Sudut Pandang yang Sempurna

Sabtu, 18 Agustus 2018

Sudut Pandang yang Sempurna

Baca: Mazmur 102:1-3, 19-29

102:1 Doa seorang sengsara, pada waktu ia lemah lesu dan mencurahkan pengaduhannya ke hadapan TUHAN.102:2 TUHAN, dengarkanlah doaku, dan biarlah teriakku minta tolong sampai kepada-Mu.

102:3 Janganlah sembunyikan wajah-Mu terhadap aku pada hari aku tersesak. Sendengkanlah telinga-Mu kepadaku; pada hari aku berseru, segeralah menjawab aku!

102:4 Sebab hari-hariku habis seperti asap, tulang-tulangku membara seperti perapian.

Ia telah memandang dari ketinggian-Nya yang kudus. —Mazmur 102:20

Sudut Pandang yang Sempurna

Ketika berada di London, seorang teman mengatur agar saya dan Marlene, istri saya, mengunjungi Sky Garden. Letaknya di lantai teratas dari sebuah gedung setinggi 35 tingkat di kawasan bisnis London. Sky Garden adalah sebuah ruangan besar berdinding kaca yang dipenuhi beragam tanaman, pepohonan, dan bunga. Namun, bagian sky (langit) sempat menarik perhatian kami. Kami menatap ke bawah dari ketinggian lebih dari 150 m, mengagumi Katedral St. Paul, Menara London, dan masih banyak lagi. Pemandangan ibu kota yang kami lihat itu sungguh membuat kami tak bisa berkata-kata sekaligus memberi kami pelajaran bermanfaat tentang sudut pandang.

Allah kita memiliki sudut pandang yang sempurna terhadap segala hal yang kita alami. Pemazmur menulis, “Sebab Ia telah memandang dari ketinggian-Nya yang kudus, Tuhan memandang dari sorga ke bumi, untuk mendengar keluhan orang tahanan, untuk membebaskan orang-orang yang ditentukan mati dibunuh” (Mzm. 102:20-21).

Seperti orang-orang yang menderita dalam Mazmur 102, kita sering kali hanya bisa melihat masa sekarang dengan segala pergumulannya. Kita mengungkapkan “keluhan” kita dalam keputusasaan. Namun, Allah melihat hidup kita dari awal sampai akhir. Tuhan kita tidak pernah dibuat lengah oleh hal-hal yang tak kita ketahui. Sebagaimana dinanti-nantikan oleh sang pemazmur, sudut pandang Allah yang sempurna akan membawa pada pembebasan terbesar yang memerdekakan, bahkan bagi mereka yang telah “ditentukan mati dibunuh” (ay.21, 28-29).

Dalam momen-momen yang sulit, ingatlah: Mungkin kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan kita, tetapi Tuhan kita tahu. Kita dapat mempercayakan setiap momen yang terbentang di hadapan kita kepada-Nya. —Bill Crowder

Memusatkan pandangan kita kepada Kristus akan membuat kita mempunyai sudut pandang yang benar terhadap segala sesuatu yang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 100-102; 1 Korintus 1

Doaku untuk Indonesia

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Tuhan, aku bersyukur atas bangsa Indonesia yang hari ini memperingati kemerdekaan-Nya.
Aku bersyukur atas segala kekayaan alam yang Kau limpahkan di negeri ini.
Pun, aku bersyukur atas segala keragaman yang Kau karuniakan di bangsa ini.

Namun, Tuhan, di balik segala hal baik yang tampak menghiasi negeriku, aku melihat ada banyak hal buruk yang tidak berkenan kepada-Mu terjadi di sini. Di balik kekayaan alamnya, ada orang-orang yang hidupnya terjerat dalam kemiskinan. Di balik keragaman yang menjadikan bangsa ini kaya, ada perseteruan-perseteruan yang meruncing karena tidak ada saling pengertian.

Tuhan, kadang aku merasa sedih dan ingin menutup mataku dari segala hal yang tampak buruk tersebut.

Tapi, ingatkan aku Tuhan, bahwa Engkau tidak pernah berhenti mengasihi Indonesia. Maka, sudah seharusnya pula aku terus belajar untuk mengasihi bangsaku.

Ajar aku untuk selalu mendoakan bangsaku, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanku (Yeremia 29:7).

Ajar aku untuk menghormati pemimpin-pemimpinku, sebab merekalah yang Engkau tetapkan untuk memerintah bangsa ini (Roma 13:1).

Aku percaya, Tuhan, bahwa ketika aku dan umat-Mu bersama-sama bertekun mencari wajah-Mu dan merendahkan diri di hadapan-Mu, serta berbalik dari jalan-jalan kami yang jahat, Engkau mendengar seruan kami dan kiranya Engkau berkenan untuk memulihkan negeri kami.

Terima kasih ya Tuhan. Dalam nama Yesus.

Amin.

Baca Juga:

Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Jumat, 17 Agustus 2018

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Baca: Matius 14:22-33

14:22 Sesudah itu Yesus segera memerintahkan murid-murid-Nya naik ke perahu dan mendahului-Nya ke seberang, sementara itu Ia menyuruh orang banyak pulang.

14:23 Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ.

14:24 Perahu murid-murid-Nya sudah beberapa mil jauhnya dari pantai dan diombang-ambingkan gelombang, karena angin sakal.

14:25 Kira-kira jam tiga malam datanglah Yesus kepada mereka berjalan di atas air.

14:26 Ketika murid-murid-Nya melihat Dia berjalan di atas air, mereka terkejut dan berseru: “Itu hantu!”, lalu berteriak-teriak karena takut.

14:27 Tetapi segera Yesus berkata kepada mereka: “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!”

14:28 Lalu Petrus berseru dan menjawab Dia: “Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air.”

14:29 Kata Yesus: “Datanglah!” Maka Petrus turun dari perahu dan berjalan di atas air mendapatkan Yesus.

14:30 Tetapi ketika dirasanya tiupan angin, takutlah ia dan mulai tenggelam lalu berteriak: “Tuhan, tolonglah aku!”

14:31 Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia dan berkata: “Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?”

14:32 Lalu mereka naik ke perahu dan anginpun redalah.

14:33 Dan orang-orang yang ada di perahu menyembah Dia, katanya: “Sesungguhnya Engkau Anak Allah.”

Segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia. —Matius 14:31

Yesus Mengulurkan Tangan-Nya

Terkadang hidup menjadi begitu sibuk—pelajaran yang sulit, pekerjaan yang melelahkan, kamar mandi yang perlu dibersihkan, dan janji pertemuan yang telah dijadwalkan hari ini. Saya pun tiba pada titik di mana saya harus memaksakan diri untuk membaca Alkitab selama beberapa menit dalam sehari sambil berjanji pada diri sendiri untuk menghabiskan lebih banyak waktu bersama Tuhan minggu depan. Namun, tidak butuh waktu lama bagi saya untuk teralihkan perhatiannya, kembali tenggelam dalam tugas-tugas pada hari itu, dan lupa meminta pertolongan Allah dalam bentuk apa pun.

Ketika Petrus berjalan di atas air hendak mendatangi Yesus, perhatiannya begitu cepat teralihkan oleh angin dan ombak. Seperti saya, ia mulai tenggelam (Mat. 14:29-30). Namun, begitu Petrus berseru, dengan “segera Yesus mengulurkan tangan-Nya, memegang dia” (ay.30-31).

Saya sering merasa seolah-olah harus menebus kegagalan saya kepada Allah setelah bekerja begitu sibuk dan perhatian saya teralihkan sampai-sampai saya melupakan kehadiran-Nya. Namun, Allah tidak menghendaki itu. Begitu kita berpaling kepada-Nya untuk meminta pertolongan, Yesus segera mengulurkan tangan-Nya tanpa ragu-ragu.

Ketika kita digoyahkan oleh berbagai kekalutan hidup, begitu mudahnya kita melupakan bahwa Allah hadir di tengah badai bersama kita. Yesus bertanya kepada Petrus, “Mengapa engkau bimbang?” (ay.31). Apa pun yang kita alami, Allah hadir. Dia hadir di sini. Dia mendampingi kita, dahulu maupun sekarang, dan siap mengulurkan tangan-Nya untuk menyelamatkan kita. —Julie Schwab

Tuhan, tolonglah aku untuk berpaling kepada-Mu di tengah kesibukan dan berbagai hal dalam hidup yang mengalihkan perhatianku. Terima kasih karena Engkau selalu hadir, menyertai, dan siap untuk menyelamatkanku.

Allah menunggu kita untuk berpaling kepada-Nya agar Dia dapat mengulurkan tangan-Nya dan menolong kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 97-99; Roma 16

Mendapatkan Sebuah Tujuan

Ilustrasi oleh: Paulina Sangar (@caramel_art)

Mungkin kamu tidak yakin akan karir yang harus kamu capai atau jalan mana yang harus ditempuh. Kamu bisa menjadi sedih dan khawatir, karena seolah tidak ada jawaban pasti.

Tetapi LIHATLAH lebih dekat! Ada satu hal yang dapat kamu yakini: KAMU PUNYA TUJUAN. Ada sebuah tujuan yang Tuhan sedang tenun hanya untukmu dan menanti untuk memberikannya padamu!

Seperti yang tertulis di dalam Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Baik itu membantu dengan tugas-tugas di rumah atau mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, marilah kita bersukacita dalam melakukan perbuatan baik – baik kecil maupun besar – ketika mereka mengarahkan orang lain pada cinta dan kasih karunia Allah.

Ketika kita mencari Allah dan tetap fokus pada-Nya, Dia akan memberikan tujuan-Nya kepada kita.

Hati yang Lapar

Kamis, 16 Agustus 2018

Hati yang Lapar

Baca: Yohanes 6:32-40

6:32 Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga, melainkan Bapa-Ku yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga.

6:33 Karena roti yang dari Allah ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberi hidup kepada dunia.”

6:34 Maka kata mereka kepada-Nya: “Tuhan, berikanlah kami roti itu senantiasa.”

6:35 Kata Yesus kepada mereka: “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.

6:36 Tetapi Aku telah berkata kepadamu: Sungguhpun kamu telah melihat Aku, kamu tidak percaya.

6:37 Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang.

6:38 Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.

6:39 Dan Inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman.

6:40 Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman.”

Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi. —Yohanes 6:35

Hati yang Lapar

Saat berkendara bersama suami, saya melihat-lihat e-mail di ponsel saya dan dikejutkan oleh munculnya iklan sebuah toko donat di kota saya. Toko itu baru saja kami lewati! Tiba-tiba saja perut saya keroncongan karena lapar. Alangkah hebatnya cara teknologi memungkinkan para penjual merayu kita untuk mencoba produk atau jasa mereka.

Sembari menutup e-mail tersebut, saya teringat kepada Allah yang terus-menerus rindu menarik saya mendekat kepada-Nya. Dia selalu mengetahui di mana saya berada dan rindu untuk mempengaruhi pilihan-pilihan yang saya buat setiap hari. Saya bertanya-tanya, Apakah hati saya juga begitu mendambakan-Nya seperti perut saya yang lapar karena menginginkan donat?

Dalam Yohanes 6, setelah mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang, para murid sangat berharap Yesus akan selalu memberi mereka “roti yang . . . memberi hidup kepada dunia” (ay.33-34). Yesus menanggapi di ayat 35, “Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku, ia tidak akan haus lagi.” Sungguh luar biasa bagaimana hubungan pribadi dengan Yesus dapat selalu memberikan asupan rohani yang kita butuhkan sehari-hari!

Iklan toko donat tadi menyasar kelaparan jasmani saya, tetapi pengetahuan Allah yang sempurna akan kondisi hati saya telah mendorong saya untuk mengenali kebutuhan saya yang tiada habisnya akan Dia dan untuk menerima kepuasan sejati yang hanya dapat ditemukan di dalam Dia. —Elisa Morgan

Ya Allah, ingatkan aku bahwa aku membutuhkan kehadiran-Mu setiap hari.

Hanya Yesus yang menyediakan roti yang benar-benar memuaskan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 94-96; Roma 15:14-33

Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Quarter-Life Crisis: The Day I Went Berserk

Aku tahu ada sesuatu yang salah ketika aku mulai menendangi kardus-kardus di bawah mejaku.

Biasanya, aku adalah seorang yang tenang, mampu menahan diri. Tapi, hari itu, ada sesuatu dalam diriku yang tersentak. Seseorang meneleponku dengan nada dan instruksi yang membuat emosiku terpancing. Sesuatu dalam diriku menahanku untuk berteriak, tapi kakiku bergerak-gerak karena kesal, dan aku mengalihkan amarahku dengan menendangi kardus yang biasanya kuletakkan di bawah mejaku sebagai tumpuan kakiku.

Kamu bisa membayangkan kelanjutannya seperti apa. Seorang pria yang biasanya pendiam, meraih ponsel, menggerak-gerakkan jemarinya sambil berkata: “Oke, oke, aku mengerti, akan kulakukan,” dengan nada yang paling lembut—meski di bawah meja, kakinya menghentak-hentak lantai. Di sekelilingnya, rekan-rekan kerjanya memandangnya dengan heran, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu setelahnya, aku keluar dari pekerjaanku. Sembilan tahun berkutat di dunia jurnalistik berakhir sudah. Satu karier telah selesai.

Setelah kemarahanku itu, aku meminta maaf kepada bosku dan dia menerima maafku. Keputusan mundur dari pekerjaan ini adalah karena aku merasa kelelahan, dan aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.

Sebelumnya, selama beberapa bulan aku merasa semakin lelah dan ingin sekali bisa tertidur nyenyak, karena biasanya ketika aku bangun, aku merasa tidak ada di dunia nyata. Jam-jam panjang di ruang redaksi mengambil alih waktuku, dan semakin sulit buatku karena beberapa pekerjaan seperti mewawancarai orang itu bukanlah sesuatu yang nyaman kukerjakan. Aku pernah mendengar kalau kesulitan tidur dan bangun adalah tanda-tanda dari kemungkinan depresi, dan aku bertanya-tanya apakah ini sedang terjadi juga kepadaku. Kinerjaku juga menurun: aku bekerja tanpa peduli lagi apakah aku sudah mencapai standar minimal, dan seringkali aku mengabaikan instruksi dari atasanku. Sekali waktu, ketika aku ditugaskan mendatangi sebuah acara, aku malah meminjam mobil orang tuaku dan mengemudi tanpa tujuan selama dua jam. (Tidak ada yang mengetahui ini karena aku tetap bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari acara itu.)

Mengundurkan diri dari pekerjaan ini membuatku lega.

Akhirnya, aku bisa berhenti menyeret diriku dari kasur setiap pagi untuk menghadapi kenyataan. Aku bisa terbebas dari akhir pekan yang mengerikan karena pekerjaan-pekerjaan di hari kerja. Aku bisa berhenti dari memaksakan diri untuk berlama-lama di ruang redaksi dan membenci setiap pekerjaan yang datang kepadaku. Aku bisa berhenti dari memikirkan fantasi tentang menjadi kaya dalam semalam supaya aku tidak perlu lagi bekerja. (Atau, fantasi tentang kantor yang tiba-tiba kebakaran dalam semalam supaya besok pagi aku tidak perlu bekerja lagi.)

Tapi, itu hanyalah fantasi. Aku masuk ke pekerjaan itu dengan penuh antusias sebagai orang yang belum berpengalaman, namun, aku menjadi letih selama bertahun-tahun setelahnya karena jam kerja yang panjang dan stres yang terus menerus menguras energiku.

Keluar dari pekerjaan ini bukanlah keputusan yang mudah, meski aku sudah melakukannya. Di benakku, ada dua pemikiran yang terngiang-ngiang.

Pertama: “Apakah aku lemah? Apakah aku mencari jalan keluar yang paling mudah?” Generasi yang lebih muda sering disebut sebagai “Generasi Stroberi” (Kamu tahu mengapa? Karena seperti stroberi yang kalau ditekan jadi memar, mereka juga seperti itu). Dan, sepertinya aku termasuk dalam generasi itu. “Mengapa, generasi yang lebih tua bekerja selama 40 tahun tanpa libur, dan mereka tidak mengeluh. Kamu belum sampai 10 tahun dan sudah kelelahan?”

Kedua: “Apakah ini kehendak Tuhan?” Apakah aku lebih dulu menyerah sebelum Tuhan membentuk dan mengubahku menjadi orang yang lebih baik? Apakah aku melarikan diri dari proses pendisiplinan-Nya?

Sejujurnya, sampai hari ini pun aku belum bisa benar-benar menjawab pertanyaan ini. Mungkin aku tidak hanya berjuang dari kelelahan, tapi juga bergumul dengan quarter-life crisis saat aku berusaha menggumulkan pekerjaanku, tujuan hidupku, dan apa arti hidupku untuk pekerjaan yang kugeluti.

Setelah melalui pengalaman yang kupikir sebagai kelelahanku, aku mau berkata: Apa yang orang lain pikirkan tentangmu itu bukanlah yang terpenting. Jika kamu sedih dan tertekan, dan tubuhmu menjadi sakit, tidak ada pekerjaan apapun yang sepadan. Tentu, ada waktu untuk menunggu, untuk bertahan, untuk melawan. Tapi, setiap kita memiliki batasan yang berbeda. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, sebab setiap orang punya perjalanannya masing-masing. Satu orang mungkin berpikir kalau dia butuh keberanian untuk terus maju, sementara yang lainnya mungkin berpikir bahwa mundur adalah pilihan yang bijak.

Apapun yang orang lain katakan tentang keputusanku, aku dapat mengatakan ini dengan pasti: Aku dapat melihat tangan Tuhan dalam segala sesuatu yang terjadi. Aku percaya ada campur tangan ilahi dalam pencarianku menemukan pekerjaanku selanjutnya. Aku melamar ke suatu pekerjaan yang terlihat lebih menarik. Dan yang lebih penting, pekerjaan itu sepertinya menjanjikan waktu kerja yang lebih damai. Ketika tidak ada jawaban, aku coba melamar lagi. Selama menunggu, aku berkesempatan bertemu dengan seseorang—yang baru saja diterima di departemen itu—dan pertemuan inilah yang akhirnya memberiku jalan lebih cepat untuk wawancara dengan bos. Tawaran kerja pun datang segera.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku, karena selama melewati beberapa bulan tanpa bekerja, di situlah aku bisa menikmati masa jedaku. Tuhan memampukanku pindah ke tempat lain yang jam kerjanya lebih sehat dan lebih sedikit stres, dan inilah yang membuat beda.

Kelelahanku dan insiden menendang kardus adalah hal yang tidak ingin aku alami lagi. Aku tidak membanggakan diri atas responsku itu. Tapi, jika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat bagaimana hal itu turut membentuk perjalananku untuk menemukan diriku dan imanku. Apakah hal itu baik? Tidak. Apakah Tuhan mengizinkannya untuk terjadi? Kupikir iya!

Menghadapi kelelahan itu, aku belajar untuk menyadari batasan diriku sendiri. Ya, kamu dapat menganggapku punya batasan yang menyedihkan dan tidak punya ketahanan diri. Tapi, inilah batasanku. Karena aku pernah melampaui batasan itu, sekarang aku punya gambaran yang lebih baik tentang seberapa banyak yang bisa kutanggung, dan seberapa banyak yang tidak. Pemahaman ini menolongku untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam hidupku. Di pekerjaanku selanjutnya, aku mendapati kalau aku punya pegangan yang lebih baik untuk melakukan apa yang sudah siap kulakukan, dan apa yang tidak dapat kulakukan. Pengalaman itu tidak ternilai.

Aku juga belajar untuk mempercayai kehendak dan tangan Tuhan di dalam hidupku. Beberapa tahun kemudian, aku dapat melihat Dia menggunakan insiden dahulu untuk membentuk keputusan masa depan tentang karierku. Tapi, yang lebih penting, aku belajar melihat bahwa Tuhan itu bukannya Tuhan yang tidak peduli, Tuhan yang saklek, yang mana kita akan seketika gagal ketika tidak mengambil keputusan yang tepat. Ya, kita perlu mencari tahu kehendak-Nya dan memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan atau putuskan di situasi yang Dia berikan. Tapi, Dia juga adalah Tuhan yang kreatif, yang memberi kita kebebasan untuk memilih ketika kita menggumulkan kehendak-Nya dalam hidup kita. Jika kita berpegang pada hukum-Nya, kesukaan-Nya, dan jalan-jalan-Nya daripada diri kita sendiri, Dia akan memberi kita apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4).

Mazmur 37 juga mengingatkan kita untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya (ayat 5), dan berdiam diri di hadapan-Nya dan dengan sabar menanti-Nya untuk mengetahui kehendak-Nya (ayat 7). Kita punya jaminan bahwa Tuhan yang baik dan penuh kasih akan melakukan yang terbaik untuk kita—sekalipun kita mungkin tidak melihatnya saat itu juga.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya”
(Mazmur 37:23-24).

Baca Juga:

Teguran dari Tuhan Saat Aku Bertemu Temanku yang Pernah Sakit Kanker

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah tiga hal yang bisa membantu kita.

Tuhan Berbicara

Rabu, 15 Agustus 2018

Tuhan Berbicara

Baca: Ayub 38:1-11

38:1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub:

38:2 “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?

38:3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.

38:4 Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!

38:5 Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? —Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?

38:6 Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya

38:7 pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?

38:8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, ketika membual ke luar dari dalam rahim? —

38:9 ketika Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan kekelaman menjadi kain bedungnya;

38:10 ketika Aku menetapkan batasnya, dan memasang palang dan pintu;

38:11 ketika Aku berfirman: Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!

Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? —Ayub 39:35

Tuhan Berbicara

Dalam kitab Ayub, kita dapat menemukan hampir setiap pendapat yang mencoba untuk menjelaskan alasan adanya penderitaan di dunia ini. Namun, perdebatan itu tidak akan pernah dapat menghibur Ayub. Permasalahan Ayub bukan cuma soal keraguan, tetapi terutama soal hubungan, yakni: Bisakah ia mempercayai Allah? Ayub menginginkan satu hal lebih daripada yang lain: kemunculan satu Pribadi yang bisa menjelaskan tentang pengalamannya yang mengenaskan. Ia ingin bertemu dan bertatap muka dengan Allah sendiri.

Akhirnya Ayub mendapatkan apa yang diinginkannya. Allah muncul secara pribadi kepadanya (lihat Ayb. 38:1). Sungguh suatu ironi yang sempurna ketika Allah hadir di saat Elihu, teman Ayub, baru saja menjelaskan mengapa Ayub tidak berhak mengharapkan pertemuan dengan Allah.

Tidak seorang pun—Ayub atau teman-temannya pun tidak—dapat menduga apa yang akan Allah katakan. Ayub telah memiliki daftar pertanyaan yang panjang, tetapi justru Allah yang mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki!” kata Allah, “Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (ay.3). Seakan mengesampingkan 35 pasal sebelumnya yang penuh dengan perdebatan soal penderitaan, Allah mengucapkan puisi yang megah tentang keajaiban alam ciptaan-Nya.

Perkataan Allah menegaskan perbedaan yang amat besar antara Allah Sang Pencipta dan satu orang fana seperti Ayub. Kehadiran-Nya secara spektakuler menjawab pertanyaan terbesar Ayub: Adakah yang peduli? Akhirnya, Ayub hanya bisa menanggapi, “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3). —Philip Yancey

Tuhan, kami memiliki begitu banyak pertanyaan tentang hidup dan ketidakadilan di dalamnya. Namun, Engkau telah menunjukkan kepada kami bahwa Engkau baik. Tolong kami untuk mempercayai-Mu untuk segala sesuatu yang tak kami mengerti.

Tidak ada bencana yang terjadi di luar kedaulatan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 91-93; Roma 15:1-13

Mengarungi Jeram

Selasa, 14 Agustus 2018

Mengarungi Jeram

Baca: Yesaya 43:1-7

43:1 Tetapi sekarang, beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: “Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku.

43:2 Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau.

43:3 Sebab Akulah TUHAN, Allahmu, Yang Mahakudus, Allah Israel, Juruselamatmu. Aku menebus engkau dengan Mesir, dan memberikan Etiopia dan Syeba sebagai gantimu.

43:4 Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu.

43:5 Janganlah takut, sebab Aku ini menyertai engkau, Aku akan mendatangkan anak cucumu dari timur, dan Aku akan menghimpun engkau dari barat.

43:6 Aku akan berkata kepada utara: Berikanlah! dan kepada selatan: Janganlah tahan-tahan! Bawalah anak-anak-Ku laki-laki dari jauh, dan anak-anak-Ku perempuan dari ujung-ujung bumi,

43:7 semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan yang juga Kujadikan!”

Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan. —Yesaya 43:2

Mengarungi Jeram

Pemandu arung jeram membawa kelompok kami ke tepi sungai dan mengarahkan kami untuk memakai jaket pelampung dan meraih dayung. Saat kami naik ke perahu, pemandu mengatur posisi duduk kami untuk menjaga keseimbangan perahu agar tetap stabil saat melintasi jeram. Setelah menerangkan betapa serunya perjalanan yang akan kami lalui, si pemandu menjelaskan serangkaian arahan yang akan kami dengar darinya dan harus diikuti agar kami berhasil mengendalikan perahu melewati jeram demi jeram. Ia meyakinkan kami bahwa meskipun ada momen-momen menegangkan di sepanjang perjalanan, perjalanan kami seluruhnya akan aman dan menyenangkan.

Adakalanya hidup ini terasa seperti mengarungi jeram, suatu perjalanan yang mengharuskan kita melalui arus deras lebih sering daripada yang kita harapkan. Janji Allah kepada Israel melalui Nabi Yesaya dapat menenangkan hati ketika kita mengkhawatirkan terjadinya kemungkinan yang terburuk: “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan” (Yes. 43:2). Bangsa Israel sangat takut ditolak oleh Allah ketika mereka harus dibuang sebagai akibat dari dosa mereka. Namun, Allah meyakinkan mereka dan berjanji untuk menyertai mereka karena kasih-Nya kepada mereka (ay.2,4).

Allah takkan meninggalkan kita di tengah arus kehidupan yang deras. Kita dapat mempercayai-Nya untuk memandu kita melewati jeram demi jeram—ketakutan dan pergumulan kita yang berat—karena Dia mengasihi dan berjanji selalu menyertai kita. —Kirsten Holmberg

Terima kasih, Tuhan, karena Engkaulah pemanduku dalam mengarungi derasnya jeram kehidupan. Tolonglah aku untuk mempercayai-Mu sekalipun arus hidup ini begitu ganas dan menyeramkan.

Tuhan memandu kita melewati masa-masa yang sulit.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 89-90; Roma 14

Waktu yang Diberikan

Senin, 13 Agustus 2018

Waktu yang Diberikan

Baca: Lukas 6:37-38

6:37 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.

6:38 Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.”

Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum. —Amsal 11:25

Waktu yang Diberikan

Hari itu, saya sangat tergesa-gesa masuk ke kantor pos karena ada sejumlah hal yang hendak saya kerjakan. Namun, setelah masuk, saya merasa frustrasi karena melihat antrean yang mengular panjang sampai ke pintu. “Sudah cepat-cepat, tetapi masih harus menunggu,” gumam saya sambil melirik arloji dengan kesal.

Di saat tangan saya masih memegang pintu, seorang bapak tua yang tidak saya kenal mendekati saya. “Saya tak bisa menggunakan mesin fotokopi ini,” katanya sambil menunjuk mesin di belakang kami. “Uang saya terlanjur masuk ke mesin, dan saya tak tahu harus berbuat apa.” Saat itu, saya langsung tahu apa yang Tuhan mau untuk saya lakukan. Saya pun keluar dari antrean untuk membantunya dan berhasil menyelesaikan masalah itu dalam waktu sepuluh menit.

Orang tersebut mengucapkan terima kasih dan kemudian pergi. Lalu saat saya berbalik untuk antre lagi, antreannya sudah tidak ada! Saya bisa langsung berjalan ke depan loket pelayanan.

Pengalaman hari itu mengingatkan saya pada perkataan Yesus: “Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Luk. 6:38).

Penantian saya terasa singkat karena Allah menyela sikap saya yang tergesa-gesa. Dengan mengalihkan perhatian saya pada kebutuhan orang lain dan memampukan saya untuk memberikan waktu saya, Allah pun memberi saya sebuah berkat. Pelajaran itulah yang ingin saya ingat manakala saya melirik arloji saya. —James Banks

Bapa Surgawi, seluruh waktu yang kupunya adalah pemberian-Mu. Tunjukkanlah bagaimana aku dapat memakai waktuku agar memuliakan dan menghormati-Mu.

Adakalanya kita perlu mengesampingkan tugas-tugas yang ingin kita kerjakan demi melakukan hal lain yang lebih mendesak.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 87-88; Roma 13