Merasa Aman

Kamis, 22 Februari 2018

Merasa Aman

Baca: Ibrani 4:11-16

4:11 Karena itu baiklah kita berusaha untuk masuk ke dalam perhentian itu, supaya jangan seorangpun jatuh karena mengikuti contoh ketidaktaatan itu juga.

4:12 Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.

4:13 Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab.

4:14 Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus, Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita.

4:15 Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.

4:16 Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya.

Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia. —Ibrani 4:16

Merasa Aman

Dalam sebagian besar kehidupan ini, kita tidak diperingatkan tentang pengalaman yang akan datang dan mengguncang kita. Namun, Allah Bapa yang mengasihi kita tahu dan peduli terhadap pergumulan-pergumulan kita. Dia pun mengundang kita agar membawa semua beban, kepedihan, dan ketakutan kita kepada-Nya. Kitab Suci memberi tahu kita bahwa, “Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” (Ibr. 4:15-16).

Di tengah segala guncangan yang kita alami, hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah datang kepada Bapa kita di dalam doa. Frasa “kasih karunia untuk mendapat pertolongan kita pada waktunya” mengandung arti bahwa dalam kehadiran-Nya, kita dapat merasa aman dan damai, bahkan di saat-saat yang menakutkan, karena kita membawa setiap permasalahan kita kepada Pribadi yang lebih besar dari segalanya! Ketika beban hidup terasa begitu berat, kita dapat berdoa. Allah sanggup menolong kita melintasi segala guncangan yang ada. —Bill Crowder

Bapa, terkadang beban hidup ini begitu berat. Tolonglah aku mempercayai-Mu dalam segala guncangan dan menyadari bahwa Kau sangat mempedulikan hidupku.

Walau kita tidak bisa memperkirakan ujian yang akan kita alami, kita bisa berdoa kepada Bapa yang sangat memahami apa yang sedang kita hadapi.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 4-6; Markus 4:1-20

Artikel Terkait:

Dipulihkan Karena Doa

Ketika Pernikahan Tidak Mengubahkan Hidupku

Oleh Agnes Lee, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Thought Marriage Could Change Me

“Jangan digaruk lagi! Kalau kamu bisa berhenti menggaruk kulitmu, kamu akan jadi cantik seperti anak-anak perempuan lainnya!” Itulah yang perkataan yang sering diucapkan ibuku seiring dengan aku tumbuh dewasa.

Aku menderita eksim, suatu penyakit yang membuat kulitku menjadi merah, pecah-pecah, gatal, dan penuh luka seperti luka melepuh. Ibuku sangat khawatir, apabila nanti kulitku tidak benar-benar pulih, maka kecil kemungkinanku untuk menikah karena tidak ada laki-laki yang menginginkanku.

Walaupun kondisi kulitku semakin membaik seiring aku beranjak dewasa, tapi kulitku masih tetap kering dan kemerahan bila dibandingkan dengan kulit perempuan lainnya. Kekhawatiran yang dulu dialami ibuku pun jadi kekhawatiranku juga. Aku khawatir dengan penampilanku. Rasa khawatirku akan kondisi fisikku ini pada akhirnya membawaku pada suatu kesimpulan: solusi dari permasalahanku adalah menemukan seorang lelaki yang mau menerimaku dan menikahiku.

Lalu, aku pun berimajinasi tentang pernikahan dan percaya bahwa itu dapat mengubahku sepenuhnya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Bukan pernikahan yang dapat mengalahkan segala rasa takut itu, melainkan cinta sejati. Aku berpikir bahwa dengan menikah nanti aku akan berhenti menganggap rendah diriku sendiri, berhenti menjadi orang yang temperamental, dan aku akan dicintai dan diterima apa adanya.

Di pertengahan usiaku yang ke-20, aku bertemu dengan seseorang yang istimewa. Dia menerima kondisi kulitku yang kemerahan dan kering, dan segera setelah itu dia pun menjadi suamiku. Aku sangat bangga karena pada akhirnya aku menikah. Aku merasa aman dengan statusku yang baru seakan aku sudah terpilih dari sekian banyak gadis lainnya.

Namun, rasa kenyamanan dalam status baruku itu tidak bertahan lama. Pernikahan hanya memberiku rasa aman yang semu.

Di awal pernikahanku, aku mulai melihat bahwa aku dan suamiku ternyata tidak memiliki banyak kesamaan. Ketika kami berpacaran dulu, aku berusaha terlalu keras untuk terus mengalah demi mencapai kata sepakat. Aku tidak pernah benar-benar menyuarakan apa yang aku inginkan.

Kami adalah dua pribadi yang sangat berbeda. Suamiku suka suka menonton ke bioskop sementara aku sering tertidur saat film diputar. Dia lebih suka makanan Barat, sedangkan aku lebih suka makanan Asia. Setiap kali kami pergi berkencan dan harus memutuskan sesuatu, ujung-ujungnya kami malah berkonflik. Saat di rumah, dia suka menonton TV sampai larut malam, sedangkan aku lebih memilih untuk tidur di jam sepuluh. Dia seperti tidak peduli dengan kerapian, sedangkan bagiku kerapian itu merupakan hal yang penting.

Kami berdua terlalu keras kepala untuk mengalah dan pertengkaran kami seperti tidak ada ujungnya. Ketika anak kami lahir, kami malah jadi semakin sering bertengkar dan sifat temperamentalku pun semakin bertambah parah. Bahkan, kekesalan sedikit saja bisa membuat emosiku memuncak dan menjadi sangat marah. Membanting pintu sudah menjadi suatu kebiasaanku di rumah, bahkan suatu ketika aku pernah melempar iPad ke lantai saking aku begitu marahnya. Konflik yang terjadi setiap harinya membuat emosiku sangat terkuras.

Sebelumnya, aku pernah berpikir bahwa pernikahan itu akan melengkapiku dan memberiku rasa aman. Aku pikir aku akan menjadi pribadi yang lebih sabar dan mencintai setelah menikah. Namun, ternyata aku benar-benar salah. Pernikahan malah membuatku merasa tidak dicintai, bahkan aku menyesal karena telah menikah. Aku sangat terluka dan takut akan masa depan, terutama karena sekarang aku memiliki tanggung jawab atas seorang anak. Pikiran akan perceraian menggantung di benakku dan aku bertanya-tanya: apakah aku mampu jika harus hidup sebagai seorang single mom?

Hal ini terus berlangsung selama berbulan-bulan sampai seorang kakak rohaniku datang menghampiriku dengan penuh kasih dan mengarahkanku kepada firman Tuhan. Aku menemukan sebuah ayat dari materi pendalaman Alkitab yang aku ikuti. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1 Yohanes 4:19). Cinta sejati awalnya datang dari Tuhan dan kami (aku dan suamiku) sungguh-sungguh memerlukan Tuhan dalam hidup kami. Kami perlu memahami dan menerima kasih Tuhan sebelum kami bisa memberikan kasih yang sama kepada sesama. Hanya kasih Allah yang mampu memulihkan dan melepaskan tekanan yang kami hadapi dalam pernikahan kami.

Seiring aku mempelajari Alkitab, sebuah ayat lain yang menyakinkanku adalah dari Yakobus 4:1:

“Dari manakah datangnya sengketa dan pertengkaran di antara kamu? Bukankah datangnya dari hawa nafsumu yang saling berjuang di dalam tubuhmu?”

Aku menyadari bahwa akar permasalahan dari pertengkaran-perengkaran kami adalah karena aku terlalu terfokus pada apa yang aku inginkan. Aku telah meletakkan keinginan dan kepentinganku di atas kepentingan suamiku. Alih-alih menjadikan Allah sebagai pusat dari kehidupan pernikahanku, aku malah menjadikan diriku sendiri sebagai pusatnya. Dan, itulah yang menghalangiku untuk menunjukkan kasih yang sejati kepada suamiku, seperti yang Allah telah tunjukkan kepadaku.

Di situlah titik balik kehidupanku. Aku berpaling kepada Allah dan memohon pertolongan Roh Kudus agar aku dapat melihat bahwa sesungguhnya aku berharga di mata Allah. Aku juga meminta kekuatan untuk dapat mengendalikan diriku di saat-saat yang mengarah kepada konflik. Perlahan-lahan, aku mulai bisa menguasai emosiku dengan lebih baik, dan kami jadi lebih jarang bertengkar.

Saat ini, relasiku dengan suamiku sudah membaik karena kehadiran dan campur tangan Allah di dalamnya. Melalui pengalamanku, aku sadar bahwa pernikahan tanpa Allah sebagai pusat segalanya tidak akan pernah bisa mengubah seseorang. Sebuah pernikahan yang dibangun atas dasar kekuatan manusia untuk mengerjakan semuanya tidak akan pernah berhasil karena kita adalah manusia penuh dosa yang menjadi mangsa dari keinginan dosa kita sendiri.

Kita perlu Seseorang yang lebih kuat dari kita supaya kita bisa berhasil. Kita perlu Tuhan.

Baca Juga:

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Tapi, melalui masa singleku yang panjang inilah Tuhan sedang membentukku.

Laba-Laba dan Kehadiran Allah

Rabu, 21 Februari 2018

Laba-Laba dan Kehadiran Allah

Baca: Efesus 3:14-19

3:14 Itulah sebabnya aku sujud kepada Bapa,

3:15 yang dari pada-Nya semua turunan yang di dalam sorga dan di atas bumi menerima namanya.

3:16 Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu,

3:17 sehingga oleh imanmu Kristus diam di dalam hatimu dan kamu berakar serta berdasar di dalam kasih.

3:18 Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus,

3:19 dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.

Aku berdoa supaya Ia, menurut kekayaan kemuliaan-Nya, menguatkan dan meneguhkan kamu oleh Roh-Nya di dalam batinmu. —Efesus 3:16

Laba-Laba dan Kehadiran Allah

Laba-laba. Saya tidak tahu apakah ada anak-anak yang menyukai laba-laba. Apalagi kalau laba-laba itu ada di kamar tidur mereka. Suatu hari, ketika putri saya bersiap untuk tidur, ia melihat binatang itu di dekat tempat tidurnya. “Ayaaaah!!!!! Laba-labaaaa!!!!!” teriaknya. Meski telah bersusah-payah mencari, saya tidak dapat menemukan penyusup berkaki delapan itu. “Laba-laba itu takkan menyakitimu,” saya coba meyakinkannya. Ia tidak percaya. Akhirnya, ia mau tidur setelah saya berjanji untuk berjaga-jaga dan menemaninya di samping tempat tidur.

Saat putri saya sudah tenang, saya pun memegang tangannya. Saya berkata, “Ayah sangat sayang padamu. Sekarang Ayah menemanimu, tetapi tahukah kamu, Allah mengasihimu lebih daripada kasih ayah dan ibu. Dan Dia sangat dekat padamu. Kamu selalu bisa berdoa kepada-Nya saat kamu takut.” Perkataan saya sepertinya berhasil menghibur putri saya, dan ia pun segera tidur pulas.

Kitab Suci berulang kali meyakinkan kita bahwa Allah selalu dekat (Mzm. 145:18; Rm. 8:38-39; Yak. 4:7-8), tetapi terkadang kita sulit untuk mempercayainya. Mungkin karena itulah Paulus mendoakan jemaat di Efesus agar mereka memiliki kekuatan dan keteguhan untuk memahami kebenaran tersebut (Ef. 3:16). Ia tahu bahwa ketika kita takut, kita bisa lupa bahwa Allah dekat dengan kita. Namun, sama seperti saya menggenggam tangan putri saya dengan penuh kasih sambil ia tertidur malam itu, begitu juga Bapa Surgawi yang penuh kasih selalu dekat dan menyertai kita. Dia hanya sejauh doa. —Adam Holz

Tuhan, terima kasih karena Engkau selalu dekat dan menyertai kami. Berilah kami kekuatan dan keteguhan di dalam hati untuk mengingat bahwa Engkau menyertai kami, Engkau sangat mengasihi kami, dan kami dapat selalu berseru kepada-Mu.

Sebesar apa pun ketakutan kita, Allah selalu dekat dengan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 1-3; Markus 3

Sang Tabib Agung

Selasa, 20 Februari 2018

Sang Tabib Agung

Baca: Matius 4:23-5:12

4:23 Yesuspun berkeliling di seluruh Galilea; Ia mengajar dalam rumah-rumah ibadat dan memberitakan Injil Kerajaan Allah serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan di antara bangsa itu.

4:24 Maka tersiarlah berita tentang Dia di seluruh Siria dan dibawalah kepada-Nya semua orang yang buruk keadaannya, yang menderita pelbagai penyakit dan sengsara, yang kerasukan, yang sakit ayan dan yang lumpuh, lalu Yesus menyembuhkan mereka.

4:25 Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan.

5:1 Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya.

5:2 Maka Yesuspun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya:

5:3 “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

5:4 Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.

5:5 Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi.

5:6 Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan.

5:7 Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.

5:8 Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.

5:9 Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.

5:10 Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.

5:11 Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat.

5:12 Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.”

Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. —Yohanes 15:4

Sang Tabib Agung

Ketika Dr. Rishi Manchanda bertanya kepada pasien-pasiennya, “Di mana Anda tinggal?”, ia tidak sekadar menanyakan alamat. Ia telah melihat sebuah pola. Pasien-pasien yang ditolongnya pada umumnya tinggal di lingkungan yang bermasalah. Jamur, hama, dan racun membuat mereka sakit. Dr. Manchanda lalu menjadi pendukung dari sebuah pelayanan medis yang bernama Upstream Doctors. Selain memberikan perawatan medis yang mendesak, para petugas layanan kesehatan itu bekerja sama dengan para pasien dan komunitas mereka untuk menciptakan lingkungan yang mendukung tercapainya kesehatan yang lebih baik.

Ketika Yesus menyembuhkan orang-orang yang datang kepada-Nya (Mat. 4:23-24), Dia membuka mata mereka untuk melihat lebih jauh dari sekadar kesembuhan fisik dan materi yang mereka cari. Dalam Khotbah di Bukit, Yesus memberikan sesuatu yang melebihi mukjizat secara medis (5:1-12). Tujuh kali Yesus menyebut tentang sikap hati dan pikiran yang mencerminkan suatu kesehatan yang dimulai dengan memiliki pandangan dan janji yang baru tentang kesehatan rohani (ay.3-9). Dua kali Dia menyebutkan bahwa mereka yang mengalami penganiayaan, tetapi yang tetap berharap kepada-Nya dan tinggal di dalam Dia, adalah orang-orang yang berbahagia (ay.10-12).

Perkataan Yesus membuat saya bertanya-tanya. Di manakah saya tinggal? Seberapa sadarkah saya bahwa kebutuhan saya akan kesehatan rohani lebih besar daripada kesembuhan fisik dan pemulihan materi yang saya cari? Dalam kerinduan saya untuk menerima mukjizat, apakah saya rindu menjadi orang yang miskin, berduka, lapar, berbelaskasihan, cinta damai—mereka yang disebut Yesus berbahagia? —Mart DeHaan

Bapa di surga, memang sulit untuk melihat hal-hal lain ketika kami menderita. Izinkan kami mengalami belas kasihan-Mu sekarang. Arahkan mata kami untuk tidak hanya melihat kebutuhan kami sendiri. Kiranya kami memiliki pandangan yang baru dan pemulihan kesehatan rohani dalam Kristus, Pemelihara dan Penyembuh kami.

Ketika kita tinggal di dalam Allah, Dia menjadi satu-satunya pengharapan kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 26-27; Markus 2

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Udah punya pacar belum?” adalah pertanyaan umum yang sering kudengar saat pulang ke kampung halaman atau bertemu dengan saudara. Pertanyaan itu diajukan kepadaku sejak tahun 2007. Padahal, saat itu aku baru menginjak kelas 2 SMA dan usiaku pun belum 17 tahun. Artinya, sampai saat ini, pertanyaan itu sudah diajukan kepadaku selama lebih dari 10 tahun. Dan, pastinya aku akan terus mendengar pertanyaan itu kalau aku belum menemukan pasangan hidupku.

Pertanyaan seperti itu sepertinya bukanlah pertanyaan yang ada akhirnya. Jika seandainya aku sudah memiliki pacar pun, tentu akan ada pertanyaan lainnya yang akan diajukan. “Kapan nikah?” dan setelah menikah berganti lagi jadi “kapan punya anak?” kemudian “kapan nambah momongan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan datang. Kembali lagi ke pertanyaan sudah punya pacar atau belum, biasanya aku akan menjawab “belum”, sambil tersenyum lebar seakan tanpa beban. Tapi, apakah benar tanpa beban?

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Atau, takut apabila mamaku tidak bisa menyaksikanku berjalan menuju altar karena usianya yang semakin menua. Aku sudah tidak tahu berapa banyak pesta pernikahan yang aku hadiri selagi aku berstatus single dan sudah berapa banyak konsep yang kubuat untuk hari bahagiaku nanti. Harus kuakui, orang-orang yang sedang bergumul dengan pasangan hidup dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini mungkin sudah hafal sekali dengan penggalan ayat pembuka dari Pengkhotbah 3.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1).

Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang juga mengimani ayat itu. Dalam perenunganku di masa single ini, aku belajar bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam hidup, temasuk dari masa single yang tengah kujalani. Tiga hal yang kupelajari inilah yang menolongku untuk tetap menikmati proses dan memperlengkapiku untuk kelak menjadi seorang penolong yang sepadan bagi pasanganku.

1. Masa single adalah masa untuk melayani Tuhan

Berbicara tentang melayani Tuhan itu bukan berarti mereka yang sudah berpacaran atau menikah tidak bisa melayani Tuhan lagi. Hanya saja, menurutku mereka yang telah berkeluarga memiliki fokus tambahan untuk mengurusi keluarganya. Seperti yang dimaksudkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“…Dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1 Korintus 7:34).

Ada beberapa orang yang kutemui, yang semasa single-nya aktif melayani, tapi ketika berkeluarga malah mandek melayani. Waktu mahasiswa rutin datang persekutuan, tapi setelah menikah ingat ada persekutuan untuk alumni saja sudah syukur. Alasannya karena sudah ada keluarga yang harus dilayani. Memang keluarga adalah prioritas, tetapi kupikir tentunya akan lebih baik lagi jika sekeluarga aktif melayani bersama-sama.

Kembali ke masa single, menurutku masa ini adalah masa yang tepat untuk melayani. Selain tidak terbagi fokus, tentunya masa-masa single memberi kita kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu melayani. Tapi, hal ini bukan berarti lantas kita yang single tidak berusaha mencari pasangan hidup. Kata orang, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita juga harus mencarinya. Jika Tuhan berkenan, mungkin saja dia yang kamu cari selama ini adalah partner pelayananmu

Saat ini aku melayani sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di kampus. Selain itu aku melayani di gereja sebagai lektor dalam ibadah Minggu. Jika di saat weekend aku tidak memiliki agenda, maka aku akan menyempatkan diri untuk mengikuti ibadah persekutuan alumni atau menghadiri kegiatan kaum muda di gereja. Tentunya tujuan utama aku datang ke acara ini adalah untuk mendengarkan firman Tuhan dan juga menikmati fellowship dengan orang-orang percaya lainnya. Bagiku, jika aku menemukan pasangan hidupku di sini, maka hal ini kuanggap sebagai bonus.

2. Masa single adalah masa untuk memperlengkapi diri

Apa yang menjadi kriteria pasangan hidupmu? Selain lawan jenis dan seiman tentunya, adakah kriteria lain seperti pandai bermain musik, takut akan Tuhan, dan seorang pemimpin rohani masuk ke dalam kriteria-kriteriamu? Adakah kriteria-kriteria lainnya?

Seorang pria yang seiman, takut akan Tuhan dan seorang yang mengenal pelayanan gereja adalah kriteriaku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Tapi, tanpa kusadari, di titik inilah aku jatuh. Aku lupa bahwa ketika Tuhan menciptakan Hawa bagi Adam, Tuhan tidak berkata:

“baiklah aku menciptakan seorang pendamping yang akan terus mengaguminya seumur hidupnya.”

Akan tetapi Tuhan berkata: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).

Lantas, aku berkaca pada diriku sendiri: sudahkah aku menjadi penolong yang baik, yang sepadan bagi pasanganku kelak? Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlengkapi diri sendiri selagi menantikan pasangan hidup. Selain aktif melayani dan mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah, ada banyak buku bacaan rohani yang baik dan berkualitas yang aku baca. Bagaimana Oswald Chambers mengajak kita merasakan perjalanannya selama setahun penuh bersama Tuhan dalam bukunya berjudul My Utmost For His Highest atau bagaimana Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menolong kita menemukan jawaban tentang siapa kita sesungguhnya.

Namun bagiku, tidak ada yang lebih dahsyat dan hebat membukakan arti hidup yang sesungguhnya selain daripada Alkitab yang kumiliki saat ini. Buku-buku yang kubaca mungkin amat berguna untuk menambah wawasanku. Akan tetapi, hanya firman Tuhan saja yang berkuasa untuk mengubahkan hidupku.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk meperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

3. Masa single adalah kesempatan untuk menikmati setiap hal-hal kecil

Sekali lagi, bukan berarti ketika sudah berpacaran atau menikah kita tidak bisa mensyukuri hal-hal kecil di dalam hidup. Salah satu hal kecil yang bisa kunikmati saat ini adalah kesempatan untuk melakukan hobi traveling-ku.

Meski aku takut ketinggian, aku lebih suka pergi ke pegunungan daripada ke daerah pantai. Mungkin karena cuaca di pegunungan lebih dingin daripada di pantai. Merasakan sensasi perjalanan menggunakan motor trail untuk menuju puncak dengan kemiringan 10-40 derajat, beberapa belokan tajam hingga tiba di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut untuk menikmati matahari pagi di negeri di atas awan. Selain menikmati keindahan alam, traveling juga memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan penduduk lokal, belajar tentang budaya dan kebiasaannya, dan kupikir ini jugalah salah satu cara untuk mengenal keramahan Indonesia.

Kelak, kalau sudah menikah, tentunya kesukaanku traveling harus dipikirkan ulang. Mengingat ada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, jikalaupun nanti aku tetap bisa melakukan traveling, yang paling membedakan adalah tentu aku tidak lagi pergi traveling sendirian.

Pada akhirnya, menjadi single bukanlah sebuah bencana seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Aku memang single, tetapi aku bukanlah orang yang kesepian karena melalui relasi yang intim dengan Tuhan, aku mendapati kebenaran bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Allah selalu cukup buatku.

Aku percaya, bahwa relasiku yang intim dengan Allah itu dapat menolongku untuk berhikmat dalam mencari pasangan hidup yang sepadan buatku.

Baca Juga:

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tak Cukup?

Senin, 19 Februari 2018

Tak Cukup?

Baca: 2 Korintus 9:10-15

9:10 Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;

9:11 kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami.

9:12 Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah.

9:13 Dan oleh sebab kamu telah tahan uji dalam pelayanan itu, mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang,

9:14 sedangkan di dalam doa mereka, mereka juga merindukan kamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah di atas kamu.

9:15 Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!

Janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan. —Ibrani 13:16

Tak Cukup?

Dalam perjalanan pulang dari gereja, putri saya duduk di kursi belakang mobil sambil menikmati biskuit berbentuk ikan. Melihat makanan itu, saudara-saudaranya memintanya untuk berbagi. Dalam usaha untuk mengarahkan pembicaraan, saya bertanya pada putri saya, “Apa yang kamu kerjakan di Sekolah Minggu hari ini?” Ia bercerita bahwa mereka membuat keranjang berisi roti dan ikan yang didasarkan pada cerita tentang seorang anak yang memberikan lima roti dan dua ikan kepada Yesus untuk memberi makan lebih dari 5.000 orang (Yoh. 6:1-13).

“Baik sekali anak itu mau berbagi. Menurutmu, apakah Tuhan juga memintamu untuk membagi biskuit ikan yang kamu pegang itu?” tanya saya. “Tidak, Mama,” jawabnya.

Saya berusaha mendorongnya agar ia tidak pelit dengan biskuit ikan itu. Ia bergeming. “Isinya tak cukup untuk semua!”

Berbagi memang sulit. Lebih mudah menyimpan sendiri apa yang kita anggap sebagai hak kita. Mungkin kita melakukan perhitungan dan berkilah bahwa apa yang kita punya tidak akan cukup apabila dibagi dengan semua orang. Dan kita menganggap bahwa apabila kita memberi, kita akan berkekurangan.

Paulus mengingatkan kita bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah, yang ingin memperkaya kita “dalam segala hal sehingga [kita] selalu dapat memberi dengan murah hati” (2Kor. 9:10-11 BIS). Perhitungan surgawi selalu mencapai jumlah yang berkelimpahan dan tidak pernah berkekurangan. Kita dapat berbagi dengan penuh sukacita karena Allah berjanji untuk memelihara kita ketika kita bermurah hati kepada sesama.—Lisa Samra

Bapa, Engkau telah memelihara hidupku dengan baik. Tolong aku hari ini untuk memikirkan orang lain dan membagikan kebaikan-Mu bagi mereka.

Ketika kita percaya bahwa Allah itu baik, kita bisa belajar membuka tangan kita dan berbagi dengan orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 25; Markus 1:23-45

Berani untuk Setia

Minggu, 18 Februari 2018

Berani untuk Setia

Baca: 1 Petrus 3:13-18

3:13 Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?

3:14 Tetapi sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, kamu akan berbahagia. Sebab itu janganlah kamu takuti apa yang mereka takuti dan janganlah gentar.

3:15 Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat,

3:16 dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu.

3:17 Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, dari pada menderita karena berbuat jahat.

3:18 Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh,

Janganlah gentar. —1 Petrus 3:14

Berani untuk Setia

Ketakutan terus menggayuti Hadassah, seorang remaja putri Yahudi yang hidup pada abad pertama. Ia adalah tokoh fiktif dalam buku karya Francine Rivers yang berjudul A Voice in the Wind. Setelah Haddasah menjadi seorang budak di rumah seorang Romawi, ia takut mengalami penganiayaan karena imannya kepada Kristus. Ia tahu bahwa orang Kristen dibenci, dan banyak yang dihukum mati atau menjadi mangsa singa di gelanggang. Akankah ia tetap berani untuk teguh mempertahankan kebenaran ketika ia diuji?

Akhirnya, ketakutannya yang terbesar pun menjadi kenyataan. Majikannya dan para pejabat Romawi lainnya yang membenci iman Kristen menantang Hadassah. Ia diberi dua pilihan: menyangkali imannya kepada Kristus atau dijadikan mangsa singa di gelanggang. Namun ketika ia tetap menyatakan Yesus Kristus sebagai Tuhannya, ketakutannya pun hilang dan ia menjadi berani untuk menghadapi kematian sekalipun.

Alkitab mengingatkan bahwa adakalanya kita akan menderita karena melakukan kebenaran—baik karena memberitakan Injil atau karena menjalani hidup saleh yang bertentangan dengan nilai-nilai dunia zaman sekarang. Kita diingatkan untuk tidak menjadi gentar (1Ptr. 3:14), tetapi menguduskan “Kristus di dalam hati [kita] sebagai Tuhan” (ay.15). Pergumulan utama Hadassah terjadi di dalam hatinya. Ketika akhirnya ia menetapkan hati untuk tetap memilih Yesus, ia pun memperoleh keberanian untuk setia.

Ketika kita memutuskan untuk menguduskan dan menghormati Kristus, Dia akan menolong kita mempunyai keberanian dan mengatasi ketakutan pada saat iman kita diuji. —Keila Ochoa

Bapa, berikanlah kepadaku keberanian untuk teguh beriman pada saat-saat yang sulit.

Marilah kita berani ketika bersaksi bagi Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 23-24; Markus 1:1-22

Menjauhkan Diri dan Menjadi Kuat

Sabtu, 17 Februari 2018

Menjauhkan Diri dan Menjadi Kuat

Baca: 1 Korintus 6:12-20

6:12 Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun.

6:13 Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh.

6:14 Allah, yang membangkitkan Tuhan, akan membangkitkan kita juga oleh kuasa-Nya.

6:15 Tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah anggota Kristus? Akan kuambilkah anggota Kristus untuk menyerahkannya kepada percabulan? Sekali-kali tidak!

6:16 Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: “Keduanya akan menjadi satu daging.”

6:17 Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia.

6:18 Jauhkanlah dirimu dari percabulan! Setiap dosa lain yang dilakukan manusia, terjadi di luar dirinya. Tetapi orang yang melakukan percabulan berdosa terhadap dirinya sendiri.

6:19 Atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, —dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?

6:20 Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu!

Sebab kamu telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah Allah dengan tubuhmu! —1 Korintus 6:20

Menjauhkan Diri dan Menjadi Kuat

Tindakan mendengarkan secara aktif itu mengingatkan saya pada ketaatan segera yang diperintahkan Kitab Suci dalam menghadapi godaan seksual. Dalam 1 Korintus 6:18, Paulus menulis kepada anggota jemaat yang tergoda oleh para pelacur bakti di kuil penyembahan berhala dan memerintahkan mereka untuk menjauhi percabulan. Memang adakalanya kita harus berdiri teguh dan bertahan menghadapi situasi yang menantang iman (Gal. 5:1; Ef. 6:11), tetapi di sini Alkitab menyerukan taktik bertahan kita yang terbaik: “Menjauhlah!

Tindakan yang langsung dilakukan akan melindungi kita dari sikap kompromi. Kompromi-kompromi kecil dapat membawa kita pada kekalahan yang telak. Pikiran yang tak terkendali, lirikan mata ke situs-situs di dunia maya yang tidak sepatutnya diakses, main mata dengan orang yang bukan suami atau istri Anda—hal-hal tersebut dapat menyeret kita pada kejatuhan dan menjauhkan kita dari Allah.

Ketika kita menjauhi godaan, Allah pun menyediakan pertolongan-Nya. Melalui kematian-Nya yang menebus kita dari dosa, Yesus memberikan pengharapan, pengampunan, dan permulaan yang baru bagi kita—terlepas dari apa pun yang pernah kita lakukan. Ketika kita merasa lemah dan berlari kepada Yesus, Dia akan melepaskan kita dan memampukan kita hidup dengan kekuatan-Nya. —James Banks

Tuhan Yesus, karena kasih-Mu, Engkau memberikan diri-Mu untuk disalibkan bagi kami. Aku menyerahkan diriku kepada-Mu dalam ketaatan akan kehendak-Mu.

Hanya Allah yang dapat memenuhi kebutuhan kita yang terdalam dan memuaskan dahaga jiwa kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 21-22; Matius 28

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup



Oleh Michele Ong, New Zealand

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Getting Married Need Not Be A #LifeGoal

Berbagai postingan tentang pernikahan dan pertunangan mendominasi timeline media sosialku, dan aku mulai merasa tertinggal dari teman-temanku.

Setiap postingan biasanya berisi penggalan kalimat yang kurang lebih berkata seperti ini: “Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan sahabatku”, “Tak kusangka, dia berkata ya”. Lalu, kalimat-kalimat itu juga dilengkapi dengan foto-foto pasangan yang berbahagia di mana sang perempuan menunjukkan cincin lamarannya, juga dilengkapi hashtag #SoBlessed, #MarriedMyBestFriend, dan lain-lain.

Buletin gereja pun sama saja. Hampir setiap hari Minggu selalu ada saja pengumuman pernikahan dari anggota jemaat di gereja. Bila kulihat sepintas, foto-foto pasangan yang tercetak di buletin itu tampak penuh senyuman kebahagiaan, juga berlatar pemandangan yang begitu indah. Beberapa dari pasangan calon pengantin itu usianya masih sangat muda—mungkin berkisar baru setahun atau dua tahun setelah lulus SMA—dan, hal ini sempat membuatku berpikir: mengapa mereka lebih memilih untuk menikah daripada mengejar gelar dan pengalaman hidup di usia muda mereka.

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah itu, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tapi jangan salah sangka dahulu: apabila diberikan pilihan, tentu aku pun ingin menikah, sama seperti orang-orang lainnya. Satu alasan sederhananya adalah karena aku takut mati dalam kesepian. Aku takut apabila nanti tidak ada orang lain yang mengetahui berita kematianku dan akhirnya jenazahku pun baru ditemukan dua tahun setelahnya (aku membaca cukup banyak berita tentang peristiwa semacam ini).

Namun demikian, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali aku memiliki relasi yang berjalan untuk kurun waktu yang cukup lama. Ketika mantan pacarku baru-baru ini menikah, aku belum juga menemukan seorang yang tepat untukku di mana pun di bumi ini.

Tidak kupungkiri, pencarianku akan seorang yang tepat itu cukup melelahkan dan rasanya seperti memeras otak. Tapi, satu hal yang pasti adalah, dia yang tepat untukku itu tidak akan kutemukan di dalam diskotik, juga aku belum menemukannya di situs kencan online. Selain itu, di tempat kerjaku juga tidak ada lagi pria single yang tersisa. Baru-baru ini, aku mendaftarkan diriku untuk bergabung sebagai penjaga pantai, dengan harapan aku akan berjumpa dengan seseorang yang tepat di sana (tapi, tentunya tujuan utamaku adalah untuk menjaga kesehatanku dan berkontribusi kepada komunitasku). Aku juga sudah bertanya kepada teman-temanku kalau saja mereka mengetahui atau punya kenalan beberapa pria yang masih single.

Katakanlah aku sudah mencoba berbagai macam cara dan belum juga membuahkan hasil. Jadi, aku pun berhenti untuk berusaha mencari.

Walaupun begitu, hidupku sebagai seorang perempuan single itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hidup yang menyedihkan ataupun tragis; justru kebalikannya. Dalam 10 tahun terakhir, aku menghabiskan waktu luangku untuk menjadi sukarelawan tim penerima tamu di gerejaku. Aku memenangkan beasiswa kesempatan magang di sebuah perusahaan media berbahasa Mandarin, China Daily yang berbasis di Beijing. Aku juga pindah dari Auckland, Selandia Baru untuk bekerja sebagai seorang reporter. Dan, saat ini aku juga menjadi seorang kontributor untuk menulis di YMI. Ketika nanti aku telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai penjaga pantai, aku juga akan berpatroli di sekitar pantai selama akhir pekan di musim panas.

Masa single memberikanku kesempatan untuk berkontribusi bagi komunitasku melalui berbagai cara. Menurutku, hal-hal ini juga bisa jadi tujuan hidup yang sama baiknya dengan tujuan hidup yang lain.

Aku tidak merendahkan pernikahan, karena aku tahu itu merupakan suatu usaha dan kerja keras. Aku memuji mereka yang berkomitmen dalam pernikahan, tetapi aku pun percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bagi setiap manusia di dunia.

Sebagai contoh, cobalah lihat Rasul Paulus. Sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus dulunya adalah orang yang menganiaya orang-orang Kristen. Namun, pada akhirnya dia menjadi seorang yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk memberitakan pesan tentang Yesus ke berbagai daerah di Kerajaan Romawi. Paulus mengakui bahwa jika dia menikah, besar kemungkinan bahwa pernikahan itu akan menghambatnya dalam menjalankan tugasnya. Pada kenyataannya, Paulus juga mendukung keputusan untuk tetap single. Kata Paulus: seorang pria ataupun wanita yang menikah akan memerhatikan urusan dunia dan bagaimana mereka bisa menyenangkan pasangan mereka (1 Korintus 7:32-35). Tetapi, mereka yang hidup sebagai seorang yang single memusatkan pikiran pada perkara-perkara rohani, dengan tujuan untuk mempersembahkan diri kepada Allah “di dalam tubuh dan roh”.

Aku percaya, seandainya Paulus waktu itu menikah, mungkin dia takkan bisa bepergian dengan begitu bebasnya ke banyak daerah di Kerajaan Romawi untuk memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, dan menyemangati orang Kristen mula-mula. Selain Paulus, Yohanes Pembaptis juga adalah seorang pria single (berdasarkan catatan sejarah yang ada), yang kehidupannya menjadi teladan. Yohanes Pembaptis tahu misi Tuhan bagi hidupnya adalah mempersiapkan orang-orang untuk menyambut kedatangan Mesias, dan selama hidupnya pun Yohanes Pembaptis memberitakan kabar tentang Yesus Kristus. Alkitab mengatakan bahwa dia memiliki kehidupan yang keras, dan fokus utamanya adalah mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dari hidup Paulus dan Yohanes Pembaptis, kita dapat melihat dengan jelas suatu kebenaran: tidak perlu malu untuk menjadi seorang yang single.

Di tengah masyarakat yang menganggap hal-hal seperti pernikahan menjadi lebih penting, alangkah bahagianya apabila kita bisa menjalani hidup yang penuh arti, meskipun kita single.

Selanjutnya, aku percaya bahwa kita harus bertanya kepada Tuhan mengenai apakah yang menjadi tujuan-Nya bagi hidup kita. Aku pikir, tujuan hidup yang Tuhan inginkan atas kita itu tidaklah jauh dari mengasihi. Kita harus mengasihi satu sama salin (Yohanes 13:34), mengampuni sesama kita (Efesus 4:32), dan senantiasa mengucap syukur (1 Tesalonika 5:16-18).

Saat ini, aku belum sepenuhnya kehilangan harapan untuk menemukan seorang yang tepat buatku. Namun, aku belajar supaya pencarianku ini tidak menghentikanku untuk menikmati hidup.

Jika kamu berada dalam situasi di mana semua temanmu beranjak menikah dan pasangan hidup yang kamu cari semakin terasa seperti mitos yang jauh dari kenyataan, bolehkah aku mengajakmu untuk menikmati masa single-mu dan bertanya kepada Tuhan tentang talenta dan karunia apakah yang bisa kamu gunakan untuk pekerjaan-Nya?

Ada banyak hal lain yang berharga dalam hidup ini selain pernikahan.

Baca Juga:

4 Mitos Cinta yang Membuai

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Tapi, ada 4 hal yang seringkali disalahartikan ketika seseorang berusaha mendapatkan pasangan hidupnya.