Mengasihi Anggota Kelompok Kecil yang Sulit

mengasihi-anggota-kelompok-kecil-yang-sulit

Oleh Leslie Koh

Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Why Love Isn’t A Good Feeling

Aku harus terus terang. Aku benar-benar tidak suka dengan Terence (bukan nama sebenarnya). Aku tidak tahan melihat gayanya berjalan, seperti bos besar, menengok ke kiri dan ke kanan seolah-olah ia mengendalikan seluruh gereja. Aku tidak suka caranya bicara, seolah-olah dia lebih pintar dari semua orang. Caranya bertanya pun tidak enak, seolah-olah jawaban kita itu pasti akan selalu kurang. Kalau sudah dijawab, dia hanya mengangguk, seolah-olah berkata, “Itu bukan jawaban terbaik, tetapi ya apa boleh buat kalau hanya itu yang kamu tahu.”

Dan… aku harus memperhatikan dia. Sebagai pemimpin kelompok kecil yang baru, tugasku adalah untuk menolong dia bertumbuh dalam perjalanannya bersama Tuhan. Oke, Tuhan, tetapi Engkau tahu—aku tidak menyukainya.

Sulit sekali melakukan tugasku dengan perasaan yang demikian. Belum apa-apa, aku sudah merasa kepayahan, tidak tahu bagaimana harus bertindak sebagai seorang pemimpin kelompok, bagaimana harus mengajar, memotivasi, dan memperhatikan orang lain. Untunglah, kebanyakan anggota kelompokku sangat bersemangat dan mau saling mendukung. Mereka bersedia mendengarkan dan berusaha saling melengkapi. Kecuali Terence.

Bulan demi bulan berlalu. Aku akan menekan perasaanku sebisa mungkin tiap kali harus berhadapan dengannya, berusaha bersikap positif dalam pembicaraan kami. Ketika ada orang yang memujinya, aku akan mendukung pendapat orang itu. Ketika Terence memiliki perbedaan pendapat denganku, aku akan mengangguk dan berkata, “Bisa diterima, kamu punya pendapat yang baik.” Tetapi, setelah aku hanya bersama istriku, aku akan mengomel panjang lebar, “Kamu lihat raut mukanya tadi? Dia pikir dia siapa? Anak muda yang tidak tahu diri.”

Aku juga mengeluh kepada pemimpin di atasku, yang bertanggung jawab untuk memperhatikan kelompok kami. Ia kurang sependapat. Menurutnya Terence punya potensi, meskipun ia mengerti mengapa aku mengeluh. “Beri dia kesempatan,” nasihatnya. Begitu pulang, aku langsung bilang kepada istriku, “Bagaimana bisa pemimpin kita begitu buta? Apa dia tidak bisa melihat sifat asli Terence?”

Sepertinya penilaianku mulai terbukti benar ketika Terence bermasalah dengan beberapa anggota kelompok kecil kami. Aku tahu apa yang seharusnya aku lakukan sebagai seorang pemimpin kelompok kecil. Bersikap toleran terhadapnya, tetap memperhatikan dan mengasihinya sebagai saudara di dalam Kristus. Tetapi rasanya sulit sekali. Mengasihi dia? Sejujurnya, aku tidak tahan menghadapinya! Namun, melalui hubungan yang sulit inilah Tuhan mengajar aku memaknai kasih dengan perspektif yang baru:

1. Kasih adalah sebuah pilihan.

Saat aku terus bergumul dengan perasaanku sendiri, pemimpin di atasku mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun.

“Kamu dipanggil untuk mengasihi dia, bukan untuk menyukai dia,” katanya.

“Tanggung jawabmu adalah ada di sana untuk dia, jika ia membutuhkan pertolongan atau butuh didengarkan. Kamu tidak harus selalu menyukai orangnya.”

Ah! Kalau begitu rasanya lebih mudah. Aku hanya perlu bersikap toleran terhadap kelakuan Terence dan cukup berfokus pada apa yang harus aku lakukan sebagai seorang pemimpin. Aku merasa lebih siap mengontrol perasaanku.

Tetapi, rasanya masih ada yang mengganjal, sikapku seolah berkata, ”Hei bro, aku tidak tahan melihat wajahmu, tetapi aku mengasihimu.” Aku sedang menghakimi Terence, sekaligus menolongnya pada saat yang sama. Rasanya munafik sekali. Pemimpin macam apa aku ini? Orang Kristen macam apa aku ini?

Saat aku merenungkannya, aku mulai memahami kebenaran yang penting: Kasih itu bukan sebuah perasaan, tetapi sebuah pilihan yang diambil dengan penuh kesadaran, sebuah tindakan yang dilakukan dengan pertimbangan yang matang. Kita tidak mengasihi seseorang dengan sekadar memupuk perasaan sayang kepadanya. Kita mengasihi seseorang dengan mengambil keputusan untuk memperhatikannya, dan mengusahakan apa yang terbaik baginya. Kita memilih untuk mengasihi—berarti secara sadar kita mengambil sebuah komitmen dan keputusan untuk bertindak, untuk mengusahakan sesuatu, dan adakalanya untuk berkorban.

Kupikir, hal ini sedikit banyak menggambarkan tentang kasih Allah. Dia melihat sifat-sifat kita yang berdosa, karakter kita yang jauh dari sempurna, serta kecenderungan hati kita untuk selalu berbuat dosa, dan tetap mengasihi kita. Allah tidak menciptakan Adam dan Hawa, melihat mereka, lalu berpikir, “Wah, manusia-manusia ini menyenangkan sekali, Aku mengasihi mereka!” Tidak, Dia sudah memutuskan untuk mengasihi kita ketika Dia menciptakan kita, sekalipun Dia tahu bahwa kita akan melawan Dia. Karena kasih yang besar itu, Dia mengorbankan Anak-Nya yang tunggal untuk membawa kita kembali kepada-Nya.

2. Kasih adalah sebuah tindakan.

Mungkin kita sudah pernah mendengarkan lusinan khotbah yang diambil dari perikop terkenal, 1 Korintus 13. Bagian Alkitab yang bicara tentang kasih ini sering dikhotbahkan dalam pernikahan. Ironisnya, yang cenderung menjadi fokus adalah apa yang dirasakan oleh pasangan tersebut.

Padahal jika diperhatikan, perikop itu sebenarnya menggambarkan kasih sebagai sifat dan tindakan. (Kasih itu sabar, murah hati, tidak sombong, tidak mencari keuntungan diri sendiri, tidak pemarah. Kasih itu bersukacita karena kebenaran, menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. Kasih itu tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak melakukan yang tidak sopan, tidak menyimpan kesalahan orang lain). Tidak ada satu kata pun yang menggambarkan tentang kasih sebagai sebentuk perasaan.

Dalam penjelasan Yesus tentang apa artinya mengasihi sesama (Lukas 10:25-37), orang Samaria yang baik hati digambarkan menunjukkan kasihnya dalam tindakan yang nyata. Ia tidak hanya merasa kasihan dan berkata, “Aku ikut merasakan penderitaanmu, Sobat,” lalu berlalu begitu saja. Ia membalut luka-luka orang itu, membawanya ke tempat penginapan, dan memastikan orang itu mendapat perawatan yang baik.

Ketika Yesus bertanya kepada Petrus, apakah ia mengasihi-Nya (Yohanes 21:15-17), Dia meminta murid-Nya itu untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Kasih Petrus kepada Tuhan harus dinyatakan dalam perhatian yang ia berikan kepada orang-orang yang dikasihi Yesus. Kasih Yesus sendiri juga dinyatakan dengan cara yang sangat luar biasa, Dia mengorbankan nyawa-Nya untuk kita. Ah ya. Kasih itu adalah sebuah tindakan. Jelas aku juga harus mengatasi sikapku yang sering menghakimi Terence—Yesus tentu tidak menghendaki aku berkubang dalam perasaan yang demikian.

Namun, itu tidak berarti aku baru bisa mengasihi Terence sebagai seorang saudara di dalam Kristus jika perasaan tidak suka dalam hatiku sudah hilang sama sekali. Aku dapat tetap mengasihinya dengan memberi perhatian dan siap sedia memberi pertolongan ketika ia membutuhkannya. Pada saat yang sama, aku sadar aku harus mendoakan diriku sendiri, mohon Tuhan mengubahkan hatiku yang sulit mengampuni, mohon Tuhan menolongku melihat Terence dari sudut pandang-Nya, dan memberiku kekuatan untuk mau mengasihi Terence dengan setulus hati. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa mengasihi dengan mengandalkan kekuatanku sendiri.

3. Kasih memelihara kelangsungan hubungan, apapun yang terjadi.

Ketika kita membuat keputusan untuk mengasihi, kita akan menjalani hubungan-hubungan yang kita miliki dengan makna dan kekuatan yang baru. Mengapa? Karena hubungan-hubungan ini tidak lagi bergantung pada perasaan kita terhadap orang lain, tidak juga bergantung pada apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain. Hubungan-hubungan ini tidak akan dihancurkan oleh kemarahan, rasa tersinggung, atau perilaku yang keliru. Hubungan-hubungan ini tidak lagi bersyarat.

Hubungan kasih yang paling kuat adalah hubungan yang lahir dari sebuah keputusan yang didasari kesadaran penuh, pertimbangan yang matang.

Kita ingat perumpamaan tentang seorang bapa yang harta warisannya disia-siakan oleh anaknya sendiri. Ketika anak yang kurang ajar itu kembali, sang bapa siap menerimanya, karena kasihnya melihat anaknya, melampaui kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan anak itu (Lukas 15:11-32). Kasih sang bapa tidak bergantung pada apa yang dikatakan atau dilakukan anaknya.

Akankah hubungan kita dengan pasangan kita juga terpelihara oleh kasih yang demikian? Biasanya, hubungan itu dimulai dengan rasa nyaman, rasa sayang yang mengaduk-ngaduk hati, yang membuat kita kemudian ingin menikah. Akankah perasaan kita kemudian didasarkan pada komitmen yang lebih kuat untuk tetap mencintai ketika keretakan dalam hubungan mulai muncul dan kekurangan pasangan kita mulai jelas terlihat? Akankah keputusan untuk mengasihi yang kita ambil dengan kesadaran penuh akan mampu membawa pernikahan kita melewati masa-masa paling kritis?

Begitu juga dalam persahabatan-persahabatan kita—apa yang dapat membuat hubungan-hubungan itu bertahan? Apakah kita siap memaafkan teman-teman kita ketika mereka melukai kita? Akankah kita ada bagi mereka, apapun yang mereka lakukan atau katakan? Relakah kita menyingkirkan gengsi, sakit hati, dan kemarahan, ketika mereka membutuhkan pertolongan kita?

4. Kasih pada akhirnya akan dirasakan.

Aku akan berdusta bila aku berkata sikapku terhadap Terence telah berubah 180 derajat. Tetapi, ketika dengan kesadaran penuh aku mengambil keputusan untuk mengasihi dan memperhatikan Terence, aku lebih bisa menyingkirkan perasaanku yang penuh penghakiman, dan mulai mencoba melihat dalam hal apa ia membutuhkan pertolongan. Kelompok kecil itu kini telah berkembang dan aku sudah tidak lagi berada di dalamnya, jadi ujian hatiku tidak berlanjut. Terence juga meneruskan kehidupannya sendiri.

Namun, melalui pengalaman itu, aku belajar bahwa perasaan kita pasti akan mengikuti tindakan yang kita pilih. Memang dengan tekad yang kuat, bisa saja kita berusaha mengasihi seseorang meskipun kita sebenarnya tidak menyukainya. Namun kita tidak bisa sekadar mengandalkan kekuatan tekad kita. Kesenjangan antara apa yang kita rasakan dan lakukan seharusnya tidak berlangsung selamanya—nanti bukannya mengasihi, kita malah jadi bersungut-sungut.

Di sisi lain, ketika kita terus menaati perintah Allah untuk mengasihi, dan mempraktikkannya melalui tindakan nyata, sikap kita perlahan-lahan akan berubah. Sama seperti tindakan seseorang dapat berkembang menjadi kebiasaan, kebiasaan lalu menjadi karakter, demikian pula usaha yang dimulai oleh pikiran kita untuk mengasihi pada akhirnya akan mengubah dan membentuk perasaan di hati kita.

Perubahan ini hanya dapat terjadi dengan pertolongan Tuhan. Kita tidak dituntut untuk mengasihi dengan kekuatan kita sendiri—bahkan kasih yang digambarkan dalam 1 Korintus 13 sesungguhnya mustahil dicapai tanpa Tuhan memberi kita sebuah hati yang baru.

Seiring dengan ketaatan kita pada perintah Tuhan untuk mengasihi sesama, Dia akan mengubah hati kita supaya bisa memiliki belas kasih yang sama dengan belas kasih-Nya.

Ini adalah sebuah tantangan bagi diriku: untuk bersedia dibentuk Tuhan seiring dengan upayaku berlatih mengasihi sesamaku. Membiarkan Dia bekerja di dalam hatiku, menggantikan hatiku dengan hati-Nya, seiring dengan pilihan-pilihan yang kuambil dengan kesadaran penuh untuk menyatakan kasih melalui perkataan dan tindakanku.

Apakah kamu juga mau bersama-sama dengan aku menjawab tantangan ini?

Bagikan Konten Ini
12 replies
  1. JackieHound
    JackieHound says:

    terus gmn dengan si terence? kok kepotong gitu aja ceritanya? hahaha lg seru serunya..

  2. andre hong
    andre hong says:

    Setelah membaca artikel, didalam hati saya masih bergolak dan mempertanyakan arti mengasihi, pengalaman yang terjadi dari contoh diatas masih dibilang masalah sepele yang di dramatisir karena ketidak sukaan saja, nah tetapi mengasihi seperti apakah, seputih apakah setulus apakah dan sebesar apakah, adakah di dalam jemaat atau di dalam penulis bisa merealisasikan di dalam kehidupan ? Sangat naif, menurutku mengasihi bukan hal yang sangat mudah adakah bedanya mengampuni atau mengasihi, apalagi dicampur dengan kepahitan dan, belaskasihan dari artikel diatas masih ambigu mempertanyakan tentang konteks mengasihi mohon diperjelas…..

  3. andre hong
    andre hong says:

    Maaf kan saya jika terlalu kritis menanggapi, saya hanya tidak ingin melihat sesuatu tindakan mengasihi salah kaprah saja, maksud saya mengasihi itu berbicara tentang ketulusan yang mempunyai makna atau arti dan tujuan terimakasih

  4. Yuni P Ananda
    Yuni P Ananda says:

    Sangat memberkati 🙂 saya jd menyadari bahwa mengasihi bukan mengenai perasaan tapi tindakan.
    Tapi ada 1 hal yang agak mengganjal dan ingin saya tanyakan. Di dlm 1 Korintus 13 memang benar menunjukkan bahwa kasih mengenai tindakan tapi bagian ‘kasih tidak cemburu’ bagaimana perspektifnya sehingga bukan sebagai bentuk perasaan? Karena mnrt pemahaman saya, cemburu itu sama dengan iri berarti menyangkut perasaan.
    Terima kasih 🙂

  5. Sarah
    Sarah says:

    Terimakasih Tuhan..
    Smoga ak bisa lebih mempraktekkan apa arti kasih dlm sifat dan tindakan yg nyata.. Tidak hanya dg perasaan.. Amin..

  6. henny
    henny says:

    Aku mengalami hal yang sama dengan seorang teman. Aku sayang padanya,dan bangga padanya karena awalnya aku melihat dia berusaha merubah hidup lamanya dengan hidup yang baru. Tapi suatu hari ia melakukan hal yang membuat aku sangat kecewa dan semakin hari aku malah melihat kehidupan rohaninya seperti mundur. Aku sangat kecewa, tapi roh kudus menyuruh aku untuk diam dan jangan menghakiminya. Aku mendapat pengertian yang sama, untuk memiliki kasih. Tapi aku sempat merasa munafik, tersenyum di depannya tapi mengeluh masalah itu dibelakangnya. Karena aku belum bisa menerima perbuatannya dan kebohongannya. Tapi sharing ini sungguh memberkati aku, menguatkan aku bahwa yang aku lakukan bukan munafik, tapi sedang belajar tentang mengasihi. Thanks Gbu.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *