri?

Meskipun aku mendapatkan penghiburan dari berpikir dengan cara seperti itu, aku masih merasa sangat tidak tenang. Aku sudah bekerja sangat keras untuk mencapai target penjualan—meskipun itu harus mengorbankan kesehatanku. Suatu kali, aku bekerja sangat keras hingga tenggorokanku sakit dan aku sulit berbicara. Aku dipaksa untuk beristirahat selama sehari, tapi aku terus saja berpikir tentang target penjualanku hingga aku hampir tidak bisa beristirahat.

Hatiku terasa berat meskipun aku datang ke acara doa dan renungan bersama di gereja malam itu. Di tengah kekhawatiranku, ada banyak ayat Alkitab yang muncul di pikiranku.

Salah satu ayat adalah dari Habakuk 3:17-18, yang berkata: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.”

Ayat lainnya yang muncul adalah dari Ayub 1:21, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telajang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Hatiku mengenal betul ayat-ayat ini—aku pun tahu apa yang ayat ini maksudkan, bahkan konteksnya juga. Tapi, pengetahuanku akan kebenaran Alkitab itu tidak cukup untuk menopangku di masa-masa pencobaan ini.

Ketika acara renungan itu selesai, hatiku masih merasa tidak tenang. Aku duduk di luar gereja dan berdoa: “Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah dan terganggu. Engkau mengetahui betapa seriusnya aku telah bekerja selama dua bulan ini. Aku akan tunduk kepada-Mu apabila memang proyek ini bukanlah untukku. Aku mungkin berkecil hati sekarang, tapi jika ini memang dari-Mu, tolong agar Engkau mempersingkat masa-masa sulit ini. Tolonglah aku untuk mengenal-Mu lebih lagi melalui rasa sakit ini.”

Setelah berdoa, aku berbicara dengan seorang rekan seimanku dan menceritakan masalahku kepadanya. Dia memang tidak menghadapi masalah yang sama denganku, tapi dia setuju bahwa meski kita mengetahui isi Alkitab dengan baik, tapi ketika pencobaan datang, seringkali kita dengan cepat merasa bimbang. Aku mulai melihat bahwa setiap kita memiliki kesusahan dan kelemahannya masing-masing, dan di masa-masa seperti ini, sangatlah penting untuk saling mengingatkan satu sama lain untuk terus mengandalkan Tuhan di masa-masa pencobaan.

Seiring aku merenungkan situasiku, aku jadi teringat akan sebuah wawancara yang pernah dilakukan oleh Jackie Chan, aktor Hong Kong yang terkenal. Pertanyaan pertama yang diajukan si pewawancara adalah, “Jackie, apa kamu merasa lelah bermain film?” Jackie Chan lalu menangis selama 15 menit selanjutnya, membuat si pewawancara tercengang. Jika seseorang menanyaiku pertanyaan yang sama, “Liu Yang, apa kamu lelah bekerja jadi seorang sales?” Kupikir aku akan menangis juga.

Di dalam perjalanan pulangku malam itu, aku meletakkan beban hidupku di hadapan Tuhan. Aku percaya Tuhan yang mengasihiku punya rencana terbaik buatku. Dan, saat aku melakukan itu, aku merasa beban-bebanku seperti terangkat dari pundakku dan hatiku pun dipenuhi kedamaian.

Keesokan harinya, aku merasa dibaharui. Meski aku bekerja, aku tidak lagi dipenuhi oleh rasa khawatir seperti yang aku rasakan beberapa hari sebelumnya. Di hari yang sama, seorang saudara seimanku dalam Kristus mendatangiku dan bertanya tentang sebuah proyek. Aku langsung memberitahu supervisorku tentang proyek yang potensial ini sebelum melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan, dan komunikasi dengan klien itu pun berjalan mulus. Pada akhirnya, klien itu mempercayaiku untuk menangani proyek ini dan kami segera memutuskan tanggal penyelesaian proyek.

Ini adalah pertama kalinya aku berhasil mengamankan kesepakatan dengan klienku secara cepat dan berhasil. Aku percaya Tuhan menolongku. Dia mengganti kesempatanku yang dahulu hilang dan membuat kerja kerasku menjadi berhasil. Melalui proyek ini, perusahaanku juga mampu memasuki pasar yang baru. Hatiku dipenuhi rasa kagum dan syukur atas bagaimana cara Tuhan mengubah segalanya dalam sehari.

Ketika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat betapa besarnya transformasi yang Tuhan telah kerjakan dalam hidupku sejak aku menerima Kristus empat tahun lalu. Ketika aku mengingat kembali bagaimana responsku dulu ketika supervisorku mencuri proyek yang kukerjakan, hanya oleh anugerah Tuhan sajalah aku mampu merespons dengan cara yang berbeda kali ini.

Permasalahan ini juga menolongku untuk semakin yakin bahwa Tuhan peduli kepada mereka yang mengasihi dan menaati perintah-Nya. Seperti tertulis dalam Yohanes 14:21, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”

Ketika aku berpikir tentang bagaimana perubahan hidupku selama empat tahun ini, aku menyadari bahwa semuanya ini bukanlah hasil dari kehendak atau perilakuku sendiri. Tuhanlah yang telah mengubahku menjadi pribadiku saat ini.

Aku berdoa supaya Tuhan terus memimpin dan membentukku. Aku mungkin kan menghadapi masalah atau keadaan yang sama kelak, tapi aku percaya bahwa pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi alat untuk membentuk karakter di dalam diriku. Aku juga tahu bahwa aku mampu mengatasi masalah-masalah itu dan terus mempercayai kebaikan Tuhan daripada keadaanku sendiri, karena Dialah Satu-satunya yang memimpin dan melindungiku.

Baca Juga:

Ketika Perkataan “Aku Dukung Dalam Doa Ya” Terasa Tidak Berdampak Apa-apa

“Aku dukung kamu dalam doa ya.”

Apakah perkataan itu terasa kosong buatmu? Kadang aku pun merasa begitu. Sepertinya perkataan itu aku ucapkan ketika aku tidak bisa melakukan hal-hal lainnya untuk menolong seseorang.

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Oleh Charles, Jakarta

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Mungkin kamu akan menjawab, “Tidak adil!” Seharusnya kalau mau adil, Ani, Budi, dan Chandra sama-sama mendapatkan 10 buah apel. Benar begitu?

Pertanyaannya, jika kamu adalah Chandra yang mendapatkan 15 buah apel, apakah kamu juga akan mengatakan hal yang sama?

Banyak orang mengeluh, “Hidup ini tidak adil!” Ketika ditanya, kenapa tidak adil?, jawaban mereka biasanya seperti ini:

Kenapa aku yang lebih rajin bekerja, tapi dia yang dapat gaji lebih banyak?

Kenapa dia bisa jalan-jalan keluar negeri, sementara aku cuma bisa jalan-jalan keliling kota?

Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?

Kenapa teman-temanku sudah pada menikah, sedangkan aku: pacar saja belum punya?

Kenapa rumahnya lebih bagus dari rumahku? Kenapa dia lebih cakep? Kenapa dia punya ini-itu, sedangkan aku tidak?

Kenapa Tuhan tidak juga menjawab doa-doaku?

Banyak orang merasa hidup ini tidak adil karena mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang “lebih” daripada mereka: lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih pintar, lebih sehat, lebih harmonis, lebih kuat, lebih terkenal, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita pikirkan lagi, bukankah itu tidak adil juga jika kita hanya membandingkan diri kita dengan yang “lebih”? Bagaimana dengan yang “kurang”? Pernahkah kita bertanya-tanya seperti ini:

Kenapa aku punya pekerjaan, sedangkan banyak orang yang menganggur?

Kenapa aku bisa berjalan, di saat ada orang yang hanya bisa terbaring di ranjang?

Kenapa aku masih bisa memilih makan apa hari ini, di saat ada orang yang begitu miskin sampai-sampai tidak bisa makan tiap hari?

Kenapa aku bisa mengenal Tuhan Sang Juruselamat, di saat banyak orang masih belum pernah mendengar tentang Dia?

Bukankah hidup ini memang tidak adil?

Kalau kita mau adil, mari buka mata dan hati kita untuk melihat tidak hanya orang-orang yang mempunyai “lebih” dari kita, tapi juga lihatlah mereka yang tidak mempunyai apa yang kita miliki. Kalau kita tidak suka ketidakadilan, bukankah hal yang bijak jika setidaknya kita sendiri berlaku adil?

Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda, kenyataan ini tidak seharusnya membuat kita iri hati. Sebaliknya, kita akan bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, dan tergerak untuk berbagi kepada orang lain, untuk setidaknya membuat hidup ini menjadi lebih adil bagi mereka. Marilah mulai dari diri kita sendiri.

Selain itu, ada satu aspek lain yang perlu kita renungkan.

Suatu hari, ketika Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya, murid-murid-Nya bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2).

Ketika ada hal yang kurang baik terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam: salah siapakah ini? Apakah salah orang buta itu? Ataukah salah orang tuanya? Namun, jawaban Yesus membukakan sebuah aspek lain yang kadang mungkin kita lupakan:

Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Kadang apa yang kita lihat sebagai penderitaan dan ketidakadilan, sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah, agar pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita.

Jadi, bagaimanapun keadaanmu saat ini, bersyukurlah atas segala hal yang Tuhan telah berikan kepadamu. Dan jadilah berkat bagi mereka yang tidak seberuntung dirimu, agar dunia ini bisa menjadi sedikit lebih adil.

Baca Juga:

4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran

Sebagai seorang yang tidak suka terlibat konflik, menegur seseorang adalah hal yang cukup menakutkan buatku. Aku berusaha mencari posisi aman. Tapi, sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menyuarakan kebenaran. Inilah empat rumus yang perlu kita perhatian ketika kita ingin menegur seseorang.

Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Quarter-Life Crisis: The Day I Went Berserk

Aku tahu ada sesuatu yang salah ketika aku mulai menendangi kardus-kardus di bawah mejaku.

Biasanya, aku adalah seorang yang tenang, mampu menahan diri. Tapi, hari itu, ada sesuatu dalam diriku yang tersentak. Seseorang meneleponku dengan nada dan instruksi yang membuat emosiku terpancing. Sesuatu dalam diriku menahanku untuk berteriak, tapi kakiku bergerak-gerak karena kesal, dan aku mengalihkan amarahku dengan menendangi kardus yang biasanya kuletakkan di bawah mejaku sebagai tumpuan kakiku.

Kamu bisa membayangkan kelanjutannya seperti apa. Seorang pria yang biasanya pendiam, meraih ponsel, menggerak-gerakkan jemarinya sambil berkata: “Oke, oke, aku mengerti, akan kulakukan,” dengan nada yang paling lembut—meski di bawah meja, kakinya menghentak-hentak lantai. Di sekelilingnya, rekan-rekan kerjanya memandangnya dengan heran, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu setelahnya, aku keluar dari pekerjaanku. Sembilan tahun berkutat di dunia jurnalistik berakhir sudah. Satu karier telah selesai.

Setelah kemarahanku itu, aku meminta maaf kepada bosku dan dia menerima maafku. Keputusan mundur dari pekerjaan ini adalah karena aku merasa kelelahan, dan aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.

Sebelumnya, selama beberapa bulan aku merasa semakin lelah dan ingin sekali bisa tertidur nyenyak, karena biasanya ketika aku bangun, aku merasa tidak ada di dunia nyata. Jam-jam panjang di ruang redaksi mengambil alih waktuku, dan semakin sulit buatku karena beberapa pekerjaan seperti mewawancarai orang itu bukanlah sesuatu yang nyaman kukerjakan. Aku pernah mendengar kalau kesulitan tidur dan bangun adalah tanda-tanda dari kemungkinan depresi, dan aku bertanya-tanya apakah ini sedang terjadi juga kepadaku. Kinerjaku juga menurun: aku bekerja tanpa peduli lagi apakah aku sudah mencapai standar minimal, dan seringkali aku mengabaikan instruksi dari atasanku. Sekali waktu, ketika aku ditugaskan mendatangi sebuah acara, aku malah meminjam mobil orang tuaku dan mengemudi tanpa tujuan selama dua jam. (Tidak ada yang mengetahui ini karena aku tetap bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari acara itu.)

Mengundurkan diri dari pekerjaan ini membuatku lega.

Akhirnya, aku bisa berhenti menyeret diriku dari kasur setiap pagi untuk menghadapi kenyataan. Aku bisa terbebas dari akhir pekan yang mengerikan karena pekerjaan-pekerjaan di hari kerja. Aku bisa berhenti dari memaksakan diri untuk berlama-lama di ruang redaksi dan membenci setiap pekerjaan yang datang kepadaku. Aku bisa berhenti dari memikirkan fantasi tentang menjadi kaya dalam semalam supaya aku tidak perlu lagi bekerja. (Atau, fantasi tentang kantor yang tiba-tiba kebakaran dalam semalam supaya besok pagi aku tidak perlu bekerja lagi.)

Tapi, itu hanyalah fantasi. Aku masuk ke pekerjaan itu dengan penuh antusias sebagai orang yang belum berpengalaman, namun, aku menjadi letih selama bertahun-tahun setelahnya karena jam kerja yang panjang dan stres yang terus menerus menguras energiku.

Keluar dari pekerjaan ini bukanlah keputusan yang mudah, meski aku sudah melakukannya. Di benakku, ada dua pemikiran yang terngiang-ngiang.

Pertama: “Apakah aku lemah? Apakah aku mencari jalan keluar yang paling mudah?” Generasi yang lebih muda sering disebut sebagai “Generasi Stroberi” (Kamu tahu mengapa? Karena seperti stroberi yang kalau ditekan jadi memar, mereka juga seperti itu). Dan, sepertinya aku termasuk dalam generasi itu. “Mengapa, generasi yang lebih tua bekerja selama 40 tahun tanpa libur, dan mereka tidak mengeluh. Kamu belum sampai 10 tahun dan sudah kelelahan?”

Kedua: “Apakah ini kehendak Tuhan?” Apakah aku lebih dulu menyerah sebelum Tuhan membentuk dan mengubahku menjadi orang yang lebih baik? Apakah aku melarikan diri dari proses pendisiplinan-Nya?

Sejujurnya, sampai hari ini pun aku belum bisa benar-benar menjawab pertanyaan ini. Mungkin aku tidak hanya berjuang dari kelelahan, tapi juga bergumul dengan quarter-life crisis saat aku berusaha menggumulkan pekerjaanku, tujuan hidupku, dan apa arti hidupku untuk pekerjaan yang kugeluti.

Setelah melalui pengalaman yang kupikir sebagai kelelahanku, aku mau berkata: Apa yang orang lain pikirkan tentangmu itu bukanlah yang terpenting. Jika kamu sedih dan tertekan, dan tubuhmu menjadi sakit, tidak ada pekerjaan apapun yang sepadan. Tentu, ada waktu untuk menunggu, untuk bertahan, untuk melawan. Tapi, setiap kita memiliki batasan yang berbeda. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, sebab setiap orang punya perjalanannya masing-masing. Satu orang mungkin berpikir kalau dia butuh keberanian untuk terus maju, sementara yang lainnya mungkin berpikir bahwa mundur adalah pilihan yang bijak.

Apapun yang orang lain katakan tentang keputusanku, aku dapat mengatakan ini dengan pasti: Aku dapat melihat tangan Tuhan dalam segala sesuatu yang terjadi. Aku percaya ada campur tangan ilahi dalam pencarianku menemukan pekerjaanku selanjutnya. Aku melamar ke suatu pekerjaan yang terlihat lebih menarik. Dan yang lebih penting, pekerjaan itu sepertinya menjanjikan waktu kerja yang lebih damai. Ketika tidak ada jawaban, aku coba melamar lagi. Selama menunggu, aku berkesempatan bertemu dengan seseorang—yang baru saja diterima di departemen itu—dan pertemuan inilah yang akhirnya memberiku jalan lebih cepat untuk wawancara dengan bos. Tawaran kerja pun datang segera.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku, karena selama melewati beberapa bulan tanpa bekerja, di situlah aku bisa menikmati masa jedaku. Tuhan memampukanku pindah ke tempat lain yang jam kerjanya lebih sehat dan lebih sedikit stres, dan inilah yang membuat beda.

Kelelahanku dan insiden menendang kardus adalah hal yang tidak ingin aku alami lagi. Aku tidak membanggakan diri atas responsku itu. Tapi, jika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat bagaimana hal itu turut membentuk perjalananku untuk menemukan diriku dan imanku. Apakah hal itu baik? Tidak. Apakah Tuhan mengizinkannya untuk terjadi? Kupikir iya!

Menghadapi kelelahan itu, aku belajar untuk menyadari batasan diriku sendiri. Ya, kamu dapat menganggapku punya batasan yang menyedihkan dan tidak punya ketahanan diri. Tapi, inilah batasanku. Karena aku pernah melampaui batasan itu, sekarang aku punya gambaran yang lebih baik tentang seberapa banyak yang bisa kutanggung, dan seberapa banyak yang tidak. Pemahaman ini menolongku untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam hidupku. Di pekerjaanku selanjutnya, aku mendapati kalau aku punya pegangan yang lebih baik untuk melakukan apa yang sudah siap kulakukan, dan apa yang tidak dapat kulakukan. Pengalaman itu tidak ternilai.

Aku juga belajar untuk mempercayai kehendak dan tangan Tuhan di dalam hidupku. Beberapa tahun kemudian, aku dapat melihat Dia menggunakan insiden dahulu untuk membentuk keputusan masa depan tentang karierku. Tapi, yang lebih penting, aku belajar melihat bahwa Tuhan itu bukannya Tuhan yang tidak peduli, Tuhan yang saklek, yang mana kita akan seketika gagal ketika tidak mengambil keputusan yang tepat. Ya, kita perlu mencari tahu kehendak-Nya dan memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan atau putuskan di situasi yang Dia berikan. Tapi, Dia juga adalah Tuhan yang kreatif, yang memberi kita kebebasan untuk memilih ketika kita menggumulkan kehendak-Nya dalam hidup kita. Jika kita berpegang pada hukum-Nya, kesukaan-Nya, dan jalan-jalan-Nya daripada diri kita sendiri, Dia akan memberi kita apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4).

Mazmur 37 juga mengingatkan kita untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya (ayat 5), dan berdiam diri di hadapan-Nya dan dengan sabar menanti-Nya untuk mengetahui kehendak-Nya (ayat 7). Kita punya jaminan bahwa Tuhan yang baik dan penuh kasih akan melakukan yang terbaik untuk kita—sekalipun kita mungkin tidak melihatnya saat itu juga.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya”
(Mazmur 37:23-24).

Baca Juga:

Teguran dari Tuhan Saat Aku Bertemu Temanku yang Pernah Sakit Kanker

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah tiga hal yang bisa membantu kita.

Aku Menemukan Kepuasan di Tengah Keterbatasan Keuangan

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Found Contentment In My Financial Limitation
Foto oleh Andrew Koay dan Joyce Lim

Di suatu hari Minggu di gereja, keponakanku yang berumur lima tahun dan keluarganya duduk di barisan kursi di depanku. Tiba-tiba, dia berbalik dan bertanya polos, “Tante Agnes, hari ini kamu ke gereja naik apa?”

Aku menjawabnya pelan, “Naik kereta.”

“Kenapa Tante tidak punya mobil? Papaku punya.”

Pertanyaan itu menyentakku. Apakah aku akan bilang kalau aku tidak mampu membeli mobil?

Aku tidak mau terkesan miskin, jadi akhirnya aku menjawab lagi, “Mobil itu bukan satu-satunya alat transportasi kok.” Aku tidak yakin apakah keponakanku mengerti, lalu ibunya menyuruhnya diam dan dia pun kembali mengikuti kebaktian.

Pertanyaan tentang mobil itu menggantung di benakku. Sekalipun memiliki mobil bisa membuat keluargaku lebih mudah dan nyaman kalau pergi tamasya—terutama dengan putra kecilku—suamiku dan aku tidak mampu membeli mobil itu.

Selama beberapa waktu, aku membenci fakta bahwa baik aku dan suamiku hanyalah pekerja yang mendapatkan gaji rata-rata, penghasilan kami hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap bulan. Itu tidak adil. Mengapa Tuhan menahan kami dari kebebasan finansial dan hal-hal baik lainnya? Bukankah Dia berkata bahwa Dia akan memberikan yang baik (Matius 7:11) dan apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4)?

Namun, seiring aku semakin mengenal Tuhan lebih baik, aku menyadari bahwa sesungguhnya Tuhanlah harta terbesar yang pernah kumiliki. Aku lebih memilih untuk kehilangan semua kekayaan duniawiku daripada kehilangan pandanganku akan Tuhan dan keselamatan daripada-Nya.

Penghiburan Tuhan jauh lebih berharga daripada kekayaan

Ketika aku masih mudah dan lajang, aku menikmati kebebasan finansial. Aku suka berbelanja dan makan makanan enak. Kapan pun aku merasa stres karena bekerja, hal-hal itulah yang aku raih untuk mengalihkanku dari masalah-masalahku. Kupikir aku telah mengatasi masalahku dengan baik, dan setelah sedikit bersenang-senang, untuk sementara aku akan merasa lebih baik lalu aku pun melanjutkan hidupku.

Meskipun aku datang ke gereja, aku tidak membuka Alkitab untuk mencari penghiburan. Mungkin memiliki kebebasan finansial dan hidup nyaman membuatku merasa puas. Mungkin hatiku terlalu keras untuk mengizinkan firman Tuhan bertumbuh dalamku dan menolongku dewasa dalam iman. Seperti benih yang jatuh di antara semak berduri dalam perumpamaan tentang seorang penabur, hatiku terhimpit oleh kekhawatiran dunia (Matius 13:22).

Tapi empat tahun lalu, aku mengalami masa-masa yang berat dalam pernikahanku. Berbelanja, makan makanan enak, dan berapa pun jumlah uang tidak dapat menyelesaikan pertengkaran keluarga kami. Aku tidak bisa melihat jalan keluar. Di titik inilah kemudian Tuhan mengarahkanku kembali kepada firman-Nya.

Meskipun situasiku memburuk hari lepas hari, aku menemukan penghiburan dan damai dalam firman Tuhan bahkan saat aku sudah merasa tak berdaya lagi. Aku sadar bahwa Tuhan adalah yang sesungguhnya aku butuhkan. Seiring aku menanti dan meletakkan harapanku pada Tuhan, Dia menolongku dan suamiku untuk mengatasi masalah pernikahan kami.

Semangatku kepada Tuhan terus bertumbuh dan aku semakin rajin membaca Alkitab. Cara pandangku mengenai kekayaan pun mulai berubah. Aku tidak lagi melihatnya sebagai jawaban atas masalahku. Aku sadar bahwa Tuhan adalah satu-satunya sumber penghiburanku di saat-saat sulit. Oleh karena itu, aku bisa merasa puas dalam segala situasi, entah itu kaya atau miskin, karena keselamatanku tidak bergantung pada kekayaanku.

Namun, setelah aku dan suamiku berdamai, aku harus berkontribusi lebih untuk menanggung pengeluaran keluarga, dan kami pun lebih ketat dalam mengatur keuangan. Persembahan persepuluhan jadi sesuatu yang menguji iman kami, tapi Tuhan terus menunjukkan pemeliharaan dan anugerah-Nya. Dan yang paling penting, Tuhan mengajariku apa artinya berjalan dengan iman percaya dan bukan dengan pandangan sendiri (2 Korintus 5:7).

Terlepas dari pendapatan kami, kami punya tanggung jawab untuk mengelola keuangan kami dengan baik. Ketika aku masih sekolah, aku pernah diminta untuk menggalang dana untuk sebuah organisasi amal. Waktu itu aku belum jadi orang percaya, tapi aku memberikan sejumlah uang dari uang sakuku karena aku ingin menyenangkan guruku. Setelah itu, hatiku sakit karena uang yang kuberikan itu seharusnya bisa kugunakan untuk membeli sesuatu buat diriku. Meski aku bisa memberikan sejumlah uang, hatiku tidak tulus.

Hidup dalam kepuasan

Sekarang aku telah menjadi orang Kristen dan jauh lebih mengerti tentang apa artinya memberi untuk Tuhan. Aku tertantang untuk memberi lebih banyak lagi dan dengan hati yang tulus. Seperti yang tertulis dalam Matius 19:28-30, jika kita menanggalkan segala kenyamanan duniawi untuk mengikut Tuhan, kemudian pada hari di mana segalanya diciptakan baru, kita akan mendapatkan lebih banyak dan mewarisi kehidupan yang kekal. Inilah yang mengingatkanku untuk tidak hanya mencari kenyamanan yang sementara, tetapi untuk hidup dan memberi dengan perspektif kekekalan.

Tapi, selama aku aku masih tinggal di bumi ini, aku tidak terhindar dari godaan. Ketika aku melihat orang lain bisa membeli apapun yang mereka mau, aku masih bisa merasa sedikit iri. Karena aku bekerja di pusat bisnis, aku sering melihat orang-orang mengendarai mobil-mobil mewah. Kadang aku berharap bisa jadi seperti mereka. Tapi, ketika aku menyerahkan segala keinginanku pada Tuhan, aku sadar bahwa rencana-Nya untuk masing-masing kita itu berbeda. Dia membuat beberapa orang kaya, dan beberapa lainnya mendapat penghasilan rata-rata sepertiku. Tapi, terlepas dari status keuangan kita, selama kita memilih untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, Tuhan memanggil kita sebagai anak-anak-Nya.

Ketika aku mengetahui hal ini, aku merasa puas dengan keuanganku yang terbatas. Seperti Paulus, aku tahu rahasia untuk merasa puas dalam setiap situasi, entah itu dalam saat-saat kenyang atau lapar (Filipi 4:12). Aku dapat selalu bersyukur pada Tuhan karena Dia selalu memelihara dan memenuhi semua yang kubutuhkan (Matius 6:26).

Baca Juga:

Nenekku dan perempuan Nepal

Ketika berada di Nepal dulu, seorang perempuan mengatakan padaku dan temanku bahwa dia akan percaya Yesus kalau dia tidak perlu bekerja lagi. Waktu itu aku tak tahu harus menjawab apa, tapi kini, melalui teladan nenekku aku tahu bagaimana seharusnya aku merespons perempuan Nepal itu.

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.

Untuk Kamu yang Sedang Berbeban Berat

Ditulis oleh Carol Lerh
Gambar oleh Emilia Ting

Kami mungkin tidak tahu apa yang harus kami katakan atau ungkapkan bahwa kami sungguh peduli kepadamu, tapi kami tahu bahwa Tuhan mampu menghiburmu dan Dia ada bersamamu. Melalui firman-Nya, Dia berbicara kepada aku dan kamu. Kiranya kamu dikuatkan oleh janji-janji-Nya.

Tuhan Memakai Pengalaman Tidak Menyenangkanku untuk Memberkati Orang Lain

Oleh Jefferson, Singapura

Beberapa minggu lalu, aku bersama rekan-rekan di kelompok Pendalaman Alkitab di gereja membahas tentang pelayanan yang diambil dari buku The Purpose Driven Life karangan Rick Warren. Aku menikmati tiap bagian yang ditulis di buku itu, hingga aku tiba di satu bagian yang menyentakku.

“Adalah kategori terakhir, yaitu pengalaman menyakitkan, yang Tuhan gunakan paling sering dalam mempersiapkanmu untuk melayani… Bahkan, kemungkinannya sangat besar bagi pelayanan terhebatmu untuk terlahir dari pengalamanmu yang paling menyakitkan.”

Mungkin kalimat itu terdengar rumit. Jika kusederhanakan, Rick Warren hendak mengatakan bahwa Tuhan bisa memakai pengalaman pribadi kita yang tidak menyenangkan sebagai pelayanan bagi-Nya. Apa yang baru saja kubaca itu mengingatkanku akan pengalaman tidak menyenangkan yang kualami beberapa hari sebelumnya.

Seorang teman baikku di gereja mengkritikku. Dia tidak suka dengan kelakuanku yang menurutnya tidak dewasa. Katanya, aku bersikap egois dalam relasiku dengan beberapa teman, termasuk dia. Contohnya, ketika mereka sedang lelah, aku sering memaksa mereka untuk menemaniku makan. Aku pun meminta maaf kepadanya, tapi dalam hati aku merasa kalau kritikan itu tidak benar. Selama beberapa hari aku jadi tidak konsentrasi dalam pekerjaan magangku. “Benarkah apa yang dia katakan? Apakah aku memang egois dengan mereka belakangan ini?”

Dalam kondisi hati yang belum sepenuhnya rela menerima kritik, aku melanjutkan membaca sisa dari bagian itu. Cuplikan cerita Rasul Paulus yang diambil dari 2 Korintus 1:8-11 menghiburku. Di suratnya tersebut, Paulus mengisahkan penderitaan yang dia alami selama di Asia Kecil yang mengingatkan dia untuk menyandarkan diri sepenuhnya pada Tuhan. Rick Warren berkomentar: “Supaya Tuhan dapat memakai pengalaman menyakitkanmu untuk memberkati orang lain, kamu harus mau membagikannya apa adanya… Paulus memahami kebenaran ini, makanya ia bisa dengan jujur menceritakan pergumulannya menghadapi depresi.”

Bacaan itu menegurku. Pengalaman dikritik tidak pernah menyenangkan. Meski kritik itu bermaksud baik, tapi suatu kritik pasti menyakiti hati. Tapi, kritik juga adalah sarana supaya aku bisa mengenal dan memperbaiki diriku. Akhirnya, dengan hati terbuka, aku menerima kritik temanku itu dan berkomitmen untuk memperbaiki diriku.

Pengalaman tidak menyenangkan bisa dipakai untuk kita mengenal diri sendiri

Lewat kritikan dari temanku itu, Tuhan membuka mataku terhadap dosa-dosa yang tidak aku sadari. Sembari aku merenungkan hal ini, aku teringat petikan ayat dari Kitab Mazmur yang berkata:

“Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24)

Kritik dari temanku telah menolongku untuk sadar bahwa kelakukanku selama ini egois dan tidak peka terhadap kondisi orang lain. Aku mengucap syukur kepada Tuhan karena melalui pengalaman ini aku kembali diingatkan tentang keberdosaanku, dan kasih anugerah Tuhan saja yang memampukanku untuk mau terus dituntun oleh-Nya. Dan, puji syukur kepada Tuhan atas relasi pertemanan kami yang dipulihkan sehingga kami tidak merasa canggung atau saling menghindar ketika kami berpapasan di gereja.

Pengalaman tidak menyenangkan bisa dipakai Tuhan untuk memberkati orang lain

Beberapa minggu setelah aku mempelajari hal-hal ini, Tuhan memberiku kesempatan untuk membagikan ceritaku kepada seorang teman di tempat magangku. Dari interaksi kami sebelumnya, aku tahu kalau dia seorang ateis.

Saat kami sedang berjalan kembali ke kantor seusai makan siang, dia bertanya tentang apa kesanku terhadap dirinya. Sebelum menjawabnya, aku balik bertanya mengapa tiba-tiba dia menanyakan hal ini. Kemudian ia bercerita kalau beberapa hari sebelumnya ada seorang temannya yang menjelek-jelekkan dan mengkritiknya habis-habisan. Tapi ia tidak bercerita kepadaku mengapa temannya sampai melakukan itu kepadanya. Tebakanku mungkin itu terjadi karena sifat buruknya.

Seusai ia bercerita, tibalah giliranku untuk bicara. Aku membagikan pengalamanku beberapa minggu sebelumnya yang mirip dengan apa yang dia alami, yaitu kami sama-sama menerima kritik. Kemudian aku pun bercerita tentang bagaimana kritik itu menolongku mengenal diriku dan bagaimana Tuhan menolongku untuk tetap berelasi baik dengan teman-temanku.

Teman magangku itu mendengarkan dengan antusias. Tapi, ketika aku bercerita bahwa itu semua terjadi karena Tuhan yang mendamaikan relasiku, dia memotongku dan menegaskan kembali posisinya sebagai orang yang tidak percaya pada Tuhan. Dia pun langsung mengganti topik pembicaraan, tapi dari nada bicara dan ekspresinya, aku dapat merasakan bahwa dia sangat terkesan terhadap pengalamanku itu. Sekalipun pada akhirnya teman magangku belum percaya pada Tuhan, tapi aku percaya bahwa melaluiku, Tuhan bekerja dan sedang menuturkan kasih-Nya kepada temanku itu.

Kembali ke buku The Purpose Driven Life, Rick Warren menuliskan: “Siapa lagi yang dapat dengan efektif membantu seorang pemabuk pulih dari kecanduannya selain ia yang telah menghadapinya di masa lampau dan berhasil menang?” Seseorang yang pernah jatuh namun ditolong Tuhan hingga dia berhasil bangkit adalah orang yang punya potensi besar untuk menjadi alat Tuhan untuk menolong mereka yang memiliki pergumulan serupa.

Aku percaya bahwa Tuhan tidak pernah mendidik umat-Nya tanpa tujuan, sekalipun mungkin pada awalnya kita merasa bahwa Tuhan seperti sedang menyesah kita. Namun, ketika kita mengakui dosa-dosa kita dan sungguh-sungguh berbalik kepada-Nya, Dialah yang akan menolong dan menghibur kita, supaya melalui kitalah kelak pekerjaan-Nya dapat dinyatakan.

Melalui pengalaman-pengalaman inilah aku yakin Tuhan ingin kita membagikan berita Injil. Ketika kita membagikan pengalaman pribadi kita untuk menguatkan orang lain yang sedang menghadapi hal serupa, di sinilah kita bisa membagikan kabar baik tentang kasih Tuhan. Sharing yang jujur tentang bagaimana Tuhan dimuliakan melalui kelemahan-kelemahan kita bisa dipakai-Nya untuk mengetuk hati orang-orang.

Jika sekarang kamu baru saja mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, kuharap kisah yang kubagikan ini dapat menolongmu. Tuhan memang tidak berjanji untuk menghilangkan rasa sakit yang datang dari pengalaman-pengalaman tersebut, tapi Dia berjanji untuk terus bekerja melalui diri kita yang berdosa. Dan, pengalaman-pengalaman menyakitkan yang kita alami bisa dipakai Tuhan untuk memuliakan nama-Nya dan memberkati orang-orang di sekitar kita.

Ulangan 32:39 bergaung dengan jelas dan keras di benakku,

“Lihatlah sekarang, bahwa Aku, Akulah Dia.
Tidak ada Allah kecuali Aku.
Akulah yang mematikan dan yang menghidupkan,
Aku telah meremukkan, tetapi Akulah yang menyembuhkan,
dan seorangpun tidak ada yang dapat melepaskan dari tangan-Ku.”

Soli Deo Gloria, Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Mencari Pekerjaan Itu Sulit, tapi Aku Tidak Menyerah

Perjalanan mencari kerja selama setengah tahun lebih kembali dijawab dengan hasil yang getir. Lagi-lagi aku gagal. Namun, di sinilah aku belajar untuk berserah dan tidak menyerah.

Mencari Pekerjaan Itu Sulit, tapi Aku Tidak Menyerah

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Di awal tahun 2018 aku lulus sebagai seorang Sarjana Ilmu Komunikasi. Layaknya para fresh graduate lainnya yang ingin segera mendapat kerja, aku pun begitu. Aku ingin bekerja sebagai Public Relations atau Marketing Communications di perusahaan besar supaya aku bisa mengaplikasikan ilmu yang kudapat di kuliah ke dalam dunia kerja.

Minggu pertama setelah wisuda, aku mengikuti beberapa job fair yang ada di Yogyakarta. Dengan penuh semangat, aku menjalani tiap tahapan seleksi di perusahaan-perusahaan yang kulamar. Tapi, tidak ada satu perusahaan pun yang aku lolos. Aku gagal di tahapan psikotes. Aku belum menyerah. Setelah rangkaian job fair itu usai, aku mengirimkan puluhan lamaran kerja lewat email. Tapi, hasilnya senada. Email-emailku tidak ada yang dibalas.

Aku masih belum mau menyerah. Lewat grup pencari kerja di Line dan akun-akun lowongan di Instagram, aku mencari-cari perusahaan yang kuanggap sesuai denganku. Aku masih kekeh ingin bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang komunikasi. Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan aku tak kunjung juga mendapatkan pekerjaan. Harapanku untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku pun meluntur. Ya sudah, sejak saat itu aku sedikit banting setir. Aku melamar ke perusahaan-perusahaan yang menawarkan posisi di luar Public Relations dan Marketing Communications.

Aku kembali gagal

Akhirnya, aku menemukan lowongan yang kurasa tepat buatku. Sebuah agensi periklanan di Tangerang membuka lowongan sebagai Social Media Manager. Tanpa sempat berdoa terlebih dulu, aku segera mengirimkan aplikasi ke sana. Beberapa hari setelahnya, agensi itu membalas emailku. Mereka memintaku datang wawancara tatap muka ke lokasi mereka. Dengan penuh semangat dan tekad untuk segera bekerja, aku berangkat dari Cilacap ke Tangerang.

Selesai wawancara, tahapan selanjutnya adalah mereka memberiku proyek. Aku diminta membuat sebuah kampanye iklan untuk produk otomotif dari klien yang sudah mereka tentukan. Kukerjakanlah proyek itu seserius mungkin, berharap supaya kinerjaku bisa memuaskan mereka.

Tapi, setelah proyek kampanye itu kuserahkan, aku merasa digantung. Agensi itu tidak memberiku kabar apa pun mengenai kelanjutan proses seleksiku. Aku pun memutuskan pulang kembali ke Cilacap. Setelah beberapa hari, barulah mereka mengabariku kalau aku lolos seleksi dan diminta kembali ke Tangerang esok hari untuk melakukan presentasi proyek itu. Aku keberatan, waktunya terlalu mendadak. Jarak antara Cilacap dan Tangerang cukup jauh, apalagi aku tinggal bukan di kotanya, melainkan di sebuah desa kecil di perbatasan provinsi. Jadi aku pun mengajukan penggantian hari. Betapa leganya aku saat mereka mengabulkan permohonanku.

Namun, rasa lega itu tidak bertahan lama. Entah mengapa, agensi itu kembali menelponku. Katanya, aku tidak perlu kembali ke Tangerang karena mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan proses lamaranku. Aku gagal diterima.

Aku kecewa.

Perjalanan mencari kerja selama setengah tahun lebih kembali dijawab dengan hasil yang getir. Lagi-lagi aku gagal. Padahal sebelumnya aku sudah yakin betul kalau aku punya peluang besar diterima di perusahaan itu. Semangatku pun padam. Hatiku sedih. Aku khawatir akan masa depanku. Dan, ketika melihat teman kuliahku yang sudah memiliki pekerjaan, aku pun jadi iri. Rasanya menyenangkan sekali jadi mereka, bisa mengaplikasikan ilmu yang didapati di kuliah dulu di dunia kerja.

Aku tahu iri hati adalah dosa, maka aku berdoa memohon ampun pada Tuhan. Dan, saat aku bercerita kepada temanku tentang pergumulanku mencari kerja dan rasa iri hatiku, dia berkata bahwa mendapatkan pekerjaan itu tidak berarti masalah selesai. Banyak dari teman-teman yang sudah bekerja mengeluh karena pekerjaan mereka yang berat. Ada yang harus kerja lembur sampai larut malam, ada yang merasa pekerjaannya terlalu berat dan tidak sesuai dengan mereka. Bahkan, ada juga yang merasa iri denganku karena dengan aku membantu usaha toko kelontong milik keluargaku, aku bisa dekat dengan ibuku. Hal inilah yang akhirnya menyadariku untuk mengucap syukur dengan keadaanku saat ini.

Kepada Tuhan, aku mengungkapkan bahwa kerinduan hatiku adalah meninggalkan desaku dan bekerja di kota besar, supaya aku bisa mengaplikasikan ilmuku ke dunia kerja. Namun, apabila pada akhirnya aku harus tetap berada di desaku untuk mengusahakan toko kelontong keluargaku dan menemani ibuku yang tinggal seorang diri, aku akan berserah dan bersyukur pada Tuhan. Aku percaya bahwa apa pun hasilnya nanti, Tuhan tahu yang terbaik untukku.

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah tetap berdoa dan memohon hikmat dari Tuhan seraya berusaha mencari pekerjaan di luar kota. Sambil membantu usaha ibuku di toko kelontong, aku belajar menulis dan mendesain, supaya ada nilai tambah dalam CV-ku, dan juga melayani di bidang multimedia di gerejaku. Melalui masa penantian ini, aku percaya bahwa Tuhan sedang membentukku untuk memiliki hati yang beriman penuh kepada-Nya.

Sobat, jika saat ini kamu sedang mengalami pergumulan yang sama sepertiku, maukah kamu bersama-sama denganku agar tidak menyerah, tetap berusaha mencari pekerjaan, memohon hikmat, dan percaya pada rencana Tuhan?

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Baca Juga:

Apa yang Tidak Kuduga, Itu yang Tuhan Sediakan

“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.” Aku mengamini ayat itu, bahwa Tuhan selalu memeliharaku. Namun, ketika keadaan hidupku sedang tidak menentu, aku pun khawatir dan meragukan pemeliharaan-Nya.