Sebuah Pulang yang Mengubahkanku

Oleh Agustinus Ryanto, Jakarta

Sudah enam tahun terakhir aku tinggal jauh dari rumah karena merantau. Seringkali aku merasa homesick. Tapi, karena latar belakang keluargaku yang broken, pulang bukanlah pilihan yang mudah setiap kali aku merasa homesick.

Sejak aku memutuskan studi dan bekerja di luar kota, hubungan antara ayah dan ibuku berguncang. Ayah yang belum mengenal Tuhan menduakan ibuku. Dia menikahi perempuan lain. Ketika ibuku memberitahuku hal ini, dia menangis, sebab dia bukan hanya kehilangan Ayah, melainkan juga harta benda hasil jerih lelah yang dia upayakan bersama ayahku sejak awal menikah dulu.

Aku tidak tahu harus merespons apa terhadap permasalahan ini. Yang kutahu adalah aku kecewa pada ayahku. Aku harus kuliah sebaik mungkin supaya bisa segera bekerja dan tidak lagi bergantung secara finansial kepadanya. Singkat cerita, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku lulus tepat empat tahun dan diterima bekerja sebelum aku diwisuda.

Setelah bekerja, jarak antara kota tempat perantauanku dengan rumah sebenarnya tidak begitu jauh. Tapi, aku tidak bersemangat untuk pulang. Aku malas jika harus bertemu muka dengan ayahku. Kalaupun aku pulang, motivasi utamaku hanyalah untuk bertemu dengan teman-teman sekolahku dulu.

Sebuah pulang yang tidak terduga

Menjelang libur Imlek yang jatuh di hari Jumat bulan Februari lalu, kantorku memberi kebijakan kepada stafnya untuk pulang kerja lebih cepat di hari Kamis, supaya beberapa staf yang merayakan Imlek bisa bersiap-siap.

“Wah, lumayan, long-weekend nih,” aku bergumam. Aku sudah beride kalau di libur panjang akhir pekan itu aku tidak akan pulang ke rumah. Aku mau beristirahat saja di kos.

Tapi, entah mengapa, aku merasa hatiku tidak tenang. Hati kecilku seolah berbisik, “Ayo, pulang, sebentar saja. Mumpung masih ada kesempatan pulang, pulanglah.”

Jujur, aku enggan untuk pulang. Kutengok tiket kereta api, semuanya ludes. Kulihat tiket travel juga hasilnya sama.

“Masih ada bus kok, ayo pulanglah naik itu,” hati kecilku berbisik lagi.

Aku masih enggan, tapi setelah kupikir-pikir lagi, tidak ada salahnya dengan pulang. Kalaupun nanti aku tidak mau bertemu dengan ayahku, aku bisa pergi ke rumah temanku. Yang penting aku pulang dulu untuk bertegur sapa dengan ibuku, pikirku.

Di hari Kamis, selepas tengah hari, aku pun bergegas ke terminal bus. Setelah sembilan jam perjalanan, aku pun tiba di rumah.

Obrolan yang mengubahkanku

Karena hari itu adalah Imlek, ayahku pun pulang ke rumah. Menjelang tengah malam, saat aku sudah berbaring di kasur, aku mendengar langkah kaki ayahku. Dia berjalan menuju dapur dan bersiap memasak. Selama 25 tahun ini, keluargaku bertahan hidup dengan berjualan makanan yang kami olah sendiri. Ayahkulah yang bertindak sebagai koki utamanya.

Malam itu dia hendak menyiapkan bahan masakan untuk esok. Kutengok dari jendela, lalu aku berjalan menghampirinya. Aku tak tahu apa yang menggerakkanku untuk mendekatinya, karena biasanya aku selalu menghindar untuk mengobrol dengan ayahku.

“Loh, belum tidur kamu?” tanya Ayahku.

“Belum. Aku belum ngantuk.”

Gimana kerjaanmu sekarang?”

Aku terdiam. Pertanyaan ini aneh buatku. Selama enam tahun sejak aku merantau, Ayah tak pernah sekalipun datang menengokku atau sekadar bertanya bagaimana kabarku lewat telepon. Mengapa hari ini dia bertanya begitu padaku, aku jadi bertanya-tanya.

“Ya gitu aja. Senang sih. Tapi sedih karena kalau pulang kerja sepi, gak ada teman.”

“Tahun ini tahun kamu, shiomu kan anjing. Perhitungannya lagi bagus. Kalau kamu mau bikin bisnis sendiri, kamu bisa hoki. Kalau kamu kerja ikut orang, kamu bisa dapet tanggung jawab gede.”

Aku mengangguk meski aku tidak percaya pada hitung-hitungan shio semacam itu.

Bermula dari sekadar basa-basi, tanpa terasa, obrolan itu berlanjut. Aku dan Ayah berbicara tentang banyak hal. Selama enam tahun tak menjalin komunikasi dengannya, Ayah bertutur tentang perjalanan hidupnya, tentang usaha makanannya yang kini merosot, dan bagaimana dia kini terlilit utang karena dia belum bisa terlepas dari dosa judinya.

Setelah dia selesai bertutur, gilirankulah yang bercerita tentang bagaimana perjalanan hidupku di perantauan selama enam tahun. Malam itu, kami berdua untuk pertama kalinya saling berbagi kisah hidup. Saat jam sudah menyentuh angka dua dini hari, aku pamit kepada ayahku untuk tidur duluan.

Di atas kasur, aku tidak langsung tidur. Aku melipat tanganku. Aku tidak percaya bahwa aku bisa duduk berdua dan mengobrol dengan ayahku. Bahkan, dia dululah yang memulai pembicaraan denganku. Melalui obrolan malam itu, aku merasa Tuhan sepertinya menegurku.

Jujur, sejak aku mendengar kabar tentang ayahku yang menikah lagi, aku tidak lagi mendoakan keluargaku pada Tuhan. Kupikir sudah jalan takdirnya keluargaku broken, dan biarlah itu broken sampai akhirnya. Tapi, hari itu ada lilin harapan kembali yang menyala dalamku. Ayahku belum mengenal Tuhan Yesus, dan mungkin inilah yang membuatnya gegabah dalam mengambil langkah kehidupan.

Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan Ayah. Tapi, aku sadar bahwa bagaimanapun juga, dia adalah ayahku. Terlepas dari status pernikahannya sekarang, yang kutahu tidak pernah ada istilah mantan ayah ataupun mantan anak. Ikatan keluarga itu bersifat permanen. Dan, jika bukan aku yang mulai membuka hati untuk mendekati Ayah, dengan apakah Ayah akan mengenal Tuhan dan diselamatkan? Aku mengimani firman Tuhan yang berkata: “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu” (Kisah Para Rasul 16:31).

Sekarang aku selalu mendoakan ayahku dan beriman bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk Ayah dan ibuku. Aku percaya bahwa meski keluargaku broken, Tuhan bisa menggunakannya untuk kebaikan, seperti ada tertulis bahwa Allah bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28). Dan, imanku perlu diwujudkan dalam perbuatan-perbuatanku sebagaimana firman-Nya berkata: “Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). .

Jika dulu aku pernah mengeluh bahwa Ayah bukanlah ayah yang baik karena tidak pernah mau menjalin komunikasi denganku, kini aku belajar untuk inisiatif duluan berkomunikasi dengannya. Aku mengiriminya SMS, menanyakan kabarnya. Walau dia kadang lama membalasnya dan tidak mengangkat teleponku, kucoba terus lakukan itu. Hingga akhirnya dia pun mau meluangkan sedikit waktunya untuk menjalin komunikasi denganku. Dan, jika dulu aku selalu enggan untuk pulang, kini aku belajar meluangkan waktuku untuk pulang barang sekali dalam beberapa bulan.

Kalau aku mengingat kembali masa di mana aku enggan pulang dulu, aku tak menyangka bahwa kepulanganku di hari Imlek itu dipakai Tuhan untuk mengubahkanku terlebih dulu. Lewat obrolan hangat dengan Ayah, aku jadi mengerti bahwa sesungguhnya peluang komunikasi itu masih terbuka dan harus dirajut. Aku percaya bahwa sebelum keluargaku diubahkan, Tuhan mau akulah yang berubah terlebih dulu. Dia ingin aku tidak lagi memandang ayahku sebagai sesosok yang membuatku kecewa, tapi sebagai seorang di mana aku harus menyatakan kasih Kristus kepadanya.

Kawan, aku tahu kisahku ini belum selesai. Tapi aku percaya bahwa Tuhan masih terus berkarya dalam keluargaku.

Apabila ada di antara kamu yang mengalami keretakan keluarga dan pergi menjauh, aku berdoa kiranya Tuhan memberimu kedamaian hati supaya kamu pun dimampukan untuk pulang barang sejenak dan menjangkau keluargamu dengan kasih.

Baca Juga:

Pelajaran Berharga dari Penyelamatan 13 Pemain Bola di Thailand

Penyelamatan 13 orang yang terperangkap di dalam gua di Thailand adalah misi yang dramatis dan berbahaya. Ketika misi ini berakhir sukses, ada satu hal yang membuatku terperangah dan mengingatkanku akan sebuah pengorbanan terbesar yang pernah dilakukan untuk umat manusia.

Bagikan Konten Ini
8 replies
  1. Lidya
    Lidya says:

    Penasaran sama kelanjutannya.
    Tuhan pasti punya rencana yang baik buatmu dan keluargamu, bro Agustinus.
    Keep in faith, keep strong. God bless you.

  2. jeny
    jeny says:

    So sweet????????????
    Ya ampun. Hampir setiap.keluarga mengalami kasih Bapak yang terhilang. Begitu juga dengan diriku dan beberapa temanku. Bahkan mereka yang merantau atau pun yang masih tinggal bersama keluarganya. Selalu merasa jauh dari keluarga. Story kamu bikin gw ngeh. Gimana kasih seharusnya di share dengan cara mau taat kepada kasih yang Tuhan taruh di dalam hati. Benar . Berdoa buat keluarga. Kadang memang berasa biasa. Tetalj Dia Allah yg akan menjawab pada WaktuNya. Amin

  3. clarisa jesika
    clarisa jesika says:

    amin,keep strong! Jesus keep loving you and will always standing by your side. ❤

  4. Elvy Febriani Sembiring
    Elvy Febriani Sembiring says:

    Beruntungnya kamu masih bisa berkomunikasi dan menyatakan kasih Tuhan Yesus kepadanya. sehingga tidak ada kata terlambat dan menyesal nantinya. Teruslah kamu jalin komunikasi dan senantiasa mendoakan beliau.

  5. ririn
    ririn says:

    amien..terima kasih sudah menguatkan ..saya pun dr kel broken home..mash dl pergumulan untuk terus melepaskan pengampunan terhadap ayah tiri..dan pegumulan adik supaya bs jg untuk mengampuni ayah tiri kami..terima kasih untuk doanya..Tuhan Yesus berkati..pak agus

  6. Benedictus angga febrianto
    Benedictus angga febrianto says:

    Nice share pak, kebetulan saya juga sedang berada pada titik ini, dan hampir sama persis. Sedang belajar membangun komunikasi tetapi cukup berat bagi saya. Keep strong, semoga apa yang bapak alami berujung indah, Tuhan berkati.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *