Jawaban Mengejutkan dari Temanku Ketika Aku Curhat tentang Kekecewaanku pada Tuhan

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa waktu lalu, aku sempat marah pada Tuhan karena masalah yang datang bertubi-tubi di hidupku. Mulai dari masalah dalam keluarga, masalah nilaiku di sekolah yang turun drastis, hingga masalah dengan pacarku yang meninggalkanku begitu saja. Aku rasa aku sudah melayani-Nya di gereja. Aku sudah berbuat baik pada sesama. Aku sudah semakin rajin berdoa dan membaca firman Tuhan. Tapi, mengapa Tuhan memberikanku berbagai masalah yang begitu besar, masalah yang bahkan aku rasa aku tak bisa melewatinya?

Jujur, saat itu aku kecewa dengan Tuhan. “Percuma saja aku ikut aktif di gereja, meluangkan waktu untuk persekutuan, dan berbuat baik pada orang lain, kalau Tuhan saja malah memberatkan hidupku dengan masalah yang bertubi-tubi. Apakah ini balasan Tuhan atas semua pelayananku?” begitu pikirku saat itu.

Aku pun mulai menjauhi Tuhan. Aku tak pernah lagi bersaat teduh. Doa pun sudah jarang. Aku sudah muak berbuat baik kepada orang lain, karena pikirku Tuhan saja tidak mau berbuat baik padaku. Aku jadi malas membantu orang lain dan menjadi orang yang suka berpikiran buruk pada orang lain.

Jauh dari Tuhan membuat hidupku semakin hancur dan membuatku semakin mudah marah dan stres. Sampai suatu kali, aku curhat via LINE dengan seorang temanku. Aku berkata padanya bahwa aku kecewa pada Tuhan. Namun, satu jawaban dari temanku itu mengubah pemikiranku.

Temanku berkata, “Pernahkah kamu merasa bahwa Tuhan mungkin kecewa juga dengan hidupmu?”

Aku bingung dengan pertanyaan temanku itu. Tuhan kecewa denganku? Ah, kan aku yang kecewa pada-Nya. Kenapa Ia kecewa denganku?

Temanku melanjutkan, “Kamu selalu datang pada Tuhan saat punya masalah. Saat butuh bantuan-Nya. Saat kondisi kamu mungkin sedang sangat buruk. Kamu selalu meminta jalan keluar atas masalahmu it. Tapi, pernahkah kamu datang pada-Nya saat kamu sedang senang? Pernahkah kamu datang dan bersyukur pada-Nya saat kamu sedang mendapat berkat-Nya?”

Kalimat tersebut langsung menusukku. Benar juga. Saat aku sedang senang, boro-boro aku ingat Tuhan. Aku malah melupakan-Nya dan berbagi kesenanganku dengan orang-orang terdekatku. Aku hampir tak pernah bersyukur atas apa yang sudah Tuhan beri padaku. Yang aku lakukan hanyalah menuntut pertolongan-Nya saat aku punya masalah. Saat aku sedang susah. Saat aku sedang dalam kondisi terburukku.

Saat itu Tuhan menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang Tuhan inginkan hanyalah diriku, anak-Nya, untuk datang kepada-Nya, bukan hanya di saat duka, tapi juga di saat suka. Ia ingin aku menceritakan keluh kesahku kepada-Nya. Ia juga ingin aku bersyukur atas apa yang telah terjadi di hidupku. Aku jadi teringat akan sebuah lagu yang berkata:

“Tuhan tak pernah janji langit selalu biru,
Tetapi Dia berjanji selalu menyertai.
Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata,
Tetapi Dia berjanji berikan kekuatan.”

Ya, Tuhan memang tak pernah berjanji padaku jika aku mengikut-Nya, hidupku akan selalu bahagia. Tuhan tak pernah berjanji jika aku setia menjadi anak-Nya, aku akan menjadi orang kaya atau artis terkenal. Tuhan juga tak pernah berjanji jika aku ikut kehendak-Nya, hidupku akan terbebas dari masalah. Ia tak pernah berjanji begitu. Tetapi, Ia berjanji bahwa Ia akan berdiri di sampingku untuk bersama-sama menghadapi masalah yang sedang kualami (Ibrani 13:5b). Ia berjanji akan memegang erat tanganku supaya aku tidak jatuh (Mazmur 37:24). Aku takkan pernah melewati badai hidup ini sendiri, karena Tuhan selalu di sampingku.

Hatiku semakin dikuatkan ketika membaca kalimat berikut di sebuah situs rohani:

Seberat apa pun pergumulan yang sedang kita alami, janganlah dijadikan alasan untuk menyerah, tetapi jadikanlah alasan untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Menyerah berbeda dengan berserah. Menyerah berarti sudah tidak mau berbuat apa-apa lagi dan berputus asa, tetapi orang yang berserah adalah orang yang mengandalkan Tuhan dan percaya penuh kepada kehendak-Nya. “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).

Tuhan memakai percakapanku dengan temanku untuk membuatku bertobat dan mendekat kembali kepada-Nya. Aku mengerti bahwa Tuhan mengizinkan masalah terjadi di hidupku untuk membuatku menjadi orang yang lebih dewasa dan kuat dalam hidup, dan semakin dekat pada-Nya. Ya, yang Tuhan inginkan adalah kita selalu dekat pada-Nya. Ia mau kita menceritakan suka-duka kita pada-Nya seperti seorang anak yang bercerita pada bapanya.

Tuhan telah mengajarkanku satu hal berikut. Daripada mengatakan, “Tuhan aku punya masalah yang besar,” katakanlah, “Hei masalah! Aku punya Tuhan yang besar dan kau bukan apa-apa bagiku, karena Tuhanku di sampingku sambil memegang erat tanganku.”

Baca Juga:

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Namun, melalui sebuah studi Alkitab yang diambil dari Kitab Roma, aku menemukan sebuah fakta yang mengejutkan.

Tenanglah, Hai Jiwaku!

Senin, 9 Juli 2018

Tenanglah, Hai Jiwaku!

Baca: Mazmur 131

131:1 Nyanyian ziarah Daud. TUHAN, aku tidak tinggi hati, dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku.

131:2 Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku; seperti anak yang disapih berbaring dekat ibunya, ya, seperti anak yang disapih jiwaku dalam diriku.

131:3 Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!

Sesungguhnya, aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku. —Mazmur 131:2

Tenanglah, Hai Jiwaku!

Bayangkanlah orangtua yang dengan penuh kasih berusaha menenangkan anaknya yang sedang sedih, kecewa, atau menderita. Dengan lembut ia bergumam ke telinga sang anak—“ssttt.” Sikap tubuh dan gumaman sederhana itu dimaksudkan untuk menghibur dan menenangkan si buah hati. Kita dapat membayangkannya karena itu terjadi di mana saja dan kapan saja. Banyak dari kita pernah memberi atau menerima ungkapan penuh kasih seperti itu. Gambaran itulah yang terlintas di benak saya ketika merenungkan Mazmur 131:2.

Gaya bahasa dan alur tulisan dari mazmur itu mengindikasikan bahwa Daud sebagai penulis telah mengalami sesuatu yang memicunya untuk sungguh-sungguh merenung. Pernahkah kamu mengalami kekecewaan, kekalahan, atau kegagalan yang mendorong kamu untuk berdoa dan merenung dengan khusyuk? Apa yang kamu lakukan ketika situasi kehidupan ini membuatmu terpuruk? Bagaimana responsmu ketika gagal dalam ujian, kehilangan pekerjaan, atau mengalami putus hubungan? Daud mencurahkan isi hatinya kepada Tuhan sekaligus menelusuri dan memeriksa jiwanya secara jujur (Mzm. 131:1). Saat hendak berdamai dengan situasi yang dihadapinya, ia pun menemukan kepuasan seperti yang dialami seorang anak kecil yang merasa nyaman hanya dengan berbaring di dekat ibunya (ay.2).

Situasi-situasi dalam kehidupan ini terus berubah dan terkadang membuat kita terpuruk. Namun, kita bisa berharap dan merasa tenang ketika tahu bahwa ada satu Pribadi yang telah berjanji tidak akan pernah meninggalkan atau mengabaikan kita. Kita dapat mempercayai-Nya sepenuhnya. —Arthur Jackson

Bapa, saat segala sesuatu berubah dalam hidupku, tolonglah aku untuk tidak cemas, melainkan tetap mempercayai-Mu dan menemukan kepuasan hanya di dalam-Mu.

Kepuasan hanya ditemukan di dalam Kristus.

Bacaan Alkitab Setahun: Ayub 38-40; Kisah Para Rasul 16:1-21