Aku Ingin Hidup Nyaman—Apakah Itu Salah?

aku-ingin-hidup-nyaman

Oleh Julian Panga, India
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Want a Comfortable Life—Anything Wrong?

Apakah hidup yang nyaman itu? Apakah itu hanya sekadar hidup cukup, sedikit lebih dari cukup, atau berkelimpahan?

Pengertian tentang arti hidup nyaman telah berubah seiring dengan perkembangan zaman. Bagi generasi yang lebih tua, hidup nyaman mungkin berarti ada makanan yang tersaji di atas meja, segala kebutuhan terpenuhi, dan punya sedikit tabungan untuk masa-masa sulit. Namun, bagi generasi sekarang ini, segala hal itu mungkin telah dianggap sebagai kebutuhan dasar.

Aku ingat masa-masa ketika orangtuaku hanya mampu membeli sebuah sepeda motor—yang digunakan oleh kebanyakan keluarga kecil di India untuk kebutuhan transportasi mereka. Beberapa tahun lalu, aku memutuskan untuk membelikan mereka sebuah mobil-bekas-pakai dari tabunganku. Namun mereka merasa tidak membutuhkan mobil itu, dan menganggap mobil itu sebagai sebuah barang mewah yang tidak mereka butuhkan. Dalam pikiran mereka, tabungan seharusnya disimpan untuk hal-hal yang penting. Tapi, dalam pikiranku, sebuah mobil adalah sebuah kebutuhan yang harus ada.

Pengalamanku itu mungkin menggambarkan keadaan dunia saat ini. Kini, adalah sebuah hal yang umum atau bahkan telah menjadi kebutuhan untuk memiliki rumah atau mobil yang lebih besar dan lebih baik, memakai ponsel model terbaru, atau menghabiskan banyak uang untuk berlibur. Jika kamu berjalan-jalan di kota-kota metropolitan India (kota-kota dengan jumlah pemuda berusia 10-24 tahun terbanyak di dunia), kamu akan banyak mendengar orang-orang yang berkata, “Aku sekarang sudah dewasa dan bekerja, jadi aku bisa mempunyai gaya hidup yang lebih baik,” atau, “Apa salahnya menikmati hidup nyaman? Itu pilihan pribadiku dan aku toh tidak merugikan siapa-siapa.” Para pemuda India, bersama dengan para pemuda di seluruh dunia, kini mengadopsi sebuah gaya hidup yang menuntut sesuatu yang lebih—lebih banyak uang, lebih nyaman, dan lebih mewah.

Ironisnya, dalam pengamatanku, mereka yang memiliki lebih dari yang mereka butuhkan tidak pernah terlihat benar-benar bahagia. Di sisi lain, mereka yang tampaknya memiliki lebih sedikit—seperti sebuah keluarga yang terdiri dari enam orang kurus yang mendekam di sebuah gubuk di Johannesburg, atau keluarga yang berjuang keras untuk bisa makan dalam gubuk kecil di Bangalore, India—memiliki senyum yang lebih lebar daripada mereka yang memiliki lebih. Bagiku, hal ini membuatku semakin yakin bahwa kekayaan dan kenyamanan tidak dapat membeli kebahagiaan yang sejati.

Meskipun demikian, pengamatan ini mungkin tidak mematahkan semangat kita—bahkan juga orang-orang Kristen—untuk mencari hal yang lebih banyak dalam hidup ini. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang perlu kita jawab: adakah yang salah dengan menginginkan hidup nyaman?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada lima pertanyaan lain yang dapat kita renungkan.

1. Siapa yang kita andalkan?

Mari kita mulai dengan melihat dua pemahaman yang populer tentang hidup nyaman. Pemahaman yang pertama, hidup nyaman berarti terpenuhinya kebutuhan kita. Sedangkan pemahaman yang kedua, hidup nyaman berarti hidup dalam kemewahan. Meskipun Alkitab tidak menentang kita untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup kita seperti sandang, pangan, dan papan, kita juga perlu mengingat bahwa Yesus mengatakan agar kita tidak khawatir akan segala hal tersebut, karena Bapa kita yang di surga tahu, bahwa kita memerlukan semuanya itu dan akan memberikannya kepada kita ketika kita meminta kepada-Nya (Matius 6:25-34; 7:7-11). Doa Bapa Kami menyatakannya dengan jelas: Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya. Pelajaran yang dapat kita ambil di sini adalah untuk mengandalkan Tuhan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan kita.

Apa yang sesungguhnya ditentang Alkitab adalah cinta akan uang dan mengejar kekayaan semata. Keinginan untuk memiliki kehidupan yang mewah dapat membuat seseorang menghalalkan segala cara untuk mengejar kekayaan. Obsesi ini mempunyai konsekuensi, seperti yang dikatakan Yesus tentang lebih mudahnya seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah (Lukas 18:24-25).

Hidup nyaman itu sendiri bukanlah hal yang berdosa. Namun, jika hidup nyaman membuat kita mengandalkan diri kita sendiri lebih daripada Tuhan dan membuat kita menjadi sombong, kita perlu menjauhi hal itu.

2. Apa yang menjadi misi kita?

Dalam Lukas 9:58, Yesus mengatakan bahwa serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya. Bahkan kebutuhan dasar Yesus pun tidak terpenuhi. Namun, hal itu tidak membuat Dia enggan untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, membantu orang miskin, dan memberikan semangat kepada mereka yang kekurangan, dikucilkan, dan putus asa. Dia melakukan apa yang menjadi misi Bapa-Nya dan menjalani prosesnya yang tidak nyaman.

Bukankan kita juga terlibat dalam misi Allah? Itu adalah sebuah misi seumur hidup yang mengharuskan kita untuk memberikan perhatian dan komitmen sepenuh hati kita. Jadi, jika kenyamanan dunia mengganggu atau menghalangi kita dalam melakukan misi Allah di dunia, kita perlu berhenti sejenak, melakukan refleksi dan menyesuaikan kembali hidup kita kepada Allah. Menjaga misi Allah menjadi pusat dari kehidupan kita akan membantu kita untuk lebih berfokus kepada upah yang bersifat kekal daripada kenyamanan duniawi yang sementara.

3. Kepada siapa kita mengabdi?

Dalam kisah tentang seorang muda yang kaya (Markus 10:17-27), ada seorang pemuda yang bertanya kepada Yesus tentang apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal. Pemuda itu bahkan mengatakan bahwa dia telah menuruti segala perintah Allah sejak masa mudanya. Yesus kemudian menunjukkan kepadanya bahwa meskipun pemuda itu mungkin telah menuruti segala perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan sesama manusia, dia telah mengabaikan perintah Allah tentang menjaga hubungan dengan Allah. Singkatnya, kecintaannya kepada hartanya yang melebihi kecintaannya kepada Allah telah mempengaruhi hubungannya dengan Allah secara drastis. Masalah utamanya adalah tentang hati pemuda tersebut, dan kalau kita melanjutkan membaca kisahnya, pemuda itu pergi dengan sedih. Dia tidak rela memberikan hartanya yang banyak itu.

Dalam Matius 6:24, Yesus juga berkata bahwa tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Orang itu akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau dia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Jadi, jika hidup nyaman membuat kita berfokus kepada uang dan menghalangi kita untuk mengenal dan mengalami Tuhan dengan lebih baik, kita sebenarnya sedang mempertaruhkan hubungan kita dengan-Nya. Tuhan layak menerima pengabdian yang penuh dari kita.

4. Sudahkah kita melayani mereka di sekitar kita?

Yesus tidak perlu berpikir panjang untuk menanggalkan jubah-Nya, mengikatkan kain lenan pada pinggang-Nya, menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-17). Dia menunjukkan apa artinya kerendahan hati yang sejati dan bagaimana kita perlu memperhatikan orang lain selain diri kita sendiri. Seperti Yesus, sikap yang kita tunjukkan haruslah sikap yang menghormati Yesus dengan sepenuh hati kita, tidak egois, dan memberi dengan murah hati.

Jadi, daripada menimbun harta atau kenyamanan untuk diri sendiri, mengapa kita tidak memanfaatkan kesempatan yang ada di sekitar kita untuk menunjukkan kasih dan melayani mereka yang kurang beruntung? Bagaimanapun, itu adalah tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada kita untuk memperhatikan orang-orang miskin, tertindas, terpinggirkan, para yatim dan janda di antara kita. Iman yang ditunjukkan melalui pelayanan yang kita lakukan menjaga fokus hidup kita tidak terpecah dan juga menjaga hati kita untuk tetap rindu untuk dipakai oleh Tuhan.

5. Apakah kita merasa cukup?

Di masa sekarang ini, sulit sekali bagi kita untuk merasa cukup di dalam dunia yang menawarkan kepuasan instan. Raja Salomo, dalam Pengkhotbah 5:10, berkata bahwa siapa mencintai uang tidak akan puas dengan uang, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya. Namun seperti Rasul Paulus belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:11), kita juga dapat belajar mencukupkan diri jika kita belajar untuk mensyukuri berkat-berkat Tuhan. Daripada khawatir akan apa yang tidak kita miliki, marilah kita mencukupkan diri kita dengan apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.

* * *

Setelah 12 tahun tinggal di Australia, di mana aku mempunyai sebuah pekerjaan yang memberikanku banyak penghasilan dan hidup nyaman, aku meninggalkan semua itu sebagai jawabanku akan panggilan Tuhan. Aku kembali ke India dan melayani dalam sebuah lembaga pelayanan Kristen. Seringkali aku ditanya: Mengapa aku membuat keputusan dan “mengambil langkah mundur”—begitulah istilah yang digunakan oleh beberapa orang.

Itu karena aku menyadari bahwa segala hal yang ada di dunia ini takkan dapat memuaskan kita. Semua hal itu hanya membuat kita menginginkan lebih, dan pada akhirnya menjatuhkan kita ke dalam kekecewaan dan kehancuran. Aku sadar bahwa aku hanya dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan hidupku yang sejati ketika aku mengarahkan pandanganku kepada Tuhan—sumber dari segala hal yang aku miliki.

Jadi, pada akhirnya pertanyaannya bukanlah apakah kita dapat hidup nyaman, tapi apakah hidup kita sungguh menghormati dan menyenangkan Tuhan dalam segala hal yang kita lakukan.

Baca Juga:

Apa yang Kamu Berikan di Hari Natal?

Sejatinya, Natal adalah tentang memberi. Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi kita (Yohanes 3:16). Lalu, sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus oleh-Nya, apa yang sudah kita berikan bagi Yesus?

Diikat dalam Kasih

Rabu, 28 Desember 2016

Diikat dalam Kasih

Baca: Roma 8:31-39

8:31 Sebab itu apakah yang akan kita katakan tentang semuanya itu? Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?

8:32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?

8:33 Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka? Siapakah yang akan menghukum mereka?

8:34 Kristus Yesus, yang telah mati? Bahkan lebih lagi: yang telah bangkit, yang juga duduk di sebelah kanan Allah, yang malah menjadi Pembela bagi kita?

8:35 Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?

8:36 Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.”

8:37 Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.

8:38 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang,

8:39 atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Haleluya! Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. —Mazmur 106:1

Diikat dalam Kasih

Pada bulan Juni 2015, pemerintah kota Paris membuang gembok-gembok seberat 45 ton dari terali jembatan pejalan kaki Pont des Arts. Para pasangan kekasih yang mengikat cinta di sana menuliskan huruf awal nama mereka pada sebuah gembok, mengaitkan gembok itu pada terali jembatan, menguncinya, lalu melemparkan kuncinya ke sungai Seine.

Setelah ribuan pasangan melakukan hal tersebut, jembatan itu tidak dapat lagi menahan beban “cinta” yang begitu berat. Karena khawatir jembatan itu akan runtuh, akhirnya pemerintah kota Paris memutuskan untuk membuang “gembok-gembok cinta” tersebut.

Gembok-gembok tersebut dimaksudkan untuk melambangkan cinta yang abadi, tetapi cinta manusia tidak selalu bisa bertahan lama. Kawan yang paling akrab sekalipun bisa saling menyinggung perasaan dan tidak dapat menyelesaikan perbedaan mereka. Sesama anggota keluarga bisa berselisih paham dan menolak untuk saling memaafkan. Hati suami-istri bisa terpisah begitu jauh, sampai-sampai mereka tidak ingat lagi alasan mereka menikah. Cinta manusia memang bisa berubah-ubah.

Namun demikian, ada satu kasih yang tetap dan bertahan selamanya, yaitu kasih Allah. “Haleluya! Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”, seperti diungkapkan oleh Mazmur 106:1. Janji-janji tentang kasih Allah yang abadi dan tak berkesudahan itu terdapat di seluruh Kitab Suci. Dan bukti terbesar dari kasih itu adalah kematian Anak-Nya, sehingga mereka yang beriman kepada-Nya akan hidup selama-lamanya. Tiada yang dapat memisahkan kita dari kasih-Nya (Rm. 8:38-39).

Sebagai saudara-saudari seiman, kita diikat dalam kasih Allah untuk selama-lamanya. —Cindy Hess Kasper

Ya Bapa, aku bersyukur atas kasih-Mu yang tidak berkesudahan. Aku diikat selamanya dalam kasih-Mu oleh Roh Kudus yang hidup di dalamku.

Kematian dan kebangkitan Kristus adalah bukti kasih Allah kepada saya.

Bacaan Alkitab Setahun: Zakharia 5-8; Wahyu 19

Artikel Terkait:

Ketika Saudara Seiman Mengganggumu

Mungkin kamu pernah mengalaminya, ketika kamu menjadi marah atau kecewa karena beberapa hal yang dilakukan oleh saudara/saudari seimanmu di dalam Kristus. Apa yang dapat kita lakukan ketika kita kecewa dengan saudara-saudari kita?
Temukan 5 tips yang dibagikan Joshua selengkapnya di dalam artikel ini.