Apa yang Dapat Kita Pelajari dari Bayi Yesus?

Oleh Charmain S.
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why I’m In Awe Of Baby Jesus

Di bulan ini, aku merayakan setahun perjalananku menjadi seorang ibu. Ya, itu artinya bayiku sekarang usianya sudah genap setahun, dan sungguh luar biasa perjalanan selama setahun belakangan ini. Mungkin ungkapan bahwa menjadi ibu itu begitu melelahkan terdengar klise, tapi di balik segala kelelahannya, setiap detik yang berlalu adalah kesempatan yang begitu berharga.

Salah satu sukacita terbesarku adalah ketika aku bisa menyaksikan sendiri perkembangan anak lelakiku sedikit demi sedikit. Aku begitu girang saat dia belajar duduk, berdiri, bertepuk tangan, dan mengucapkan kata pertamanya. Sungguh menakjubkan melihat anakku bertumbuh.

Namun, ada hal lain yang jauh lebih menakjubkan, yaitu pemahamanku akan Allah yang juga semakin bertumbuh seiring dengan perjalananku sebagai seorang ibu. Ada beberapa pelajaran berharga dan bernilai rohani yang kudapat. Tapi, hari ini aku hanya akan membicarakan tentang satu hal.

Seperti kita semua tahu, Natal adalah masa ketika kita merayakan kelahiran Yesus. Salah satu cerita Natal yang paling familiar adalah cerita tentang kelahiran Yesus itu sendiri. Maria dan Yusuf berlutut; para gembala dan orang-orang Majus berdiri di belakang mereka; dan mereka semua berkumpul di sekitar palungan, mengitari bayi Yesus yang tertidur nyenyak.

Tapi, apa yang terjadi setelahnya?

Setiap kali anakku berhasil melakukan sesuatu, aku jadi bertanya-tanya: Apakah Yesus juga dulu seperti ini? Seberapa sering Dia menangis? Apakah Dia juga pernah muntah saat minum susu? Apakah Dia juga sulit tidur? Berapa bulan yang Dia butuhkan untuk belajar merangkak atau berjalan? Makanan padat apakah yang pertama kali Dia makan? Kata pertama apakah yang Dia ucapkan? Karena Yesus adalah manusia dan Tuhan yang sejati, apakah Dia sadar bahwa saat itu adalah seorang bayi?

Injil mencatat bahwa ketika sudah dewasa, Yesus pun pernah merasa lapar, lelah, bahkan Dia juga pernah menangis layaknya manusia biasa. Oleh karena itu, aku pun percaya bahwa ketika Dia masih seorang bayi, terlepas dari kesempurnaan-Nya, Dia pun turut merasakan apa yang bayi manusia rasakan.

Memiliki kesempatan istimewa untuk membesarkan sendiri bayiku membuatku jadi berpikir: rasanya sulit dimengerti, mengapa Seorang yang Agung sudi membuat diri-Nya menjadi tak berdaya. Yesus bisa saja dengan mudah menarik diri-Nya, naik ke atas kayu salib, dan menyelesaikan penebusan dosa itu. Akan tetapi, Dia memilih untuk datang sebagai seorang bayi. Yesus menundukkan diri-Nya untuk menjadi manusia yang adalah ciptaan-Nya! Dia melewati setiap tahapan dalam kehidupan sehingga Dia dapat sepenuhnya merangkul peran seorang imam besar yang mampu berempati dengan segala kelemahan kita.

Tapi, lebih dari sekadar empati, Filipi 2:6-8 memberikan kita pemahaman yang luar biasa tentang Kristus dan bagaimana Dia menyerahkan segalanya demi kita:

Yang walaupun dalam rupa Allah,
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri,
dan mengambil rupa seorang hamba,
dan menjadi sama dengan manusia.
Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib.

Di tahun ini, aku sadar bahwa pelayanan Yesus tidak dimulai ketika Dia berusia 30 tahun. Pelayanan-Nya dimulai tepat saat Dia dilahirkan, ketika Dia merendahkan diri-Nya untuk menjadi seorang manusia yang terbatas. Melalui peristiwa Natal, ayat yang dituliskan oleh Paulus di atas menjadi nyata.

Sekarang aku memiliki pemahaman yang lebih dalam akan kedatangan Tuhan kita. Imanuel, “Allah beserta kita”, memiliki makna yang jauh lebih dalam. Jadi, di Natal kali ini, seiring dengan kita merayakan kelahiran Yesus, aku juga mau memuji Dia atas kasih-Nya yang ditunjukkan-Nya kepada kita. Yesus layak menerima segala kemuliaan, dan aku mau berdoa:

“Supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi” (Filipi 2:10).

Baca Juga:

Selamat Hari Ibu, Ayah!

Selama bertahun-tahun, aku selalu ingin menghindari tanggal 22 Desember. Aku tidak pernah bisa memberi hadiah ataupun ucapan “selamat hari ibu” pada ibuku, karena sejak aku berusia 5 tahun, ibuku telah tiada. Namun, ada sesuatu yang berbeda di hari ibu tahun ini, dan aku ingin membagikannya kepadamu.

Bagikan Konten Ini
4 replies
  1. Marcelina Sianipar
    Marcelina Sianipar says:

    Jadi kepikiran kenapa ga dari dulu aja download aplikasi ini. Serius selama ini ga pernah punya pemahaman sampai segitu arti kelahiran Yesus. Terpujilah Yesus memberikan jalan bagi saya untuk kembali lebih dekat dengan Tuhan. Selama ini Saya itu udah terlalu sibuk dengan dunia Saya sendiri dengan pendidikan, kejatuhan yang pernah Saya alami buat Saya semakin jauh dari Tuhan. Dalam hati Saya selalu menangis mengingat masa2 dulu Saya begitu dekat dengan Tuhan. Terimakasih Warung SaTe Kamu, GBU

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *