3 Alasan Mengapa Allah Mengizinkan Orang Saleh Mengalami Penderitaan

Oleh Priscilla G, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When Good People Suffer

Pernahkah kamu menyesal karena memberikan sebuah kesaksian?

Aku pernah. Ketika aku berusia 19 tahun, aku berdoa sungguh-sungguh supaya bisa mendapatkan beasiswa dan diterima di sebuah universitas lokal. Setiap tahunnya, dari seluruh siswa yang mendaftar, hanya tiga persen saja yang bisa diterima di sana. Di luar dugaanku, aku diterima padahal aku sendiri tidak yakin dengan hasil ujian yang kuikuti. Jadi, aku memberikan kesaksianku di sebuah kelompok sel, berterima kasih kepada Tuhan atas kesempatan yang Dia berikan.

Akan tetapi, setelah melewati dua semester pertama, nilai-nilaiku tidak cukup baik hingga aku diberikan surat peringatan dua kali. Isi dari surat peringatan itu adalah: tingkatkan nilaimu atau kamu akan dikeluarkan dari universitas. Aku berasumsi nilai jelek ini kudapat karena aku belum menyesuaikan diri sepenuhnya dengan lingkungan kampus di semester awal.

Aku mengintrospeksi cara belajarku dan berjuang lebih keras di semester selanjutnya. Sebelum ujian dilaksanakan, aku sudah mempersiapkan diriku jauh-jauh hari dan sebisa mungkin menerapkan manajemen waktu yang terbaik. Aku pikir cara-cara ini akan mengubahkan keadaan.

Tapi, kenyataannya, nilai-nilaiku tak kunjung membaik. Surat peringatan kedua pun datang dan menjadi pukulan telak buatku. Semasa sekolah dulu aku belum pernah menerima satu pun surat peringatan, tapi sekarang aku malah menerimanya dua kali.

Segala cara sudah kulakukan. Aku sudah memacu diriku untuk berjuang keras supaya nilai-nilaiku bisa membaik di semester kedua ini. Tapi, hasil yang kuterima malah berbanding terbalik dengan segala usaha yang telah kulakukan.

Aku gagal untuk memahami mengapa nilai yang kuraih tidak sesuai dengan usaha yang sudah kulakukan. Sejujurnya, aku tidak mengharapkan nilai yang sempurna, nilai yang biasa-biasa pun sudah cukup untukku. Aku menyelidiki hatiku dan yakin bahwa apa yang sudah kulakukan adalah yang terbaik. Kemudian, aku mulai menyalahkan dosen-dosenku. Bahkan, aku pernah meminta mereka untuk mengoreksi ulang ujianku, tetapi nilaiku tetap saja tidak berubah. Akhirnya, aku menyalahkan Tuhan yang kepada-Nya aku berdoa supaya bisa mendapatkan nilai yang baik.

Saat itu, aku menyesali keputusanku untuk memberikan kesaksian di masa-masa awal kuliahku. Aku berjuang untuk memahami kondisi yang sedang terjadi kepadaku. Aku tidak meremehkan kesempatan yang Tuhan berikan untuk masuk ke universitas ini. Namun, mengapa Dia malah mengizinkan ini terjadi? Jika ada sebuah lagu yang mengatakan “Dimuliakanlah nama Tuhan”, hatiku memilih untuk tidak memuliakan nama-Nya.

Aku mengakui bahwa ketika peristiwa ini terjadi, aku tidak mencari pertolongan dengan cara membaca Alkitab atau pergi ke gereja. Aku tidak yakin dengan tanggapan orang-orang ketika aku berkata bahwa aku menyalahkan Tuhan. Jadi, aku beralih ke Google dan mengetikkan “kecewa pada Tuhan”. Kemudian aku menemukan sebuah buku yang ditulis oleh penulis Kristen di Amerika, Philip Yancey.

Buku yang ditulis oleh Yancey itu membahas tentang kitab Ayub dan juga kitab-kitab lainnya di Perjanjian Lama di mana nabi-nabi berseru kepada Allah. Buku ini memberiku pemahaman baru tentang bagaimana cara Allah bekerja.

1. Allah menggunakan penderitaan sebagai sarana untuk kita berserah pada-Nya

Yancey menuliskan bahwa kitab Ayub “menggambarkan hal terburuk yang bisa terjadi kepada orang terbaik”. Ayub tidak bersalah, seorang yang jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (Ayub 1:1). Bahkan, Tuhan sendiri berkata bahwa tidak ada orang lain yang begitu saleh seperti Ayub (Ayub 1:8, 2:3).

Namun, hanya dalam sekejap, Ayub kehilangan lembu, keledai, domba, unta, dan semua anak-anaknya (Ayub 1:14-19). Tak berhenti sampai di situ, kemudian Ayub pun menderita sakit borok yang menggerogoti sekujur tubuhnya dari ujung rambut hingga kuku (Ayub 2:7).

Tiga teman Ayub, Elifas, Bildad, dan Zofar mengatakan bahwa penderitaan Ayub terjadi karena dosa-dosa Ayub. Akan tetapi, Allah menegur mereka karena mereka telah mengasumsikan yang salah (Ayub 42:7). Allah tidak menyebutkan bahwa penderitaan yang Ayub alami terjadi karena dosa-dosa yang telah dia lakukan.

Tidak semua penderitaan yang kita alami itu terjadi karena akibat dosa yang kita lakukan.

Terkadang, memang ada orang-orang yang mendapatkan prestasi buruk di sekolah atau tempat kerja karena mereka kurang berusaha, tetapi pada kenyataannya tidak selalu demikian. Mungkin kamu pernah memiliki pengalaman serupa denganku: kamu sudah belajar sekuat tenaga, mempelajari kisi-kisi, bahkan melakukan apapun sebisamu, tetapi hasil yang kamu dapat tetap tidak memuaskan. Di dalam dunia sekolah, meluangkan waktu lebih banyak untuk belajar bukan jaminan bahwa nilai-nilai yang kita dapatkan akan memuaskan.

2. Allah ingin kita merespons setiap penderitaan dengan sikap yang benar

Penderitaan Ayub dimulai karena percakapan antara Allah dengan Iblis. Yancey menuliskan bahwa dalam percakapan itu Iblis mengajak Allah untuk bertaruh.

Iblis menganggap bahwa Ayub itu setia hanya karena Allah terus menerus memberkatinya (Ayub 1:10-11). Oleh karena itu, Iblis menantang Allah untuk mengambil segala kepunyaan Ayub supaya dia mengutuki Allah (Ayub 1:11, 2:5). Kemudian Allah mengizinkan Iblis untuk mencobai Ayub, tetapi tidak membolehkan Iblis mengambil nyawanya (Ayub 1:12, 2:6).

Yancey menuliskan bahwa ketika Ayub kehilangan segalanya, sesungguhnya dia sedang tampil dalam sebuah pertarungan di hadapan penonton-penonton yang tidak terlihat di dalam dunia roh.

Alkitab mencatat contoh-contoh lain dari peristiwa yang membuat dunia roh terguncang. Ketika Yesus mengutus murid-murid-Nya pergi ke kota-kota, Iblis pun takluk. Bahkan, Yesus mengatakan bahwa Dia melihat Iblis terjatuh seperti kilat dari langit (Lukas 10:1-18). Selain itu, ketika ada satu orang yang bertobat, maka seisi surga pun bersukacita (Lukas 15:7).

Rasanya sulit untuk membayangkan bahwa respons seseorang bisa begitu berdampak pada dunia roh, tetapi inilah yang ditunjukkan oleh Ayub. Respons kita terhadap penderitaan itu begitu penting. Ketika pencobaan itu datang, Ayub meresponsnya dengan tetap percaya pada Allah terlepas dari segala kemalangan yang menimpanya. Ayub memilih untuk memelihara imannya.

Dalam kasusku, aku percaya bahwa bagian dari ujian hidupku adalah ketika aku harus berjuang supaya tidak dikeluarkan dari program beasiswa yang amat aku dambakan. Akankah aku tetap setia? Atau, akankah aku hanya akan jadi orang yang setia kalau Allah memberkatiku saja?

Aku tidak tahu apakah responsku terhadap ujian hidup ini akan mempengaruhi dunia roh atau tidak. Tetapi satu yang aku tahu adalah bahwa ketika aku memilih tetap beriman, aku berkenan kepada Allah (Ibrani 11:6). Aku percaya bahwa responsku terhadap ujian hidup ini adalah salah satu cara untuk memurnikan iman dan relasiku kepada Allah.

Sekarang, bertahun-tahun setelah peristiwa di mana usahaku yang begitu keras seolah sia-sia berakhir, aku dapat mengatakan bahwa aku bisa merespons tiap penderitaan yang datang dengan lebih baik. Memang, aku masih menangis ketika pembimbing rohaniku di gereja meninggalkan pelayanan dan imannya. Aku juga menangis ketika kerabatku mengalami keguguran kandungan. Jika imanku diibaratkan seperti sebuah rumah, tentu aku terguncang ketika hari-hari yang berat menghadang, tetapi aku tidak hancur karena aku mendasari pondasiku pada Allah, sehingga hari demi hari aku pun semakin kuat.

3. Allah ingin mengajar kita bahwa Dia Mahakuasa

Allah tidak memberikan alasan mengapa Dia mengizinkan Ayub menderita. Malah, Allah menggunakan ketidaktahuan Ayub akan betapa rumitnya alam semesta ini untuk menyatakan kemahakuasaan-Nya (Ayub 38-41).

Ayub menjawab Allah: “Siapakah dia yang menyelubungi keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (Ayub 42:3).

R.C. Sproul dalam bukunya yang berjudul “Surprises by Suffering”, menuliskan demikian: “Pada akhirnya, satu-satunya jawaban yang Allah berikan kepada Ayub adalah pewahyuan tentang diri-Nya sendiri. Seolah-olah Allah berkata kepadanya, ‘Ayub, Aku adalah jawabannya.’ Ayub tidak diminta untuk mempercayai sebuah rencana, tetapi dia diminta untuk mempercayai seorang pribadi, yaitu pribadi Allah yang berdaulat, bijaksana, dan baik.”

Jadi, seperti yang telah dilakukan Ayub, aku belajar untuk mengakui kekecewaanku, keraguanku, dan segala pertanyaanku hanya kepada Allah (Ayub 7:11-21, 10:2-18). Sekalipun aku takut apabila nilai-nilaiku tidak mengalami perubahan, aku belajar untuk melayani-Nya, menuntaskan tanggung jawabku dalam pelayanan di gereja. Hanya oleh karena anugerah-Nya saja, nilai-nilaiku membaik di semester ketiga, semester di mana aku menyerahkan kekecewaanku kepada Allah dan memilih berjalan bersama-Nya.

Kita adalah manusia, bukan Allah. Persepsi kita tentang ruang dan waktu tentu amat berbeda dari Allah yang Mahakuasa, yang memandang waktu sebagai sebuah kekekalan yang tiada berakhir.

Yancey menuliskan demikian: “Tak peduli sebagaimanapun kita berusaha untuk merasionalkan Allah, terkadang kita tetap melihatnya sebagai sosok yang tidak adil….Hingga waktu berjalan dan sejarah membuktikan, kita akan mengerti bahwa segala sesuatu terjadi untuk mendatangkan kebaikan” (Roma 8:28).

Hanya oleh karena anugerah Allah, aku dapat memberikan kesaksian lagi di semester ketiga. Kesaksian itu bukan hanya bicara tentang berkat-berkat Allah seperti nilaiku yang meningkat, tetapi juga tentang bagaimana Dia menopang dan memurnikan imanku lewat setiap peristiwa yang terjadi.

Baca Juga:

Aku Bergumul Karena Kehilangan Papa, Namun Jawaban Allah Membuatku Tertegun

16 Mei 2017 adalah hari yang tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Tepat pukul 08:52, ketakutan terbesarku terjadi. Aku kehilangan Papa untuk selama-lamanya. Di dalam ruang ICU, di tengah deru mesin ventilator dan alarm monitor jantung, di samping ranjang tempat Papa terbaring, pikiranku kosong. Yang aku tahu, selepas peristiwa ini, hidupku takkan lagi pernah sama.

Pribadi yang Mengerti

Senin, 11 September 2017

Pribadi yang Mengerti

Baca: Yohanes 1:1-18

1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.

1:2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.

1:3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.

1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.

1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.

1:6 Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes;

1:7 ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya.

1:8 Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu.

1:9 Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.

1:10 Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.

1:11 Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.

1:12 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;

1:13 orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.

1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

1:15 Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: “Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku.”

1:16 Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;

1:17 sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.

1:18 Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita. —Yohanes 1:14

Pribadi yang Mengerti

John Babler adalah pembina rohani bagi kesatuan polisi dan pemadam kebakaran di lingkungannya di Texas. Sepanjang 22 Minggu masa sabatikalnya, ia mengikuti pelatihan di akademi kepolisian agar dapat lebih memahami beragam situasi yang dihadapi aparat penegak hukum. Dengan menghabiskan waktu bersama para kadet dan mempelajari tantangan-tantangan berat yang dihadapi dalam profesi mereka, Babler belajar untuk semakin rendah hati dan berempati dengan mereka. Kelak, ia berharap dapat lebih efektif dalam melayani para aparat kepolisian yang bergumul dengan perasaan stres, kelelahan, dan kehilangan.

Kita tahu bahwa Allah mengerti segala situasi yang kita hadapi karena Dia menciptakan kita dan melihat segala sesuatu yang kita alami. Kita juga tahu Allah mengerti karena Dia pernah tinggal di bumi dan menjalani hidup sebagai manusia. Dia “telah menjadi manusia, dan diam di antara kita” sebagai pribadi Yesus Kristus (Yoh. 1:14).

Kehidupan Yesus di bumi mencakup berbagai jenis kesulitan. Dia merasakan teriknya sinar matahari, sakitnya perut yang kosong, dan ketidakpastian sebagai tunawisma. Secara emosi, Yesus menanggung sulitnya pertentangan, pedihnya pengkhianatan, dan ancaman kekerasan yang terjadi terus-menerus.

Yesus mengalami sukacita dari persahabatan dan kasih dari keluarga, sekaligus masalah-masalah terburuk seperti yang kita alami di dunia ini. Yesus datang untuk memberikan pengharapan. Dialah Penasihat Ajaib yang sabar mendengarkan keluh-kesah kita dengan penuh perhatian dan kepedulian (Yes. 9:5). Dialah satu-satunya Pribadi yang dapat berkata, “Aku pernah mengalami semua itu. Aku mengerti.” —Jennifer Benson Schuldt

Tuhanku, terima kasih karena Engkau begitu peduli kepada kami, hingga Engkau rela merendahkan diri-Mu dan datang ke dunia sebagai manusia.

Allah mengerti segala pergumulan yang kita alami.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 10-12 dan 2 Korintus 4

Artikel Terkait:

Penyertaan Tuhan