Mengapa Aku Mengundurkan Diri Saat Akan Dipromosi

mengapa-aku-mengundurkan-diri-saat-akan-dipromosi

Oleh Amy Ji, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: After Being Told I Was Promoted … I Quit

Jika orang yang mewawancaraiku tahu seperti apa aku saat duduk di bangku sekolah, kemungkinan besar mereka akan menolak lamaranku mentah-mentah. Dulu, aku adalah seorang yang hiperaktif, tidak bisa diam, dan bahkan “suka bereaksi berlebihan”—begitulah laporan yang ditulis guruku di raporku. Aku terlalu banyak berbicara di satu kelas, tidur di kelas yang lain, dan suka berbuat usil di kesempatan lainnya. Singkat kata, aku jauh dari kriteria seorang murid teladan.

Tapi kemudian aku diterima—menjadi seorang guru. Setelah aku mendapatkan kabar bahwa aku diterima di pekerjaan pertamaku itu, hal pertama yang kulakukan adalah duduk dan menulis, menandatangani, dan memasukkan surat pengunduran diriku ke dalam amplop. (Aku akan menjelaskan tentang ini nanti.)

Singkat cerita, hal yang mengubahku antara masa-masa aku di sekolah (sebagai seorang remaja hiperaktif) dan sekarang (sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan pelatihan kepemimpinan) adalah aku menjadi seorang pengikut Kristus. Dan sebuah hal yang menjadi kunci perubahan yang kualami terjadi selama masa-masa magang pertamaku.

Pada masa-masa aku kuliah, aku magang di sebuah perusahaan kecil. Mereka baru membuka bisnis itu selama satu tahun dan sangat terbuka dengan para mahasiswa muda dan berenergi tinggi—sepertiku—yang dapat membantu mereka merapikan dokumen, mengemas, dan tugas-tugas kecil lainnya yang ada di kantor. Pada awalnya, aku menganggap mereka agak terlalu positif dan menguatkan. Tapi kemudian aku mengerti ketika aku tahu bahwa pemilik-pemilik perusahaan itu adalah orang-orang Kristen. Visi mereka adalah untuk menjangkau anak-anak muda di negara ini dengan menggunakan prinsip-prinsip yang Alkitabiah dan perumpamaan-perumpamaan ke dalam sebuah kurikulum yang mereka buat dan kemudian ditawarkan ke sekolah-sekolah sebagai sebuah program pelatihan kepemimpinan, karakter, dan keahlian hidup.

Pelatihan dan perencanaan yang mereka lakukan menginspirasiku; aku melihat bagaimana pekerjaanku sehari-hari dan pesan Injil dapat bertemu menjadi satu. Setiap pelatih begitu menjiwai, tidak hanya tentang mengajar atau tentang kebutuhan para murid, tapi juga dapat memberitakan kebenaran Alkitab. Yang begitu menyentuh hatiku adalah waktu berjam-jam yang dihabiskan di dalam ruang pertemuan, membaca firman Tuhan, dan bertukar pikiran, dengan tujuan untuk membuat isi pelatihan menjadi lebih baik untuk dapat menjangkau murid-murid dengan usia, kemampuan belajar, dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda.

Jadi, menjelang kelulusanku di universitas, aku memutuskan untuk melamar untuk bekerja penuh waktu di perusahaan itu . . . tapi kemudian lamaranku ditolak oleh para direkturnya. Mereka memberitahuku secara terbuka bahwa karena perusahaan ini masih baru, banyak hal yang belum stabil. Mereka tidak yakin perusahaan ini dapat berkembang dengan baik, dan mereka tidak ingin aku mengambil risiko dengan bergabung bersama mereka. Mereka menyarankanku untuk mengajar saja.

Perlu beberapa waktu bagi mereka untuk meyakinkanku, karena aku tidak dapat membayangkan bagaimana seorang murid “pembuat onar” sepertiku dapat menjadi seorang guru. Tapi kemudian, salah satu direktur mengatakan sesuatu yang membuatku mempertimbangkan untuk mengajar: “Hanya seorang murid yang sulit diatur yang akan benar-benar mengerti dan berempati dengan murid yang paling sulit di dalam kelas. Jadi pergilah dan mengajarlah sebagaimana kamu ingin diajar sewaktu kamu masih menjadi seorang murid.”

Aku lulus dari sebuah tempat pelatihan guru dengan nilai yang sangat baik, dan di tahun keduaku mengajar, aku menjadi Kepala Kelas Sementara (Acting Level Head), dan Kepala Mata Pelajaran di tahun berikutnya. Departemenku juga memenangkan sebuah kompetisi nasional tentang interaksi antarmurid, dan kemudian menjadi juara ketiga di kompetisi yang sama dalam skala global. Di tahun ketigaku, aku diundang untuk menjadi bagian dari tim pengembang kurikulum; di tahun berikutnya, aku bergabung dengan tim perencana strategis (yang terdiri dari kepala-kepala sekolah dan calon kepala-kepala sekolah yang potensial).

Mungkin kamu dapat mengatakan bahwa aku memiliki karir yang baik dan layak mendapatkan banyak penghargaan sebagai seorang pendidik. Secara pribadi, mengajar telah menjadi hasrat dan sukacitaku, dan murid-muridku telah menjadi bagian yang penting dalam hidupku. Di akhir tahun keempatku mengajar, kepala sekolah menawarkanku sebuah kenaikan gaji dan promosi jabatan.

Dan itulah ketika aku mengajukan surat pengunduran diri yang telah aku tulis sebelum hari pertama aku masuk bekerja.

Bagi kebanyakan orang, aku tahu bahwa pengunduran diriku terlihat bodoh; tapi aku tahu bahwa itulah yang harus aku lakukan. Sejak awal, aku tahu bahwa aku ingin bekerja di perusahaan tempatku magang dahulu, dan tahun-tahunku mengajar hanyalah sebuah tempat latihan dan masa persiapan menuju tempat ke mana Tuhan sedang memimpinku.

Saat aku keluar dari pekerjaan mengajarku, perusahaan tempatku magang dahulu masih sebuah perusahaan yang kecil—hanya ada 6 staf penuh waktu dan sekitar 40 klien. Bergabung dengan mereka tidak hanya berarti kehilangan promosi jabatan dan kenaikan gaji yang ditawarkan oleh sekolah tempatku mengajar, tetapi aku juga harus siap menerima setengah dari gaji yang biasanya kuperoleh. Teman-teman dan keluargaku mencoba untuk mencegahku mengundurkan diri dan mengatakan bahwa itu adalah suatu hal yang bodoh karena aku sudah begitu baik dalam karir mengajarku. Salah satu rekan kerjaku mengatakan aku melakukan “bunuh diri karir”. Bahkan lebih buruk, aku harus menghadapi permohonan murid-muridku ketika mereka mendengar bahwa aku akan pergi.

Tapi jiwa perusahaan itu—untuk memberitakan Injil dan prinsip-prinsip yang Alkitabiah kepada para murid—membulatkan keputusanku. Tidak ada tawaran lain yang akan mengalihkanku dari impianku untuk bekerja dan menjadi bagian dari apa yang dilakukan oleh perusahaan itu.

Sekarang sudah 5 tahun berlalu sejak aku bergabung bersama mereka, dan aku tidak pernah sekali pun menyesali keputusanku untuk mengundurkan diri di tempat pekerjaanku sebelumnya. Membolak-balik Alkitabku setiap hari untuk mencari ide kurikulum, mengajar para murid tentang pentingnya prinsip-prinsip yang Alkitabiah, dan mempertajam keahlian yang telah diberikan Tuhan kepada mereka, telah terbukti jauh lebih berarti daripada sebuah kenaikan gaji, promosi jabatan, atau pengakuan dari keluarga dan teman-temanku.

Aku juga berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberkatiku dengan memberikanku kesempatan untuk “mengajar” mantan murid-muridku ketika mereka bergabung bersama kami sebagai pekerja magang atau pekerja paruh waktu, bekerja dengan mantan rekan-rekan kerjaku yang kini ada klien-klienku, dan mendapatkan banyak teman baik yang merupakan direktur-direkturku.

Dan meskipun perusahaan ini jauh dari kata “sukses” saat ini (karena Injil belum masuk ke semua sekolah dan ke semua murid), aku termotivasi untuk terus bekerja di dalam Tuhan.

Baca Juga:

Di Mana Tuhan Ketika Kita Kehilangan Pekerjaan?

Tahun ini, negaraku mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, yang mengakibatkan banyak bisnis yang tutup karena rendahnya keuntungan dan hutang-hutang yang mereka miliki. Sebagai akibatnya, banyak orang kehilangan pekerjaan mereka dan aku telah melihat semakin banyak orang yang menghubungi perusahaanku untuk meminta tolong dicarikan pekerjaan setelah mereka di-PHK.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Yenni
    Yenni says:

    wow luar biasa, dia memberi menurut kerendahan hatinya, dan bekerja sepenuh hati utk Tuhan, gak mudah tp lsg pd prakteknya.
    2 Korintus 9:7-8
    [7]Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.

    [8]Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.

  2. Yesso Iskandar
    Yesso Iskandar says:

    selama motivasi dan fokus akan semua tanggung jawab pekerjaan, Tuhan pasti akan memberi Jalan kemudahan,serta hal2 indah kedepan yg tidak kita duga sebelumnya. Rancangan Tuhan dlm artikel pengalaman hidup ini, sangat memberkati kita, agar lebih peka akan jalan serta maksud Tuhan dalam kehidupan dan Karir seseorang, so sangat Memberkati!,, 🙂

  3. Yuni P Ananda
    Yuni P Ananda says:

    Pengalaman hidup yg luar biasa. 🙂
    Nggak mudah utk memilih jalan hidup seperti itu apalagi ketika kita harus meninggalkan posisi yg sudah bagus ditambah tidak dengan adanya dukungan keluarga & teman.
    Kemarin saya baru baca Mazmur 50 ttg Ibadah yg Sejati. Saat baca kisah di sini saya merasa inilah bentuk aplikasi dari pasal itu. Dia nggak cuma kasih perpuluhan atau sebagian dari miliknya tapi dia lepaskan semua demi ikut mengabarkan Injil. Dia berikan waktu dan seluruh hatinya.
    Saya menyadari walaupun saya sudah melayani tapi saya belum punya hati sebesar itu. Teladan yg luar biasa. Semoga semakin banyak orang seperti itu, termasuk saya suatu hari nanti. 🙂
    Gbu.

  4. Devy
    Devy says:

    May i know how to contact Amy? Or the company where she told?
    I’m a teacher and build my school with this curriculum..but so many time i had beed confused..and need some discussion…
    Thank you so much…

  5. Chrysti jusuf
    Chrysti jusuf says:

    Wow…luar biasa. Sya sangat terbangun. Apakah sya boleh tahu apa nama perusahaan kecil itu. Mungkin sya bisa magang kuliah di tmpt itu, suatu saat nanti..

  6. Morten
    Morten says:

    Hi @Devy,

    I think warungsatekamu.org translated this article from ymi.today
    You can click the link and it will directing you to the original article, then go down to the bottom of the page. Usually the author will leave his/her short biography and tells you where to go when you need to reach them out.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *