Media Sosial Bukanlah Tempat Curhat Terbaik

Oleh Christina Kurniawan, Bandung

Kita semua tentu mengenal Facebook. Lewat media sosial itu, kita bisa memposting foto, tulisan, dan berbagai info yang ingin kita sebarkan serta saling terhubung dengan teman-teman kita. Buatku sendiri Facebook punya satu fungsi lainnya, yaitu tempat untukku menceritakan segala keluh kesahku.

Hal itu persisnya terjadi beberapa tahun lalu. Ketika aku memiliki masalah atau mendapati hal-hal yang membuat aku sedih dan kesal, aku langsung mengambil ponselku dan meng-update status di Facebook. Bahkan masalah keluarga pun pernah aku utarakan di sana. Kadang, kalau aku terlibat konflik atau merasa tidak suka dengan seseorang, aku juga menuliskan kalimat-kalimat sindiran dalam status Facebookku.

Emank susah ya berurusan dengan orang yang pengennya terus menerus dimengerti, merasa dia yang paling benar. Coba kalau sama atasannya di tempat kerja, apa dia masih berani seperti itu?” tulisku di salah satu status Facebookku.

Melampiaskan segala keluhan serta menyindir orang lain di Facebook membuatku merasa puas. Kalau belum update, rasanya selalu tidak tenang. Dengan mencurahkan masalah-masalahku di sana, aku pikir orang lain jadi tahu akan pergumulanku dan mungkin saja mereka akan mendukungku atau ikut menyalahkan orang yang kusindir.

Hingga suatu ketika, aku meng-update status tentang kekesalanku pada pasanganku yang kuanggap tidak mau meluangkan waktu untukku. Ternyata status itu ditanggapi oleh banyak orang, mereka menyemangatiku. Tapi, aku malah menanggapi mereka dengan kembali mengeluh. Aku menceritakan masalah-masalah pribadi antara aku dan pasanganku di komentar. Kemudian, ada seorang kawan menegurku. Dia menuliskan di kolom komentar bahwa masalah pribadiku dengan pasanganku seharusnya tidak diumbar ke media sosial yang jelas-jelas adalah ruang publik, yang bisa dibaca banyak orang. Komentar-komentar keluh kesahku itu tidak akan mengatasi masalah, malah bisa jadi kelak memperbesar masalah.

Saat itu perasaanku campur aduk. Ada rasa kecewa karena tidak suka dikomentari seperti itu, tapi ada juga rasa malu dan menyesal. Aku malu karena ternyata apa yang aku lakukan dengan mencurahkan keluh kesahku di media sosial itu tidak sepenuhnya tepat dan bijak. Malah mungkin juga banyak orang yang melihatnya sebagai contoh yang tidak baik.

Sejak saat itu aku jadi lebih berusaha untuk lebih selektif ketika mau memposting sesuatu di Facebook. Aku malu dan tidak mau sampai ada yang menegurku lagi, aku tidak ingin kalau orang-orang menilai buruk diriku. Namun, kala itu motivasiku hanya sekadar supaya aku tidak dinilai buruk, tidak lebih. Sampai suatu ketika, saat aku sedang mengikuti kelas Alkitab, aku diingatkan bahwa aku harus berhati-hati dengan perkataanku bukan saja supaya aku tidak dicap buruk, tapi terlebih agar nama Tuhan tidak dipermalukan oleh kata-kataku yang tidak memberkati orang lain. Sebagai orang Kristen aku dipanggil untuk menjadi terang yang bercahaya, supaya orang-orang melihat perbuatanku yang baik dan memuliakan Bapa di surga (Matius 5:16).

Apabila kamu pernah mengalami pergumulan serupa denganku, aku mengajakmu untuk merenungkan dua ayat firman Tuhan ini.

1. “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Dulu, media sosial adalah tempat pertamaku untuk menceritakan segala keluh kesahku. Namun sekarang, aku belajar untuk mengungkapkan segala isi hatiku kepada Tuhan. Tuhan adalah Pribadi pertama yang aku cari ketika aku butuh untuk menceritakan sesuatu. Aku mencari Tuhan dengan menaikkan doa secara langsung kepada-Nya, atau menuliskannya di dalam buku catatan pribadiku. Aku merasa saat ini Tuhan adalah teman curhatku juga.

Menjadikan media sosial sebagai tempat pertama mencurahkan masalah mungkin terasa melegakan. Tetapi, itu tidak bisa menjadi solusi untuk mengatasi semua masalah-masalah kita. Bisa jadi kita malah menambah masalah baru dengan tindakan kita yang tidak bijak di sana. Firman Tuhan memberi janji demikian kepada kita: “Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!” (Yeremia 17:7).

Tuhan selalu siap mendengar dan menyelamatkan kita. Tuhan tidak bosan dengan curahan hati kita. Tuhan pun tidak mengabaikan kita ketika kita berbicara kepada-Nya, Dia sanggup menyelamatkan kita dari permasalah-permasalahan yang menjerat kita.

2. “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia” (Efesus 4:29).

Ketika masalah datang, respons hati kita mungkin merasa stres dan panik hingga kita butuh untuk mengungkapkannya dengan segera. Namun, meluapkan perasaan kita secara asal-asalan di media sosial yang adalah ruang publik bukanlah hal yang bijak, apalagi jika perkataan-perkataan yang kita kemukakan di sana adalah kata-kata yang negatif, yang menjelek-jelekkan orang lain, yang menyangkut privasi seseorang.

Kita bisa datang terlebih dahulu kepada Tuhan, memohon hikmat dan pertolongan-Nya. Kalaupun kita ingin mengungkapkan apa yang jadi pergumulan kita di media sosial, kita perlu melakukannya dengan cara yang bijak, dengan kesadaran penuh bahwa kita ingin menjadi berkat di sana. Kita bisa belajar untuk menuliskan sesuatu yang bermakna positif, yang ketika orang lain membacanya, itu bisa menguatkan mereka, menjadi berkat buat mereka. Sekarang, ketika aku hendak menuliskan sesuatu di media sosialku, aku akan berpikir dahulu apakah Tuhan berkenan dengan apa yang akan aku ungkapkan di sana? Selain itu, aku pun belajar untuk bisa menggunakan lidahku dan jariku untuk perkataan-perkataan yang baik, yang benar, yang membangun, yang bisa menjadi berkat bagi orang-orang yang membaca atau mendengarnya.

Pada akhirnya, media sosial adalah sarana yang baik untuk kita berinteraksi dengan sesama kita, tetapi bukanlah tempat pertama dan terbaik untuk kita mengutarakan segala keluh kesah kita. Sebagai orang Kristen, kita memiliki Tuhan yang selalu mendengar kita dalam apapun keadaan kita.

Baca Juga:

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Film Searching secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial, dan juga mengingatkan kita akan satu nilai rohani, yaitu kasih Bapa Surgawi buat kita.

Mengikuti Jalan Allah

Senin, 24 September 2018

Mengikuti Jalan Allah

Baca: Yesaya 30:15-21

30:15 Sebab beginilah firman Tuhan ALLAH, Yang Mahakudus, Allah Israel: “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.” Tetapi kamu enggan,

30:16 kamu berkata: “Bukan, kami mau naik kuda dan lari cepat,” maka kamu akan lari dan lenyap. Katamu pula: “Kami mau mengendarai kuda tangkas,” maka para pengejarmu akan lebih tangkas lagi.

30:17 Seribu orang akan lari melihat ancaman satu orang, terhadap ancaman lima orang kamu akan lari, sampai kamu ditinggalkan seperti tonggak isyarat di atas puncak gunung dan seperti panji-panji di atas bukit.

30:18 Sebab itu TUHAN menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab TUHAN adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia!

30:19 Sungguh, hai bangsa di Sion yang diam di Yerusalem, engkau tidak akan terus menangis. Tentulah Tuhan akan mengasihani engkau, apabila engkau berseru-seru; pada saat Ia mendengar teriakmu, Ia akan menjawab.

30:20 Dan walaupun Tuhan memberi kamu roti dan air serba sedikit, namun Pengajarmu tidak akan menyembunyikan diri lagi, tetapi matamu akan terus melihat Dia,

30:21 dan telingamu akan mendengar perkataan ini dari belakangmu: “Inilah jalan, berjalanlah mengikutinya,” entah kamu menganan atau mengiri.

Bila kamu menyimpang dari jalan, di belakangmu akan terdengar suara-Nya yang berkata, “Inilah jalannya; ikutlah jalan ini.” —Yesaya 30:21 BIS

Mengikuti Jalan Allah

“Ayo, lewat sini,” ujar saya kepada putra saya sambil menyentuh bahunya untuk mengarahkannya melewati kerumunan dan menyusul ibu serta saudara-saudaranya yang berjalan di depan kami. Saya semakin sering melakukannya ketika hari makin larut di taman hiburan yang sedang kami kunjungi. Putra saya mulai lelah dan mudah sekali perhatiannya teralihkan. Mengapa ia sulit sekali membuntuti mereka? saya bertanya-tanya.

Kemudian sesuatu terlintas di benak saya: Seberapa sering saya melakukan hal yang sama? Seberapa sering saya menyimpang dari kesetiaan mengikuti Allah, karena terpikat oleh godaan untuk mengejar kesenangan saya daripada mengikuti jalan-jalan-Nya?

Coba perhatikan perkataan Allah yang disampaikan Nabi Yesaya kepada Israel: “Bila kamu menyimpang dari jalan, di belakangmu akan terdengar suara-Nya yang berkata, ‘Inilah jalannya; ikutlah jalan ini’” (Yes. 30:21 bis). Di bagian awal pasal tersebut, Allah telah menegur umat-Nya karena pemberontakan mereka. Namun, apabila mereka mempercayai kekuatan-Nya daripada jalan mereka sendiri (ay.15), Dia berjanji akan menunjukkan kemurahan dan kasih sayang-Nya (ay.18).

Salah satu ungkapan kemurahan hati Allah adalah janji-Nya untuk membimbing kita melalui Roh Kudus. Hal itu terjadi ketika kita menyatakan kepada-Nya segala kerinduan kita dan berdoa memohon kepada-Nya apa yang telah Dia sediakan bagi kita. Saya bersyukur karena Allah dengan sabar mengarahkan kita, hari lepas hari, langkah demi langkah, ketika kita mempercayai-Nya dan mendengarkan suara-Nya. —Adam Holz

Ya Bapa, Engkau berjanji membimbing kami melewati pasang-surut kehidupan dan keputusan yang harus kami ambil dalam hidup ini. Tolong kami untuk mempercayai dan mengikut-Mu, serta mendengarkan tuntunan suara-Mu dengan saksama.

Allah dengan sabar mengarahkan kita ketika kita mempercayai-Nya dan mendengarkan suara-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 4-5; Galatia 3

Dengarkan Saudara Seimanmu

Minggu, 23 September 2018

Dengarkan Saudara Seimanmu

Baca: Matius 18:15-20

18:15 “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali.

18:16 Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan.

18:17 Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.

18:18 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.

18:19 Dan lagi Aku berkata kepadamu: Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apapun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga.

18:20 Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”

Barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa. —Yakobus 5:20

Dengarkan Saudara Seimanmu

“Dengarkan aku, aku ini kakakmu!” Permohonan yang diucapkan seorang kakak di lingkungan tempat tinggal kami itu ditujukan kepada adiknya yang ingin pergi jauh, dan keputusan itu membuat kakaknya khawatir. Jelaslah sang kakak lebih bijak untuk menentukan apa yang terbaik dalam situasi yang mereka hadapi.

Berapa banyak dari kita yang pernah menolak nasihat bijak dari seseorang? Jika kamu pernah mengalami konsekuensi karena menolak nasihat yang baik dari seseorang yang lebih dewasa, kamu tidak sendirian.

Salah satu berkat terbesar yang kita miliki sebagai orang beriman adalah keluarga di dalam Tuhan, yakni orang-orang yang terhubung secara rohani karena sama-sama beriman kepada Yesus Kristus. Di dalam keluarga iman ini, terdapat pria dan wanita dewasa rohani yang mengasihi Allah dan satu sama lain. Seperti si adik di lingkungan saya tadi, terkadang kita membutuhkan peringatan atau teguran supaya kita kembali ke jalur yang benar. Hal itu benar terutama ketika kita melukai seseorang atau sebaliknya, ketika seseorang melukai kita. Melakukan hal yang benar mungkin sulit. Akan tetapi, perkataan Yesus dalam Matius 18:15-20 menunjukkan kepada kita apa yang perlu dilakukan ketika terjadi pelanggaran di dalam keluarga rohani kita.

Syukurlah, Bapa Surgawi kita yang murah hati menempatkan dalam kehidupan kita orang-orang yang siap menolong upaya kita untuk menghormati Dia dan sesama. Ketika kita mendengarkan mereka, hubungan kita pun akan pulih kembali (ay.15). —Arthur Jackson

Bapa, kami memuji-Mu karena Engkau menempatkan kami di dalam keluarga rohani-Mu. Tolonglah kami untuk belajar dan bertumbuh melalui perkataan yang bijak dan perilaku yang saleh dari saudara seiman kami yang dewasa rohani.

Hikmat tumbuh ketika kita mendengarkan perkataan saudara seiman kita yang dewasa rohani.

Bacaan Alkitab Setahun: Kidung Agung 1-3; Galatia 2

Berkat dari Kehadiran Pendukung

Sabtu, 22 September 2018

Berkat dari Kehadiran Pendukung

Baca: Kisah Para Rasul 9:26-31

9:26 Setibanya di Yerusalem Saulus mencoba menggabungkan diri kepada murid-murid, tetapi semuanya takut kepadanya, karena mereka tidak dapat percaya, bahwa ia juga seorang murid.

9:27 Tetapi Barnabas menerima dia dan membawanya kepada rasul-rasul dan menceriterakan kepada mereka, bagaimana Saulus melihat Tuhan di tengah jalan dan bahwa Tuhan berbicara dengan dia dan bagaimana keberaniannya mengajar di Damsyik dalam nama Yesus.

9:28 Dan Saulus tetap bersama-sama dengan mereka di Yerusalem, dan dengan keberanian mengajar dalam nama Tuhan.

9:29 Ia juga berbicara dan bersoal jawab dengan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani, tetapi mereka itu berusaha membunuh dia.

9:30 Akan tetapi setelah hal itu diketahui oleh saudara-saudara anggota jemaat, mereka membawa dia ke Kaisarea dan dari situ membantu dia ke Tarsus.

9:31 Selama beberapa waktu jemaat di seluruh Yudea, Galilea dan Samaria berada dalam keadaan damai. Jemaat itu dibangun dan hidup dalam takut akan Tuhan. Jumlahnya makin bertambah besar oleh pertolongan dan penghiburan Roh Kudus.

Tetapi Barnabas menerima [Saulus] dan membawanya kepada rasul-rasul. —Kisah Para Rasul 9:27

Berkat dari Kehadiran Pendukung

Film The King’s Speech yang dirilis pada tahun 2010 mengisahkan tentang Raja George VI dari Inggris yang tanpa diduga menjadi raja setelah sang kakak memilih untuk melepas takhtanya. Di saat negara sedang menghadapi ancaman Perang Dunia II, para pejabat pemerintahan menginginkan seorang pemimpin yang fasih bicara karena semakin meningkatnya pengaruh radio di tengah masyarakat. Namun, Raja George VI mempunyai masalah gagap bicara.

Saya sangat terpikat pada peran Elizabeth, istri George, di film itu. Dalam perjuangan George mengatasi kesulitan bicaranya, Elizabeth terus menjadi sumber semangat. Dengan setia, Elizabeth memberikan dukungan yang dibutuhkan George untuk mengatasi masalahnya dan memerintah dengan baik selama masa perang.

Alkitab menyoroti kisah-kisah dari para pemberi semangat yang memberikan dukungan luar biasa dalam situasi-situasi yang sulit. Musa mempunyai Harun dan Hur yang mendukungnya selama Israel berperang (Kel. 17:8-16). Elisabet menguatkan Maria, kerabatnya yang sedang mengandung (Luk. 1:42-45).

Setelah pertobatannya, Paulus membutuhkan dukungan Barnabas, yang namanya secara harfiah berarti “anak penghiburan”. Saat murid-murid ketakutan melihat Paulus, Barnabas mempertaruhkan reputasinya dengan menyatakan dukungannya kepada Paulus (Kis. 9:27). Dukungan Barnabas sangat penting bagi Paulus untuk dapat diterima oleh komunitas Kristen. Barnabas lalu melayani sebagai rekan seperjalanan dan sepelayanan Paulus (Kis. 14). Di hadapan bahaya yang menghadang, mereka bekerja bersama untuk memberitakan Injil.

Hari ini, umat Tuhan yang percaya kepada Yesus Kristus masih dipanggil untuk “[menasihati] seorang akan yang lain dan saling membangun” (1Tes. 5:11). Kiranya kita selalu siap memberikan dorongan dan dukungan kepada orang lain, terutama kepada mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit. —Lisa Samra

Dukungan seorang teman dapat mengubah segalanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkotbah 10-12; Galatia 1

SinemaKaMu: Searching—Sejauh Mana Kamu Akan Pergi untuk Menemukan Orang yang Kamu Kasihi?

Oleh Caleb Young, Australia
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Searching: How Far Will You Go For Your Loved Ones?

Searching adalah film pertama yang disutradarai oleh seorang sutradara berusia 27 tahun yang bernama Anesh Chaganty. Film ini bergenre crime-thriller, dengan John Cho yang berperan sebagai David, seorang ayah yang mati-matian mencari anak perempuannya yang hilang.

Setelah Margot, putri David menghilang, David tidak diperbolehkan untuk berperan aktif dalam investigasi yang dilakukan oleh kepolisian. Jadi, satu-satunya cara yang bisa David lakukan adalah menelusuri jejak digital Margot di dunia maya untuk mencari petunjuk tentang kehilangannya. Disorot dari sudut pandang yang unik, melalui smartphone dan layar laptop, film ini mengeksplorasi berbagai topeng yang kita pakai untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi atau kita rasakan. Melalui lika-liku dalam investigasi tersebut, David belajar betapa sedikitnya yang dia ketahui tentang putrinya sendiri, dan upayanya untuk menemukan kembali putrinya itu akan menjadi perjalanan yang panjang.

Searching bukanlah film pertama yang sudut pandangnya diambil dari layar laptop, tetapi yang paling menarik adalah film ini secara hampir sempurna mampu menunjukkan pengalaman online yang dialami oleh generasi millennial. Dari adegan pertama yang menunjukkan Windows XP sedang dioperasikan, film ini kemudian menampilkan cuplikan-cuplikan nostalgia melalui adegan MSN Messenger, tampilan awal Youtube, hingga versi awal Facebook, seiring kita diajak untuk melihat kenangan-kenangan masa kecil Margot. Adegan lima menit pertama ini sangat menyentuh buatku. Aku belum pernah melihat film dengan efek serupa selain daripada film ini dan film Up dari Pixar yang membuatku terharu.

Film Searching ini pun kemudian menceritakan tentang penggunaan aplikasi komunikasi di zaman ini seperti Facetime dan iMessage beserta media sosial lainnya yang terkenal seperti Instagram, Facebook, dan bahkan Tumblr untuk mengungkap cerita di balik hilangnya Margot. David bahkan menggunakan Google Sheets dan Google Maps untuk menolongnya melakukan investigasi pribadi untuk menemukan Margot. Chaganty, sang sutradara, menambahkan detail-detail kecil seperti panggilan video call yang gambarnya terputus-putus, salah ketik ketika berkirim pesan, atau keputusan untuk menghapus tulisan sepanjang 200 kata dan menggantinya dengan sebuah kalimat pendek yang tegas, untuk menambahkan nuansa yang lebih nyata dari pengalaman online.

Walaupun teknik pembuatan film yang digunakan untuk membentuk cerita Searching membuat film ini unik, daya tarik emosional dari karakter David dan Margotlah yang membuat film ini menjadi film yang bagus. Beberapa komentar yang beredar tentang film Searching adalah film ini merupakan film terkenal Hollywood pertama yang menjadikan seorang aktor dari Asia sebagai karakter utamanya. Menariknya, meskipun John Cho adalah seorang keturunan Korea, tetapi itu tidak mempengaruhi penggambaran karakter David. Film ini lebih berfokus pada tema yang lebih universal, tema tentang dinamika keluarga yang rumit, tentang kedukaan dan kehilangan, dan—yang paling menonjol—adalah tentang kasih seorang ayah.

Kasih seorang ayah inilah tema yang paling berbicara kepadaku ketika aku merenungkan film tersebut. Aku diingatkan akan perumpamaan Yesus tentang domba yang hilang (Lukas 15:1-7) di mana Yesus menceritakan tentang seorang Gembala yang akan “meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor” domba-Nya dan “pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya” (Lukas 15:4).

Di dalam film Searching, David menemukan banyak hal yang awalnya dia kira tidak mungkin dilakukan oleh putrinya. David menemukan bagaimana Margot selama ini menipunya dan melalukan perbuatan yang dia tidak percaya akan dilakukan oleh putrinya. Pada suatu titik dalam film ini, David meratap kepada seseorang yang menjadi pemimpin investigasi, “Aku tidak mengenalnya. Aku tidak mengenal putriku.” Meskipun temuan-temuan tersebut mengguncang David, tetapi tujuan utama David untuk menemukan putrinya tidaklah goyah.

Seperti kegigihan David, tak peduli apapun keadaannya, kasih Allah kepada kita selalu tetap dan tidak tergoyahkan. Namun, berbeda dengan David, Bapa kita di surga mengenal anak-anak-Nya dengan intim. Dia mengetahui topeng-topeng yang kita kenakan dan kebohongan-kebohongan apakah yang kita sampaikan kepada orang-orang supaya kita bisa berbaur atau diterima oleh mereka. Bapa tahu tentang perilaku-perilaku berdosa kita. Bapa juga tahu bahwa kita akan membuat-Nya kecewa, tidak taat kepada-Nya dan mengikuti kemauan kita sendiri. Meski begitu, Bapa tetap akan meninggalkan yang “sembilan puluh sembilan ekor domba” dan mencari kita dengan kerinduan yang jauh lebih besar daripada yang David tunjukkan dalam film tersebut. Bahkan, Bapa kita di surga telah memberikan persembahan terbaik-Nya untuk kita, bukan karena kebaikan apapun yang ada dalam kita, tetapi karena kasih-Nya yang besar untuk kita anak-anak-Nya.

Aku berharap kita takkan pernah harus mengalami apa yang David dan Margot alami dalam film tersebut. Doaku adalah kiranya setiap kita dapat merasakan kasih Bapa di surga dan mengizinkan diri kita untuk ditemukan oleh-Nya ketika kita kehilangan arah.

Artikel ini diterjemahkan oleh Arie Yanuardi
Gambar artikel diambil dari Official Trailer

Baca Juga:

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku sebagai seorang yang terlahir Albino melalui tulisan ini.

Cara-Cara yang Tak Terduga

Jumat, 21 September 2018

Cara-Cara yang Tak Terduga

Baca: 1 Raja-Raja 19:1-12

19:1 Ketika Ahab memberitahukan kepada Izebel segala yang dilakukan Elia dan perihal Elia membunuh semua nabi itu dengan pedang,

19:2 maka Izebel menyuruh seorang suruhan mengatakan kepada Elia: “Beginilah kiranya para allah menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jika besok kira-kira pada waktu ini aku tidak membuat nyawamu sama seperti nyawa salah seorang dari mereka itu.”

19:3 Maka takutlah ia, lalu bangkit dan pergi menyelamatkan nyawanya; dan setelah sampai ke Bersyeba, yang termasuk wilayah Yehuda, ia meninggalkan bujangnya di sana.

19:4 Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: “Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku.”

19:5 Sesudah itu ia berbaring dan tidur di bawah pohon arar itu. Tetapi tiba-tiba seorang malaikat menyentuh dia serta berkata kepadanya: “Bangunlah, makanlah!”

19:6 Ketika ia melihat sekitarnya, maka pada sebelah kepalanya ada roti bakar, dan sebuah kendi berisi air. Lalu ia makan dan minum, kemudian berbaring pula.

19:7 Tetapi malaikat TUHAN datang untuk kedua kalinya dan menyentuh dia serta berkata: “Bangunlah, makanlah! Sebab kalau tidak, perjalananmu nanti terlalu jauh bagimu.”

19:8 Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb.

19:9 Di sana masuklah ia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

19:10 Jawabnya: “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.”

19:11 Lalu firman-Nya: “Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!” Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu.

19:12 Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.

Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa. —Yohanes 14:9

Cara-Cara yang Tak Terduga

Pada tahun 1986, Levan Merritt yang berusia 5 tahun terjatuh dari ketinggian 6 m ke dalam kandang gorila di kebun binatang Jersey, Inggris. Saat orangtua Levan dan para pengunjung berteriak minta tolong, muncullah gorila jantan dewasa bernama Jambo. Jambo pun berdiri di antara Levan yang tak berdaya dan beberapa gorila lainnya. Lalu dengan lembut, Jambo membelai punggung Levan. Ketika Levan mulai menangis, Jambo mengarahkan gorila-gorila lain ke kandang mereka masing-masing. Pada saat itulah, para penjaga kebun binatang dan ambulans datang menyelamatkan Levan. Lebih dari 30 tahun kemudian, Levan masih ingat bagaimana Jambo, si gorila raksasa yang lembut itu, telah bertindak dengan cara yang sangat mengejutkan, dan membuat persepsi Levan tentang gorila berubah selamanya.

Elia mungkin mengharapkan Allah bertindak dengan cara-cara tertentu. Namun, Allah memakai angin kencang yang memecahkan bukit batu, gempa dahsyat, dan api untuk menunjukkan kepada nabi-Nya agar jangan berpikir seperti itu tentang diri-Nya. Allah lalu memakai bisikan lembut untuk menyatakan isi hati dan hadirat-Nya (1Raj. 19:11-12).

Elia sudah pernah melihat kuasa Allah (18:38-39). Namun, ia tidak sepenuhnya memahami Pribadi yang ingin dikenal tidak hanya sebagai yang lebih hebat dan dahsyat dibandingkan allah-allah lain (19:10,14).

Pada akhirnya, bisikan lembut itu terwujud sepenuhnya dalam kelembutan Yesus yang penuh kuasa, dan Dia berkata, “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa” (Yoh. 14:9). Kemudian Yesus dengan tenang menyerahkan diri-Nya dipaku di kayu salib—suatu tindakan yang tak terduga dan penuh belas kasih dari Allah Mahakuasa yang mengasihi kita. —Mart DeHaan

Bapa di surga, tolonglah kami untuk dikuatkan oleh bisikan-Mu yang lembut, dan dalam cara-cara yang ditunjukkan Anak-Mu. Kasihanlah kami karena tak mampu melihat lebih jauh bahwa ternyata ada kasih di balik kedahsyatan kuasa-Mu.

Allah takkan berteriak jika yang kita perlukan hanyalah bisikan.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkhotbah 7-9; 2 Korintus 13

Artikel Terkait:

Kamu Berharga di Mata Tuhan

Menemukan Pengharapan

Kamis, 20 September 2018

Menemukan Pengharapan

Baca: Roma 5:1-11

5:1 Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus.

5:2 Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah.

5:3 Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,

5:4 dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan.

5:5 Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.

5:6 Karena waktu kita masih lemah, Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah.

5:7 Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar—tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati—.

5:8 Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.

5:9 Lebih-lebih, karena kita sekarang telah dibenarkan oleh darah-Nya, kita pasti akan diselamatkan dari murka Allah.

5:10 Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!

5:11 Dan bukan hanya itu saja! Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu.

Harapan yang seperti ini tidak akan mengecewakan kita, sebab hati kita sudah diisi oleh Allah dengan kasih-Nya. Allah melakukan itu dengan perantaraan Roh-Nya, yang sudah diberikan kepada kita. —Roma 5:5 BIS

Menemukan Pengharapan

Elizabeth pernah sangat lama bergumul dengan masalah kecanduan obat terlarang. Setelah pulih, ia ingin menolong orang lain yang mengalami pergumulan serupa. Ia pun mulai membuat tulisan-tulisan pendek dan secara anonim menyebarkannya di kota tempat tinggalnya. Elizabeth menyelipkan tulisannya pada pembersih kaca mobil dan menempelkannya pada tiang-tiang taman. Dahulu ia merindukan pengharapan, tetapi sekarang ia meneruskan pengharapan kepada orang lain dengan apa yang bisa ia lakukan. Salah satu tulisan pendeknya diakhiri dengan kata-kata ini: “Engkau dikasihi. Teruslah berharap.”

Pengharapan yang penuh kasih—itulah yang Yesus berikan. Dia memberi kita kasih-Nya hari demi hari dan menguatkan kita dengan pengharapan itu. Kasih-Nya tidak diberikan kepada kita sedikit demi sedikit, melainkan mengalir dari hati-Nya dengan berlimpah dan dicurahkan di dalam hati kita: “Harapan . . . ini tidak akan mengecewakan kita, sebab hati kita sudah diisi oleh Allah dengan kasih-Nya” (Rm. 5:5 bis). Allah bermaksud menggunakan masa-masa sulit untuk membentuk ketekunan dan karakter kita, dan memberi kita kehidupan yang berlimpah dengan pengharapan (ay.3-4). Sekalipun kita sedang menjauh dari Allah, Dia tetap mengasihi kita (ay.6-8).

Apakah kamu sedang merindukan pengharapan? Tuhan memberi kita pengharapan yang penuh kasih lewat ajakannya kepada kita untuk bertumbuh dalam hubungan kita dengan-Nya. Pengharapan kita untuk memiliki hidup yang berkelimpahan disandarkan pada kasih-Nya yang tak berkesudahan. —Anne Cetas

Tuhan, aku bersyukur atas kasih yang Engkau curahkan bagiku. Berilah aku kepuasan di dalam-Mu dan keyakinan terhadap semua yang Engkau lakukan di dalam hidupku.

Pengharapan adalah sauh bagi jiwa kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkhotbah 4-6; 2 Korintus 12

Catatan Hidupku Sebagai Seorang Albino

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Halo kawan, perkenalkan namaku Anatasya, atau kerap disapa Ana. Aku ingin membagikan cerita pengalamanku kepadamu lewat tulisan ini.

Aku adalah seorang yang mengalami albinisme. Sewaktu aku kecil, aku merasa diriku tidak ada bedanya dengan teman-temanku lainnya. Ketika aku beranjak dewasa, barulah aku menyadari bahwa ada yang berbeda dari fisikku dengan teman-temanku lainnya. Awalnya aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhku, hingga saat aku duduk di bangku SMP, aku mulai mencari tahu. Aku pun mendapati bahwa diriku mengalami albinisme.

Albinisme adalah suatu kelainan pada produksi melanin yang mengakibatkan penderitanya kekurangan melanin, atau sama sekali tidak memiliki pigmen tersebut. Akibatnya, rambutku, kulitku, dan mataku terlihat sangat pucat atau putih. Penderita albinisme biasa disebut sebagai orang albino. Aku kurang tahu pasti apa yang mengakibatkanku mengalami ini, namun setahuku kelainan ini bisa juga disebabkan karena faktor keturunan. Nenek buyutku juga adalah seorang albino.

Keadaan fisikku ini lumayan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hariku. Aku tidak bisa terlalu banyak terkena sinar matahari karena kulitku begitu sensitif. Lalu, ada juga dampak sosial yang kualami. Orang-orang sering memandangiku, mungkin karena mereka baru pertama kali melihat seorang albino. Saat aku sedang jalan di tempat yang ramai misalnya, banyak orang akan melihat kepadaku dengan penasaran. Aku seolah menjadi pusat perhatian dan bahkan ada di antara mereka yang bertanya-tanya hal aneh seperti apa yang ibuku makan waktu ia hamil sehingga aku bisa menjadi albino. Bahkan, ada beberapa juga yang mengajakku berfoto.

Lalu, di sekolah pun ada beberapa temanku yang merasa risih dengan perbedaan fisikku. Mereka mengolok-olokku: “Pucat seluruh badan”, turis masuk kampung!”, “mayat hidup berjalan!”. Meski begitu, aku mengucap syukur karena tidak semua temanku bersikap demikian. Ada juga yang tetap memandang dan memperlakukanku dengan baik.

Saat ada orang yang menghinaku seperti itu, awalnya aku selalu menangis dan merasa tidak terima dengan keadaanku yang seperti itu. Meski aku tahu perbedaanku hanyalah pada pigmen di kulit, tapi astaga, mengapa respons yang diberikan sampai seperti itu.

Aku pun mencoba menceritakan pergumulan ini kepada orangtuaku. Aku bersyukur karena mereka selalu mengajarkanku bahwa aku sesungguhnya tidak berbeda dari teman-temanku yang lain; aku tetap bisa beraktivitas, bermain, dan belajar sama seperti anak-anak lainnya. Lalu, orang tuaku juga meyakinkanku bahwa aku tidak perlu marah ketika teman-temanku mengolokku. Katanya, olokan mereka adalah suatu bentuk perhatian mereka kepadaku, hanya mungkin caranya yang salah. Aku pun diajar mereka untuk selalu berdoa meminta kekuatan pada Tuhan. Berkat dukungan inilah aku memiliki tekad untuk tidak kecewa, sedih, dan marah terus-terusan. Kehidupan ini terus berlanjut, entah itu kalau aku menerima keadaan fisikku ataupun tidak. Jadi, kupikir hanya buang-buang waktu saja kalau aku larut dalam rasa kecewa.

Orang tuaku pun mendukungku dengan memberiku nasihat-nasihat berdasarkan firman Tuhan. Di mata Tuhan, kita semua adalah sama. Untuk setiap kekurangan yang ada dalam hidup kita, Tuhan pun sesungguhnya memberikan kelebihan. Namun, segala dukungan itu masih belum membuatku benar-benar mengerti mengapa Tuhan membuatku keadaanku seperti ini. Hingga suatu ketika, dalam sebuah ibadah keluarga, renungan yang disampaikan itu menegurku. Tuhan memiliki rencana atas kehidupan kita masing-masing, dan aku ingat betul inti dari renungan itu terdapat dalam Yeremia 29:11.

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Seusai ibadah itu, aku pun merenungkan ayat yang baru saja kudengar itu. Di rumah, aku berdoa memohon bimbingan Tuhan supaya aku dapat mengerti apa yang jadi kehendak Tuhan lewat renungan tersebut. Dan pada akhirnya, aku pun mengerti bahwa Tuhan memiliki rencana yang terbaik untuk kehidupanku melalui perbedaan fisik yang aku miliki. Tuhan tidak menciptakanku dengan kesalahan. Pun Dia tidak meninggalkanku sendirian. Tuhan menunjukkan kasih-Nya juga melalui orang tuaku dan sahabatku yang selalu mendampingiku.

Sekarang, aku tidak lagi memandang albinismeku sebagai kekurangan, melainkan sebagai sebuah keunikan dari Tuhan yang tidak semua orang miliki, dan aku bersyukur untuk hal itu. Meski terkadang ada masa di mana rasa minder itu muncul, tetapi ketika itu terjadi, aku berdoa dalam hati meminta kekuatan dari Tuhan, supaya aku tidak larut dalam perasaan tersebut.

Kepada teman-temanku yang mau berteman denganku, aku mau menjalin relasi sebaik mungkin dengan mereka. Aku sangat menghargai kesediaan hati mereka. Kepada teman-temanku yang masih mengolokku, aku pun belajar untuk menghormati mereka. Aku tidak akan marah dan tidak akan memasukkan olokan-olokan tersebut ke dalam hatiku.

Kelak, aku ingin terus memuliakan Tuhan lewat kehidupanku. Aku ingin menjadi seorang guru Bahasa Inggris supaya aku bisa mendidik generasi yang akan datang dengan terang firman Tuhan.

Baca Juga:

Bolehkah Orang Kristen Bergosip?

Gosip tidak melulu berita-berita tentang public figure, bisa juga tentang orang-orang di sekitar kita: teman kampus, kolega di kantor, atau juga sesama jemaat di gereja kita. Bahkan di Instagram, ada sebuah akun gosip yang followersnya mencapai 5,3 juta!

Waktu yang Tepat

Rabu, 19 September 2018

Waktu yang Tepat

Baca: Pengkhotbah 3:1-14

3:1 Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

3:2 Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;

3:3 ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;

3:4 ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;

3:5 ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;

3:6 ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;

3:7 ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;

3:8 ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.

3:9 Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?

3:10 Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.

3:11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

3:12 Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka.

3:13 Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah.

3:14 Aku tahu bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah akan tetap ada untuk selamanya; itu tak dapat ditambah dan tak dapat dikurangi; Allah berbuat demikian, supaya manusia takut akan Dia.

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. —Pengkhotbah 3:11

Waktu yang Tepat

Kemarin saya memesan tiket pesawat dengan tujuan untuk mengantar putri sulung saya yang akan memulai kuliahnya. Entah berapa banyak air mata yang telah tercurah ke atas keyboard komputer selama saya mencari-cari tiket tersebut. Saya telah menikmati hidup yang indah bersama putri saya selama 18 tahun sehingga saya merasa begitu sedih atas kepergiannya. Namun, saya tidak akan tega merampas masa depannya hanya karena saya akan sangat merindukannya. Inilah waktu yang tepat bagi putri saya untuk memulai perjalanan baru menuju kedewasaan dengan menjelajahi bagian lain dari negara ini.

Dengan tuntasnya masa pengasuhan saya sebagai orangtua, dimulailah suatu masa yang baru. Pastilah perubahan itu akan memberikan tantangan sekaligus kesenangan baru. Salomo, raja ketiga Israel, menuliskan bahwa Allah sudah menetapkan “untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya” (Pkh. 3:1). Sebagai manusia, kita tidak mempunyai kendali penuh atas setiap peristiwa dalam kehidupan kita, baik peristiwa yang kita anggap menguntungkan ataupun yang tidak. Namun Allah, dengan kuasa-Nya yang dahsyat, “membuat segala sesuatu indah pada waktunya” (ay.11).

Di masa-masa yang menyakitkan, kita dapat mempercayai Allah bahwa Dia akan mendatangkan kebaikan dari kepedihan-kepedihan itu pada waktunya. Penghiburan dan sukacita kita bisa datang dan pergi, tetapi karya Allah “akan tetap ada untuk selamanya” (ay.14). Mungkin tidak setiap masa akan kita nikmati—karena sebagian di antaranya memang pedih—tetapi Allah tetap dapat mendatangkan keindahan di dalam segala masa yang ada. —Kirsten Holmberg

Bapa, Engkau telah mengizinkan aku melalui masa-masa ini dalam hidupku. Tolong aku untuk merasa tenang di dalam apa pun yang kualami, dan menyadari bahwa Engkau tetap bekerja dalam kuasa dan kebesaran-Mu.

Allah mendatangkan keindahan di setiap masa kehidupan.

Bacaan Alkitab Setahun: Pengkhotbah 1-3; 2 Korintus 11:16-33