Kapan Terakhir Kali Kamu Menikmati Waktu Luangmu?

Oleh Christine Emmert, Hong Kong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Did You Last Stop For A Coffee Break?

Satu setengah bulan yang lalu, aku menerima sebuah pesan singkat dari seorang temanku yang baru saja menikah dan sedang menjalani pendidikan pascasarjana. Dia bercerita padaku bahwa hidupnya sibuk, dan dia bertanya tentang bagaimana aku dan suamiku mengelola waktu di masa-masa awal pernikahan kami.

Sebagai seorang yang baru menikah selama tiga tahun, aku memberinya beberapa nasihat. Jika dirangkum, nasihat tersebut berbicara tentang dua hal: meluangkan waktu bersama Tuhan dan juga bersama pasangan. Sejujurnya, saat itu kupikir aku bukanlah orang yang paling tepat untuk dimintai nasihat. Suamiku bekerja penuh waktu, selain itu dia juga memiliki pekerjaan sampingan lainnya, dan kami pun sedang dalam proses untuk berpindah ke sebuah negara baru yang letaknya berada di seberang samudera Pasifik.

Dalam proses pengambilan keputusan ini, aku dan suamiku memikirkan dan mendoakan apakah kami benar-benar harus pindah atau tidak. Berbekal kemampuan dan passion yang kami miliki, kami rasa kepindahan kami ke tempat yang sebenarnya merupakan kampung halamanku itu akan membawa kebaikan bagi keluarga kami, juga memberi kami kesempatan untuk memberitakan Kabar Baik.

Jadi, selama beberapa minggu aku menyiapkan banyak hal, mulai dari berkemas, membersihkan rumah, juga sambil menjaga anakku yang baru berusia dua tahun. Waktu untuk saat teduh bersama Tuhan hampir menjadi sesuatu yang mustahil. Di tengah kehidupan yang begitu sibuk inilah kami jadi mudah lupa akan apa yang menjadi alasan awal dari keputusan kami untuk pindah.

Aku dan suamiku jadi mudah kesal terhadap satu sama lain. Aku merasa lebih banyak melakukan pekerjaan dibandingkan dengannya. Sedangkan dari sisinya, dia merasakan hal yang sebaliknya. Anakku melihat orang-orang di rumah sangat sibuk untuk menyiapkan kepindahan kami. Mereka mengambil rak bukunya beserta segala perabot yang ada di rumah, dan saat dia mengajak kami bermain, kami menjawabnya: “Aku tidak punya waktu untuk bermain saat ini.” Tak heran bila dia jadi lebih sering ngambek daripada biasanya.

Sampai pada suatu titik, kami merasa marah karena para pegawai yang seharusnya menolong proses kepindahan kami ternyata tidak banyak menolong. Akhirnya, kami memutuskan untuk berhenti sejenak dan menikmati coffee-break. Anak kami sedang berada di rumah kakek dan neneknya, dan inilah saatnya untuk kami berdua melepas penat di sebuah kedai kopi untuk menghubungkan kembali relasi kami yang sempat renggang.

Ketika kami membicarakan tentang satu per satu hal yang membuat kami khawatir, kami sadar bahwa sesungguhnya hal-hal yang kami khawatirkan itu tidaklah penting. Kami mampu membayar banyak biaya tagihan tanpa perlu kehilangan akses internet. Lalu, jika seandainya kami menjual mobil dan harga yang kami dapatkan ternyata lebih rendah dari yang kami harapkan, hal itu pun tetap tidak akan mengganggu rencana-rencana kami yang lain. Bahkan, jika hal yang paling buruk terjadi, kami bisa membuang rak-rak buku yang kami miliki daripada harus repot-repot membawanya ke toko barang bekas untuk dijual.

Ketika aku dan suamiku meluangkan waktu bersama untuk mengintrospeksi diri, kami menyadari bahwa sebenarnya Tuhan sudah menyediakan segala sesuatu yang kami perlukan. Kami memiliki uang di bank yang bahkan jumlahnya melebihi yang kami harapkan. Ketika kami pindah nanti kami sudah memiliki tempat tinggal, dan kami akan tinggal bersama dengan keluarga yang artinya kami tidak perlu membayar uang sewa. Dan, kami berdua pun punya begitu banyak kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan baru yang punya prospek bagus. Pada akhirnya, hal-hal lainnya hanyalah perkara remeh-temeh yang seharusnya tidak memusingkan kami.

Saat aku memikirkan kembali apa yang menjadi alasan kami untuk pindah ke negara lain, kami mendapati bahwa kami banyak mendapat peneguhan dari banyak saudara seiman dalam Kristus. Kami berdua percaya bahwa sebagai sebuah keluarga, kami sudah melakukan hal yang benar. Keputusan kami untuk pindah ke negara lain adalah demi kepentingan keluarga, dan sangat aneh bila ini malah jadi penyebab keributan di tengah-tengah keluarga kami.

Setelah menghabiskan kopi, kami pun berdoa, memohon pengampunan dari Tuhan atas kesalahan kami, bersyukur atas pemeliharaan-Nya yang luar biasa, dan meminta pimpinan-Nya saat kami melangkah maju.

Rasanya sangat menyenangkan bisa kembali akrab dengan suamiku. Suamiku menyadari dan meneguhkan pekerjaan yang kulakukan, dan aku pun melakukan hal yang sama untuk setiap pengorbanan yang dia berikan bagi kami sekeluarga. Kami berjanji untuk tidak mengabaikan berdoa dan membaca firman Tuhan. Kami juga mendedikasikan waktu kami untuk fokus bermain bersama anak kami sekalipun kami hanya punya sedikit waktu.

Meluangkan waktu sejenak untuk Tuhan, sesama, juga secangkir kopi

Ketika kami meluangkan waktu untuk menikmati waktu luang berupa coffee-break, sebenarnya itu tidak membuat daftar pekerjaan yang harus kami lakukan jadi selesai. Tapi, waktu luang ini sesungguhnya sangat baik bagi kami. Seperti nasihat yang pernah kuberikan kepada temanku yang baru menikah, bahwa sekalipun hidup berubah menjadi kacau, kita perlu meluangkan waktu untuk Tuhan dan pasangan kita.

Efesus 5:21 mengajar kita untuk saling merendahkan diri di hadapan satu sama lain di dalam takut akan Kristus. Ketika kita terlalu terpaku pada tuntutan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sulit rasanya bagi kita untuk bersikap rendah hati dan rela meluangkan waktu kita untuk orang lain. Menciptakan waktu luang di tengah jadwal yang padat dan sangat sibuk adalah suatu bentuk pengorbanan; dan tiap pengorbanan tentunya akan mendatangkan berkat tersendiri.

Alkitab juga berkata demikian:

“Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah. Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman: ‘Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau’” (Ibrani 13:4-5).

Aku merasa stres karena memikirkan tentang kepindahan kami dan segala sesuatunya yang perlu aku selesaikan. Tidak semua hal yang kupikirkan itu memang bernilai, tapi kupikir kesemuanya itu adalah hal-hal yang harus kucapai sesuai dengan standar dunia. Tapi, kembali Tuhan berkata, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Diperlukan iman yang sungguh-sungguh agar kami mampu menghargai pernikahan kami sekalipun hidup kami dipenuhi dengan kesibukan. Kami harus percaya bahwa Tuhan akan memelihara kami, sekalipun jika kami tidak mampu menyelesaikan semua hal yang ada di daftar pekerjaan kami, atau bahkan jika kami membuat kesalahan fatal atau melupakan sesuatu yang sangat penting. Kami harus percaya bahwa Tuhan tahu keterbatasan kami sebagai manusia dan Dia peduli akan setiap aktivitas kami, entah itu ketika kami meluangkan waktu sebatas satu atau dua saja untuk berkomunikasi bersama pasangan, menjalin relasi, melayani satu sama lain, juga ketika kami berusaha memenuhi kebutuhan emosional anak kami.

Pada akhirnya, dengan rahmat Tuhan yang tak terlukiskan, kami dimampukan untuk melangkah. Kami memang belum sepenuhnya memahami bagaimana segala sesuatunya akan berjalan dengan baik atau tidak, tapi yang kami tahu bahwa Tuhan telah memberkati kami dengan teman-teman dan keluarga yang luar biasa. Tuhan mendorong kami untuk mengambil waktu luang yang berkualitas ketika kami memang benar-benar membutuhkannya.

Baca Juga:

Daripada Menghakimi Orang yang Menyakitiku, Aku Memilih untuk Mendoakannya

Ketika hatiku disakiti, mudah bagiku untuk merasa kecewa dan terpuruk. Tapi, aku percaya segala hal yang terjadi kepadaku itu pasti ada tujuannya. Oleh karenanya, aku memilih untuk berdoa.

Memberi Sepenuh Hati

Senin, 26 Februari 2018

Memberi Sepenuh Hati

Baca: Maleakhi 3:8-12

3:8 Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: “Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?” Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!

3:9 Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya kamu seluruh bangsa!

3:10 Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.

3:11 Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam.

3:12 Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam.

Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku. —Maleakhi 3:10

Memberi Sepenuh Hati

Ketika anak saya, Xavier, masih berumur enam tahun, seorang teman mengajak anaknya yang masih balita main ke rumah kami. Xavier ingin memberikan mainan kepada anak itu. Saya senang melihat kemurahan hatinya. Ia bahkan menawarkan sebuah boneka langka yang pernah dibelikan ayahnya. Menyadari bahwa boneka itu sangat bernilai, teman saya berusaha menolak dengan sopan. Namun, Xavier tetap menaruh boneka itu ke tangan si anak sambil berkata, “Papa memberiku banyak sekali mainan untuk aku bagikan.”

Andai saya bisa berkata bahwa Xavier belajar dari saya, tetapi kenyataannya, saya sendiri sering enggan memberi kepada Allah dan orang lain. Namun saat saya ingat bahwa Bapa Surgawi telah memberikan segala yang saya miliki dan butuhkan, berbagi menjadi lebih mudah dilakukan.

Di Perjanjian Lama, Allah memerintahkan Israel untuk mempercayai-Nya dengan membagikan sebagian berkat yang dilimpahkan-Nya kepada para imam Lewi, yang kemudian berguna juga untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Ketika mereka menolak, Maleakhi menegaskan bahwa mereka telah menipu Tuhan (Mal. 3:8-9). Namun jika mereka rela memberi dan menunjukkan keyakinan mereka pada pemeliharaan dan perlindungan Allah (ay.10-11), bangsa lain akan mengakui bahwa mereka adalah bangsa yang diberkati Allah (ay.12).

Saat kita mengelola keuangan, kegiatan, atau berkat-berkat yang dipercayakan Allah kepada kita, ingatlah bahwa apa yang kita berikan dapat menjadi ungkapan penghormatan kita kepada-Nya. Memberi dengan leluasa dan sepenuh hati menunjukkan keyakinan kita pada pemeliharaan Bapa kita, Pemberi yang Maha Pemurah. —Xochitl Dixon

Tuhan, tolonglah kami hidup dengan keyakinan penuh pada pemeliharaan-Mu yang setia, agar kami dapat leluasa dan yakin memberi kepada-Mu dan sesama.

Ketika dengan sepenuh hati kita memberi kepada Allah dan sesama, kita menunjukkan keyakinan kita pada janji dan pemeliharaan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29