Kita Harus Berhenti Memasarkan Kekristenan

kita-harus-berhenti-memasarkan-kekristenan-(2)

Oleh Christan Reksa, Tangerang Selatan

Di hari Sabtu pagi yang tenang, seorang teman seangkatanku di kuliah bertanya di sebuah grup Whatsapp:

“Untuk mas-mas yang Nasrani, dari perspektif pribadi, menurut mas agama memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari gak? Apakah itu sesuatu yang penting untuk dipelajari?“

Pertanyaan yang hadir tiba-tiba itu cukup mengagetkanku. Grup Whatsapp itu adalah grup yang beranggotakan sekitar 30 orang teman-teman kulihaku dulu yang berasal dari berbagai latar belakang. Sebagian besar dari mereka bukanlah orang Kristen.

Aku pun memberanikan diri untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut secara perlahan dan runut, tapi juga sesederhana mungkin. Aku menjelaskan bahwa inti dari Kekristenan adalah hidup yang berpusat kepada Kristus, dan bersyukur atas pengorbanan-Nya di kayu salib dan kebangkitan-Nya yang menyelamatkan kita dari kematian kekal karena dosa. Oleh karena itu, penting bagiku untuk mempelajari ajaran Kristus, agar aku dapat meneladani Kristus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya.

Setelah aku memberikan jawabanku, mengalirlah sebuah diskusi yang lumayan panjang di grup itu. Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir dan aku mencoba menjawabnya untuk mempertanggungjawabkan iman yang aku percayai. Namun, aku juga berhati-hati agar tidak memicu perdebatan yang dapat menimbulkan kepahitan.

Diskusi itu akhirnya berakhir dengan aman dan damai, namun hasil diskusi itu cukup mengagetkanku. Ada banyak kesalahpahaman antara persepsi teman-temanku mengenai Kekristenan dan iman Kristen yang sesungguhnya aku percayai. Mereka hanya mendengar tentang Kekristenan dari tokoh agama mereka, dan tidak mendapatkan cukup penjelasan yang memadai dari orang Kristen sendiri.

Diskusi hari itu membuatku berpikir dan mencoba mengintrospeksi diriku. “Kalau teman-temanku memiliki pemahaman yang salah tentang Kekristenan, siapakah yang salah?” pikirku. Harus kuakui, sebagai orang Kristen, kadang aku juga takut untuk memulai diskusi dengan orang lain yang berbeda iman, apalagi jika topiknya mengarah kepada pembahasan tentang iman masing-masing. Kita mungkin takut menyinggung perasaan orang lain dan akhirnya memilih untuk diam. Tapi, sikap diam kita justru membuat banyak orang mendengar tentang iman Kristen dari sumber yang salah.

Di ekstrem yang lain, ada juga seminar-seminar penginjilan yang berfokus untuk mengorek-ngorek kelemahan kepercayaan lain, dan mengajarkan cara memasarkan Kekristenan, seolah-olah Kekristenan itu adalah sebuah produk yang superior dan semua kepercayaan di luar Kristen adalah kompetitor kita. Cara berpikir seperti ini bisa jadi malah membuat kita memandang rendah orang-orang dari kepercayaan lain. Bukannya melihat mereka sebagai objek untuk dikasihi, kita malah melihat mereka sebagai objek untuk dihakimi. Dan sedihnya lagi, tidak jarang itu juga yang dilakukan pemuka-pemuka agama dan diturunkan kepada umatnya.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Mungkin kita perlu berhenti sejenak dan memikirkan kembali bagaimana kita seharusnya memberitakan Injil. Yang harus kita lakukan bukanlah memasarkan Kekristenan, tetapi membagikan kasih Kristus. Ya, kasih Kristus, Sang Sumber Kasih yang telah mati untuk menebus dosa kita (Roma 5:8).

Bukalah dialog. Nyatakan kasih Kristus kepada teman-teman yang berbeda iman dengan penuh rasa hormat. Janganlah kita menghakimi mereka, melainkan tunjukkanlah bahwa kita memang benar-benar mengasihi mereka dan ingin mengenal mereka. Aku percaya, mengasihi harus dimulai terlebih dahulu dengan mencoba memahami mereka.

Melalui kasih Kristus yang kita bagikan, niscaya pintu dialog akan terbuka pelan-pelan, dan bila Tuhan berkenan, Roh Kudus akan membukakan kesempatan bagi kita untuk membagikan kesaksian kita—kesaksian tentang kasih Kristus yang tanpa batas, yang telah menyentuh kita, dan yang kita rindukan juga untuk dapat menyentuh semua orang di dunia ini.

Ketika kita membagikan kasih Kristus, ada satu pertanyaan penting yang perlu kita tanyakan kepada diri kita: “Apakah kita melihat diri kita lebih layak daripada orang lain? Apakah kita merasa diri lebih baik dan lebih unggul karena telah mengenal Kristus?” Bila kita menjawab “ya”, kita mungkin perlu menarik diri sejenak dan mengingat kembali bahwa sesungguhnya kita semua adalah manusia berdosa. Jika kita bisa diselamatkan, dan terus hidup dan berkarya hingga saat ini, itu hanya karena kasih karunia Allah (Roma 3:23-24). Kasih Kristus yang telah kita terima itulah yang perlu kita bagikan kepada orang lain.

Akhirnya, marilah kita meminta bimbingan Roh Kudus untuk membukakan kesempatan yang tepat untuk membagikan kasih Kristus dan kesaksian iman kita.

Baca Juga:

PustaKaMu: Doa Itu Bukan Sekadar Meminta Pada Tuhan

Dalam sebuah sesi pendalaman Alkitab bersama mentorku, kami membahas tentang seberapa pentingnya doa dalam kehidupan orang Kristen. Terus terang, aku bukanlah termasuk orang yang rajin berdoa. Ketika berdoa, aku lebih memfokuskan doaku untuk meminta Tuhan memenuhi apa yang menjadi keinginan hatiku.

Seandainya . . .

Jumat, 11 Agustus 2017

Seandainya . . .

Baca: Yohanes 11:21-35

11:21 Maka kata Marta kepada Yesus: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.

11:22 Tetapi sekarangpun aku tahu, bahwa Allah akan memberikan kepada-Mu segala sesuatu yang Engkau minta kepada-Nya.”

11:23 Kata Yesus kepada Marta: “Saudaramu akan bangkit.”

11:24 Kata Marta kepada-Nya: “Aku tahu bahwa ia akan bangkit pada waktu orang-orang bangkit pada akhir zaman.”

11:25 Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,

11:26 dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?”

11:27 Jawab Marta: “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia.”

11:28 Dan sesudah berkata demikian ia pergi memanggil saudaranya Maria dan berbisik kepadanya: “Guru ada di sana dan Ia memanggil engkau.”

11:29 Mendengar itu Maria segera bangkit lalu pergi mendapatkan Yesus.

11:30 Tetapi waktu itu Yesus belum sampai ke dalam kampung itu. Ia masih berada di tempat Marta menjumpai Dia.

11:31 Ketika orang-orang Yahudi yang bersama-sama dengan Maria di rumah itu untuk menghiburnya, melihat bahwa Maria segera bangkit dan pergi ke luar, mereka mengikutinya, karena mereka menyangka bahwa ia pergi ke kubur untuk meratap di situ.

11:32 Setibanya Maria di tempat Yesus berada dan melihat Dia, tersungkurlah ia di depan kaki-Nya dan berkata kepada-Nya: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.”

11:33 Ketika Yesus melihat Maria menangis dan juga orang-orang Yahudi yang datang bersama-sama dia, maka masygullah hati-Nya. Ia sangat terharu dan berkata:

11:34 “Di manakah dia kamu baringkan?” Jawab mereka: “Tuhan, marilah dan lihatlah!”

11:35 Maka menangislah Yesus.

Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati. —Yohanes 11:32

Seandainya . . .

Ketika kami keluar dari tempat parkir, suami saya memperlambat mobil untuk memberi jalan bagi seorang wanita muda yang mengayuh sepedanya. Waktu Tom mengangguk sebagai tanda wanita itu dapat melintas terlebih dahulu, wanita itu tersenyum, melambaikan tangan, dan melaju. Beberapa saat kemudian, pengemudi dari mobil lain yang sedang parkir membuka pintu mobilnya, menghantam pengendara sepeda itu hingga terjatuh. Lututnya berdarah, wanita itu menangis sambil memeriksa sepedanya yang bengkok.

Kemudian kami memikirkan kecelakaan tadi: Seandainya kami membuat pengendara sepeda itu menunggu sebentar . . . Seandainya pengemudi mobil itu melihat kiri-kanan sebelum membuka pintu mobilnya . . . Seandainya . . . Kesulitan-kesulitan membuat kita selalu berandai-andai dalam benak kita sendiri. Seandainya aku tahu anakku sedang bersama remaja lain yang mabuk-mabukan . . . Seandainya kami tahu kanker itu lebih awal . . .

Ketika masalah yang tidak diinginkan menerpa, terkadang kita meragukan kebaikan Tuhan. Bahkan kita mungkin merasa putus asa seperti yang dialami Marta dan Maria ketika saudaranya meninggal. Oh, seandainya Yesus segera datang saat tahu Lazarus sakit! (Yoh. 11:21,32).

Seperti Marta dan Maria, kita tidak selalu mengerti alasan kita mengalami hal-hal yang buruk. Namun, kita dapat tenang ketika tahu bahwa Allah sedang melakukan tujuan-Nya untuk sesuatu yang lebih baik. Di setiap kesempatan, kita dapat mempercayai hikmat Allah yang setia dan penuh kasih. —Cindy Hess Kasper

Bapa, Engkau telah menyertai kami melewati masa-masa yang sulit. Terima kasih telah mengajar kami untuk mempercayai hati-Mu yang penuh kasih bahkan saat kami tidak mengerti apa yang sedang Engkau lakukan dalam hidup kami.

Mempercayai Allah di masa menyenangkan, itu biasa. Namun, mempercayai-Nya di masa kegelapan, itulah iman. —Charles Haddon Spurgeon

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 81-83 dan Roma 11:19-36

Artikel Terkait:

Let Go and Let God

Wajah Bapa Kita

Kamis, 10 Agustus 2017

Wajah Bapa Kita

Baca: Mazmur 80

80:1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Bunga bakung. Kesaksian Asaf. Mazmur.

80:2 Hai gembala Israel, pasanglah telinga, Engkau yang menggiring Yusuf sebagai kawanan domba! Ya Engkau, yang duduk di atas para kerub, tampillah bersinar

80:3 di depan Efraim dan Benyamin dan Manasye! Bangkitkanlah keperkasaan-Mu dan datanglah untuk menyelamatkan kami.

80:4 Ya Allah, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat.

80:5 TUHAN, Allah semesta alam, berapa lama lagi murka-Mu menyala sekalipun umat-Mu berdoa?

80:6 Engkau memberi mereka makan roti cucuran air mata, Engkau memberi mereka minum air mata berlimpah-limpah,

80:7 Engkau membuat kami menjadi pokok percederaan tetangga-tetangga kami, dan musuh-musuh kami mengolok-olok kami.

80:8 Ya Allah semesta alam, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat.

80:9 Telah Kauambil pohon anggur dari Mesir, telah Kauhalau bangsa-bangsa, lalu Kautanam pohon itu.

80:10 Engkau telah menyediakan tempat bagi dia, maka berakarlah ia dalam-dalam dan memenuhi negeri;

80:11 gunung-gunung terlindung oleh bayang-bayangnya, dan pohon-pohon aras Allah oleh cabang-cabangnya;

80:12 dijulurkannya ranting-rantingnya sampai ke laut, dan pucuk-pucuknya sampai ke sungai Efrat.

80:13 Mengapa Engkau melanda temboknya, sehingga ia dipetik oleh setiap orang yang lewat?

80:14 Babi hutan menggerogotinya dan binatang-binatang di padang memakannya.

80:15 Ya Allah semesta alam, kembalilah kiranya, pandanglah dari langit, dan lihatlah! Indahkanlah pohon anggur ini,

80:16 batang yang ditanam oleh tangan kanan-Mu!

80:17 Mereka telah membakarnya dengan api dan menebangnya; biarlah mereka hilang lenyap oleh hardik wajah-Mu!

80:18 Kiranya tangan-Mu melindungi orang yang di sebelah kanan-Mu, anak manusia yang telah Kauteguhkan bagi diri-Mu itu,

80:19 maka kami tidak akan menyimpang dari pada-Mu. Biarkanlah kami hidup, maka kami akan menyerukan nama-Mu.

80:20 Ya TUHAN, Allah semesta alam, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat.

Ya Allah, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat. —Mazmur 80:4

Wajah Bapa Kita

Saya ingat wajah ayah saya. Sulit ditebak. Ia seorang pria yang baik, tabah, dan mandiri. Sebagai anak, saya sering memperhatikan wajahnya, mencari senyuman, atau sesuatu yang menunjukkan kasihnya. Wajah menunjukkan diri kita. Kerutan di dahi, wajah yang muram, sebaris senyuman, dan mata yang meringis menunjukkan apa yang kita rasakan tentang orang lain. Wajah kita menunjukkan “cerita” kita.

Asaf, penulis Mazmur 80, sedang putus asa dan sangat ingin melihat wajah Allah. Ia melihat ke utara dari tempatnya di Yerusalem dan melihat negara tetangga Yehuda, yaitu Israel, runtuh saat pemerintahan kerajaan Asyur. Runtuhnya Israel membuat Yehuda rentan diinvasi dari semua sudut—Asyur di utara, Mesir di selatan, dan negara-negara Arab di timur. Yehuda kalah jumlah dan tidak seimbang.

Asaf merangkum ketakutannya dalam doa yang diulang tiga kali (Mzm. 80:4,8,20), “Buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat.” (Dengan kata lain, biarlah kami melihat senyum-Mu.)

Adalah baik untuk berpaling dari ketakutan kita dan mencari wajah Bapa Surgawi. Cara terbaik untuk melihat wajah Allah adalah dengan memandang salib. Salib menyatakan tentang Dia (Yoh. 3:16).

Jadi, ketahuilah: Ketika Bapa memandangmu, ada senyum lebar di wajah-Nya. kamu sungguh aman! —David Roper

Mintalah kepada Allah untuk menyinari kamu dengan wajah-Nya. Untuk menolongmu berdoa, gunakanlah Mazmur ini atau mazmur-mazmur lainnya.

Kasih Allah kepada kita selebar tangan Kristus yang terentang di kayu salib.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 79-80 dan Roma 11:1-18

PustaKaMu: Doa itu Bukan Sekadar Meminta Pada Tuhan

doa-itu-bukan-sekadar-meminta-pada-tuhan

Oleh Yosheph Yang

Dalam sebuah sesi pendalaman Alkitab bersama mentorku, kami membahas tentang seberapa pentingnya doa dalam kehidupan orang Kristen. Terus terang, aku bukanlah termasuk orang yang rajin berdoa. Ketika berdoa, aku lebih memfokuskan doaku untuk meminta Tuhan memenuhi apa yang menjadi keinginan hatiku. Di pertemuan itu, mentorku menjelaskan bahwa pada dasarnya, doa bukan hanya tentang meminta sesuatu kepada Tuhan. Tapi, doa itu melingkupi bagaimana kita memuji dan memuliakan nama-Nya. Kalau disederhanakan, ada sebuah metode yang dapat membantu kita berdoa:

Adoration (pujian)
Confession (pengakuan)
Thanksgiving (ucapan syukur)
Supplication (permohonan)

Selain belajar untuk berdoa menggunakan metode di atas, mentorku juga menyarankanku untuk membaca sebuah buku berjudul 31 Days of Praise. Buku ini adalah salah satu dari seri 31 Days yang ditulis oleh Ruth Myers dan Warren Myers. Walaupun diterbitkan pertama kali pada tahun 1994, tetapi isi dan pesan yang disampaikannya masih sangat relevan dengan kehidupan Kristen masa sekarang. Melalui buku ini, kita bisa belajar bagaimana memuji dan memuliakan Tuhan untuk 3 hal: siapakah Dia (who He is), apa yang Dia lakukan (what He does), dan apa yang Dia berikan (what He gives).

Bagaimana kita bisa tetap memuji dan mengucap syukur kepada Tuhan di saat situasi yang kita alami tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan? Bagaimana kita bisa mengembangkan kehidupan puji-pujian kita? Apakah pentingnya puji-pujian dalam kehidupan kita? Semua pertanyaan ini dijelaskan secara rinci oleh Myers dalam buku ini. Secara tidak langsung, Myers menjelaskan pada kita bagaimana cara untuk mempraktekkan 1 Tesalonika 5:16-18 dalam kehidupan kita hari lepas hari.

Bersukacitalah senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu.

Sesuai dengan judul buku ini, Myers mengajak kita untuk ikut memuji Tuhan lewat doa-doa harian yang dia tuliskan selama 31 hari. Tak lupa, Myers juga menyertakan ayat-ayat Alkitab yang menjadi referensi dari pujian itu. Tak hanya sekadar memuji, Myers mengajak kita untuk memuji Tuhan karena kebesaran-Nya dan kedaulatan-Nya.

Buku ini berperan besar dalam mengubah kehidupan doaku, dari yang tadinya hanya sekadar “meminta”, menjadi sebuah doa yang juga memuji Tuhan, mengucap syukur, dan mengakui kelemahanku di hadapan-Nya. Aku percaya buku ini juga dapat menolong semua orang Kristen yang rindu berdoa dan memuji Tuhan setiap hari.

Baca Juga:

Tidak Selamanya Gagal Itu Berakhir Buruk, Inilah Kisahku Ketika Aku Gagal Masuk ke Sekolah Impianku

Mungkin kamu pernah mendengar sebuah kutipan yang mengatakan proses takkan mengkhianati akhir. Tapi, benarkah kenyataannya pasti begitu? Aku pernah berjuang keras untuk mewujudkan impian yang sangat aku dambakan, akan tetapi aku jatuh terpuruk ketika aku gagal mewujudkan impian itu. Namun, dari kegagalan itu Tuhan mengajariku untuk percaya bahwa Dia punya rencana yang lebih baik daripada impianku semula.

Hati Kristus

Rabu, 9 Agustus 2017

Hati Kristus

Baca: Keluaran 32:21-32

32:21 Lalu berkatalah Musa kepada Harun: “Apakah yang dilakukan bangsa ini kepadamu, sehingga engkau mendatangkan dosa yang sebesar itu kepada mereka?”

32:22 Tetapi jawab Harun: “Janganlah bangkit amarah tuanku; engkau sendiri tahu, bahwa bangsa ini jahat semata-mata.

32:23 Mereka berkata kepadaku: Buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir—kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.

32:24 Lalu aku berkata kepada mereka: Siapa yang empunya emas haruslah menanggalkannya. Mereka memberikannya kepadaku dan aku melemparkannya ke dalam api, dan keluarlah anak lembu ini.”

32:25 Ketika Musa melihat, bahwa bangsa itu seperti kuda terlepas dari kandang—sebab Harun telah melepaskannya, sampai menjadi buah cemooh bagi lawan mereka—

32:26 maka berdirilah Musa di pintu gerbang perkemahan itu serta berkata: “Siapa yang memihak kepada TUHAN datanglah kepadaku!” Lalu berkumpullah kepadanya seluruh bani Lewi.

32:27 Berkatalah ia kepada mereka: “Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Baiklah kamu masing-masing mengikatkan pedangnya pada pinggangnya dan berjalanlah kian ke mari melalui perkemahan itu dari pintu gerbang ke pintu gerbang, dan biarlah masing-masing membunuh saudaranya dan temannya dan tetangganya.”

32:28 Bani Lewi melakukan seperti yang dikatakan Musa dan pada hari itu tewaslah kira-kira tiga ribu orang dari bangsa itu.

32:29 Kemudian berkatalah Musa: “Baktikanlah dirimu mulai hari ini kepada TUHAN, masing-masing dengan membayarkan jiwa anaknya laki-laki dan saudaranya—yakni supaya kamu diberi berkat pada hari ini.”

32:30 Keesokan harinya berkatalah Musa kepada bangsa itu: “Kamu ini telah berbuat dosa besar, tetapi sekarang aku akan naik menghadap TUHAN, mungkin aku akan dapat mengadakan pendamaian karena dosamu itu.”

32:31 Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: “Ah, bangsa ini telah berbuat dosa besar, sebab mereka telah membuat allah emas bagi mereka.

32:32 Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu—dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.”

Kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu—dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis. —Keluaran 32:32

Hati Kristus

Seorang wartawan Australia yang dipenjara selama 400 hari di Mesir mengekspresikan emosinya yang campur aduk saat ia dibebaskan. Ketika mengungkapkan kelegaannya, ia mengatakan bahwa ia bersyukur atas kebebasannya sekaligus merasa prihatin dengan teman-teman yang ia tinggalkan. Ia merasa sulit mengucapkan perpisahan kepada rekan-rekan wartawan yang telah ditangkap dan dipenjara bersamanya—tanpa tahu berapa lama lagi mereka akan ditahan.

Musa juga mengekspresikan kegelisahan yang mendalam ketika memikirkan teman-teman yang akan ditinggalkannya. Ketika merasa bahwa ia akan kehilangan saudara, saudari, dan bangsanya yang telah menyembah anak lembu emas pada saat ia bertemu dengan Tuhan di Gunung Sinai (Kel. 32:11-14), ia mendoakan mereka. Dalam kepeduliannya, Musa memohon, “Tetapi sekarang, kiranya Engkau mengampuni dosa mereka itu—dan jika tidak, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis” (ay.32).

Rasul Paulus juga mengekspresikan kepedulian yang serupa untuk keluarga, teman, dan bangsanya. Dengan berduka atas ketidakpercayaan mereka kepada Yesus, Paulus berkata bahwa ia bersedia mengorbankan hubungannya dengan Kristus apabila dengan kasih itu, ia dapat menyelamatkan saudara-saudaranya (Rm. 9:3).

Mencermati keduanya, kita melihat bahwa Musa dan Paulus mengekspresikan hati Kristus. Namun, keprihatinan mereka hanyalah sebatas perasaan dan niat untuk berkorban. Tidak demikian dengan Tuhan Yesus. Dia sungguh-sungguh mengasihi dan berkorban agar kita dapat bersama Dia selamanya. —Mart DeHaan

Bapa di surga, terima kasih telah mengingatkan kami pentingnya menjadi serupa dengan-Mu, bersedia hidup—dan mati—bagi orang yang belum pernah melihat betapa Engkau mengasihi mereka.

Memperhatikan sesama berarti menghargai kasih Yesus bagi kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 77-78 dan Roma 10

Wallpaper: Amsal 16:9

“Manusia dapat membuat rencana, tetapi Allah yang menentukan jalan hidupnya.” (Amsal 16:9 BIS)

Yuk download dan pakai wallpaper bulan ini!

Tersedia untuk Semua

Selasa, 8 Agustus 2017

Tersedia untuk Semua

Baca: Markus 10:42-52

10:42 Tetapi Yesus memanggil mereka lalu berkata: “Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka.

10:43 Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu,

10:44 dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.

10:45 Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.”

10:46 Lalu tibalah Yesus dan murid-murid-Nya di Yerikho. Dan ketika Yesus keluar dari Yerikho, bersama-sama dengan murid-murid-Nya dan orang banyak yang berbondong-bondong, ada seorang pengemis yang buta, bernama Bartimeus, anak Timeus, duduk di pinggir jalan.

10:47 Ketika didengarnya, bahwa itu adalah Yesus orang Nazaret, mulailah ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!”

10:48 Banyak orang menegornya supaya ia diam. Namun semakin keras ia berseru: “Anak Daud, kasihanilah aku!”

10:49 Lalu Yesus berhenti dan berkata: “Panggillah dia!” Mereka memanggil orang buta itu dan berkata kepadanya: “Kuatkan hatimu, berdirilah, Ia memanggil engkau.”

10:50 Lalu ia menanggalkan jubahnya, ia segera berdiri dan pergi mendapatkan Yesus.

10:51 Tanya Yesus kepadanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Jawab orang buta itu: “Rabuni, supaya aku dapat melihat!”

10:52 Lalu kata Yesus kepadanya: “Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Pada saat itu juga melihatlah ia, lalu ia mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.

Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang. —Markus 10:45

Tersedia untuk Semua

Di budaya yang terobsesi pada selebriti sekarang ini, tak mengejutkan ada yang memasarkan “selebriti sebagai produk . . . dengan menjual waktu dan kehidupan pribadi mereka.” Artikel Vauhini Vara di The New Yorker menuliskan bahwa dengan membayar $15,000, kamu dapat bertemu langsung penyanyi Shakira, dan dengan uang sebesar $12,000, kamu dan 11 tamu lainnya dapat makan siang bersama koki ternama Michael Chiarello di kediamannya.

Banyak orang memperlakukan Yesus seperti selebriti ketika mereka mengikuti-Nya dari satu tempat ke tempat lain, mendengarkan ajaran-Nya, melihat mukjizat-Nya, dan meminta kesembuhan dari sentuhan-Nya. Namun, Yesus tak menganggap diri-Nya terlalu penting atau perlu menjaga jarak. Dia terbuka kepada semua orang. Saat pengikut-Nya, Yakobus dan Yohanes, secara sembunyi-sembunyi memperebutkan posisi dalam kerajaan-Nya yang akan datang, Yesus mengingatkan semua murid-Nya, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya” (Mrk. 10:43-44).

Setelah mengatakan itu, Yesus menghentikan prosesi orang yang mengikuti-Nya dan Dia bertanya kepada seorang pengemis buta, “Apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Orang buta itu menjawab, “Rabuni, supaya aku dapat melihat!” (ay.51). Seketika itu juga, orang buta itu dapat melihat dan mengikuti Yesus (ay.52).

Tuhan kita “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (ay.45). Kiranya kita, sama seperti Dia, berbelaskasihan dan siap sedia untuk orang lain hari ini. —David McCasland

Yesus, kami menghormati-Mu sebagai Anak Allah dan Tuhan Mahamulia yang mati untuk kami. Tolong kami untuk menunjukkan kasih-Mu pada orang lain.

Ikutilah teladan Yesus: Menjangkau orang lain yang membutuhkan.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 74-76 dan Roma 9:16-33

Artikel Terkait:

Mengapa Harus Aku?

Tidak Selamanya Gagal Itu Berakhir Buruk, Inilah Kisahku Ketika Aku Gagal Masuk ke Sekolah Impianku

Tidak-Selamanya-Gagal-itu-Berakhir-Buruk,-Inilah-Kisahku-Ketika-Aku-Gagal-Masuk-Sekolah-Impianku

Oleh Theodora Florencia, Sukoharjo

Mungkin kamu pernah mendengar sebuah kutipan yang mengatakan proses takkan mengkhianati akhir. Tapi, benarkah kenyataannya pasti begitu? Aku pernah berjuang keras untuk mewujudkan impian yang sangat aku dambakan, akan tetapi aku jatuh terpuruk ketika aku gagal mewujudkan impian itu. Namun, dari kegagalan itu Tuhan mengajariku untuk percaya bahwa Dia punya rencana yang lebih baik daripada impianku semula.

Sejak kelas 4 SD aku mendambakan bisa diterima di SMA negeri favorit yang berlokasi di kota Solo. Bagiku yang sejak kecil bersekolah di sekolah swasta Kristen, SMA negeri itu amat menarik minatku. Aku ingin bertemu dengan teman-teman yang lebih beragam, baik itu budayanya ataupun agamanya. Walaupun aku tidak secerdas teman-temanku, tapi aku berusaha belajar dengan tekun, memohon kepada Tuhan, juga melayani di gereja. Semua itu kulakukan dengan harapan kelak Tuhan akan mengabulkan mimpiku untuk bisa masuk sekolah negeri.

Setelah lulus dari SMP, aku mencoba untuk mendaftar di sekolah negeri itu. Tapi, aku juga menyadari bahwa ada kemungkinan kalau aku tidak diterima di sana. Jadi, sebagai cadangan, aku juga mendaftarkan diriku di sebuah SMA swasta yang masih satu lokasi dengan SMPku. Waktu itu, SMA negeri tujuanku yang berlokasi di kota Solo hanya memberikan kuota 5% untuk siswa dari luar kota, padahal tahun sebelumnya kuotanya adalah 30%. Ratusan pendaftar, termasuk aku yang berasal dari luar kota Solo harus memperebutkan kuota yang amat sedikit itu. Aku percaya bahwa tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Namun, ketika hari pengumuman tiba, namaku tidak tercantum di sana. Hari itu aku merasa Tuhan seolah-olah menolak mimpiku. Aku merasa terpuruk, menangis, bahkan seperti tak memiliki tujuan hidup.

“Tuhan, yang benar saja. Aku sudah ingin masuk ke sana sejak kelas 4 SD! Aku juga nggak lupa berdoa waktu Ujian Nasional. Aku nggak lupa saat teduh. Aku nggak lupa tanya Tuhan, bahkan waktu UN aku memilih off dari semua media sosial supaya bisa fokus,” keluhku pada Tuhan. Jika seandainya saja kuota tahun itu tidak dipangkas, mungkin saja aku masih bisa diterima di sekolah itu. Kemudian, aku memberi kabar kepada beberapa temanku kalau aku tidak diterima. Mereka menghiburku, tapi tetap saja aku tidak merasa terhibur secara total.

Di malam harinya, dalam keadaan masih kecewa aku mencoba untuk bersaat teduh. Sebuah ayat yang diambil dari Ayub 42:2 itu menghibur sekaligus menegurku. “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Ayat ini membuatku berpikir. Benar juga. Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada satu pun rencana Tuhan yang gagal. Dari ayat itu, aku mengambil kesimpulan bahwa Tuhan memang tidak ingin aku masuk ke SMA negeri itu. Kalaupun Tuhan mengizinkan aku diterima di sekolah negeri itu, mungkin saja Dia membuat keajaiban seperti NIM-ku menjadi lebih tinggi, kuota masuknya diperbanyak, atau hal ajaib lainnya. Tapi, nyatanya itu tidak terjadi. Berarti, memang ada misi khusus yang Tuhan ingin berikan padaku. Tuhan ingin aku masuk ke SMA swasta yang sudah kucadangkan.

Lalu, ketika aku membaca sebuah buku renungan, aku juga kembali diingatkan dengan sebuah kutipan yang mengatakan: Allah memilih apa yang harus kita lalui, kita memilih bagaimana kita melaluinya. Kutipan ini kembali menguatkanku bahwa memang sudah jalan Tuhan untuk menempatkanku di sekolah swasta. Sekarang, tugasku adalah menentukan bagaimana caranya aku melalui hari-hariku di SMA swasta ini, apakah aku akan melaluinya dengan perasaan kecewa atau melaluinya dengan semangat. Mulai hari itu aku memilih untuk tidak lagi menyesali kegagalan ini dan mengimani firman Tuhan di Yeremia 29:11 yang berkata bahwa rancangan Tuhan adalah rancangan damai sejahtera, bukan rancangan kecelakaan.

Di SMA swastaku, memang aku tidak mendapatkan lingkungan pergaulan yang begitu beragam. Kebanyakan teman-temanku adalah orang Kristen. Namun, di sinilah aku melihat tantangannya, yaitu bagaimana caraku untuk tetap menjadi teladan bagi teman-temanku yang sama-sama adalah pengikut Kristus. Aku percaya bahwa sebelum kelak Tuhan mengutusku entah ke mana, saat ini Dia ingin aku menjadi teladan terlebih dahulu di tengah-tengah saudara seiman. Sewaktu SMP dulu, aku bukanlah termasuk siswa yang rajin. Tapi, di SMA ini aku mau menjadi teladan dengan cara belajar lebih rajin. Di akhir semester kedua, Tuhan menganugerahiku juara 1 di kelas dan pihak sekolah memberikanku beasiswa bebas biaya studi untuk tahun selanjutnya.

Selain lebih rajin, aku juga belajar untuk bagaimana membina relasi yang baik antar sesama teman. Ketika awal masuk sekolah dulu, aku bukanlah orang yang terbuka dan aku sempat tidak cocok dengan beberapa temanku. Aku merasa enggan berada dekat mereka. Namun, ketika aku berdoa, Tuhan menyadarkanku demikian: jika aku merasa tidak cocok dengan teman-temanku, bukan berarti mereka harus berubah untuk menjadi seperti yang kuinginkan. Aku harus bisa menerima mereka apa adanya. Toh, mereka tidak pernah mengeluh apabila berada di dekatku. Lantas, mengapa aku harus enggan berteman dengan mereka? Di liburan semester kedua, aku melatih diriku untuk tidak berpikiran buruk tentang teman-temanku dan mencoba untuk mendekati mereka. Sejak saat itu, lambat laun kami menjadi teman baik. Aku yang tadinya kurang terbuka, sekarang memiliki beberapa sahabat yang kepadanya aku bisa bercerita kisah-kisah hidupku.

Tuhan tidak pernah berhenti berkarya. Sekalipun mimpiku untuk masuk ke SMA negeri pada awalnya terkesan gagal, tetapi sesungguhnya Tuhan menyiapkan rencana yang lebih baik untukku. Tuhan jauh lebih tahu apa yang sesungguhnya aku butuhkan. Dia tahu bahwa di sekolah manapun aku bersekolah, aku harus menjadi seorang siswa yang rajin, bertanggung jawab, dan menjadi teladan. Tuhan mau aku mempercayai-Nya dengan sepenuh hati. Karya Tuhan tidak ditentukan dari aku bersekolah di mana, tapi di manapun aku bersekolah, di situlah Tuhan berkarya. Terkadang, kegagalan memang diizinkan Tuhan terjadi supaya kita percaya bahwa di balik kegagalan itu, Tuhan tetaplah Tuhan yang berkuasa dan memegang kendali atas hidup kita.

Baca Juga:

Sampai Sejauh Mana Aku Bisa Mengasihi?

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Markus 12:31). Aku sering mendengar ayat ini, tetapi rasanya sulit sekali untuk melakukan apa yang Yesus perintahkan itu mengingat sekarang ini relasi kita kepada sesama mungkin lebih banyak dihitung berdasarkan untung dan rugi. Tapi, ada sebuah film yang mengajariku bahwa perintah untuk mengasihi itu bukanlah sekadar teori semata, tapi memang harus kita lakukan sebagai pengikut Yesus.

Hidup dalam Segala Kelimpahan

Senin, 7 Agustus 2017

Hidup dalam Segala Kelimpahan

Baca: Markus 10:28-31; Yohanes 10:9-10

Markus 10:28 Berkatalah Petrus kepada Yesus: “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau!”

10:29 Jawab Yesus: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya,

10:30 orang itu sekarang pada masa ini juga akan menerima kembali seratus kali lipat: rumah, saudara laki-laki, saudara perempuan, ibu, anak dan ladang, sekalipun disertai berbagai penganiayaan, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal.

10:31 Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu.”

Yohanes 10:9 Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput.

10:10 Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.

Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. —Yohanes 10:10

Hidup dalam Segala Kelimpahan

Ketika saya mengunjungi saudara saya dan keluarganya, keponakan saya dengan semangat menunjukkan sistem baru untuk mengatur tugas di rumah, yaitu papan-papan Choropoly. Tiap papan elektronik yang berwarna itu memonitor tugas mereka. Jika pekerjaan diselesaikan dengan baik, anak-anak menekan tombol hijau yang menambah poin hadiah. Melalaikan tugas seperti membiarkan pintu belakang terbuka akan membuat mereka didenda dengan mengurangi total poin mereka. Karena total poin yang tinggi membuat mereka menerima hadiah-hadiah yang menyenangkan seperti waktu untuk bermain komputer—dan melalaikan tugas akan mengurangi total waktu bermain mereka—keponakan saya sekarang termotivasi untuk melakukan tugas rumah dan memastikan pintu belakang selalu tertutup!

Sistem yang cerdik itu membuat saya membayangkan seandainya saya juga memiliki alat motivasi yang menyenangkan! Tentu saja Allah telah memberi kita motivasi. Selain memerintahkan para murid-Nya untuk taat, Yesus telah berjanji bahwa hidup yang mengikut Dia—meski harus membayar harga—juga merupakan hidup yang berlimpah-limpah, “hidup . . . dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Mengalami hidup dalam kerajaan-Nya bernilai “seratus kali lipat” daripada harga yang harus dibayar—di masa sekarang dan di masa yang akan datang (Mrk. 10:29-30).

Kita dapat bersukacita karena melayani Allah yang pemurah, yang tidak memberikan upah dan hukuman yang selayaknya kita terima. Dia bersedia menerima upaya-upaya terlemah kita, bahkan menyambut dan memberi upah kepada para pendatang baru ke dalam kerajaan-Nya sama seperti pendatang lama (lihat Mat. 20:1-16). Setelah memahami realitas itu, mari kita bersukacita melayani-Nya hari ini. —Monica Brands

Tuhan, tolong aku mengingat ada makna besar saat mengikut-Mu dan itu semua sangatlah layak untuk kujalani.

Mengikut Yesus adalah jalan menuju hidup yang utuh dan berkelimpahan.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 72-73 dan Roma 9:1-15