Nyaris Mati Karena Bunuh Diri, Namun Tuhan Memberiku Kesempatan Kedua

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Time I Attempted Suicide

Obat-obatan dan pecahan kaca, air mata dan darah, ketakutan dan putus asa. Itulah gambaran dari malam yang paling kelam dalam hidupku. Sejujurnya, aku tak ingin mengakhiri hidupku sendiri saat itu. Tapi, aku tak tahu apa yang harus kulakukan di hari esok. Aku pikir lebih baik mengakhiri segala penderitaan hari itu daripada harus menghadapi penderitaan lainnya. Akhirnya, aku berbaring di atas kasur, menenggak obat-obatan, menyayat tubuhku, dan membiarkan darah mengalir keluar. Kupikir malam itu, di usia ke-19 tahun, aku akan terlelap untuk selamanya.

Dua tahun sebelum peristiwa malam itu, aku masuk ke sekolah menengah. Aku merasa begitu stres dan semangat belajarku pun hilang. Nilai-nilaiku menurun, membuatku makin tidak termotivasi untuk belajar. Aku banyak menghabiskan waktu dengan tidur dan mood-ku selalu buruk. Dalam beberapa kesempatan, aku melukai diriku sendiri karena kupikir rasa sakit fisik yang kualami ini adalah satu-satunya cara untuk mengekspresikan dan mengatasi sakit dalam batinku. Aku tak tahu bagaimana persisnya perasaanku saat itu.

Beberapa bulan kemudian, setelah ujian sekolah usai dilaksanakan, aku menerima sebuah surat dari Departemen Pertahanan. Isi dari surat itu adalah aku harus mengikuti Wajib Militer (Wamil) yang diwajibkan oleh negaraku kepada para pemuda. Sejak saat inilah hidupku mulai terpuruk.

Aku bukanlah seorang lelaki yang bertubuh atletis dan menyukai latihan fisik. Kedua orangtuaku seringkali memberitahuku kalau aku tidak melatih tubuhku secara fisik, aku tidak akan mampu menuntaskan kerasnya Wamil. Sekarang, aku mengerti bahwa maksud kedua orangtuaku memotivasku itu baik. Akan tetapi, sepanjang masa remajaku, aku mengabaikan nasihat mereka. Aku menganggap diriku tidak cocok dan tidak mungkin bertahan untuk hidup dalam dunia kemiliteran.

Masa-masa ketika aku duduk di sekolah menengah bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Aku berjuang keras karena aku tidak dapat membaur dengan teman-teman lelaki di kelas. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku tertarik dengan sesama lelaki. Dunia militer adalah dunia laki-laki yang maskulin, dan aku pun takut bagaimana respons mereka apabila mereka tahu bahwa aku adalah seorang gay. Ketakutan ini semakin menjadi-jadi tatkala waktu pendaftaran Wamil semakin dekat.

Kepada Tuhan, aku memohon dengan memelas supaya Dia berkenan memberikan mukjizat dan aku bisa terbebas dari Wamil. Aku mencoba tawar-menawar dengan Tuhan. Jika Tuhan mengabulkan permintaanku, aku berjanji akan melakukan hal-hal tertentu sebagai gantinya. Setiap malam, di atas kasur, pikiranku kalut. Saat tengah malam, aku terbangun, berdoa sekali lagi memohon supaya Tuhan meluputkan aku dari Wamil.

Hari demi hari berlalu, tapi tidak ada hal apapun yang terjadi. Untuk terakhir kalinya, aku bertemu dengan teman terdekatku di sekolah, mencari cara-cara terampuh untuk bunuh diri, kemudian menulis surat sebagai pesan terakhir untuk keluargaku. Saat-saat itu, hatiku dipenuhi oleh ketakutan dan pikiran-pikiran gelap terus menggangguku. Di satu sisi, aku tidak ingin mengakhiri hidupku. Tapi, di sisi lainnya, aku percaya bahwa bunuh diri adalah satu-satunya solusi untuk keluar dari situasi yang amat kutakuti. Pikiranku bertanya-tanya: apakah Tuhan akan mengampuniku jika aku memlih bunuh diri? Apakah bunuh diri itu dosa yang bisa diampuni, atau sesuatu yang sangat kejam hingga aku harus dihukum di neraka?

Hari pendaftaranku di Wamil pun datang. Tidak ada mukjizat apapun yang terjadi. Sepanjang malam aku menunggu sampai seluruh anggota keluargaku tidur untuk melakukan niatan bunuh diriku. Di atas kasur, aku meletakkan harapanku kepada obat-obatan yang akan kutenggak dan pecahan kaca yang akan menyayat tubuhku. Di saat itu juga aku bertanya-tanya: akankah nanti aku melihat Allah?

Kutenggak obat-obatan itu dan kusayat tubuhku hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

Ketika aku membuka mata, orang pertama yang kulihat adalah ibuku. Dia menangis sejadi-jadinya di bawah ranjangku. Perlahan, akhirnya aku menyadari bahwa aku sedang berada di rumah sakit. “Sial!” umpatku.

Usaha bunuh diriku tidak berhasil. Aku masih hidup. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Kasih Seorang Bapa

Dalam masa-masa pemulihanku, aku mendapati bahwa ternyata aku begitu dicintai. Sebelum aku mencoba bunuh diri, aku tahu bahwa kedua orangtuaku mengasihiku, tapi aku hanya sekadar tahu tanpa mengganggap bahwa kasih mereka kepadaku itu nyata. Ketika aku melihat ibuku menangis, barulah aku sadar bahwa dia sungguh-sungguh mempedulikanku lebih dari apa yang kutahu. Aku juga belum pernah melihat ayahku dan nenekku begitu khawatir dan kecewa sebelumnya.

Seorang teman dekatku di sekolah juga datang menjengukku. Katanya, untuk menyelamatkanku, tim medis berusaha mengeluarkan obat-obatan yang sebelumnya sudah kutenggak. Seorang guruku juga datang menjenguk, dan aku terkejut melihatnya menangis. Dia membacakanku ayat Alkitab dari Mazmur 121 untuk meyakinkanku bahwa Tuhan selalu menjaga dan menolongku. Setelah aku boleh pulang dari rumah sakit, semua kerabatku datang menjengukku, mencurahkan perhatian dan memberiku nasihat. Aku tidak pernah menyangka bahwa orang-orang di sekitarku ternyata begitu mempedulikanku.

Aku ingat hari ketika keluargaku membawaku pulang dari rumah sakit. Sepanjang perjalanan kami tidak banyak bicara. Aku masuk ke kamar dan terduduk di atas kasurku. Tak lama kemudian, ayahku datang sambil membawa sebuah tas. Di dalamnya terdapat beberapa catatan yang kutulis sebagai pesan terakhirku kepada keluarga. Dia memberiku tas itu dan berkata, “Ambil ini, dan anggap kejadian ini tidak pernah terjadi.”

Dari perkataannya, aku mengerti bahwa ayahku sungguh mengasihiku. Mungkin cara ayahku berkata-kata hari itu adalah cara yang paling tenang dan lembut yang pernah dia ucapkan untukku. Atau, mungkin juga dia ingin menunjukkan kebaikannya kepadaku. Di hadapanku, Ayah memberikan sebuah hadiah, yaitu kasih untuk menjalani hari-hariku di depan. Ketika dulu aku pernah berdoa meminta mukjizat, mungkin ini adalah jawaban dari Tuhan.

Apa yang ayahku lakukan adalah sebuah gambaran sederhana dari apa yang Bapa Surgawi lakukan buatku: Allah menghapus dosaku dan memberiku kesempatan baru jika aku mau menerima Yesus dan percaya pada-Nya. Mungkin kisah hidupmu berbeda denganku, tetapi kasih dan anugerah Bapa untuk kamu dan aku tetap sama, terlepas dari apapun permasalahan atau masa lalu kita. Allah mau menyembuhkan dan memulihkan kita, sebab Dialah yang berkuasa atas hidup.

Dua tahun setelah kejadian percobaan bunuh diriku, aku menemui seorang psikiater. Dia menolongku untuk menyadari bahwa sejak SMP aku sudah mengalami depresi, dan depresi ini bertambah parah menjelang hari pendaftaranku masuk ke Wamil—sesuatu yang amat kutakuti tapi tak bisa kuhindari. Selama beberapa waktu, dengan melakukan meditasi, konseling, dan dukungan dari komunitas Kristen, aku berubah jadi lebih baik.

Jadwalku untuk bergabung dengan Wamil diundur sampai beberapa bulan. Selama mengikuti Wamil, aku mengalami betapa besar kesetiaan Tuhan atas hidupku, terutama saat melewati tahun-tahun yang berat. Aku belajar untuk mengenal-Nya lebih dalam, karena dari Dia sajalah pertolonganku datang (Mazmur 121:1-2), Dia yang selalu menjagaku dari marabahaya (Mazmur 121:3-8).

Hari ini, walaupun luka itu telah pudar, kamu masih tetap dapat melihat luka itu di bawah lengan kiriku. Tetapi, karena kasih karunia dan pengampunan dari Allah yang diberikan melalui penderitaan Yesus di kayu salib, aku dapat mengingat anugerah Tuhan bagiku setiap kali aku melihat luka itu (Yesaya 53:5).

Baca Juga:

Pergumulanku Melawan Rasa Iri Hati

Melihat pencapaian temanku yang seolah tampak lebih berhasil dariku sempat membuatku tidak terima dan menganggap bahwa Tuhan tidak adil. Tapi, aku sadar bahwa perasaan ini adalah salah, dan inilah pergumulanku untuk melawan rasa iri hati.

Bertahan Hidup di Gurun

Rabu, 25 Oktober 2017

Bertahan Hidup di Gurun

Baca: Keluaran 17:1-7

17:1 Kemudian berangkatlah segenap jemaah Israel dari padang gurun Sin, berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, sesuai dengan titah TUHAN, lalu berkemahlah mereka di Rafidim, tetapi di sana tidak ada air untuk diminum bangsa itu.

17:2 Jadi mulailah mereka itu bertengkar dengan Musa, kata mereka: “Berikanlah air kepada kami, supaya kami dapat minum.” Tetapi Musa berkata kepada mereka: “Mengapakah kamu bertengkar dengan aku? Mengapakah kamu mencobai TUHAN?”

17:3 Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa dan berkata: “Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?”

17:4 Lalu berseru-serulah Musa kepada TUHAN, katanya: “Apakah yang akan kulakukan kepada bangsa ini? Sebentar lagi mereka akan melempari aku dengan batu!”

17:5 Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: “Berjalanlah di depan bangsa itu dan bawalah beserta engkau beberapa orang dari antara para tua-tua Israel; bawalah juga di tanganmu tongkatmu yang kaupakai memukul sungai Nil dan pergilah.

17:6 Maka Aku akan berdiri di sana di depanmu di atas gunung batu di Horeb; haruslah kaupukul gunung batu itu dan dari dalamnya akan keluar air, sehingga bangsa itu dapat minum.” Demikianlah diperbuat Musa di depan mata tua-tua Israel.

17:7 Dinamailah tempat itu Masa dan Meriba, oleh karena orang Israel telah bertengkar dan oleh karena mereka telah mencobai TUHAN dengan mengatakan: “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?”

Berita itu tidak ada gunanya. Sebab ketika mereka mendengarnya, mereka tidak percaya. —Ibrani 4:2 BIS

Bertahan Hidup di Gurun

Pada dekade 1960-an, kelompok musik Kingston Trio merilis lagu berjudul “Desert Pete”. Lagu itu berkisah tentang seorang koboi yang sedang kehausan, dan ketika melintasi padang gurun ia menemukan pompa air manual. Di sebelah pompa itu, Desert Pete meninggalkan selembar catatan yang mendorong pembacanya untuk tidak meminum air dalam kendi yang ada di situ, tetapi menggunakan air itu untuk memancing pompa agar mengeluarkan air dari tanah.

Koboi itu menolak godaan untuk meminum air dalam kendi dan menggunakannya sesuai petunjuk yang tertulis itu. Sebagai upah dari ketaatannya, ia memperoleh air dingin yang segar dan berlimpah untuk memuaskan dahaganya. Jika tidak mempercayai pesan itu, ia hanya memperoleh air hangat dalam kendi yang dapat diminumnya tetapi yang tidak akan memuaskan dahaganya.

Kisah itu mengingatkan saya tentang perjalanan bangsa Israel yang melintasi padang gurun. Ketika mereka sangat kehausan (Kel. 17:1-7), Musa berseru meminta pertolongan Tuhan. Musa diperintahkan Tuhan untuk memukul gunung batu di Horeb dengan tongkatnya. Musa percaya dan taat, dan air pun menyembur dari bukit batu itu.

Sayangnya, bangsa Israel tidak konsisten mengikuti teladan iman Musa. Pada akhirnya, “berita itu tidak ada gunanya. Sebab ketika mereka mendengarnya, mereka tidak percaya” (Ibr 4:2 BIS).

Terkadang kehidupan ini dapat terasa seperti padang gurun yang gersang. Namun, Allah sanggup memuaskan kehausan jiwa kita di tengah situasi-situasi yang tidak terduga sama sekali. Ketika dengan iman kita mempercayai janji-janji Tuhan dalam firman-Nya, kita akan menikmati kelimpahan air hidup dan anugerah yang kita butuhkan sehari-hari. —Dennis Fisher

Tolonglah kami untuk mempercayai-Mu, Tuhan. Engkaulah yang sanggup memuaskan jiwa kami yang haus.

Hanya Yesus, Sang Air Hidup, yang bisa memuaskan dahaga kita akan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 6-8; 1 Timotius 5

Pergumulanku Melawan Rasa Iri Hati

Oleh Peregrinus Roland Effendi, Cilacap

Apa yang kamu pikirkan jika kamu melihat temanmu lebih berhasil daripada dirimu? Mungkin jawabannya ada dua; kamu ikut berbahagia bersama temanmu dan termotivasi untuk berusaha lebih, atau kamu justru merasa iri hati dan curiga.

Siang hari itu, ketika aku sedang mengumpulkan berkas revisi skripsiku di ruangan dosen, aku tak sengaja melihat papan pengumuman jadwal ujian skripsi. Kebetulan, letak papan pengumuman itu tidak jauh dari ruangan dosen. Ketika aku mengamati tulisan-tulisan di sana, perhatianku tertuju pada nama seorang temanku yang ternyata akan segera melaksanakan ujian skripsi.

Setahuku, temanku itu baru empat bulan lalu memulai proses pengerjaan skripsinya. Namun, sangat mengherankan buatku karena dia sudah menyelesaikan skripsinya dan siap untuk mengikuti ujian. Dalam hatiku mulai timbul rasa iri hati dan marah melihat keberhasilan temanku itu. Aku merasa bahwa Tuhan seolah berlaku tidak adil terhadapku. Sudah lebih dari satu tahun aku berkutat dengan skripsiku, berusaha dengan tekun mengerjakannya, namun tak kunjung selesai. Selalu saja ada revisi demi revisi dan hambatan lain yang membuat skripsiku terasa begitu sulit untuk dikerjakan. Namun, temanku hanya dalam empat bulan bisa menyelesaikan skripisnya.

Melihat pencapaian temanku yang seolah tampak lebih berhasil itu membuatku curiga dan berprasangka buruk terhadapnya. Aku menebak-nebak bagaimana caranya dia bisa menyelesaikan skripsinya begitu cepat. “Ah, dia sih dapat dosennya bukan killer. Topik penelitian dia gampang sih, jadi cepat.” pikirku dalam hati.

Sebenarnya, pada tahun 2016 aku sudah memulai proses pengerjaan skripsiku. Aku mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh kampus, mulai dari mencari topik penelitian hingga menentukan dosen pembimbing. Namun, perjalananku tidak mulus. Berkali-kali judulku ditolak, juga aku sempat dipindah ke dosen pembimbing yang lain. Kuakui bahwa aku bukanlah tipe seorang yang gigih dan cermat dalam mengatur waktu. Ketika kendala yang datang seolah tak kunjung usai, aku sempat merasa down hingga akhirnya membuat pengerjaan skripsiku sempat terbengkalai.

Malam itu aku mencoba untuk merenung, berdoa, dan membaca bacaan saat teduh. Di sini Tuhan menunjukkanku sebuah ayat:

“Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri, di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat” (Yakobus 3:16).

Ayat ini menamparku. Rasa iri hatiku pada dasarnya adalah perasaan yang jahat. Ketika aku memelihara rasa iri hati, aku merasa bahwa aku sedang membuka pintu bagi Iblis untuk masuk ke dalam kehidupanku. Lalu, iri hati kepada temanku yang maju ujian lebih dulu juga tidak akan membuat skripsiku tiba-tiba selesai. Yang seharusnya kulakukan adalah melepaskan iri hati itu, mengintrospeksi diri, dan menerima dengan lapang dada pencapaian yang telah diraih olehku sendiri.

Namun, meski aku sudah merasa tertegur dan tahu akan kebenaran bahwa iri hati adalah jahat, pikiranku masih bertanya-tanya mengapa temanku bisa begitu cepat dan begitu lama? Di tengah lamunanku, Tuhan kembali menegurku melalui ayat-ayat yang terlintas di benakku. “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” (Matius 20:15). “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN.” (Yesaya 55:8).

Kedua ayat ini kembali menamparku dan membuatku menyadari bahwa selama ini aku terlalu memaksakan ego dan kehendakku sendiri. Akhirnya malam itu aku memutuskan untuk membuat komitmen dengan Tuhan dan diriku sendiri. Aku mau belajar untuk tidak membandingkan-bandingkan diriku dengan orang lain, melainkan aku mau belajar bersyukur akan setiap tahap dan proses yang dapat aku lalui. Aku juga mau belajar untuk percaya, bahwa Tuhan memiliki rencana dan rancangan yang terbaik untuk masa depanku, janji-Nya selalu tepat pada waktu-Nya. Aku juga mau bersungguh-sungguh dalam mengerjakan skripsiku dan melakukan manajemen waktu dengan baik.

Sejak saat itu, alih-alih berprasangka buruk kepada temanku, aku menjadikan pencapaian temanku itu sebagai sebuah tamparan buatku sendiri. Aku mengintrospeksi apakah ada yang salah dari proses yang kulakukan dan bagaimana aku memperbaikinya. Kemudian, aku mulai menyusun strategi manajemen waktu dan juga mengucap syukur atas pencapaian yang telah diraih olehku sendiri. Setelah beberapa bulan, puji Tuhan karena saat ini proses pengerjaan skripsiku telah mengalami banyak kemajuan. Aku sedang menyelesaikan bab terakhir dan sedikit lagi siap untuk mengikuti ujian kelulusan.

Melalui tulisan ini aku ingin berbagi bahwa iri hati adalah kenyataan yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita melihat pencapaian orang lain yang tampaknya lebih berhasil daripada kita, mudah bagi kita untuk merasa iri dan kecewa. Namun, sebagai anak Tuhan, kita bisa memilih apakah kita mau memelihara atau menolak rasa iri hati itu. Ketika kita memelihara rasa iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Iblis untuk masuk dan menguasai kehidupan kita. Akan tetapi, ketika kita menolak iri hati, itu berarti kita sedang mengundang Tuhan untuk berkarya dan berdaulat dalam kehidupan kita.

“Hati yang tenang menyegarkan tubuh, tetapi iri hati membusukkan tulang” (Amsal 14:30).

Baca Juga:

Satu Hal yang Kulupakan Ketika Semua Impianku Tidak Terwujud

Setiap orang boleh memiliki keinginan dan cita-cita. Tetapi, pada kenyataannya, terlepas dari sekeras apapun upaya kita untuk mewujudkannya, tidak semua yang kita harapkan bisa terjadi sesuai keinginan kita. Inilah realita kehidupan. Pernahkah kamu mengalaminya? Aku pernah.

Yesus yang Sedang Menyamar

Selasa, 24 Oktober 2017

Yesus yang Sedang Menyamar

Baca: Matius 25:31-40

25:31 “Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka Ia akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya.

25:32 Lalu semua bangsa akan dikumpulkan di hadapan-Nya dan Ia akan memisahkan mereka seorang dari pada seorang, sama seperti gembala memisahkan domba dari kambing,

25:33 dan Ia akan menempatkan domba-domba di sebelah kanan-Nya dan kambing-kambing di sebelah kiri-Nya.

25:34 Dan Raja itu akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan.

25:35 Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;

25:36 ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.

25:37 Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum?

25:38 Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian?

25:39 Bilamanakah kami melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau?

25:40 Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.

Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. —Matius 25:40

Yesus yang Sedang Menyamar

Ketika seorang teman sedang merawat ibu mertuanya di rumah, ia bertanya kepada mertuanya itu apa yang paling diinginkannya. Mertuanya berkata, “Aku mau kakiku dicuci.” Teman saya mengakui, “Aku sama sekali tidak suka melakukannya! Tiap kali beliau memintaku melakukannya, aku menjadi jengkel. Aku bahkan berdoa agar beliau tidak mengetahui perasaanku yang sebenarnya.”

Namun, suatu hari sikapnya yang bersungut-sungut itu lenyap dalam sekejap. Ketika mengambil wadah dan handuk, lalu berlutut di bawah kaki ibu mertuanya, ia berkata, “Aku mendongak, dan saat itu aku merasa seperti sedang mencuci kaki Tuhan Yesus. Ibu mertuaku adalah Yesus yang sedang menyamar!” Setelah pengalaman itu, teman saya merasa terhormat dapat mencuci kaki ibu mertuanya.

Ketika mendengar cerita yang sangat menyentuh itu, saya terpikir pada perkataan Yesus tentang akhir zaman yang diajarkan-Nya di lereng Bukit Zaitun. Dia bercerita tentang Sang Raja yang menyambut putra dan putri-Nya ke dalam kerajaan-Nya, dengan berkata bahwa ketika mereka mengunjungi orang sakit atau memberi makan orang yang lapar, “sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kita juga melayani Yesus sendiri ketika kita melawat orang-orang yang berada di penjara atau memberikan pakaian kepada mereka yang membutuhkannya.

Hari ini, dapatkah kamu menggemakan pertanyaan teman saya, yang berpikir ketika bertemu seseorang, “Mungkinkah ia adalah Yesus yang sedang menyamar?” —Amy Boucher Pye

Tuhan Yesus Kristus, Engkau dapat mengubah pekerjaan yang paling sederhana menjadi sesuatu yang mulia. Tolonglah aku mengasihi sesamaku dalam nama-Mu.

Kita sedang melayani Yesus ketika kita melayani sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 3-5; 1 Timotius 4

Antar-Saudara

Senin, 23 Oktober 2017

Antar-Saudara

Baca: Kejadian 33:1-11

33:1 Yakubpun melayangkan pandangnya, lalu dilihatnyalah Esau datang dengan diiringi oleh empat ratus orang. Maka diserahkannyalah sebagian dari anak-anak itu kepada Lea dan sebagian kepada Rahel serta kepada kedua budak perempuan itu.

33:2 Ia menempatkan budak-budak perempuan itu beserta anak-anak mereka di muka, Lea beserta anak-anaknya di belakang mereka, dan Rahel beserta Yusuf di belakang sekali.

33:3 Dan ia sendiri berjalan di depan mereka dan ia sujud sampai ke tanah tujuh kali, hingga ia sampai ke dekat kakaknya itu.

33:4 Tetapi Esau berlari mendapatkan dia, didekapnya dia, dipeluk lehernya dan diciumnya dia, lalu bertangis-tangisanlah mereka.

33:5 Kemudian Esau melayangkan pandangnya, dilihatnyalah perempuan-perempuan dan anak-anak itu, lalu ia bertanya: “Siapakah orang-orang yang beserta engkau itu?” Jawab Yakub: “Anak-anak yang telah dikaruniakan Allah kepada hambamu ini.”

33:6 Sesudah itu mendekatlah budak-budak perempuan itu beserta anak-anaknya, lalu mereka sujud.

33:7 Mendekat jugalah Lea beserta anak-anaknya, dan merekapun sujud. Kemudian mendekatlah Yusuf beserta Rahel, dan mereka juga sujud.

33:8 Berkatalah Esau: “Apakah maksudmu dengan seluruh pasukan, yang telah bertemu dengan aku tadi?” Jawabnya: “Untuk mendapat kasih tuanku.”

33:9 Tetapi kata Esau: “Aku mempunyai banyak, adikku; peganglah apa yang ada padamu.”

33:10 Tetapi kata Yakub: “Janganlah kiranya demikian; jikalau aku telah mendapat kasihmu, terimalah persembahanku ini dari tanganku, karena memang melihat mukamu adalah bagiku serasa melihat wajah Allah, dan engkaupun berkenan menyambut aku.

33:11 Terimalah kiranya pemberian tanda salamku ini, yang telah kubawa kepadamu, sebab Allah telah memberi karunia kepadaku dan akupun mempunyai segala-galanya.” Lalu dibujuk-bujuknyalah Esau, sehingga diterimanya.

Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi. —Yohanes 13:34

Antar-Saudara

Usia saya dan adik laki-laki saya hanya terpaut kurang dari satu tahun dan kami bertumbuh dalam suasana “persaingan” (artinya: kami sering berkelahi!). Ayah kami dapat memahami hal tersebut karena ia juga memiliki saudara laki-laki, tetapi Ibu tidak.

Kisah hidup kami mirip dengan perseteruan antarsaudara yang banyak terjadi di kitab Kejadian. Kitab itu memuat perseteruan antara Kain dan Habel (Kej. 4); Ishak dan Ismael (Kej. 21:8-10); Yusuf dan semua saudaranya kecuali Benyamin (Kej. 37). Namun, perseteruan yang paling sengit rasanya adalah antara dua saudara kembar—Yakub dan Esau.

Esau telah dua kali ditipu Yakub, maka ia hendak membunuh Yakub (27:41). Puluhan tahun kemudian Yakub dan Esau berdamai kembali (Kej. 33). Namun, perseteruan itu terus berlanjut pada keturunan mereka, yang masing-masing menjadi bangsa Edom dan bangsa Israel. Ketika orang Israel bersiap untuk memasuki Tanah Perjanjian, orang Edom mengancam mereka dan menghadang jalan dengan mengerahkan pasukan (Bil. 20:14-21). Beberapa waktu kemudian, ketika penduduk Yerusalem melarikan diri dari serangan musuh, orang Edom membantai mereka (Ob. 1:10-14).

Syukurlah, Alkitab tidak hanya berisi cerita-cerita menyedihkan tentang keberdosaan kita melainkan juga kisah penebusan Allah. Yesus Kristus mengubah segalanya, dan Dia mengatakan kepada murid-murid-Nya, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34). Kemudian Yesus menunjukkan kepada kita arti mengasihi dengan jalan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita.

Di usia dewasa, hubungan saya dan adik menjadi dekat. Itulah yang dikerjakan oleh Allah. Ketika kita mau menerima pengampunan yang Allah tawarkan, anugerah-Nya dapat mengubah perseteruan antarsaudara menjadi kasih persaudaraan. —Tim Gustafson

Tuhan, kami mengundang-Mu untuk mengubah hubungan kami dengan sesama lewat kasih-Mu yang memulihkan kami.

Perseteruan antar saudara dapat diubah oleh kasih Allah yang ajaib.

Bacaan Alkitab Setahun: Yeremia 1-2; 1 Timotius 3

Kasih kepada yang Berbeda

Minggu, 22 Oktober 2017

Kasih kepada yang Berbeda

Baca: Yohanes 15:9-17

15:9 “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu.

15:10 Jikalau kamu menuruti perintah-Ku, kamu akan tinggal di dalam kasih-Ku, seperti Aku menuruti perintah Bapa-Ku dan tinggal di dalam kasih-Nya.

15:11 Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacita-Ku ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

15:12 Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

15:13 Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

15:14 Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.

15:15 Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.

15:16 Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku, diberikan-Nya kepadamu.

15:17 Inilah perintah-Ku kepadamu: Kasihilah seorang akan yang lain.”

Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. —Yohanes 15:12

Kasih kepada yang Berbeda

Salah satu gereja yang saya cintai dimulai beberapa tahun lalu dengan tujuan melayani para mantan narapidana yang sedang belajar untuk kembali berkarya di tengah masyarakat. Hingga kini gereja tersebut berkembang dengan jemaat yang datang dari beragam latar belakang kehidupan. Saya mencintai gereja itu karena melaluinya saya diingatkan tentang bayangan saya akan suasana surga yang penuh dengan beragam orang, yakni para pendosa yang telah diselamatkan dan dipersatukan oleh kasih Yesus Kristus.

Meski demikian, terkadang saya bertanya-tanya apakah gereja sekarang lebih terlihat seperti klub yang eksklusif daripada tempat perteduhan yang aman bagi para pendosa yang telah diampuni. Ketika orang hanya mau berkumpul dengan orang-orang yang “sama” dan yang membuat mereka nyaman, itu membuat sebagian kalangan merasa tersisih. Bukan itu yang dimaksud Tuhan Yesus ketika memerintahkan murid-murid-Nya untuk “saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh. 15:12). Dia menghendaki gereja-Nya menjadi saluran dari kasih-Nya yang dapat dialami oleh semua orang.

Jika orang-orang yang tertolak dan terluka dapat menerima kasih, penghiburan, dan pengampunan dari Yesus, sudah sepatutnya mereka juga menerima hal yang sama dari gereja-Nya. Jadi, marilah kita menunjukkan kasih Yesus kepada tiap orang yang kita temui—terutama orang-orang yang berbeda dengan kita. Setiap orang di sekitar kita adalah jiwa-jiwa yang ingin Yesus kasihi melalui kita. Alangkah sukacitanya melihat umat Allah bersatu untuk memuji-Nya dalam ikatan kasih. Sungguh bagaikan menikmati pengalaman surgawi di bumi! —Joe Stowell

Tuhan, ingatkan aku bahwa saat aku masih berdosa, Engkau menerimaku dengan kasih-Mu yang besar dan tak bersyarat serta membawaku dalam persekutuan dengan-Mu. Tuntun aku kepada seseorang yang dapat kukasihi dengan kasih-Mu.

Bagikanlah kasih Kristus kepada sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 65-66; 1 Timotius 2

Tempat Aman

Sabtu, 21 Oktober 2017

Tempat Aman

Baca: Amsal 18:10-11

18:10 Nama TUHAN adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat.

18:11 Kota yang kuat bagi orang kaya ialah hartanya dan seperti tembok yang tinggi menurut anggapannya.

Nama Tuhan adalah menara yang kuat; ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat. —Amsal 18:10

Tempat Aman

Saya dan putri saya berencana menghadiri pertemuan keluarga besar kami. Karena ia merasa gugup menghadapi perjalanan itu, saya pun menawarkan diri untuk menyetir mobil. “Terima kasih, Ma. Tetapi aku merasa lebih aman duduk dalam mobilku sendiri. Mama bisa menyetir mobilku, kan?” ia bertanya. Awalnya saya mengira ia memilih itu karena mobilnya lebih luas daripada mobil saya yang mungil. Saya bertanya kepadanya, “Apa mobil Mama terlalu sempit?” Ia menjawab, “Bukan karena itu, tetapi aku merasa aman di dalam mobilku. Entah mengapa aku merasa terlindungi di dalamnya.”

Komentarnya membuat saya memikirkan “tempat aman” saya sendiri. Saya teringat Amsal 18:10, “Nama Tuhan adalah menara yang kuat, ke sanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat.” Di masa Perjanjian Lama, tembok dan menara dari suatu kota berguna untuk memberikan peringatan terhadap ancaman yang mungkin datang dari luar dan melindungi para penduduk yang tinggal di dalamnya. Maksud penulis adalah nama Allah, yang menyatakan karakter, kepribadian, dan segala sesuatu tentang diri-Nya, sanggup memberikan perlindungan sejati bagi umat-Nya.

Ada hal-hal tertentu yang menjanjikan keamanan yang dibutuhkan di tengah momen-momen yang mencemaskan kita: Atap rumah yang tetap kukuh di tengah badai, rumah sakit yang siap memberikan perawatan medis, atau pelukan hangat dari seseorang yang kamu kasihi.

Di manakah “tempat aman” kamu? Ke mana pun kita mencari rasa aman, kehadiran Allah bersama kita di tempat itulah yang memberikan kekuatan dan perlindungan yang sungguh kita butuhkan. —Elisa Morgan

Tuhan, terima kasih karena apa pun kekhawatiran dan keprihatinan yang kami miliki hari ini, kami menemukan rasa aman dalam hadirat-Mu saat kami merenungkan-Mu.

Allah adalah tempat berlindung yang aman di tengah badai kehidupan.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 62-64; 1 Timotius 1

Keindahan yang Tiada Bandingnya

Jumat, 20 Oktober 2017

Keindahan yang Tiada Bandingnya

Baca: Mazmur 27:1-4

http://www.warungsatekamu.org/wp-admin/plugins.php
27:1 Dari Daud. TUHAN adalah terangku dan keselamatanku, kepada siapakah aku harus takut? TUHAN adalah benteng hidupku, terhadap siapakah aku harus gemetar?

27:2 Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh.

27:3 Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

27:4 Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.

Sebab kasih setia-Mu lebih baik dari pada hidup; bibirku akan memegahkan Engkau. —Mazmur 63:4

Keindahan yang Tiada Bandingnya

Saya suka memandangi Grand Canyon. Setiap kali berdiri di tepi ngarai itu, saya selalu menemukan goresan-goresan baru buatan Allah yang membuat saya terpesona.

Meskipun itu hanyalah sebuah “lubang” (yang sangat besar) di tanah, Grand Canyon menggugah saya untuk merenungkan tentang surga. Pernah ada anak berusia 12 tahun yang dengan polos bertanya kepada saya, “Bukankah surga itu akan membosankan? Kalau di sana kita akan memuji Allah setiap saat, bukankah itu sangat melelahkan?” Namun, jika “lubang di tanah“ saja bisa memancarkan keindahan yang begitu mengagumkan dan membuat kita tidak pernah bosan memandanginya, bayangkanlah sukacita seperti apa yang kita rasakan nanti ketika kita memandang Sumber sejati dari segala keindahan yang ada—Allah Pencipta kita yang penuh kasih—di dalam segala keajaiban yang murni dari ciptaan yang baru.

Daud mengungkapkan kerinduan tersebut ketika ia menulis, “Satu hal telah kuminta kepada Tuhan, itulah yang kuingini: diam di rumah Tuhan seumur hidupku, menyaksikan kemurahan Tuhan dan menikmati bait-Nya” (Mzm. 27:4). Tak ada yang lebih indah daripada hadirat Allah, yang menjumpai kita di bumi ini sewaktu kita mencari-Nya dengan iman sambil menantikan waktunya kelak kita bertemu muka dengan-Nya.

Pada hari itu, pastilah kita tidak akan pernah lelah memuji Allah kita yang menakjubkan, karena kita tidak akan pernah berhenti menemukan hal-hal baru dari kebaikan-Nya yang sempurna dan karya tangan-Nya yang ajaib. Setiap saat berada dalam hadirat Allah akan membuat kita terkesima oleh keindahan dan kasih-Nya yang tiada bandingnya. —James Banks

Juruselamat yang terindah, tolonglah aku untuk mencari wajah-Mu setiap hari dan untuk menjalani hidupku sekarang dalam hadirat-Mu dan kasih-Mu.

Kita diciptakan untuk menikmati Allah selamanya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 59-61; 2 Tesalonika 3

Kita Punya Kuasa!

Kamis, 19 Oktober 2017

Kita Punya Kuasa!

Baca: Roma 7:14-25

7:14 Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa.

7:15 Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat.

7:16 Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik.

7:17 Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku.

7:18 Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik.

7:19 Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.

7:20 Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.

7:21 Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku.

7:22 Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah,

7:23 tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku.

7:24 Aku, manusia celaka! Siapakah yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini?

7:25 Syukur kepada Allah! oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh. —Galatia 5:25

Kita Punya Kuasa!

Suara retakan yang keras itu mengejutkan saya. Saat menyadari suara apa itu, saya segera lari ke dapur. Ternyata tanpa sengaja, saya telah menekan tombol start pada perangkat pembuat kopi yang kosong. Setelah mencabut steker, saya menggapai pegangan dari teko kaca itu. Lalu saya menyentuh bagian bawahnya untuk memastikan teko itu tidak terlalu panas saat diletakkan di meja keramik. Namun, permukaan halus dari bagian bawah teko itu membakar ujung jemari saya dan membuat kulit melepuh.

Sementara luka saya dirawat oleh suami, saya masih tidak percaya pada apa yang terjadi. “Aku benar-benar tak tahu mengapa aku menyentuhnya, padahal aku tahu kacanya panas,” kata saya.

Respons saya setelah melakukan kesalahan tersebut mengingatkan saya tentang reaksi Paulus terhadap persoalan yang lebih serius di dalam Kitab Suci, yakni watak manusia yang berdosa.

Rasul Paulus mengaku tidak tahu mengapa ia melakukan hal-hal yang dilarang dan yang tidak dikehendakinya (Rm. 7:15). Dengan menegaskan bahwa Kitab Suci merupakan patokan tentang apa yang benar dan yang salah (ay.7), ia mengakui adanya pergulatan berat yang terus berlangsung antara keinginan daging dan keinginan roh dalam pergumulannya melawan dosa (ay.15-23). Setelah mengakui kelemahannya sendiri, Paulus lalu menyodorkan pengharapan akan kemenangan yang dapat kita alami sekarang dan untuk selamanya (ay.24-25).

Ketika kita menyerahkan hidup kita kepada Kristus, Dia memberi kita Roh Kudus-Nya yang akan memampukan kita untuk melakukan apa yang benar (8:8-10). Ketika Roh Kudus memampukan kita untuk menaati firman Allah, kita dapat menjauhi dosa yang menghanguskan dan yang memisahkan kita dari hidup berkelimpahan yang dijanjikan Allah kepada mereka yang mengasihi-Nya. —Xochitl Dixon

Tuhan, terima kasih karena Engkau telah mematahkan belenggu yang pernah membuat kami tidak berdaya dan hidup kami dikuasai oleh watak dosa.

Roh Kudus mengubah kita lewat kasih-Nya dan oleh anugerah-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 56-58; 2 Tesalonika 2