Sekelumit Kisahku Ketika Menghadapi Depresi dalam Pekerjaan

Oleh Leslie Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: My Quarter-Life Crisis: The Day I Went Berserk

Aku tahu ada sesuatu yang salah ketika aku mulai menendangi kardus-kardus di bawah mejaku.

Biasanya, aku adalah seorang yang tenang, mampu menahan diri. Tapi, hari itu, ada sesuatu dalam diriku yang tersentak. Seseorang meneleponku dengan nada dan instruksi yang membuat emosiku terpancing. Sesuatu dalam diriku menahanku untuk berteriak, tapi kakiku bergerak-gerak karena kesal, dan aku mengalihkan amarahku dengan menendangi kardus yang biasanya kuletakkan di bawah mejaku sebagai tumpuan kakiku.

Kamu bisa membayangkan kelanjutannya seperti apa. Seorang pria yang biasanya pendiam, meraih ponsel, menggerak-gerakkan jemarinya sambil berkata: “Oke, oke, aku mengerti, akan kulakukan,” dengan nada yang paling lembut—meski di bawah meja, kakinya menghentak-hentak lantai. Di sekelilingnya, rekan-rekan kerjanya memandangnya dengan heran, bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Seminggu setelahnya, aku keluar dari pekerjaanku. Sembilan tahun berkutat di dunia jurnalistik berakhir sudah. Satu karier telah selesai.

Setelah kemarahanku itu, aku meminta maaf kepada bosku dan dia menerima maafku. Keputusan mundur dari pekerjaan ini adalah karena aku merasa kelelahan, dan aku sadar bahwa tak peduli seberapa banyak uang yang bisa kuraih, atau seberapa potensial pekerjaan yang kugeluti, aku telah tiba di titik di mana kalau aku melanjutkannya, aku akan melukai kesehatan mentalku.

Sebelumnya, selama beberapa bulan aku merasa semakin lelah dan ingin sekali bisa tertidur nyenyak, karena biasanya ketika aku bangun, aku merasa tidak ada di dunia nyata. Jam-jam panjang di ruang redaksi mengambil alih waktuku, dan semakin sulit buatku karena beberapa pekerjaan seperti mewawancarai orang itu bukanlah sesuatu yang nyaman kukerjakan. Aku pernah mendengar kalau kesulitan tidur dan bangun adalah tanda-tanda dari kemungkinan depresi, dan aku bertanya-tanya apakah ini sedang terjadi juga kepadaku. Kinerjaku juga menurun: aku bekerja tanpa peduli lagi apakah aku sudah mencapai standar minimal, dan seringkali aku mengabaikan instruksi dari atasanku. Sekali waktu, ketika aku ditugaskan mendatangi sebuah acara, aku malah meminjam mobil orang tuaku dan mengemudi tanpa tujuan selama dua jam. (Tidak ada yang mengetahui ini karena aku tetap bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dari acara itu.)

Mengundurkan diri dari pekerjaan ini membuatku lega.

Akhirnya, aku bisa berhenti menyeret diriku dari kasur setiap pagi untuk menghadapi kenyataan. Aku bisa terbebas dari akhir pekan yang mengerikan karena pekerjaan-pekerjaan di hari kerja. Aku bisa berhenti dari memaksakan diri untuk berlama-lama di ruang redaksi dan membenci setiap pekerjaan yang datang kepadaku. Aku bisa berhenti dari memikirkan fantasi tentang menjadi kaya dalam semalam supaya aku tidak perlu lagi bekerja. (Atau, fantasi tentang kantor yang tiba-tiba kebakaran dalam semalam supaya besok pagi aku tidak perlu bekerja lagi.)

Tapi, itu hanyalah fantasi. Aku masuk ke pekerjaan itu dengan penuh antusias sebagai orang yang belum berpengalaman, namun, aku menjadi letih selama bertahun-tahun setelahnya karena jam kerja yang panjang dan stres yang terus menerus menguras energiku.

Keluar dari pekerjaan ini bukanlah keputusan yang mudah, meski aku sudah melakukannya. Di benakku, ada dua pemikiran yang terngiang-ngiang.

Pertama: “Apakah aku lemah? Apakah aku mencari jalan keluar yang paling mudah?” Generasi yang lebih muda sering disebut sebagai “Generasi Stroberi” (Kamu tahu mengapa? Karena seperti stroberi yang kalau ditekan jadi memar, mereka juga seperti itu). Dan, sepertinya aku termasuk dalam generasi itu. “Mengapa, generasi yang lebih tua bekerja selama 40 tahun tanpa libur, dan mereka tidak mengeluh. Kamu belum sampai 10 tahun dan sudah kelelahan?”

Kedua: “Apakah ini kehendak Tuhan?” Apakah aku lebih dulu menyerah sebelum Tuhan membentuk dan mengubahku menjadi orang yang lebih baik? Apakah aku melarikan diri dari proses pendisiplinan-Nya?

Sejujurnya, sampai hari ini pun aku belum bisa benar-benar menjawab pertanyaan ini. Mungkin aku tidak hanya berjuang dari kelelahan, tapi juga bergumul dengan quarter-life crisis saat aku berusaha menggumulkan pekerjaanku, tujuan hidupku, dan apa arti hidupku untuk pekerjaan yang kugeluti.

Setelah melalui pengalaman yang kupikir sebagai kelelahanku, aku mau berkata: Apa yang orang lain pikirkan tentangmu itu bukanlah yang terpenting. Jika kamu sedih dan tertekan, dan tubuhmu menjadi sakit, tidak ada pekerjaan apapun yang sepadan. Tentu, ada waktu untuk menunggu, untuk bertahan, untuk melawan. Tapi, setiap kita memiliki batasan yang berbeda. Jangan membandingkan dirimu dengan orang lain, sebab setiap orang punya perjalanannya masing-masing. Satu orang mungkin berpikir kalau dia butuh keberanian untuk terus maju, sementara yang lainnya mungkin berpikir bahwa mundur adalah pilihan yang bijak.

Apapun yang orang lain katakan tentang keputusanku, aku dapat mengatakan ini dengan pasti: Aku dapat melihat tangan Tuhan dalam segala sesuatu yang terjadi. Aku percaya ada campur tangan ilahi dalam pencarianku menemukan pekerjaanku selanjutnya. Aku melamar ke suatu pekerjaan yang terlihat lebih menarik. Dan yang lebih penting, pekerjaan itu sepertinya menjanjikan waktu kerja yang lebih damai. Ketika tidak ada jawaban, aku coba melamar lagi. Selama menunggu, aku berkesempatan bertemu dengan seseorang—yang baru saja diterima di departemen itu—dan pertemuan inilah yang akhirnya memberiku jalan lebih cepat untuk wawancara dengan bos. Tawaran kerja pun datang segera.

Aku tidak butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan baruku, karena selama melewati beberapa bulan tanpa bekerja, di situlah aku bisa menikmati masa jedaku. Tuhan memampukanku pindah ke tempat lain yang jam kerjanya lebih sehat dan lebih sedikit stres, dan inilah yang membuat beda.

Kelelahanku dan insiden menendang kardus adalah hal yang tidak ingin aku alami lagi. Aku tidak membanggakan diri atas responsku itu. Tapi, jika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat bagaimana hal itu turut membentuk perjalananku untuk menemukan diriku dan imanku. Apakah hal itu baik? Tidak. Apakah Tuhan mengizinkannya untuk terjadi? Kupikir iya!

Menghadapi kelelahan itu, aku belajar untuk menyadari batasan diriku sendiri. Ya, kamu dapat menganggapku punya batasan yang menyedihkan dan tidak punya ketahanan diri. Tapi, inilah batasanku. Karena aku pernah melampaui batasan itu, sekarang aku punya gambaran yang lebih baik tentang seberapa banyak yang bisa kutanggung, dan seberapa banyak yang tidak. Pemahaman ini menolongku untuk mengambil keputusan yang lebih baik dalam hidupku. Di pekerjaanku selanjutnya, aku mendapati kalau aku punya pegangan yang lebih baik untuk melakukan apa yang sudah siap kulakukan, dan apa yang tidak dapat kulakukan. Pengalaman itu tidak ternilai.

Aku juga belajar untuk mempercayai kehendak dan tangan Tuhan di dalam hidupku. Beberapa tahun kemudian, aku dapat melihat Dia menggunakan insiden dahulu untuk membentuk keputusan masa depan tentang karierku. Tapi, yang lebih penting, aku belajar melihat bahwa Tuhan itu bukannya Tuhan yang tidak peduli, Tuhan yang saklek, yang mana kita akan seketika gagal ketika tidak mengambil keputusan yang tepat. Ya, kita perlu mencari tahu kehendak-Nya dan memahami apa yang Tuhan ingin kita lakukan atau putuskan di situasi yang Dia berikan. Tapi, Dia juga adalah Tuhan yang kreatif, yang memberi kita kebebasan untuk memilih ketika kita menggumulkan kehendak-Nya dalam hidup kita. Jika kita berpegang pada hukum-Nya, kesukaan-Nya, dan jalan-jalan-Nya daripada diri kita sendiri, Dia akan memberi kita apa yang diinginkan hati kita (Mazmur 37:4).

Mazmur 37 juga mengingatkan kita untuk menyerahkan hidup kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya (ayat 5), dan berdiam diri di hadapan-Nya dan dengan sabar menanti-Nya untuk mengetahui kehendak-Nya (ayat 7). Kita punya jaminan bahwa Tuhan yang baik dan penuh kasih akan melakukan yang terbaik untuk kita—sekalipun kita mungkin tidak melihatnya saat itu juga.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
Apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya”
(Mazmur 37:23-24).

Baca Juga:

Teguran dari Tuhan Saat Aku Bertemu Temanku yang Pernah Sakit Kanker

Bagaimana kita menjaga karakter Kristen dan kesaksian kita di dalam dunia maya, terutama saat kita merasa tidak setuju? Inilah tiga hal yang bisa membantu kita.

Tuhan Berbicara

Rabu, 15 Agustus 2018

Tuhan Berbicara

Baca: Ayub 38:1-11

38:1 Maka dari dalam badai TUHAN menjawab Ayub:

38:2 “Siapakah dia yang menggelapkan keputusan dengan perkataan-perkataan yang tidak berpengetahuan?

38:3 Bersiaplah engkau sebagai laki-laki! Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.

38:4 Di manakah engkau, ketika Aku meletakkan dasar bumi? Ceritakanlah, kalau engkau mempunyai pengertian!

38:5 Siapakah yang telah menetapkan ukurannya? Bukankah engkau mengetahuinya? —Atau siapakah yang telah merentangkan tali pengukur padanya?

38:6 Atas apakah sendi-sendinya dilantak, dan siapakah yang memasang batu penjurunya

38:7 pada waktu bintang-bintang fajar bersorak-sorak bersama-sama, dan semua anak Allah bersorak-sorai?

38:8 Siapa telah membendung laut dengan pintu, ketika membual ke luar dari dalam rahim? —

38:9 ketika Aku membuat awan menjadi pakaiannya dan kekelaman menjadi kain bedungnya;

38:10 ketika Aku menetapkan batasnya, dan memasang palang dan pintu;

38:11 ketika Aku berfirman: Sampai di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!

Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? —Ayub 39:35

Tuhan Berbicara

Dalam kitab Ayub, kita dapat menemukan hampir setiap pendapat yang mencoba untuk menjelaskan alasan adanya penderitaan di dunia ini. Namun, perdebatan itu tidak akan pernah dapat menghibur Ayub. Permasalahan Ayub bukan cuma soal keraguan, tetapi terutama soal hubungan, yakni: Bisakah ia mempercayai Allah? Ayub menginginkan satu hal lebih daripada yang lain: kemunculan satu Pribadi yang bisa menjelaskan tentang pengalamannya yang mengenaskan. Ia ingin bertemu dan bertatap muka dengan Allah sendiri.

Akhirnya Ayub mendapatkan apa yang diinginkannya. Allah muncul secara pribadi kepadanya (lihat Ayb. 38:1). Sungguh suatu ironi yang sempurna ketika Allah hadir di saat Elihu, teman Ayub, baru saja menjelaskan mengapa Ayub tidak berhak mengharapkan pertemuan dengan Allah.

Tidak seorang pun—Ayub atau teman-temannya pun tidak—dapat menduga apa yang akan Allah katakan. Ayub telah memiliki daftar pertanyaan yang panjang, tetapi justru Allah yang mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. “Bersiaplah engkau sebagai laki-laki!” kata Allah, “Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku” (ay.3). Seakan mengesampingkan 35 pasal sebelumnya yang penuh dengan perdebatan soal penderitaan, Allah mengucapkan puisi yang megah tentang keajaiban alam ciptaan-Nya.

Perkataan Allah menegaskan perbedaan yang amat besar antara Allah Sang Pencipta dan satu orang fana seperti Ayub. Kehadiran-Nya secara spektakuler menjawab pertanyaan terbesar Ayub: Adakah yang peduli? Akhirnya, Ayub hanya bisa menanggapi, “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3). —Philip Yancey

Tuhan, kami memiliki begitu banyak pertanyaan tentang hidup dan ketidakadilan di dalamnya. Namun, Engkau telah menunjukkan kepada kami bahwa Engkau baik. Tolong kami untuk mempercayai-Mu untuk segala sesuatu yang tak kami mengerti.

Tidak ada bencana yang terjadi di luar kedaulatan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 91-93; Roma 15:1-13