Melalui Pelayanan di Gereja, Tuhan Mengubahkanku

Oleh Mary, Surabaya

Sudah cukup lama aku berdoa pada Tuhan mengenai kerinduanku untuk melayani di gerejaku. Sebelumnya aku hanyalah jemaat biasa yang mengikuti ibadah umum setiap hari Minggu. Meski aku rindu untuk melayani, tapi aku adalah orang yang cenderung pemalu dan introver, jadi aku bingung kepada siapa aku harus bicara soal kerinduanku melayani ini. Sampai suatu hari, Tuhan menuntunku untuk aku memberanikan diri ikut komunitas Bible study. Lewat satu langkah kecil inilah kemudian Tuhan menjawab doaku. Aku diizinkan-Nya melayani di ladang pelayanan dan bertemu dengan teman-teman yang baru pula.

Pada awalnya aku merasa bersyukur. Kerinduanku untuk melayani di bagian dokumentasi dan desain kupikir sangat sesuai dengan talenta dan doaku. Namun, seiring waktu berjalan, aku mulai menetapkan standarku sendiri dalam pelayanan. Sifat perfeksionisku muncul, aku ingin setiap pelayanan yang kulakukan itu sempurna. Aku kadang merasa tidak puas, atau bahkan marah apabila melihat ada rekan pelayananku yang pekerjaannya lebih ringan dariku, atau tidak sesuai dengan ekspektasiku. Lalu, perbedaan pendapat dan konflik karena ketidaksepakatan pembagian tugas dan waktu pun mulai mewarnai pelayananku.

Ketika konflik yang terjadi adalah dengan sesama anak-anak muda, aku merasa cukup mudah untuk mengatasinya. Tapi, apabila konflik itu adalah dengan para diaken yang secara usia lebih tua dariku, aku jadi bingung bagaimana harus bersikap mengatasi masalah tersebut. Pernah suatu ketika proyek yang sudah kami kerjakan dengan susah payah dibatalkan begitu saja oleh rekan kami yang lebih tua. Seharusnya aku dan teman-teman sepantaranku bisa saja menyampaikan protes kepadanya. Tapi, kami sungkan karena kami pikir mereka lebih senior daripada kami.

Hingga di suatu titik, aku merasa tidak tahan lagi. Aku berteriak pada Tuhan bahwa aku capek. Pelayanan yang dulu kurindukan sekarang terasa jadi beban yang berat buatku. “Mengapa ladang pelayanan yang dulunya kuinginkan malah jadi suatu jerat bagi diriku sendiri?” Aku bertanya pada Tuhan.

Namun, syukur kepada Tuhan, Dia mendengarkan seruan isi hatiku. Lewat sebuah renungan dalam saat teduhku, aku merasa ditegur. Ayat itu terambil dari Kolose 3:12-15 yang isinya berkata:

Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil menjadi satu tubuh. Dan bersyukurlah.”

Setelah membaca ayat itu, aku mampu melihat pergumulanku secara lebih jelas. Aku jadi merasa malu karena telah membiarkan kekecewaanku tumbuh kepada rekan-rekan sepelayananku. Memang tidak ada manusia yang sempurna, tetapi kita semua telah dikuduskan dan dikasihi Tuhan sehingga kita dilayakkan untuk melayani-Nya. Aku dan rekan-rekan pelayananku adalah bagian dari tubuh Kristus, yang memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing untuk melayani Sang Tuan untuk berkarya.

Aku sadar, sebenarnya tidaklah salah apabila aku ingin mengusahakan yang terbaik dalam pelayanan yang kulakukan. Tapi, kalau aku malah jadi membanding-bandingkan pelayananku dengan orang lain, sikap itu tidaklah bijak. Aku pun berdoa pada Tuhan, memohon agar aku bisa mengampuni dan mengasihi rekan-rekan sepelayananku. Aku ingin memiliki hati seorang hamba, juga hikmat dari Tuhan untuk menuntunku bagaimana harus bersikap.

Sejak hari itu, Tuhan menolongku untuk menikmati pelayanan yang kulakukan. Aku merasa bebanku seperti terangkat dan ada damai sejahtera yang melingkupiku setiap kali aku mengerjakan proyek pelayanan. Aku tidak lagi jadi terbeban seperti sebelumnya, dan bahkan hubunganku dengan sesama rekan pelayanan menjadi lebih baik. Kami belajar untuk saling memahami satu dan lainnya, baik dengan sesama rekan sepantar, maupun yang lebih tua.

Melalui peristiwa ini, aku bersyukur karena melalui kesempatan pelayanan yang Dia karuniakan untukku, Dia memprosesku untuk mengubah karakterku selangkah demi selangkah agar sesuai dengan kehendak-Nya. Tuhan mengubah karakterku menjadi seorang yang bisa bersyukur. Kini aku tahu bahwa pelayanan ini adalah untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Ketika hasil pelayanan yang kulakukan tidak sesuai standarku, sikap hatiku bukanlah menyalahkan orang lain. Aku dapat menyerahkan hasil pelayananku kepada Tuhan, sebab Tuhan melihat apa yang tidak dilihat manusia. Kala manusia melihat apa yang ada di depan mata, Tuhan melihat hati (1 Samuel 16:17).

Konflik dan perbedaan pendapat mungkin masih akan terjadi dan tak terhindarkan di masa depan nanti, tapi aku tidak perlu takut menghadapinya. Yang harus kulakukan adalah tetap setia melakukan bagianku, yaitu dengan mengupayakan yang terbaik dan tetap mengasihi sesamaku.

Baca Juga:

2 Kontribusi Sederhana untuk Menolong Korban Bencana

Memulihkan suatu kota yang hancur karena bencana bisa jadi sebuah proses yang rumit. Namun langkah sederhana yang kita lakukan bisa memberikan kontribusi untuk memulihkan keadaan di sana.

Nyanyian untuk Regu Tembak

Rabu, 10 Oktober 2018

Nyanyian untuk Regu Tembak

Baca: Markus 14:16-26

14:16 Maka berangkatlah kedua murid itu dan setibanya di kota, didapati mereka semua seperti yang dikatakan Yesus kepada mereka. Lalu mereka mempersiapkan Paskah.

14:17 Setelah hari malam, datanglah Yesus bersama-sama dengan kedua belas murid itu.

14:18 Ketika mereka duduk di situ dan sedang makan, Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku, yaitu dia yang makan dengan Aku.”

14:19 Maka sedihlah hati mereka dan seorang demi seorang berkata kepada-Nya: “Bukan aku, ya Tuhan?”

14:20 Ia menjawab: “Orang itu ialah salah seorang dari kamu yang dua belas ini, dia yang mencelupkan roti ke dalam satu pinggan dengan Aku.

14:21 Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.”

14:22 Dan ketika Yesus dan murid-murid-Nya sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada mereka dan berkata: “Ambillah, inilah tubuh-Ku.”

14:23 Sesudah itu Ia mengambil cawan, mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka, dan mereka semuanya minum dari cawan itu.

14:24 Dan Ia berkata kepada mereka: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang.

14:25 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah.”

14:26 Sesudah mereka menyanyikan nyanyian pujian, pergilah mereka ke Bukit Zaitun.

Aku percaya, sekalipun aku berkata: “Aku ini sangat tertindas.” —Mazmur 116:10

Nyanyian untuk Regu Tembak

Dua pria yang dipidana karena mengedarkan obat terlarang telah menunggu waktu eksekusi mereka selama satu dekade. Di penjara itu, mereka mengenal kasih Allah bagi mereka di dalam Yesus Kristus dan hidup mereka pun diubahkan. Ketika tiba saatnya bagi mereka untuk berhadapan dengan regu tembak, mereka menghadapi para eksekutor itu sembari mengucapkan Doa Bapa Kami dan menyanyikan pujian “Amazing Grace” (Sangat Besar Anugerah-Nya). Karena iman mereka kepada Allah, oleh kekuatan Roh Kudus, mereka sanggup menghadapi kematian dengan keberanian yang luar biasa.

Mereka mengikuti teladan iman yang diberikan Juruselamat mereka, Yesus Kristus. Saat Yesus mengetahui kematian-Nya sudah dekat, Dia melewati malam itu dengan bernyanyi bersama sahabat-sahabat-Nya. Sungguh mengagumkan bagaimana Dia dapat bernyanyi dalam situasi seperti itu. Namun, yang lebih menakjubkan adalah apa yang dinyanyikan-Nya. Malam itu, Yesus dan sahabat-sahabat-Nya menikmati jamuan Paskah, yang selalu diakhiri dengan mengucapkan serangkaian mazmur yang dikenal sebagai Hallel, Mazmur 113-118. Menjelang kematian-Nya, Yesus bernyanyi tentang “tali-tali maut” yang melilit-Nya (Mzm. 116:3). Namun, Dia memuji kasih setia Allah (Mzm. 117:2) dan bersyukur kepada-Nya untuk keselamatan (Mzm. 118:14). Pastilah Mazmur itu telah menjadi penghiburan bagi Yesus pada malam sebelum Dia disalibkan.

Kepercayaan Yesus kepada Allah sangatlah besar. Jadi, meski kematian-Nya sudah dekat—kematian yang tidak layak diterima-Nya—Dia memilih untuk bernyanyi tentang kasih Allah. Karena Yesus, kita juga dapat memiliki keyakinan bahwa apa pun yang kita hadapi, Allah selalu menyertai kita. —Amy Peterson

Allah terkasih, teguhkanlah iman kami di dalam Engkau agar di saat kami menghadapi pencobaan, atau bahkan menjelang maut, kami dapat bernyanyi tentang kasih-Mu dengan penuh keyakinan.

Sungguh manis kabar anugerah Allah yang ajaib!

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 34-36; Kolose 2