Ketika Keraguan akan Imanku Membawaku pada Yesus

Oleh Ananda Utami*

Aku dilahirkan di keluarga bukan Kristen yang cukup taat beribadah. Bahkan, kedua orangtuaku pernah menyekolahkanku di sebuah sekolah yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Teman-temanku di sekolah juga mengenalku sebagai anak yang baik dan saleh. Mereka merasa kalau aku selalu mengajar dan mengingatkan mereka untuk menjadi semakin baik.

Ketika duduk di bangku SMA, tepatnya sejak kelas X, aku memiliki beberapa sahabat karib. Bersama mereka, kami melakukan banyak hal. Kami bertukar kado di hari ulang tahun, pergi ke bioskop, ataupun sekadar jalan-jalan sepulang sekolah. Walaupun di kelas XI dan XII kami tidak berada di satu kelas, tapi kami selalu menyempatkan diri untuk saling bertemu. Hingga masing-masing kami terpencar di berbagai universitas yang berbeda kota, bahkan berbeda negara, hubungan persahabatan kami pun masih tetap erat.

Ketika aku mulai meragukan imanku

Saat duduk di bangku SMP, aku mulai tertarik untuk belajar tentang agama-agama lain di luar agamaku, mencari-cari kesalahannya supaya aku makin yakin bahwa agamakulah satu-satunya yang benar. Tak hanya membaca buku, aku pun rajin menonton debat-debat keagamaan di Youtube. Hal ini membuatku menganggap bahwa agamakulah yang paling benar sedangkan yang lain semuanya tidak masuk akal.

Menjelang kelulusan SMA, aku sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, jadi aku tak perlu lagi mengikuti SBMPTN sebagaimana yang banyak temanku lakukan. Alih-alih bingung dan gelisah akan kuliah atau bagaimana hidupku nanti di tempat yang baru, aku digelisahkan Tuhan mengenai imanku. Ada pertanyaan-pertanyaan yang menggantung dalam pikiranku. “Jika aku tidak dilahirkan dalam keluarga yang beragama X ini, apakah aku akan tetap memilih untuk menjadi seperti ini? Apakah aku akan setaat ini? Apakah aku akan menemukan jalan kebenaran?” Pada saat itu aku menepis kegelisahan ini dan menganggap bahwa agamaku yang paling benar.

Seiring waktu, pertanyaan-pertanyaan ini tidak hilang, melainkan semakin membuatku penasaran untuk mencari jawabannya. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada seorang temanku yang Kristen dan bertanya, “Kenapa kamu Kristen kalau bukan karena dari lahir? Bukannya semua agama mengklaim bahwa mereka yang paling benar? Aku dan kamu tidak hidup di masa lalu dan setiap kitab menjamin kebenarannya masing-masing, bagaimana kamu tahu kalau agamamu yang benar?”

Temanku mengajakku bertemu di suatu tempat dan di sana dia menjawab tiap-tiap pertanyaanku dengan rinci. Dia bercerita tentang keselamatan, bagaimana manusia terjatuh ke dalam dosa, dan janji Allah akan kedatangan Yesus untuk menebus dosa manusia. Walaupun sudah mendapatkan penjelasan, aku masih tetap tidak percaya dan kupikir kalau aku hanya buang-buang waktu saja bertemu dengannya. Lalu aku berkata, “Kalau di agamaku, kitabmulah yang salah. Bukan Yesus yang disalib!” Sekeras apa pun aku menyanggah, temanku tetap bersedia menjawabku dengan tenang dan rinci.

Suatu ketika, temanku itu memberitahu kepada kakak rohaninya tentang aku, kemudian dia menyarankanku untuk membaca sebuah buku yang ditulis oleh Nabeel Qureshi, seorang yang pada awalnya bukan Kristen namun diberi anugerah untuk mengenal dan menerima Yesus. Melalui beberapa mimpi, Nabeel mendapatkan konfirmasi bahwa Tuhan Yesus adalah benar. Awalnya aku menolak untuk membacanya, menganggap mimpi-mimpi itu konyol, dan memang aku sendiri tidak suka dengan kesaksian dari orang-orang. Menurutku semua kesaksian itu sama saja dan tidak akan mempengaruhiku.

Namun, entah mengapa, aku tergerak membaca buku itu. Dengan istilah-istilah bahasa Inggris yang benar-benar baru kutemui, seharusnya aku malas untuk membacanya sampai tuntas. Tapi, aku justru sanggup membacanya sampai selesai. Buku itu memberitahuku bahwa penyaliban Yesus bukanlah peristiwa yang terjadi sekejap mata, apalagi fiktif. Ada banyak saksi dan orang-orang yang terlibat. Alangkah anehnya kalau peristiwa yang melibatkan banyak orang dan saksi ini hanyalah sebuah cerita palsu. Tapi, sekali lagi aku berusaha menepis pandangan ini dan meyakinkan diriku bahwa Kekristenan itu tidak benar.

Ketika Tuhan mengetuk pintu hatiku

Beberapa hari setelah membaca buku itu, beberapa kali aku bermimpi dan pikiranku sangat terganggu. Aku bertanya-tanya. Apakah mimpi itu hanya sekadar euforia setelah membaca buku atau benar-benar tanda dari Tuhan? Dalam salah satu mimpiku, aku melihat diriku sedang dimarahi ibuku karena keputusanku mengikut Yesus. Rasanya begitu menyeramkan.

Aku lalu memberanikan diri untuk bercerita ke temanku yang lain. Tak kusangka, dia malah bercerita tentang orang Farisi yang beribadah dengan tujuan “menyogok” Tuhan. Orang-orang Farisi melakukan ritual dengan anggapan supaya mereka selamat. Mendengar hal ini, aku tertegun. Selama ini aku merasa seperti orang Farisi yang tahu banyak tentang agama dan mempraktikkan ritual supaya aku bisa diselamatkan dan mendapat tempat spesial di mata Tuhan. Aku menjadi sedih dan pikiranku tidak karuan.

Malam itu aku menangis dan berdoa, meminta kepada Tuhan, siapapun Tuhannya. Aku meminta supaya Dia menunjukkan kebenaran kepadaku. Lalu, aku membuka sebuah buku saat teduh pemberian temanku dan di sana tertulis sebuah ayat dari Mazmur 46:11 yang berbunyi:

“Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”

Membaca ayat itu membuatku merinding, takut, dan terkejut, seolah Tuhan benar-benar bicara langsung kepadaku. Saat itu, aku memutuskan untuk mempercayai-Nya, walau keesokan harinya aku kembali ragu apakah ini benar-benar jalan yang kupilih. Apakah Tuhan yang kupilih malam itu adalah Tuhan yang benar? Dan lagi, Tuhan menjawabku melalui bahan saat teduh hari itu. Di sana tertulis firman Tuhan dari Yohanes 15:16 yang berbunyi:

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.”

Aku kembali terkejut. Aku merasa bahwa Tuhan benar-benar menjawab keraguanku dan karenanya aku memilih untuk taat. Setelah serangkaian peristiwa panjang di mana aku meragukan iman yang selama ini kupercayai, akhirnya setelah lulus dari SMA aku memantapkan diriku untuk menerima Yesus. Aku menemukan kebenaran dan kedamaian di dalam Yesus Kristus. Aku tahu bahwa keputusan ini akan melahirkan tantangan yang harus kuhadapi, baik dari orangtua, teman, dan lingkunganku. Namun, aku memberanikan diri dan percaya bahwa Tuhan Yesus bersamaku.

Ketika aku harus kehilangan sahabat-sahabat sebagai konsekuensi dari mengikut Yesus

Selama beberapa waktu, aku merahasiakan keputusanku dari semua orang, termasuk para sahabatku. Walau sebenarnya aku ingin memberi tahu mereka, tapi aku takut dan ketika aku menggumuli hal ini bersama Tuhan, Dia menjawabku bahwa belum saatnya aku membuka diri tentang identitasku yang baru. Jadi, aku sempat berpikir bahwa jika aku masih berada di identitasku yang lama, akan lebih mudah bagiku untuk memasukkan pemahaman-pemahaman Kristen kepada sahabat-sahabatku, supaya ketika nanti aku membuka diriku, mereka tidak terlalu terkejut.

Aku pun semakin giat “meninggalkan jejak” atau “sinyal” bagi mereka mengenai imanku yang baru dengan cara membuat postingan-postingan rohani dengan sedikit modifikasi. Sebagai contoh, aku sering mengunggah lirik-lirik lagu rohani dan kutipan-kutipan Alkitab tanpa mencantumkan sumbernya. Dengan begitu, aku berharap ketika aku memberi tahu mereka tentang imanku, mereka tidak akan terlalu terkejut. Hal ini berlangsung selama satu setengah tahun.

Setelah kudoakan dengan sungguh-sungguh, aku memutuskan untuk memberi tahu mereka tentang imanku. Aku sudah menduga mereka akan sedih ketika mengetahuinya, namun aku tetap memberitahu mereka karena aku tahu hal ini tidak mungkin dirahasiakan selamanya dan mereka harus tahu karena mereka sahabatku. Mereka terkejut dan tidak pernah menyangka bahwa aku akan menjadi seperti ini. Mereka kira tiap-tiap postinganku di media sosial itu hanya hal biasa, sekadar rasa ingin tahuku tentang Kekristenan, tidak lebih dari itu. Aku merasa lega karena telah berbicara jujur pada sahabat-sahabatku, dan kupikir mereka pun tidak akan meninggalkanku karena kita adalah sahabat karib.

Namun, prediksiku salah total. Keesokan harinya, salah seorang dari mereka mengirimi aku pesan. Dia mengungkapkan rasa marah, kecewa, dan sedihnya kepadaku. Dia merasa kalau aku telah mengkhianatinya karena aku merahasiakan hal ini darinya. Hal ini membuatku terpukul dan hancur. Dan ketika aku bertanya kepada sahabat-sahabatku yang lain, mereka pun mengungkapkan perasaan yang serupa. Hari-hari selanjutnya mereka sering melontarkanku banyak pertanyaan tentang iman Kristenku, tapi bukan karena ingin tahu, mereka berusaha untuk menarikku kembali ke imanku yang semula. Usaha mereka gagal karena aku telah mantap beriman pada Yesus, dan sejak saat itu mereka menjauhiku dan aku kehilangan sahabat-sahabatku.

Aku merasa sedih dan sangat kehilangan. Tapi, aku tetap mendoakan mereka dan aku bersyukur karena Tuhan memberikan sahabat-sahabat baru untukku melalui persekutuan-persekutuan yang aku ikuti. Apa yang kuhadapi hari ini mungkin hanyalah sebagian kecil dari apa yang kelak akan kuhadapi di masa depan, dan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Yesus yang dikucilkan orang-orang, bahkan sampai disangkal oleh Petrus, murid-Nya sendiri.

Aku tidak tahu bagaimana respons keluargaku nanti apabila mereka mengetahui tentang imanku. Namun, aku percaya bahwa apapun yang terjadi kelak, Tuhan tidak pernah meninggalkanku, seperti sebuah lagu yang berjudul “What A Friend We Have In Jesus” yang liriknya berkata:

Have we trials and temptations?
Is there trouble anywhere?
We should never be discouraged
Take it to the Lord in prayer.
Can we find a friend so faithful,
Who will all our sorrows share?
Jesus knows our every weakness;
Take it to the Lord in prayer.

Atau dalam bahasa Indonesia, kurang lebih artinya:

Adakah kesulitan dan pencobaan?
Adakah masalah melanda?
Jangan pernah berputus asa
Naikkan doa pada Tuhan.

Adakah teman yang begitu setia,
Yang bersedia berbagi kesedihan kita?
Yesus tahu setiap kelemahan kita;
Naikkan doa pada-Nya.

Mungkin aku telah kehilangan sahabat-sahabat karib yang begitu kukasihi, namun sesungguhnya ada Tuhan Yesus, sahabat sejati yang tidak pernah meninggalkanku, apapun keadaannya.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Sebuah Pelajaran dari Bapak Penjual Sandal

Apa yang akan kamu lakukan ketika ada seseorang yang meminta kepadamu? Sederhananya, ada dua jawaban yang mungkin aku atau kamu akan berikan, yaitu memberi atau menolak. Namun, ada sebuah peristiwa di mana seorang bapak penjual sandal memberiku sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana seharusnya aku memberi.

Segala Sesuatu Ada Waktunya

Ilustrasi oleh Lara Sim

Musim panas. Musim gugur. Musim dingin. Musim semi. Sama seperti beberapa negara mengalami pergantian 4 musim, kita semua juga mengalami berbagai musim kehidupan. Beberapa musim menyenangkan, sedangkan yang lainnya tidak. Demikian juga musim-musim yang kita alami, kadang ada musim yang kita ingin agar menetap lebih lama, sedangkan musim yang lain kita ingin agar cepat berlalu. Pada akhirnya, kita dapat memahami bahwa musim yang sulit pun tidak akan menetap selamanya, sama seperti janji Allah kepada bangsa Israel melalui nabi Yeremia.

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. (Yeremia 29:11)

Dalam Yeremia 29:11, dikatakan bahwa bangsa Israel tidak tahu ke mana mereka akan pergi setelah masa pembuangan, tetapi rancangan Tuhan untuk mereka adalah untuk kesejahteraan sejati mereka, dan mereka dapat tenang di dalam pengharapan bahwa Tuhan akan menggenapi janji-Nya.

Terlepas dari di musim manakah kita sekarang berada, kita dapat yakin bahwa ada banyak hal yang dapat kita pelajari pada setiap musim kehidupan.


MUSIM PANAS
Bersama Tuhan, kita dapat mengucap syukur dalam segala keadaan.

Musim panas memungkinkan kita untuk melakukan berbagai kegiatan di luar ruangan. Kita dapat menikmati berselancar di pantai, berolahraga, dan piknik. Kita bersyukur untuk waktu-waktu yang menyenangkan, tetapi marilah kita juga mengucap syukur melampaui masa-masa yang baik, karena Tuhan kita senantiasa baik.


MUSIM GUGUR
Bersama Tuhan, kita dapat menghadapi tantangan perubahan.

Perubahan terjadi di musim gugur–dedaunan mulai berbuah dari warna hijau menjadi oranye dan mulai berguguran. Kita cenderung mengabaikan hal-hal yang baik dan lancar ketika menghadapi masa sulit. Bagaimanapun, kita dapat berharap pada Allah yang setia dan tidak berubah ketika musim kehidupan berubah, karena kita tahu bahwa Allah itu sama sejak kemarin, sekarang, dan selamanya.


MUSIM DINGIN
Bersama Tuhan, kita bisa mendapatkan kenyamanan ketika segala sesuatu menjadi sulit.

Musim dingin yang beku dan kelam membuat kita merindukan kehangatan dan kenyamanan. Kita tidak hanya dapat mempersiapkan diri kita sebaik mungkin menghadapi hal-hal yang akan datang dalam hidup kita, tapi kita bisa mendekatkan diri kepada Tuhan dalam kehangatan dan penghiburan-Nya yang terus-menerus di masa ketidaknyamanan dan penuh masalah. Dia adalah Allah yang mengenal setiap nama dan mengetahui dengan pasti apa yang sedang terjadi dalam hidup kita.


MUSIM SEMI
Bersama Tuhan, sebuah awal yang baru itu mungkin.

Rerumputan menghijau, bunga-bunga mulai mekar, burung-burung mulai bernyanyi dan kamu merasakan musim semi dalam langkahmu. Waktu yang buruk tidak menetap selamanya. Ketika segala sesuatu membaik, kita mulai optimis dan berpengharapan. Mari mengingat bahwa Tuhan membuat segala sesuatunya mungkin dan senantiasa mengucap syukur atas semua yang telah Ia lakukan dalam hidup kita.

Karya seni ini pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris di A Season for Everything

Lihat karya lainnya di: Ruang Seni Kamu

Matahari Bersayap Dua

Rabu, 11 Oktober 2017

Matahari Bersayap Dua

Baca: Yesaya 38:1-8

38:1 Pada hari-hari itu Hizkia jatuh sakit dan hampir mati. Lalu datanglah nabi Yesaya bin Amos dan berkata kepadanya: “Beginilah firman TUHAN: Sampaikanlah pesan terakhir kepada keluargamu, sebab engkau akan mati, tidak akan sembuh lagi.”

38:2 Lalu Hizkia memalingkan mukanya ke arah dinding dan ia berdoa kepada TUHAN.

38:3 Ia berkata: “Ah TUHAN, ingatlah kiranya, bahwa aku telah hidup di hadapan-Mu dengan setia dan dengan tulus hati dan bahwa aku telah melakukan apa yang baik di mata-Mu.” Kemudian menangislah Hizkia dengan sangat.

38:4 Maka berfirmanlah TUHAN kepada Yesaya:

38:5 “Pergilah dan katakanlah kepada Hizkia: Beginilah firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. Sesungguhnya Aku akan memperpanjang hidupmu lima belas tahun lagi,

38:6 dan Aku akan melepaskan engkau dan kota ini dari tangan raja Asyur dan Aku akan memagari kota ini.

38:7 Inilah yang akan menjadi tanda bagimu dari TUHAN, bahwa TUHAN akan melakukan apa yang telah dijanjikan-Nya:

38:8 Sesungguhnya, bayang-bayang pada penunjuk matahari buatan Ahas akan Kubuat mundur ke belakang sepuluh tapak yang telah dijalaninya.” Maka pada penunjuk matahari itu mataharipun mundurlah ke belakang sepuluh tapak dari jarak yang telah dijalaninya.

Beginilah firman Tuhan . . . : Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu. —Yesaya 38:5

Matahari Bersayap Dua

Selama lima tahun, sebuah stempel kuno yang terbuat dari tanah liat dibiarkan tersimpan dalam lemari di Institut Arkeologi Yerusalem. Stempel itu ditemukan dalam penggalian di bagian selatan dari tembok kota kuno Yerusalem. Namun, penelitian awal tidak berhasil menemukan arti penting dari benda yang berusia hampir 3.000 tahun tersebut. Di kemudian hari, seorang peneliti dengan cermat mengamati huruf-huruf yang tertera pada stempel itu dan menghasilkan penemuan besar. Inskripsi yang tertulis dalam bahasa Ibrani kuno itu menyatakan: “Milik Hizkia [bin] Ahas, Raja Yehuda.”

Di bagian tengah stempel itu terdapat gambar matahari bersayap dua yang dikelilingi dua gambar yang melambangkan kehidupan. Para arkeolog yang menemukan stempel itu meyakini bahwa Raja Hizkia mulai menggunakannya sebagai lambang perlindungan Allah setelah Allah menyembuhkan Hizkia dari penyakit yang nyaris merenggut nyawanya (Yes. 38:1-8). Hizkia memohon agar Tuhan menyembuhkannya dan doanya dijawab oleh Tuhan. Dia juga memberi Hizkia sebuah tanda yang menyatakan bahwa Dia pasti menepati janji-Nya. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya, bayang-bayang pada penunjuk matahari buatan Ahas akan Kubuat mundur ke belakang sepuluh tapak yang telah dijalaninya” (ay.8).

Fakta-fakta yang terkait dengan artefak arkeologis tersebut mengingatkan sekaligus menguatkan kita bahwa umat di zaman Alkitab belajar untuk berseru kepada Tuhan yang mendengarkan ketika kita mohon pertolongan-Nya. Kita pun belajar hal yang sama. Sekalipun jawaban-Nya mungkin tidak sesuai dengan keinginan atau harapan kita, kita dapat tetap meyakini bahwa Allah sungguh penuh belas kasih dan berkuasa. Dia yang sanggup mengatur pergerakan matahari pasti juga sanggup menggerakkan hati kita. —Poh Fang Chia

Ya Allah, Engkau Mahabesar dan Mahakuasa, tetapi Engkau mau mempedulikanku. Tolonglah aku mempercayai kuasa dan kasih-Mu dan selalu mencari pertolongan-Mu.

Berserulah kepada Allah: Dia ingin mendengar seruanmu.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 37-38; Kolose 3

Wallpaper: Roma 12:18

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!

Panggilan Rohani untuk Bangun

Selasa, 10 Oktober 2017

Panggilan Rohani untuk Bangun

Baca: Wahyu 3:1-6

3:1 “Dan tuliskanlah kepada malaikat jemaat di Sardis: Inilah firman Dia, yang memiliki ketujuh Roh Allah dan ketujuh bintang itu: Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!

3:2 Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku.

3:3 Karena itu ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah! Karena jikalau engkau tidak berjaga-jaga, Aku akan datang seperti pencuri dan engkau tidak tahu pada waktu manakah Aku tiba-tiba datang kepadamu.

3:4 Tetapi di Sardis ada beberapa orang yang tidak mencemarkan pakaiannya; mereka akan berjalan dengan Aku dalam pakaian putih, karena mereka adalah layak untuk itu.

3:5 Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya.

3:6 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat.”

Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku. —Wahyu 3:2

Panggilan Rohani untuk Bangun

Dahulu ada masanya saya sering melakukan perjalanan dan menginap di kota yang berbeda-beda setiap malam. Setiap kali tiba di penginapan, saya selalu meminta petugas hotel untuk membangunkan saya di pagi hari dengan menelepon pada waktu yang saya jadwalkan. Meski sudah memasang alarm saya sendiri, saya tetap memerlukan panggilan telepon untuk membangunkan saya agar siap memulai aktivitas di pagi hari.

Panggilan rohani yang membangunkan juga terdapat dalam kitab Wahyu, yakni di dalam surat-surat Rasul Yohanes kepada tujuh jemaat di provinsi Asia. Kepada jemaat di Sardis, ia menuliskan pesan yang datang dari Yesus sendiri: “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati! Bangunlah, dan kuatkanlah apa yang masih tinggal yang sudah hampir mati, sebab tidak satupun dari pekerjaanmu Aku dapati sempurna di hadapan Allah-Ku” (Why. 3:1-2).

Di tengah keletihan rohani, mungkin saja kita tidak menyadari kejenuhan yang menggerogoti hubungan kita dengan Allah. Namun, Tuhan mengatakan kepada kita, “Ingatlah, bagaimana engkau telah menerima dan mendengarnya; turutilah itu dan bertobatlah!” (ay.3)

Banyak orang mendapati bahwa menjadwalkan waktu khusus setiap pagi untuk membaca Alkitab dan berbicara kepada Tuhan di dalam doa telah menolong mereka tetap terjaga secara rohani. Meluangkan waktu bersama Tuhan Yesus tidak dirasakan sebagai beban melainkan sebagai sumber sukacita. Kita juga bersukacita saat menyadari bahwa melalui waktu khusus tersebut, Dia sedang menyiapkan kita untuk segala sesuatu yang akan kita hadapi sepanjang hari itu. —David C. McCasland

Tuhan, mampukan kami untuk mendengar dan menjawab panggilan-Mu untuk bangun dan bekerja hari ini.

Alangkah senangnya meluangkan waktu bersama Tuhan Yesus!

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 34-36; Kolose 2

Sebuah Pelajaran dari Bapak Penjual Sandal

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Apa yang akan kamu lakukan ketika ada seseorang yang meminta kepadamu? Sederhananya, ada dua jawaban yang mungkin aku atau kamu akan berikan, yaitu memberi atau menolak.

Namun, ada sebuah peristiwa di mana aku merasa bimbang dan dilema. Di satu sisi aku ingin memberi tapi aku enggan. Di sisi lainnya, aku ingin menolak tetapi tidak sampai hati.

Cerita ini bermula saat aku sedang makan bersama seorang teman di warung kaki lima. Waktu itu ada seorang bapak berjalan mendekat ke arah kami. Jalannya pincang, di punggungnya terkait sebuah tas besar, tangannya memegang beberapa pasang sandal, dan senyum tipis tersungging di wajahnya. Dia berusaha membujuk kami untuk membeli salah satu dari sandal yang dia jajakan. Awalnya aku berusaha acuh tak acuh terhadap bapak itu, tetapi dia bergeming dan menatapku dengan tatapan lunglai.

Akhirnya, aku bertanya. “Berapa harga sandalnya, pak?”

“60 ribu, mas,” sahutnya.

Saat itu aku hanya membawa sedikit uang di dompet, dan tepat di hari itu juga aku kehilangan sejumlah uang. Ingin rasanya aku menolak bapak itu supaya dia segera beranjak. Tapi, setelah kuamati sekali lagi bapak itu, aroma balsem tercium menyengat dari tubuhnya, matanya begitu sayu, wajahnya penuh keringat, dan nafasnya pun tersengal-sengal. Aku pikir sepertinya bapak itu memang sedang kelelahan, sakit, dan tentunya membutuhkan uang.

Hati kecilku terketuk, lalu kupegang tangan bapak itu dan berkata, “Pak, saya tidak punya cukup uang buat beli sandal bapak, dan saya juga saat ini belum membutuhkan sandal. Tapi, saya mau memberi buat bapak seadanya.”

Respons yang kudapat mengejutkanku. Bapak itu tersungkur di depanku dan menangis. Setelah kuajak bicara lebih lanjut, ternyata perjuangan bapak itu sungguh luar biasa. Aroma balsem yang menyeruak dari tubuhnya itu berasal dari kakinya yang membengkak karena kecelakaan. Aku mengajaknya untuk duduk makan bersamaku, namun dia menolak dengan halus. Katanya dia mau menggunakan uang yang diterimanya untuk pulang saja ke rumah. Kemudian bapak itu undur diri dan berjalan meninggalkan kami.

Saat aku melanjutkan makanku, pikiranku terus bertanya-tanya dan membayangkan tentang bapak itu.

Sudah sejauh mana dia berjalan? Bagaimana dengan kakinya yang bengkak itu? Bagaimana perasaannya apabila hari itu tak ada satupun yang membeli jualannya?

Walaupun aku telah memutuskan untuk memberi, tetapi aku merasa malu pada diriku sendiri. Sebagai seorang Kristen, aku sudah sering mendengar ayat-ayat yang berbicara tentang memberi. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan di mana sudah seharusnya aku memberi, aku malah bingung dan bertanya-tanya. Apakah aku harus memberi kepada bapak ini? Atau, sampai sejauh mana aku harus memberi? Apakah aku memberi jika aku sedang berkelimpahan? Atau, apakah aku memberi jika kalau aku merasa ingin saja?

Alkitab tidak mengatakan pada kita bahwa kita harus memberi kalau kita diberi kembali, atau kita harus memberi kalau kita sedang punya. Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Alkitab dengan jelas mengatakan pada kita bahwa adalah lebih baik memberi daripada menerima, titik. Tanpa ada persyaratan lainnya.

Malam itu aku menyadari bahwa aku masih terlalu egois. Yang ada dalam pikiranku hanyalah tentang diriku sendiri. Ketika bapak itu datang menghampiriku, aku mengesampingkan dahulu rasa kepedulianku dan lebih memikirkan tentang kemalangan yang sudah terlebih dahulu menimpaku. Aku lupa bahwa sesulit-sulitnya hidupku, ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit. Aku pun lupa bahwa ketika aku menolong orang yang lemah dan hina, sesungguhnya aku sedang melakukan itu untuk Tuhan (Matius 25:40).

Aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan dan juga mengucap syukur atas kehadiran bapak tadi yang boleh menegur dan mengajarku untuk menjadi seorang yang ikhlas memberi. Mungkin pemberianku yang kecil itu tidak akan mengubah kehidupan bapak itu seketika, tetapi minimal dia bisa kembali ke rumahnya, beristirahat, dan bertemu dengan keluarganya.

Aku yakin bahwa tak hanya bapak itu, tetapi ada banyak orang lain di lingkungan kita yang juga membutuhkan pertolongan. Entah itu seorang janda di gereja kita yang tak punya uang untuk berobat, teman sekelas kita yang tak mampu untuk membayar uang sekolah, atau bahkan para pedagang kecil yang sering menghampiri kita saat kita sedang makan. Pada intinya, realita yang tersaji di hadapan kita adalah ada banyak orang-orang yang sebetulnya membutuhkan bantuan dari kita. Hanya, apakah kita peka dan mau menaruh perhatian terhadap mereka?

Sebagai orang Kristen yang adalah pengikut Kristus, sudah seharusnya kita mengikuti teladan-Nya dan juga peka terhadap lingkungan sekitar kita. Ketika Kristus telah memberikan segala-galanya untuk kita yang seharusnya tak layak diberi (Roma 3:23-24), akankah kita memberikan sedikit yang ada daripada kita untuk sesama manusia yang membutuhkan?

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).

Baca Juga:

Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Dari Cacing Sampai Perang

Senin, 9 Oktober 2017

Dari Cacing Sampai Perang

Baca: Hakim-Hakim 6:11-16, 36-40

6:11 Kemudian datanglah Malaikat TUHAN dan duduk di bawah pohon tarbantin di Ofra, kepunyaan Yoas, orang Abiezer itu, sedang Gideon, anaknya, mengirik gandum dalam tempat pemerasan anggur agar tersembunyi bagi orang Midian.

6:12 Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya dan berfirman kepadanya, demikian: “TUHAN menyertai engkau, ya pahlawan yang gagah berani.”

6:13 Jawab Gideon kepada-Nya: “Ah, tuanku, jika TUHAN menyertai kami, mengapa semuanya ini menimpa kami? Di manakah segala perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib yang diceritakan oleh nenek moyang kami kepada kami, ketika mereka berkata: Bukankah TUHAN telah menuntun kita keluar dari Mesir? Tetapi sekarang TUHAN membuang kami dan menyerahkan kami ke dalam cengkeraman orang Midian.”

6:14 Lalu berpalinglah TUHAN kepadanya dan berfirman: “Pergilah dengan kekuatanmu ini dan selamatkanlah orang Israel dari cengkeraman orang Midian. Bukankah Aku mengutus engkau!”

6:15 Tetapi jawabnya kepada-Nya: “Ah Tuhanku, dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di antara suku Manasye dan akupun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku.”

6:16 Berfirmanlah TUHAN kepadanya: “Tetapi Akulah yang menyertai engkau, sebab itu engkau akan memukul kalah orang Midian itu sampai habis.”

6:36 Kemudian berkatalah Gideon kepada Allah: “Jika Engkau mau menyelamatkan orang Israel dengan perantaraanku, seperti yang Kaufirmankan itu,

6:37 maka aku membentangkan guntingan bulu domba di tempat pengirikan; apabila hanya di atas guntingan bulu itu ada embun, tetapi seluruh tanah di situ tinggal kering, maka tahulah aku, bahwa Engkau mau menyelamatkan orang Israel dengan perantaraanku, seperti yang Kaufirmankan.”

6:38 Dan demikianlah terjadi; sebab keesokan harinya pagi-pagi ia bangun, dipulasnya guntingan bulu itu dan diperasnya air embun dari guntingan bulu itu, secawan penuh air.

6:39 Lalu berkatalah Gideon kepada Allah: “Janganlah kiranya murka-Mu bangkit terhadap aku, apabila aku berkata lagi, sekali ini saja; biarkanlah aku satu kali lagi saja mengambil percobaan dengan guntingan bulu itu: sekiranya yang kering hanya guntingan bulu itu, dan di atas seluruh tanah itu ada embun.”

6:40 Dan demikianlah diperbuat Allah pada malam itu, sebab hanya guntingan bulu itu yang kering, dan di atas seluruh tanah itu ada embun.

Berfirmanlah Tuhan kepadanya: “Selamatlah engkau! Jangan takut, engkau tidak akan mati.” —Hakim-Hakim 6:23

Dari Cacing Sampai Perang

Inilah pertama kalinya Cleo yang berusia sepuluh tahun memancing ikan. Ketika melihat wadah yang berisi umpan, ia terlihat ragu untuk memulainya. Akhirnya, ia berseru kepada suami saya, “Tolong, Kek!” Ketika suami saya menanyakan masalahnya, Cleo menjawab dengan terbata-bata, “Aku . . . aku . . . aku takut cacing!” Ketakutan Cleo membuatnya tidak mampu berbuat apa-apa.

Ketakutan juga dapat melumpuhkan orang dewasa. Gideon tentu merasa ketakutan ketika malaikat Tuhan mendatanginya di saat ia sedang mengirik gandum secara diam-diam, karena bersembunyi dari orang Midian musuh bangsa Israel (Hak. 6:11). Sang malaikat berkata bahwa Gideon telah dipilih Allah untuk memimpin umat-Nya berperang (ay.12-14).

Apa reaksi Gideon? “Ah Tuhanku, dengan apakah akan kuselamatkan orang Israel? Ketahuilah, kaumku adalah yang paling kecil di antara suku Manasye dan akupun seorang yang paling muda di antara kaum keluargaku” (ay.15). Meskipun telah diyakinkan oleh kehadiran Tuhan, Gideon masih juga merasa takut dan meminta tanda yang membuktikan bahwa ia memang akan dipakai Allah untuk menyelamatkan Israel seperti yang dijanjikan-Nya (ay.36-40). Allah pun memenuhi permintaan Gideon. Bangsa Israel berhasil memenangi peperangan itu dan kemudian menikmati kedamaian selama 40 tahun.

Kita semua memiliki beragam ketakutan—dari takut cacing sampai takut perang. Cerita Gideon mengajarkan bahwa kita dapat meyakini satu hal: Jika Allah memerintahkan kita untuk melakukan sesuatu, Dia akan memberi kita kekuatan dan kesanggupan untuk melakukannya. —Anne Cetas

Tuhan, terima kasih untuk kepastian bahwa Engkau selalu menyertai kami.

Untuk mengenyahkan ketakutan dalam hidup, berimanlah kepada Allah yang hidup.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 32-33; Kolose 1

Layak

Minggu, 8 Oktober 2017

Layak

Baca: 2 Raja-Raja 4:42-44

4:42 Datanglah seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.”

4:43 Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.”

4:44 Lalu dihidangkannyalah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN.

Lalu dihidangkannyalah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman Tuhan. —2 Raja-Raja 4:44

Layak

Ketika pertama kalinya saya dan suami diminta menjadi tuan rumah untuk suatu pertemuan kelompok kecil, saya langsung ingin menolaknya. Saya merasa tidak layak. Kami tidak memiliki cukup kursi untuk tiap orang; rumah kami kecil dan tidak dapat menampung banyak orang. Saya juga tidak yakin kami dapat memimpin diskusi kelompok. Apabila diminta untuk menyediakan makanan, saya khawatir karena saya tidak mahir memasak dan tidak punya cukup uang untuk membelinya. Saya tidak merasa kami “layak”, terutama saya yang tidak merasa “layak” melakukannya. Namun, kami ingin melayani Allah dan melayani lingkungan kami. Meskipun ada banyak ketakutan di benak kami, kami mau menjadi tuan rumah. Setelah lebih dari lima tahun melakukannya, kami merasakan sukacita yang luar biasa dari kehadiran kelompok kecil tersebut di rumah kami.

Saya melihat keengganan dan keraguan yang serupa dialami oleh seorang pelayan yang membawa roti kepada Elisa, sang abdi Allah. Elisa telah memerintahkannya memberikan roti tersebut kepada orang banyak. Namun, ia merasa ragu apakah dua puluh ketul roti dapat dihidangkan untuk seratus orang. Pelayan itu cenderung menahan-nahan makanan tersebut karena—dalam pemahamannya sebagai manusia—jumlahnya tidak akan cukup. Namun, ternyata roti itu lebih dari cukup (2Raj. 4:44), karena Allah menerima persembahan yang diberikannya dengan taat dan menjadikannya layak bagi semua orang di situ.

Ketika kita merasa tidak layak, atau berpikir pemberian kita tidak cukup, ingatlah bahwa Allah meminta kita untuk mempersembahkan apa yang kita miliki dengan taat dan setia. Allah sajalah yang akan menjadikan persembahan itu “layak”. —Kirsten Holmberg

Tuhan, saat aku merasa persembahanku tidak cukup pantas, tolonglah aku agar tetap memberikannya kepada-Mu dan percaya Engkau akan melayakkannya.

Allah melayakkan persembahan yang kita berikan dengan taat dan setia.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 30-31; Filipi 4

Sampai Kapan?

Sabtu, 7 Oktober 2017

Sampai Kapan?

Baca: Habakuk 1:2-11

1:2 Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?

1:3 Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.

1:4 Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.

1:5 Lihatlah di antara bangsa-bangsa dan perhatikanlah, jadilah heran dan tercengang-cengang, sebab Aku melakukan suatu pekerjaan dalam zamanmu yang tidak akan kamu percayai, jika diceriterakan.

1:6 Sebab, sesungguhnya, Akulah yang membangkitkan orang Kasdim, bangsa yang garang dan tangkas itu, yang melintasi lintang bujur bumi untuk menduduki tempat kediaman, yang bukan kepunyaan mereka.

1:7 Bangsa itu dahsyat dan menakutkan; keadilannya dan keluhurannya berasal dari padanya sendiri.

1:8 Kudanya lebih cepat dari pada macan tutul, dan lebih ganas dari pada serigala pada waktu malam; pasukan berkudanya datang menderap, dari jauh mereka datang, terbang seperti rajawali yang menyambar mangsa.

1:9 Seluruh bangsa itu datang untuk melakukan kekerasan, serbuan pasukan depannya seperti angin timur, dan mereka mengumpulkan tawanan seperti banyaknya pasir.

1:10 Raja-raja dicemoohkannya dan penguasa-penguasa menjadi tertawaannya. Ditertawakannya tiap tempat berkubu, ditimbunkannya tanah dan direbutnya tempat itu.

1:11 Maka berlarilah mereka, seperti angin dan bergerak terus; demikianlah mereka bersalah dengan mendewakan kekuatannya.

Ya Tuhan, sampai kapan aku harus berseru meminta pertolongan? —Habakuk 1:2 BIS

Sampai Kapan?

Setelah menikah, saya mengira akan segera memiliki anak. Hal itu tidak terjadi dan rasa sedih karena kemandulan tersebut membuat saya bersimpuh mencari Allah. Saya sering berseru kepada-Nya, “Sampai kapan, ya Tuhan?” Saya tahu Allah sanggup mengubah keadaan saya. Lalu, mengapa Dia tidak melakukannya?

Apakah kamu sedang menantikan Allah? Apakah kamu bertanya kepada-Nya: Kapan keadilan memerintah di dunia ini? Kapan obat untuk penyakit kanker akan ditemukan? Kapan aku bisa terbebas dari utang?

Nabi Habakuk sangat memahami kegalauan tersebut. Pada abad ketujuh sm, ia berseru kepada Tuhan, “Ya Tuhan, sampai kapan aku harus berseru meminta pertolongan? Kapan Engkau akan mendengar dan menyelamatkan kami dari penindasan? Mengapa Kaubiarkan aku melihat begitu banyak kejahatan? Masakan Engkau tahan melihat begitu banyak pelanggaran? Di mana-mana ada kehancuran dan kekerasan, perkelahian dan perselisihan” (Hab. 1:2-3 BIS). Ia telah berdoa begitu lama, dalam kesulitan untuk menerima bagaimana Allah yang adil dan berkuasa dapat membiarkan kelaliman, ketidakadilan, dan kebobrokan terus berlangsung di Yehuda. Di benak Habakuk, Allah seharusnya sudah turun tangan. Mengapa Dia tidak berbuat apa-apa?

Adakalanya kita juga merasa bahwa Allah tidak berbuat apa-apa. Seperti Habakuk, kita terus-menerus bertanya kepada Allah, “Sampai kapan?”

Meski kita merasa demikian, sesungguhnya doa-doa kita tidak diabaikan. Seperti halnya dengan Habakuk, beban kita diketahui oleh Allah. Kita harus terus-menerus menyerahkan beban kita kepada Tuhan karena Dia peduli kepada kita. Allah mendengarkan kita dan akan menjawab kita pada waktu-Nya.—Karen Wolfe

Tuhan, terima kasih karena Engkau telah menanggung segala bebanku. Aku tahu Engkau mendengar seruanku dan akan menjawabnya sesuai waktu dan tujuan-Mu yang sempurna.

Janganlah berputus asa karena kejahatan; Allah akan menuntaskannya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 28-29; Filipi 3