Nasihat Ayah

Senin, 11 Juni 2018

Nasihat Ayah

Baca: Amsal 3:1-7

3:1 Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,

3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.

3:3 Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu,

3:4 maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia.

3:5 Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.

3:6 Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.

3:7 Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan TUHAN dan jauhilah kejahatan;

Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. —Amsal 3:5

Nasihat Ayah

Setelah diberhentikan dari suatu pekerjaan editorial, saya berdoa dan meminta Allah untuk menolong saya mendapatkan pekerjaan baru. Namun, saat minggu demi minggu berlalu dan upaya saya menghubungi kenalan dan mengirim lamaran tidak juga membuahkan hasil, saya mulai bersungut-sungut. “Tuhan, tidakkah Engkau tahu betapa pentingnya bagiku memiliki pekerjaan?” tanya saya dengan sikap protes karena merasa doa saya tidak dijawab-jawab.

Saya lalu membahas keadaan saya tersebut dengan ayah saya. Ayah sering mengingatkan saya untuk mempercayai janji-janji Allah, dan kali itu beliau berkata, “Ayah ingin kamu mengalami sendiri apa artinya tetap mempercayai firman Allah.”

Nasihat ayah itu mengingatkan saya pada Amsal 3 yang berisi nasihat bijak dari orangtua kepada seorang anak yang dikasihinya. Bagian yang sudah sering dikutip ini sangat tepat diterapkan dalam kondisi saya: “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Ams. 3:5-6). “Meluruskan jalan” berarti bahwa Allah akan menuntun kita menuju maksud yang dikehendaki-Nya untuk pertumbuhan kita. Maksud utama-Nya adalah agar saya menjadi makin serupa dengan-Nya.

Itu tidak berarti jalan yang dipilih-Nya bagi kita akan mudah. Namun, saya dapat memilih untuk percaya bahwa tuntunan dan waktu-Nya adalah yang terbaik untuk saya.

Apakah kamu sedang menanti-nantikan jawaban Allah? Pilihlah untuk mendekat kepada-Nya dan percaya bahwa Dia akan menuntunmu. —Linda Washington

Tuhan, terima kasih Engkau menuntun dan memperhatikan setiap langkah kami. Tolonglah kami untuk mempercayai-Mu dari hari ke hari.

Bapa Surgawi tahu yang terbaik untuk kamu.

Bacaan Alkitab Setahun: Ezra 1-2; Yohanes 19:23-42

Sambutan Hangat

Minggu, 10 Juni 2018

Sambutan Hangat

Baca: 1 Petrus 4:7-11

4:7 Kesudahan segala sesuatu sudah dekat. Karena itu kuasailah dirimu dan jadilah tenang, supaya kamu dapat berdoa.

4:8 Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.

4:9 Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut.

4:10 Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.

4:11 Jika ada orang yang berbicara, baiklah ia berbicara sebagai orang yang menyampaikan firman Allah; jika ada orang yang melayani, baiklah ia melakukannya dengan kekuatan yang dianugerahkan Allah, supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus. Ialah yang empunya kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin.

Berilah tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut. —1 Petrus 4:9

Sambutan Hangat

“Sekarang, siapa yang akan menyambut jemaat yang datang?”

Itulah salah satu pertanyaan teman kami Steve setelah ia menerima kabar bahwa dirinya mengidap kanker dan harus absen dari gereja untuk sementara waktu. Dengan keramahannya, Steve bisa membuat siapa pun merasa diterima. Ia akan menyapa dengan sikap yang bersahabat, menjabat tangan dengan erat, bahkan memberikan “pelukan kudus” kepada jemaat yang datang ke gereja. Ia mengadaptasi Roma 16:16, yang menyatakan, “Bersalam-salamlah kamu dengan cium kudus.”

Sekarang, di saat kami mendoakan Steve agar Allah menyembuhkannya, ia justru mengkhawatirkan tidak adanya orang yang menyambut jemaat seperti itu selama ia absen dari gereja untuk menjalani operasi dan perawatan lanjutan.

Mungkin tidak setiap orang memberikan penyambutan sedemikian rupa seperti yang dilakukan oleh Steve. Namun, perhatiannya kepada orang lain menjadi teladan dan pengingat yang baik bagi kita. Perhatikan bahwa dalam Kitab Suci, Petrus mendorong orang percaya untuk memberikan “tumpangan seorang akan yang lain dengan tidak bersungut-sungut,” atau dengan cara yang berpusatkan pada kasih (1Ptr. 4:9; lihat Flp. 2:14). Meski memberikan tumpangan kepada orang yang melakukan perjalanan merupakan bentuk keramahtamahan yang umum pada abad pertama, tindakan itu haruslah selalu diawali dengan sambutan yang hangat.

Saat kita berinteraksi dengan orang lain di dalam kasih, baik melalui pelukan atau senyum hangat yang kita berikan, kita melakukannya “supaya Allah dimuliakan dalam segala sesuatu karena Yesus Kristus” (1Ptr. 4:11). —Dave Branon

Tuhan, mampukan kami menjadi saksi-Mu di hadapan sesama. Tuntun kami untuk menunjukkan keramahtamahan yang membuat mereka bisa mengenal kasih-Mu.

Lewat keramahtamahan, kita membagikan kebaikan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 34-36; Yohanes 19:1-22

Bapa yang Sempurna

Sabtu, 9 Juni 2018

Bapa yang Sempurna

Baca: Mazmur 27

27:1 Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?

27:2 Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh.

27:3 Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

27:4 Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.

27:5 Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.

27:6 Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.

27:7 Dengarlah, TUHAN, seruan yang kusampaikan, kasihanilah aku dan jawablah aku!

27:8 Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN.

27:9 Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!

27:10 Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku.

27:11 Tunjukkanlah jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, dan tuntunlah aku di jalan yang rata oleh sebab seteruku.

27:12 Janganlah menyerahkan aku kepada nafsu lawanku, sebab telah bangkit menyerang aku saksi-saksi dusta, dan orang-orang yang bernafaskan kelaliman.

27:13 Sesungguhnya, aku percaya akan melihat kebaikan TUHAN di negeri orang-orang yang hidup!

27:14 Nantikanlah TUHAN! Kuatkanlah dan teguhkanlah hatimu! Ya, nantikanlah TUHAN!

Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun Tuhan menyambut aku. —Mazmur 27:10

Bapa yang Sempurna

Hari itu, di lorong pertokoan yang padat, saya sedang bergumul mencari kartu ucapan yang tepat untuk Hari Ayah. Meskipun saya dan ayah sudah berdamai setelah mengalami ketegangan bertahun-tahun, saya tak pernah merasa dekat dengan ayah.

Wanita di sebelah saya mengeluh dan mengembalikan selembar kartu yang sempat dibacanya ke rak. “Mengapa sih tidak ada kartu untuk orang-orang yang sudah berusaha sebisa mungkin mempunyai hubungan baik dengan ayahnya?”

Ia pergi dengan frustrasi sebelum saya bisa menanggapi. Yang bisa saya lakukan hanyalah mendoakannya. Sambil bersyukur kepada Allah yang telah menunjukkan bahwa hanya Dialah Bapa yang sempurna, saya memohon agar Dia menguatkan hubungan saya dengan ayah saya.

Saya juga rindu menjalin hubungan yang makin akrab dengan Bapa saya di surga. Saya ingin seperti Daud yang meyakini penyertaan, kuasa, dan perlindungan Allah (Mzm. 27:1-6).

Ketika Daud berseru minta tolong, ia tahu Allah akan menjawabnya (ay.7-9). Daud menyatakan bahwa meskipun orangtua duniawi bisa menolak, meninggalkan, atau mengabaikan anak-anaknya, Allah menyambut dan menerima kita tanpa syarat (ay.10). Daud menjalani hidup dengan kepastian akan kebaikan Allah (ay.11-13). Seperti kebanyakan dari kita, adakalanya Daud bergumul, tetapi Roh Kudus menolongnya tetap bertahan dalam kepercayaan dan ketergantungan kepada Allah (ay.14).

Kita pasti akan menghadapi masalah-masalah dalam hubungan kita dengan sesama di sepanjang perjalanan hidup ini. Namun, meskipun orang lain mengecewakan, menjatuhkan, atau menyakiti kita, kita tetap dikasihi dan dilindungi sepenuhnya oleh Allah, satu-satunya Bapa yang Sempurna. —Xochitl Dixon

Tuhan, terima kasih karena Engkau adalah Bapa yang selalu bisa kami andalkan.

Sebagai Bapa yang Sempurna, Allah takkan pernah mengecewakan, meninggalkan, atau berhenti mengasihi kita.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 32-33; Yohanes 18:19-40

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.

Wajah

Jumat, 8 Juni 2018

Wajah

Baca: Galatia 5:22-26

5:22 Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan,

5:23 kelemahlembutan, penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu.

5:24 Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.

5:25 Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,

5:26 dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.

Kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. . . . kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. —2 Korintus 3:18

Wajah

Ketika cucu kami, Sarah, masih kecil, ia berusaha menjelaskan kepada saya apa yang terjadi ketika seseorang meninggal: “Yang masuk surga itu cuma wajah kita, bukan tubuh kita. Di surga nanti kita punya tubuh baru, tetapi wajah kita tidak berubah.”

Tentu saja, konsep Sarah tentang keberadaan manusia dalam kekekalan itu masih pemikiran kanak-kanak. Namun sebenarnya, ia telah menangkap satu kebenaran yang penting, yaitu bahwa wajah kita, bisa dikatakan, merupakan cerminan kasatmata dari jiwa kita yang tak terlihat.

Ibu pernah mengatakan bahwa jika saya sering memasang raut wajah yang galak maka itu bisa menjadi tampang saya seumur hidup. Ibu memang bijak. Alis yang berkerut, mulut yang menyeringai, dan tatapan culas dari mata kita mungkin menunjukkan bahwa jiwa kita sedang merana. Sementara itu, meski keriput, kerut, dan perubahan fisik lainnya mulai menghiasi wajah kita, tetapi sorot mata yang teduh, raut wajah yang tenang, senyum yang hangat dan ramah bisa menandakan adanya hati yang telah diubahkan.

Tidak banyak yang bisa kita lakukan terhadap wajah yang kita miliki sejak lahir. Namun, kita bisa melakukan sesuatu untuk bertumbuh menjadi pribadi yang kita inginkan. Kita dapat berdoa agar kita makin memiliki kerendahan hati, kesabaran, kebaikan, toleransi, rasa syukur, kerelaan mengampuni, damai sejahtera, dan kasih (Gal. 5:22-26).

Oleh anugerah Allah, dan pada waktu-Nya, kiranya hatimu dan saya bertumbuh semakin menyerupai Tuhan kita, dan keserupaan itu tecermin pada wajah kita seiring dengan bertambahnya usia. Dengan demikian, seperti diungkapkan penyair Inggris, John Donne (1572-1631), kita bertambah tua “semakin indah hingga akhir hayat”. —David H. Roper

Tuhan Yesus, aku ingin semakin menyerupai-Mu dari hari ke hari. Tolonglah aku untuk rela dibentuk saat Engkau berkarya di dalam hatiku.

Tiada yang dapat menandingi keindahan hati yang penuh kasih.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 30-31; Yohanes 18:1-18

Dalam Kebenaran

Kamis, 7 Juni 2018

Dalam Kebenaran

Baca: Zefanya 1:1-6; 2:1-3

1:1 Firman TUHAN yang datang kepada Zefanya bin Kusyi bin Gedalya bin Amarya bin Hizkia dalam zaman Yosia bin Amon, raja Yehuda.

1:2 “Aku akan menyapu bersih segala-galanya dari atas muka bumi, demikianlah firman TUHAN.

1:3 Aku akan menyapu manusia dan hewan; Aku akan menyapu burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut. Aku akan merebahkan orang-orang fasik dan akan melenyapkan manusia dari atas muka bumi, demikianlah firman TUHAN.

1:4 Aku akan mengacungkan tangan-Ku terhadap Yehuda dan terhadap segenap penduduk Yerusalem. Aku akan melenyapkan dari tempat ini sisa-sisa Baal dan nama para imam berhala,

1:5 juga mereka yang sujud menyembah di atas sotoh kepada tentara langit dan mereka yang menyembah dengan bersumpah setia kepada TUHAN, namun di samping itu bersumpah demi Dewa Milkom,

1:6 serta mereka yang berbalik dari pada TUHAN, yang tidak mencari TUHAN dan tidak menanyakan petunjuk-Nya.”

2:1 Bersemangatlah dan berkumpullah, hai bangsa yang acuh tak acuh,

2:2 sebelum kamu dihalau seperti sekam yang tertiup, sebelum datang ke atasmu murka TUHAN yang bernyala-nyala itu, sebelum datang ke atasmu hari kemurkaan TUHAN.

2:3 Carilah TUHAN, hai semua orang yang rendah hati di negeri, yang melakukan hukum-Nya; carilah keadilan, carilah kerendahan hati; mungkin kamu akan terlindung pada hari kemurkaan TUHAN.

Ia membaharui Engkau dalam kasih-Nya, Ia bersorak-sorak karena engkau dengan sorak-sorai. —Zefanya 3:17

Dalam Kebenaran

Bertahun-tahun lalu, saya pernah menghadiri pernikahan dari sepasang mempelai yang berasal dari negara yang berbeda. Perpaduan budaya seperti itu memang indah, tetapi perayaan tersebut mencampur unsur tradisi Kristen dengan ritual-ritual dari sebuah kepercayaan lain yang menyembah dewa-dewa.

Zefanya mengutuk keras tindakan mencampur kepercayaan lain dengan iman kepada satu-satunya Allah yang sejati (biasa disebut sinkretisme). Bangsa Yehuda telah menyembah Allah sekaligus mengandalkan Dewa Milkom (Zef. 1:5). Zefanya menyebutkan bagaimana bangsa itu menyerap budaya yang tidak mengenal Allah (ay.8) sembari memperingatkan bahwa sebagai akibat dari perbuatan itu, Allah akan membuang mereka dari tanah air mereka.

Meski demikian, Allah tidak pernah berhenti mengasihi umat-Nya. Penghakiman-Nya dimaksudkan agar mereka menyadari kebutuhan mereka untuk berpaling kepada-Nya. Zefanya pun mendorong bangsa Yehuda untuk mencari keadilan dan kerendahan hati (2:3). Kemudian Tuhan berjanji akan memberi mereka pemulihan di masa mendatang: “Pada waktu itu Aku akan membawa kamu pulang, yakni pada waktu Aku mengumpulkan kamu” (3:20).

Sinkretisme seperti yang terjadi pada pesta pernikahan yang saya hadiri itu memang sangat disesali. Namun pada kenyataannya, kita semua bisa dengan mudahnya mencampuradukkan kebenaran Allah dengan keyakinan-keyakinan lain dalam budaya kita. Kita membutuhkan tuntunan Roh Kudus untuk menguji keyakinan kita dengan kebenaran firman Allah dan memegang kebenaran itu dengan penuh keyakinan dan kasih. Allah Bapa kita menerima siapa saja yang menyembah-Nya dalam Roh dan kebenaran (lihat Yoh. 4:23-24). —Tim Gustafson

Saat ada dalam masalah, ke mana aku berpaling? Krisis menyingkapkan siapa yang sesungguhnya kuandalkan. Apakah aku beriman sepenuhnya kepada Allah? Pergumulan apa yang patut kuserahkan kepada-Nya hari ini?

Allah selalu siap mengampuni dan memulihkan umat-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 28-29; Yohanes 17

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Aku menaruh buku The Imitation of Christ yang ditulis oleh Thomas A. Kempis di atas meja belajarku. Kadang aku mengambilnya, membaca satu bagian singkat, merenung sebentar, kemudian merasa disegarkan atau ditantang olehnya. Hari ini, aku membaca sebuah bagian berupa doa dari seorang murid Kristus. Doa tersebut ditulis dalam bahasa Inggris. Kalau aku terjemahkan secara bebas, kira-kira isinya seperti ini:

Tuhan, perkataan-Mu benar adanya. Pemeliharaan-Mu bagiku melebihi apa pun yang bisa kulakukan untuk diriku sendiri. Karena barangsiapa yang tidak meletakkan segala kehawatirannya kepada-Mu, berdiri dengan sangat tidak aman. Kalau saja kehendakku tetap benar dan teguh terarah kepada-Mu, Tuhan, lakukanlah kepadaku apa pun yang menyukakan-Mu. Karena apa pun yang akan Kau lakukan kepadaku hanyalah kebaikan semata.

Jika Engkau menginginkanku berada dalam kegelapan, aku akan memuji-Mu. Dan, jika Engkau menginginkanku untuk berada dalam terang, juga aku akan memuji-Mu. Jika Engkau membungkuk untuk menghiburku, aku akan memuji-Mu, dan jika Engkau menginginkanku menderita kemalangan, aku akan memuji-Mu selamanya.

Aku membaca doa ini beberapa kali. Ada dua hal yang kemudian terpikir olehku: Pertama, menurutku apa yang penulis tuliskan dalam doa itu sangatlah tepat. Itulah doa seorang Kristen yang mencintai Tuhannya, doa seorang murid Kristus. Tetapi, yang kedua, aku ngeri untuk mengucapkannya dengan sungguh.

Sangat jarang sebetulnya kita berdoa kepada Tuhan dengan sikap hati yang berkata, “lakukanlah kepadaku apa pun juga.” Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow…

Kalau doa ini menyebutkan dua sisi: A dan B, senang dan susah, sehat dan sakit, kaya dan miskin, maka kita selalu minta yang A. Lebih celaka lagi, kalau sikap kita: “Berikan aku yang A, karena itu sudah seharusnya. Berikan aku yang B, maka aku marah.”

Kalau kita perhatikan, penulis berani berdoa seperti di paragraf kedua itu karena ada paragraf pertama. Dia berani berdoa meminta “apa pun juga” karena dia percaya kepada Tuhan. Dia percaya akan kasih dan pemeliharaan Tuhan. Dia percaya Tuhan mampu dan mau memelihara dia, bahkan lebih daripada dirinya sendiri. Apa pun yang baik yang dia inginkan bagi dirinya, Tuhan lebih ingin! Itu sebabnya, dia percaya apa pun yang dilakukan Tuhan kepadanya adalah kebaikan. Maka, “Bring it on, Lord! Lakukanlah kepadaku apa pun! Aku akan memuji-Mu!”

Aku jadi berpikir, betapa bedanya hidup rohani kita kalau kita sering berdoa seperti ini.

Betapa kita, termasuk aku, perlu terus belajar berdoa. Karena bagaimana kita berdoa—berbincang dengan Tuhan, akan menentukan kerohanian kita.

Baca Juga:

Sebuah Aib yang Diubah Allah Menjadi Berkat

Aku pernah dengar sebuah pernyataan berikut, “Orang yang belum melupakan kesalahan orang yang diampuninya belum sungguh-sungguh mengampuninya.” Meskipun tidak sepenuhnya, aku setuju dengan sebagian pernyataan itu.

Bahu-Membahu

Rabu, 6 Juni 2018

Bahu-Membahu

Baca: Nehemia 3:1-12

3:1 Maka bersiaplah imam besar Elyasib dan para imam, saudara-saudaranya, lalu membangun kembali pintu gerbang Domba. Mereka mentahbiskannya dan memasang pintu-pintunya. Mereka mentahbiskannya sampai menara Mea, menara Hananeel.

3:2 Berdekatan dengan mereka orang-orang Yerikho membangun, dan berdekatan dengan orang-orang itu Zakur bin Imri.

3:3 Pintu gerbang Ikan dibangun oleh bani Senaa. Mereka memasang balok-balok lalu memasang pintu-pintunya dengan pengancing-pengancing dan palang-palangnya.

3:4 Berdekatan dengan mereka Meremot bin Uria bin Hakos mengadakan perbaikan, dan berdekatan dengan dia Mesulam bin Berekhya bin Mesezabeel. Berdekatan dengan dia Zadok bin Baana mengadakan perbaikan,

3:5 dan berdekatan dengan dia orang-orang Tekoa. Hanya pemuka-pemuka mereka tidak mau memberi bahunya untuk pekerjaan tuan mereka.

3:6 Pintu gerbang Lama diperbaiki oleh Yoyada bin Paseah dan Mesulam bin Besoja. Mereka memasang balok-balok lalu memasang pintu-pintunya dengan pengancing-pengancing dan palang-palangnya.

3:7 Berdekatan dengan mereka Melaca, orang Gibeon, dan Yadon, orang Meronot, mengadakan perbaikan beserta orang-orang Gibeon dan Mizpa, yang berada di wilayah kekuasaan bupati daerah sebelah barat sungai Efrat.

3:8 Berdekatan dengan mereka Uziel bin Harhaya, salah seorang tukang emas, mengadakan perbaikan, dan berdekatan dengan dia Hananya, seorang juru campur rempah-rempah. Mereka memperkokoh Yerusalem sampai tembok Lebar.

3:9 Berdekatan dengan mereka Refaya bin Hur, penguasa setengah wilayah Yerusalem yang satu mengadakan perbaikan.

3:10 Berdekatan dengan dia Yedaya bin Harumaf mengadakan perbaikan, tepat di depan rumahnya, dan berdekatan dengan dia Hatus bin Hasabneya.

3:11 Malkia bin Harim dan Hasub bin Pahat-Moab memperbaiki bagian yang lain dan menara Perapian.

3:12 Berdekatan dengan mereka Salum bin Halohesh, penguasa setengah wilayah Yerusalem yang lain mengadakan perbaikan bersama-sama anak-anak perempuannya.

Berdua lebih baik dari pada seorang diri, karena mereka menerima upah yang baik dalam jerih payah mereka. —Pengkhotbah 4:9

Bahu-Membahu

Pada zaman kuno, kota yang temboknya rusak menjadi indikasi bahwa penduduknya telah dikalahkan. Mereka terancam bahaya dan berisiko dipermalukan. Itulah alasan orang Yahudi membangun kembali tembok kota Yerusalem. Nehemia 3 menunjukkan bahwa mereka melakukannya dengan bahu-membahu.

Sekilas, pasal 3 mungkin terlihat seperti cerita bertele-tele tentang apa tugas orang-orang dalam pembangunan tersebut. Namun, jika dicermati, pasal itu memperlihatkan bagaimana bangsa itu bergotong royong. Para imam bahu-membahu dengan para penguasa. Juru campur rempah-rempah dan tukang emas sama-sama bekerja. Orang-orang dari kota-kota sekitar datang membantu. Yang lainnya memperbaiki rumah di depan rumah mereka. Anak-anak perempuan Salum ikut mengadakan perbaikan (3:12) dan ada yang memperbaiki dua bagian, seperti orang-orang Tekoa (ay.5,27).

Ada dua hal yang menonjol dari pasal ini. Pertama, mereka semua bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Kedua, mereka semua dipuji karena telah mengambil bagian dalam pekerjaan itu dan bukan karena besar-kecilnya pekerjaan mereka masing-masing.

Saat ini kita melihat banyaknya keluarga yang hancur dan masyarakat yang rusak. Namun, Yesus datang untuk membangun Kerajaan Allah dengan mengubah hidup manusia. Kita dapat mengambil bagian untuk membangun kembali lingkungan kita dengan menunjukkan kepada sesama kita bahwa mereka bisa menemukan pengharapan dan hidup baru di dalam Yesus Kristus. Tugas itu memanggil kita semua. Karena itu, marilah kita bahu-membahu dalam mengerjakan bagian kita—besar atau kecil—untuk menciptakan komunitas kasih yang memungkinkan orang bertemu dengan Yesus. —Keila Ochoa

Allah terkasih, tolong aku untuk dapat bekerja sama dengan sesamaku, dengan bahu-membahu dalam menunjukkan kasih dan mengarahkan orang lain kepada Yesus.

Marilah kita bahu-membahu membangun Kerajaan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 25-27; Yohanes 16

Lock Screen: 2 Korintus 12:9

Yuk download dan gunakan lock screen ini di ponselmu!

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: ‘Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.'” (2 Korintus 12:9)

Klik di sini untuk melihat koleksi lock screen WarungSaTeKaMu