Ketika Tuhan Mengajarkanku untuk Terlebih Dahulu Meminta Maaf

Oleh Gracella Sofia Mingkid, Surabaya

Ketika sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota, aku bersama teman-temanku membahas sebuah topik perbincangan. Saat obrolan berlangsung, aku sempat tidak berkonsentrasi dan memberikan respons yang tidak sesuai dengan perbincangan. Akibatnya, beberapa percakapan jadi tidak nyambung. Saat itu, salah satu teman dekatku melontarkan kata-kata yang cukup menohok buatku dan dia melakukannya di depan teman-temanku yang lain. Akibatnya, aku merasa malu tak karuan dan kesal. Apalagi karena aku tipe orang yang melankolis, kata-kata temanku itu langsung membuatku kepikiran.

Aku menunjukkan rasa kesalku dengan berdiam. Aku sengaja melakukannya supaya temanku itu sadar bahwa aku tidak suka jika dia berkata seperti itu. Teman-temanku yang lain tidak menyadari perubahan sikapku, namun beberapa menit berselang, teman yang menyinggungku itu tampaknya mulai sadar kalau ada yang tidak biasa dari sikapku. Dia pun mencoba memulai pembicaraan denganku. Tapi, aku tidak menanggapinya dengan hangat. Sampai kami kembali ke kediaman masing-masing pun sikapku masih dingin terhadapnya. Bahkan di grup chat juga aku tidak begitu menanggapi setiap kicauannya. Aku seolah tidak menganggap dia ada. Hal ini terus berlangsung selama beberapa hari, dan aku hampir melupakannya karena kami tak bertemu.

Beberapa hari kemudian, seusai latihan di gereja, seorang rekanku bercerita tentang apa yang dia alami. Seorang rekan kerjanya melontarkan kata-kata kasar, bahkan juga kutukan terhadapnya, padahal masalahnya hanya sederhana. Rekan gerejaku ini bertanya mengapa harga barang yang dijual oleh rekan kerjanya itu malah lebih mahal dibandingkan yang lain. Menurutnya, pertanyaan ini wajar ditanyakan oleh seorang calon konsumen kepada penjualnya. Namun, alih-alih mendapatkan jawaban yang baik, respons yang diterimanya malah kata-kata kasar, bahkan kutukan. Rekan gerejaku itu bercerita bahwa secara manusia dia tidak bisa menerima perlakuan ini. Rasa-rasanya dia ingin membalas kata-kata itu. Tapi, dia berusaha menahan diri.

Kasih Tuhan menahannya untuk tidak membalas kata-kata tersebut. Dia menahan diri sejenak dan malah berdoa untuk rekannya itu. Tak hanya itu, keesokan harinya, rekan gerejaku itu juga menemui rekannya, berusaha meminta penjelasan mengapa dia berkata-kata kasar, dan akhirnya meminta maaf terlebih dulu. Semua proses itu diceritakan kepadaku sambil dia terus mengucap syukur pada Tuhan karena dia tak sampai membalas kata-kata kasar dan kutukan itu dengan emosi.

Aku mendengarkan rekanku itu dengan saksama, kemudian aku teringat akan kondisiku sendiri. Hmmm. Kejadian yang dialami rekanku ini mirip-mirip dengan apa yang kualami—sama-sama mendapatkan perlakuan tidak baik dari teman. Tapi, jika rekanku berusaha mencari solusi dan berdamai, aku malah mendiamkan teman dekatku yang telah menyinggungku itu. Sebenarnya maksud dari diamku itu adalah supaya dia menyadari sendiri kesalahannya dan menyesal. Aku sendiri memang tidak ada niat untuk membalas kata-katanya secara verbal. Tapi, setelah kupikir-pikir, dengan mendiamkannya dan tidak menganggap kehadirannya, aku sama saja sudah membalas dendam, bahkan seharusnya hal itu lebih kejam.

Cerita dari rekan gerejaku membuatku merasa ditegur. Aku sadar apa yang kulakukan itu salah. Aku pun menceritakan kondisiku kepada rekan gerejaku. Dia menyarankanku agar aku minta maaf pada temanku karena aku sudah mendiamkan dan menganggapnya tidak ada selama berhari-hari. Lebih baik aku menyelesaikan masalah ini secepatnya.

Teladan yang diperbuat oleh rekan gerejaku itu telah menginspirasiku. Dengan lapang dada dia sudi meminta maaf terlebih dulu walaupun sejatinya dia tidak bersalah. Alih-alih merasa sakit hati, yang dia rasakan justru sukacita dan damai sejahtera. Lalu, pada akhirnya relasi pertemanan mereka pun kembali terjalin karena masalah yang bisa diselesaikan dengan baik. Butuh kebesaran hati memang untuk berani melakukan hal ini.

Aku merasa bahwa pilihanku untuk berdiam diri bukanlah pilihan yang paling tepat. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau mengorbankan harga diriku untuk meminta maaf duluan. Butuh proses untukku mau menundukkan rasa egoisku.

Setelah sharing itu berakhir, aku seolah disadarkan oleh Tuhan dengan perlahan. Kalau aku hanya diam, aku sama saja sedang membiarkan benih kebencian untuk tumbuh secara perlahan. Dan lagi, teman yang menyinggungku adalah teman dekatku. Masakan aku senang membiarkannya merasa menyesal berkepanjangan? Kalau begitu, aku sama saja tidak mengasihi dia.

Akhirnya, aku memantapkan hatiku untuk meminta maaf terlebih dahulu melalui chat. Sebelumnya, aku berdoa, memohon supaya Tuhan memberikan keberanian dan hikmat untukku. Di dalam pesanku, aku meminta maaf apabila belakangan ini aku sering tidak menganggapnya. Aku juga bilang kalau aku merasa kesal karena kata-katanya yang menohokku dalam perjalanan itu. Secara rinci, kucoba menjelaskan semuanya, dan pada akhirnya dia pun meminta maaf juga kepadaku. Dia mengatakan bahwa dirinya menyesal telah mengucapkan kata-kata yang demikian. Bahkan, dia juga memintaku untuk tidak segan menegurnya jika kata-katanya salah.

Selepas chatting itu aku benar-benar merasa lega. Saat itu, tanganku lemas dan aku hanya bisa duduk sambil air mata perlahan mengalir. Aku menangis bukan karena menyesali tindakanku, tapi aku bersyukur karena Tuhan mengajarkanku satu hal, yakni inisiatif. Aku harus berani mengambil tindakan yang tepat, tidak memupuk keegoisanku, meskipun itu tampaknya seperti aku harus merendahkan harga diriku.

Jika aku menilik diriku lebih dalam, sebenarnya aku bukanlah orang yang mudah melepaskan rasa ego dan gengsiku. Ketika aku bisa meminta maaf duluan, aku percaya semua ini adalah karya dari Roh Kudus yang melembutkan hatiku supaya relasiku dengan temanku itu dapat pulih. Aku juga percaya bahwa bukan suatu kebetulan apabila rekan gerejaku mengalami hal yang mirip denganku terlebih dahulu. Aku yakin bahwa inilah salah satu maksud Tuhan supaya aku bisa belajar darinya.

Berkaca dari pengalamanku dan cerita rekan gerejaku, sebenarnya kami punya dua pilihan saat itu: membiarkan masalah, memupuk rasa sakit hati serta mengasihani diri, atau melangkah maju dan memulihkan relasi. Di sinilah pelajaran yang Tuhan Yesus ajarkan untukku.

“Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8). Allah adalah Allah yang bertakhta dan berkuasa, dan tentunya tidak bersalah apalagi memiliki dosa. Namun, Dia berinisiatif untuk datang ke dunia dengan maksud memulihkan relasi manusia dengan Bapa yang telah rusak karena dosa. Karena inisiatif inilah, kita bisa hidup dalam anugerah-Nya setiap hari. Bukan karena kebaikan kita, tetapi karena Allah yang mengasihi kita dan berinisiatif memulihkan relasi yang rusak.

Apa yang menjadi respons kita atas inisiatif Allah tersebut? Tinggal diam dan memupuk dosa, ataukah datang dan memilih hidup baru bagi Allah? Jika kita memilih pilihan yang kedua, biarlah itu juga terpancar dari bagaimana cara kita menanggapi setiap keadaan di sekitar kita.

“Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu” (Matius 5:23-24).

Baca Juga:

5 Alasan Mengapa Reformasi Protestan Masih Berarti Hingga Hari Ini

Tepat hari ini kita memperingati 500 tahun peristiwa Reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther. Inilah lima alasan mendasar mengapa kesaksian, kepercayaan, dan pendirian Luther mengenai teologi dan praktiknya masih berpengaruh hingga saat ini.

Sharing: Pelajaran Berharga Apa yang Tuhan Pernah Berikan Kepadamu?

Pelajaran berharga apa yang Tuhan pernah berikan kepadamu?
Bagikan sharing kamu di dalam kolom komentar. Kiranya sharingmu dapat memberkati sobat muda yang lain.

Siapa Gerangan Orang Ini?

Rabu, 1 November 2017

Siapa Gerangan Orang Ini?

Baca: Markus 4:35-41

4:35 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.”

4:36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia.

4:37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.

4:38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”

4:39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.

4:40 Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”

4:41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?”

Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” —Markus 4:41

Siapa Gerangan Orang Ini?

“Simpan semua benda yang ada di atas meja kalian. Siapkan selembar kertas dan pensil.” Dahulu ketika saya masih menjadi murid sekolah, kata-kata yang menakutkan itu menunjukkan bahwa ujian segera dimulai.

Di Markus 4, Yesus memulai hari dengan mengajar di tepi danau (ay.1) dan mengakhirinya dengan sebuah ujian yang berlangsung di tengah danau (ay.35). Perahu yang semula merupakan sarana mengajar telah dibuat menjadi sarana transportasi oleh Yesus dan para pengikut-Nya untuk menyeberangi danau. Di dalam perjalanan itu (sementara Yesus yang kelelahan tertidur di buritan), mereka didera angin topan yang sangat dahsyat (ay.37). Murid-murid yang kewalahan membangunkan Yesus dengan berkata: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”(ay.38). Lalu terjadilah peristiwa yang menggemparkan. Pribadi yang pernah berseru kepada orang banyak, “Dengarlah!” di awal hari itu (ay.3), kini mengucapkan perintah singkat yang penuh kuasa kepada angin, “Diam! Tenanglah!” (ay.39).

Angin pun taat dan para murid yang ketakutan itu terheran-heran. Keheranan mereka terungkap dalam pertanyaan, “Siapa gerangan orang ini?” (ay.41). Pertanyaan itu tidak salah, tetapi baru di kemudian hari para murid menyadari dan yakin sepenuhnya bahwa Yesus adalah Anak Allah. Ketika seseorang mengajukan pertanyaan tersebut dengan jujur, tulus, dan hati yang terbuka, ia dapat tiba pada kesimpulan yang sama: Yesus bukan sekadar guru yang harus didengarkan, melainkan Allah yang layak disembah. —Arthur Jackson

Bapa, terima kasih atas firman-Mu yang menolong kami untuk melihat Yesus sebagai Anak Allah yang hidup. Tolonglah kami untuk mendengarkan-Mu dan percaya bahwa Engkaulah yang memegang kendali atas segala sesuatu.

“Guru, aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” —Matius 8:19

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 24-26; Titus 2