Dia Datang untukmu

Minggu, 31 Januari 2016

Dia Datang untuk Anda

Baca: Lukas 4:14-21

4:14 Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah itu.

4:15 Sementara itu Ia mengajar di rumah-rumah ibadat di situ dan semua orang memuji Dia.

4:16 Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab.

4:17 Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:

4:18 “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku

4:19 untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”

4:20 Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya.

4:21 Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabarbaik kepada orang-orang miskin. —Lukas 4:18

Dia Datang untuk Anda

Di dalam novel-novelnya, The Trial dan The Castle, Franz Kafka (1883-1924) menggambarkan kehidupan manusia sebagai suatu keberadaan tak berperikemanusiaan yang mengubah orang-orang menjadi lautan wajah kosong tanpa identitas maupun nilai. Kafka berkata, “Kehidupan bagai ban berjalan yang terus membawa kamu, entah ke mana. Seseorang lebih menyerupai sebuah objek atau benda, daripada sesosok makhluk hidup.”

Di awal masa pelayanan-Nya, Yesus pergi ke sebuah rumah ibadat di Nazaret, lalu berdiri di depan orang banyak, dan membaca dari kitab Yesaya: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19).

Kemudian Kristus duduk dan menyatakan, “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (ay.21). Berabad-abad sebelumnya, Nabi Yesaya telah menyerukan kata-kata serupa (Yes. 61:1-2). Sekarang Yesus menyatakan bahwa Dialah penggenapan dari janji tersebut.

Perhatikanlah siapa saja yang hendak Yesus selamatkan—orang-orang yang miskin, remuk hati, tertawan, buta, dan tertindas. Dia datang untuk orang-orang yang nilai dirinya sebagai manusia telah direndahkan oleh dosa dan penderitaan, oleh kerusakan dan kesedihan. Dia datang untuk kita semua! —Bill Crowder

Demi mereka yang berdosa dan mereka yang menderita. Demi mereka yang menderita karena dosa. Demi mereka yang berdosa untuk meredakan penderitaan. Tuhan, kasihanilah kami. Robert Gelinas, The Mercy Prayer

Dunia mungkin merendahkan kita, tetapi Yesus mengasihi setiap dari kita seolah-olah kita ini milik-Nya satu-satunya.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 25-26; Matius 20:17-34

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 6)

menemukan-diriku-6

Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Semua orang menyukaimu.

Ya, iyalah… ‘kan aku orangnya lucu, penuh perhatian, santai dan asyik dijadikan teman.

Memangnya kenapa kalau leluconku tidak membuat orang tertawa? Memangnya kenapa kalau kadang-kadang orang menatapku dengan pandangan aneh?

Terserahlah. Pastinya ada yang pernah bilang aku itu orangnya kocak dan mereka sangat senang melewatkan waktu bersamaku. Ingat ‘kan? Itu artinya banyak orang menyukaiku!

Tetapi … bagaimana bila mereka sebenarnya menertawakan aku, bukan tertawa bersamaku? Bagaimana bila ternyata mereka hanya berpura-pura menyukaiku?

Ya, tidak apa-apa. Tidak seharusnya itu menjadi masalah. Aku ini orang yang kuat, mandiri, dan realistis. Jika mereka tidak bisa menerima diriku apa adanya, aku juga tidak ingin berurusan dengan mereka. Siapa juga yang ingin bergaul dengan sekelompok orang yang tidak menyukai dirinya?

Mungkin mereka tidak menyukai aksen bicaraku. Mungkin suaraku terdengar lucu di telepon. Mungkin mereka tidak suka dengan alisku yang terlalu tebal. Aku harus menyempatkan diri merapikan alisku.

Mungkin mereka merasa aku seperti nenek-nenek, selalu sudah ada di tempat tidur setiap jam 10 malam. Mungkin penampilanku kurang menarik, lain kali aku perlu berdandan sedikit.

Oh, lihat pesan yang kuterima. Ada yang bilang kalau mereka menyukai tulisan di blog-ku. Bagus sekali!

Aku bisa mati kalau begini terus. Mengapa aku sangat terganggu dengan apa yang dipikirkan orang tentang aku? Seolah-olah mereka inilah yang menciptakanku atau mati bagiku. Selama aku hidup sesuai dengan firman Tuhan, anggapan orang lain seharusnya menjadi tidak penting.

Tuhan yang menciptakanku. Dia mengasihiku. Yesus mati menggantikan aku. Bagaimana Dia melihat hidupku, itulah yang paling penting, bukan pemikiran dan anggapan orang lain.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Hanya Sejauh Doa

Sabtu, 30 Januari 2016

Hanya Sejauh Doa

Baca: Yohanes 16:17-24

16:17 Mendengar itu beberapa dari murid-Nya berkata seorang kepada yang lain: “Apakah artinya Ia berkata kepada kita: Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku? Dan: Aku pergi kepada Bapa?”

16:18 Maka kata mereka: “Apakah artinya Ia berkata: Tinggal sesaat saja? Kita tidak tahu apa maksud-Nya.”

16:19 Yesus tahu, bahwa mereka hendak menanyakan sesuatu kepada-Nya, lalu Ia berkata kepada mereka: “Adakah kamu membicarakan seorang dengan yang lain apa yang Kukatakan tadi, yaitu: Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku?

16:20 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira; kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita.

16:21 Seorang perempuan berdukacita pada saat ia melahirkan, tetapi sesudah ia melahirkan anaknya, ia tidak ingat lagi akan penderitaannya, karena kegembiraan bahwa seorang manusia telah dilahirkan ke dunia.

16:22 Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu.

16:23 Dan pada hari itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepada-Ku. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku.

16:24 Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu.

Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorangpun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu. —Yohanes 16:22

Hanya Sejauh Doa

Ketika sang solis mulai mengangkat suaranya dalam kebaktian Minggu di gereja kami, jemaat pun menjadi tenang dan memberikan perhatian penuh. Suara bass-baritonnya yang lembut melantunkan kata-kata yang menyentuh jiwa dari pujian lama. Judul lagunya mengungkapkan sebuah kebenaran yang terasa semakin indah seiring bertambahnya usia kita: “Dia Hanya Sejauh Doa”.

Kita semua pernah mengalami saat-saat perpisahan dengan orang-orang yang kita kasihi. Seorang anak menikah dan pindah ke tempat yang jauh. Orangtua terpisah dari kita karena karier atau masalah kesehatan. Seorang anak pergi bersekolah di kota atau negara lain. Memang kita dapat berhubungan melalui kiriman pesan pendek dan video. Namun kita ada di sini dan mereka ada di sana. Pada akhirnya, akan ada perpisahan karena maut.

Akan tetapi, sebagai orang percaya dalam Kristus, kita memegang janji-Nya bahwa kita tidak akan pernah sendirian. Meski kita mungkin merasa demikian, sesungguhnya Dia tidak pernah beranjak dari kita. Dia selalu hadir bersama kita, sekarang dan untuk selamanya. Ketika Yesus meninggalkan dunia ini, Dia mengatakan kepada para pengikut-Nya, “Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20). Dia juga berjanji kepada kita, “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau” (Ibr. 13:5).

Permohonan yang terucap lembut dalam nama Yesus serta pemikiran tentang kehadiran-Nya sungguh memberi kita penghiburan dan kepastian. “Dia hanya sejauh doa.” Dave Egner

Yesus, aku bersyukur karena Engkau dekat. Aku sungguh membutuhkan-Mu.

Yesus tidak pernah menelantarkan atau melupakan umat-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 23-24; Matius 20:1-16

Photo credit: laura musselman duffy / Foter / CC BY-NC-ND

3 Hal yang Kupelajari Saat Menulis Surat Kepada Diriku Sendiri

Penulis: Jick Siriwan, Thailand
Artikel asli dalam Bahasa Thailand: จดหมายไทม์แมชชีน

3-Pelajaran-Dari-Surat-Kepada-Diri-Sendiri

Pada hari terakhir di tahun 2014, dalam acara makan-makan bersama dengan teman-teman gereja, suamiku melempar ide untuk “menulis surat kepada dirimu di masa depan”. Ide itu sangat menarik untukku, jadi aku memutuskan untuk mencobanya. Aku menulis surat untuk diriku sendiri, memberi tanda kapan surat itu harus kubuka, meletakkannya di dalam sebuah kotak, dan berkata, “Sampai jumpa tahun depan!”

Beberapa minggu yang lalu aku membuka surat tersebut dan aku menyadari bahwa aku telah lupa apa saja yang telah kutuliskan setahun yang lalu. Saat membaca pernyataan-pernyataan sederhana yang kutulis sendiri itu, air mataku menetes.

“Apa yang pernah kupikirkan di masa lalu ternyata bisa bermanfaat untukku sekarang,” pikirku sembari membaca. Namun, yang paling berharga bagiku bukanlah apa yang kutuliskan di atas kertas itu, melainkan pelajaran-pelajaran yang kudapatkan dari kegiatan sederhana tersebut.

1. Aku dapat mendengarkan suara hatiku sendiri.
Menulis sebuah surat kepada diri kita sendiri adalah sebuah cara praktis yang dapat menolong kita mendengarkan suara hati kita. Saat aku membaca tulisanku sendiri, aku menyadari bahwa itu adalah kali pertama aku mendengarkan diriku sendiri dengan begitu jelas. Seringkali, kita tidak terlalu menaruh perhatian terhadap suara hati kita. Kita lebih banyak mendengarkan nasihat orang lain yang terkadang membingungkan kita, membuat kita tidak yakin dengan pikiran dan perasaan kita sendiri. Menulis sebuah surat kepada diriku sendiri memungkinkan aku merefleksikan hidupku sepanjang tahun yang telah berlalu, dan mengajukan beberapa pertanyaan penting untuk diriku sendiri.

2. Kita adalah orang terbaik untuk memuji atau memarahi diri kita sendiri
Ketika aku menulis surat itu, aku membayangkan sedang berbicara kepada seseorang dengan tulus dan terus terang. Berikut ini sebagian isi surat yang kutulis (dan kemudian kubaca), dan yang secara khusus menyentakku:

Hai, bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah melakukan apa yang kamu niatkan? Apakah ini tahun yang baik untukmu? Aku berharap kamu membaca surat ini dengan hati yang gembira, dan merasa bangga dengan apa yang sudah kamu lakukan sejauh ini. Mengenalmu, aku kuatir kamu belum berhasil menyelesaikan semua yang kamu sudah kamu rencanakan. Jika kamu berhasil, banyak selamat! Aku sangat bangga dengan dirimu. Jika belum, tetaplah bertahan. Jangan kecewa dengan dirimu sendiri. Ingatlah bahwa benih-benih tanaman pun perlu waktu untuk bisa bertunas. Dan sekalipun kita belum melihat mereka bertunas, bukan berarti benih-benih itu tidak ada di sana. Saatnya akan tiba, dan Allah bekerja di balik layar. Percayalah kepada-Nya dan sabarlah dengan dirimu sendiri. Oh ya, jangan lupa menuliskan tujuan-tujuan yang ingin kamu capai tahun depan dan sebuah surat untukku, oke?

Salam hangat,
Jick

Aku adalah tipe orang yang tanpa sadar sering memberikan terlalu banyak tuntutan untuk diriku sendiri lalu merasa bersalah dengan tujuan-tujuan yang tidak berhasil kucapai. Setelah membaca suratku sendiri, aku banyak sekali disemangati oleh diriku di masa lalu. Hal itu membuatku merasa lebih rileks. Allah telah memakai aku mengingatkan diriku sendiri untuk menikmati hidup di bumi ini, dan untuk memuji Dia atas segala kebaikan-Nya di dalam hidupku.

3. Bertanya kepada diri sendiri akan memperjelas arah hidupmu
Hal paling berharga yang bisa kita dapatkan dalam hidup ini bukanlah materi, tetapi pelajaran-pelajaran dalam kehidupan. Salah satu cara mendapatkan pelajaran itu adalah dengan bertanya kepada diri kita sendiri. Bertanya akan membuat kita mau tidak mau berusaha menjawab, sama seperti kita mau tidak mau harus menentukan tujuan sebelum bisa menentukan jalan mana yang harus kita tempuh. Menuliskan tujuan-tujuan kita dalam sebuah surat akan mengingatkan kita mengapa kita membuat keputusan untuk memilih jalan tertentu. Sorakon Adunyanon, seorang penulis Thailand, pernah menulis: “Pertanyaan itu lebih penting daripada jawaban. Pertanyaan berfungsi sebagai sebuah kompas. Memberi kita arah. Jawaban itu hanyalah hasil dari pertanyaan yang kita ajukan.”

Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa kamu ajukan kepada dirimu sendiri:

  • Apa panggilan Yesus bagi hidupmu?
  • Apakah kamu sedang menjalani hidup sesuai apa yang kamu harapkan?
  • Berapa banyak hubungan yang telah kamu bangun dan masih terus kamu pelihara? Bagaimana kamu menghargai hubungan-hubungan yang kamu miliki?
  • Apa yang akan kamu lakukan dalam lima tahun ke depan?
  • Hal-hal apa saja yang telah kamu syukuri dan hal-hal apa saja yang akan kamu syukuri?
  • Apa kalimat pertama yang ingin kamu katakan kepada dirimu di masa depan?
  • Pelajaran-pelajaran apa saja yang telah kamu dapatkan di sepanjang tahun lalu dan ingin kamu ingatkan kepada dirimu sendiri di masa depan?

Apakah kamu siap menulis sebuah surat kepada dirimu sendiri? Selain menulis surat biasa, kamu juga bisa menuliskannya secara online.

Mari menjadikan tahun baru kali ini (juga tahun-tahun berikutnya) istimewa dengan mengirimkan surat istimewa ini. Surat yang akan menolong diri kita di masa depan mendengarkan apa yang perlu kita dengar dan menjalani hidup kita dengan tujuan-tujuan yang makin jelas.

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 5)

menemukan-diriku-5

Entah kenapa tempat ini terasa tidak nyaman lagi. Di mana seharusnya aku berada? Apakah ini kehendak Allah bagiku? Aku bertanya pada diriku setiap hari.

Hatiku serasa ada di dua tempat, dua dunia yang terpisah ribuan kilometer jaraknya. Aku merasa seperti selembar daun yang tertiup angin, melayang tanpa tujuan. Mengapa? Seharusnya tidak seperti ini.

Kemarin, aku merasa sangat yakin. Aku pikir aku berada di tempat yang tepat. Tentu saja, Tuhan yang memanggilku ke tempat ini. Aku mendapatkan pekerjaan yang kusukai. Aku punya teman-teman dekat. Aku bisa melayani di gereja. Aku merasa Tuhan sedang menyuruhku “tetap tinggal” dan tidak “pergi”. Memang aku jadi jauh dari keluarga, tetapi mungkin itulah pengorbanan yang harus aku berikan.

Hari ini, keraguan itu datang lagi. Dan, aku lelah dengan perasaanku yang serba tidak pasti.

Mungkin Tuhan sedang mengajarku, “Aku memberimu kebebasan untuk memilih”. Aku harus melangkah dalam iman, bergerak maju dan menantikan apa yang telah Tuhan siapkan bagiku.

Mungkin aku terlalu kuatir dengan banyak hal. Tuhan, penuhiku dengan damai-Mu. Yang penting bukan di mana aku berada, tetapi apa yang aku lakukan dan dengan siapa aku memilih melakukannya. Hanya Engkau yang dapat menyempurnakanku.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Kebun Binatang Ayahnya

Jumat, 29 Januari 2016

Kebun Binatang Ayahnya

Baca: 1 Raja-Raja 4:29-34

4:29 Dan Allah memberikan kepada Salomo hikmat dan pengertian yang amat besar, serta akal yang luas seperti dataran pasir di tepi laut,

4:30 sehingga hikmat Salomo melebihi hikmat segala bani Timur dan melebihi segala hikmat orang Mesir.

4:31 Ia lebih bijaksana dari pada semua orang, dari pada Etan, orang Ezrahi itu, dan dari pada Heman, Kalkol dan Darda, anak-anak Mahol; sebab itu ia mendapat nama di antara segala bangsa sekelilingnya.

4:32 Ia menggubah tiga ribu amsal, dan nyanyiannya ada seribu lima.

4:33 Ia bersajak tentang pohon-pohonan, dari pohon aras yang di gunung Libanon sampai kepada hisop yang tumbuh pada dinding batu; ia berbicara juga tentang hewan dan tentang burung-burung dan tentang binatang melata dan tentang ikan-ikan.

4:34 Maka datanglah orang dari segala bangsa mendengarkan hikmat Salomo, dan ia menerima upeti dari semua raja-raja di bumi, yang telah mendengar tentang hikmatnya itu.

Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam. —Amsal 12:10

Kebun Binatang Ayahnya

June Williams baru berumur empat tahun ketika ayahnya membeli tanah seluas 2,8 hektar sebagai lokasi bagi pembangunan sebuah kebun binatang tanpa jeruji besi atau kandang. Setelah bertumbuh besar, June mengingat betapa kreatifnya sang ayah dalam menolong satwa liar itu merasa bebas di dalam kurungan mereka. Kini Chester Zoo merupakan salah satu dari atraksi satwa liar yang paling terkenal di Inggris. Kebun binatang yang menjadi kediaman bagi 11.000 hewan di atas tanah seluas 44,5 hektar tersebut mencerminkan kepedulian ayahnya terhadap kesejahteraan, pelatihan, dan pelestarian satwa.

Salomo memiliki ketertarikan serupa pada seluruh makhluk ciptaan Tuhan, baik besar maupun kecil. Selain mempelajari kehidupan fauna dari Timur Tengah, ia juga mendatangkan binatang-binatang eksotis, seperti kera dan burung merak dari negeri yang jauh (1Raj. 10:22). Namun salah satu amsal yang ditulisnya menunjukkan kepada kita bahwa pengetahuan Salomo tentang alam bukan sekadar keingintahuan intelektual semata. Dengan meng-ungkapkan implikasi rohani dari sikap kita dalam memperlakukan hewan peliharaan kita, ia mencerminkan isi hati Allah Pencipta kita: “Orang benar memperhatikan hidup hewannya, tetapi belas kasihan orang fasik itu kejam” (Ams. 12:10).

Dengan hikmat dari Allah, Salomo melihat bahwa hubungan kita dengan Pencipta kita tidak hanya mempengaruhi cara kita memperlakukan sesama, tetapi juga seberapa besarnya perhatian yang kita berikan pada hewan peliharaan kita. —Mart Dehaan

Bapa di surga, ketika kami memikirkan tentang keajaiban dan keanekaragaman dari dunia satwa ciptaan-Mu, tolonglah kami untuk tidak hanya menyembah-Mu, tetapi juga memelihara apa yang telah Engkau percayakan kepada kami.

Allah adalah Pemilik sejati dari seluruh ciptaan-Nya.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 21-22; Matius 19

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 4)

menemukan-diriku-4

Rasanya duniaku runtuh seketika. Mengapa ini bisa terjadi? Aku takut. Aku tidak merasa melakukan sesuatu yang salah. Mengapa ia meninggalkan aku? Mengapa ia tidak berkata apa-apa? Apakah aku melakukan sesuatu yang buruk? Apakah aku mengatakan sesuatu yang keliru? Apa yang sebenarnya terjadi?

Aku merasa aku bukan diriku lagi. Apa yang terjadi dengan diriku? Aku merasa kehilangan, kehilangan diriku sendiri. Semua gambarku rasanya tidak bagus lagi. Semua surat yang kutulis rasanya tidak indah lagi. Kekasihku menginspirasiku. Tetapi kini ia sudah pergi.

Aku sudah melakukan banyak hal. Aku sudah banyak berkorban. Untuk apa?

Apakah hidupku sudah tidak berarti lagi? Apakah duniaku sudah benar-benar berakhir?

Ampuni aku Tuhan karena sudah mengabaikan-Mu dalam semua ini. Engkau selalu hadir. Sejak awal. Engkau terus bersamaku, namun aku tidak memperhatikan-Mu. Engkau ada di sisiku ketika hatiku merana, namun aku tidak menyadarinya.

Kuatkanlah aku, ya Tuhan. Sembuhkanlah hatiku. Penuhi diriku dengan pemikiran akan Engkau. Beri aku pengharapan agar aku bisa bangkit lagi. Hapuskan air mataku agar aku bisa memandang keindahan wajah-Mu.

Aku ingin bersembunyi, berharap bisa memulihkan hatiku sendiri. Namun, aku tahu ke mana pun aku pergi, Engkau akan menemukanku.

Perbaruilah hidupku, ya Tuhan.
Bentuklah hidupku agar berpusat kepada-Mu.
Aku ingin mempercayai kebaikan-Mu.
Aku tahu Engkau akan memulihkanku.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.

Sebelum Meminta Tolong

Kamis, 28 Januari 2016

Sebelum Meminta Tolong

Baca: Mazmur 18:1-7

18:1 Untuk pemimpin biduan. Dari hamba TUHAN, yakni Daud yang menyampaikan perkataan nyanyian ini kepada TUHAN, pada waktu TUHAN telah melepaskan dia dari cengkeraman semua musuhnya dan dari tangan Saul.

18:2 Ia berkata: “Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN, kekuatanku!

18-3 Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!

18-4 Terpujilah TUHAN, seruku; maka akupun selamat dari pada musuhku.

18-5 Tali-tali maut telah meliliti aku, dan banjir-banjir jahanam telah menimpa aku,

18-6 tali-tali dunia orang mati telah membelit aku, perangkap-perangkap maut terpasang di depanku.

18-7 Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN, kepada Allahku aku berteriak minta tolong. Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya.

Ketika aku dalam kesesakan, aku berseru kepada TUHAN. —Mazmur 18:7

Sebelum Meminta Tolong

Sebagai seorang ibu dari anak-anak yang masih kecil, terkadang saya mudah menjadi panik. Apabila putra saya terkena alergi atau putri saya tiba-tiba terserang batuk, reaksi pertama saya adalah menelepon ibu saya dan menanyakan apa yang harus dilakukan untuk menolong mereka.

Ibu memang penolong yang hebat, tetapi ketika saya membaca Mazmur, saya diingatkan betapa seringnya kita membutuhkan pertolongan yang tidak dapat diberikan oleh manusia. Di Mazmur 18, Daud berada dalam bahaya yang sangat besar. Dalam ketakutannya karena nyaris mati dan sangat menderita, ia pun berseru kepada Tuhan.

Daud dapat berkata, “Aku mengasihi Engkau, ya TUHAN” karena ia mengerti bahwa Allah adalah bukit batu, kubu pertahanan, dan penyelamatnya (ay.2-3). Allah adalah perisainya, keselamatannya, dan kekuatannya. Mungkin kita tidak dapat memahami pujian Daud karena kita belum pernah mengalami pertolongan Allah. Mungkin kita cenderung mencari pertolongan manusia sebelum datang kepada Allah untuk menerima nasihat dan pertolongan-Nya.

Tentunya Allah menempatkan orang-orang dalam hidup kita untuk menolong dan menghibur kita. Namun, marilah kita juga senantiasa ingat untuk berdoa. Allah akan mendengar kita. Daud menyanyikan, “Ia mendengar suaraku dari bait-Nya, teriakku minta tolong kepada-Nya sampai ke telinga-Nya” (ay.7). Ketika kita datang kepada Allah, kita ikut menyanyikan pujian Daud dan mengalami Dia sebagai bukit batu, kubu pertahanan, dan penyelamat kita.

Lain kali ketika kamu mencari pertolongan dari orang lain, ingatlah juga untuk berdoa. —Keila Ochoa

Ya Tuhanku, tolonglah aku untuk mengingat bahwa Engkaulah penyelamatku, dan Engkau selalu mendengar seruanku.

Doa menjadi jembatan antara kepanikan dan kedamaian.

Bacaan Alkitab Setahun: Keluaran 19-20; Matius 18:21-35

Photo credit: Foter / CC BY-NC-ND

Menemukan Diriku Di Dalam-Nya (bagian 3)

menemukan-diriku-3

Untuk apa kamu berusaha? Membuat semua orang lelah saja. Pikirkanlah bagaimana kamu memimpin rapat itu. Pembicaraannya melantur ke mana-mana dan membuat semua orang yang terlibat menjadi luar biasa penat.

Mengapa ya dulu aku mau mengambil peran ini? Mengapa aku berpikir aku mampu melakukan pekerjaan ini?

Seingatku, dulu aku melangkah dalam iman, percaya bahwa Allah akan menyediakan. Saat mengawali semua ini, aku berkata:
“Aku tidak mau berfokus pada diri sendiri, aku mau terus mengarahkan pandanganku kepada Yesus. Aku tidak sedang mau membuktikan kemampuan diriku, aku mau orang melihat Allah di dalam kelemahanku.”

Tetapi, gagal memimpin rapat pertama membuat semua yang kubayangkan langsung berantakan. Aku lupa dengan apa yang pernah aku katakan di hadapan Tuhan.

Tuhan, tolong ingatkan aku bahwa pelayanan ini bukan tentang aku, kesetiaanku, atau kemampuanku. Tolong aku melihat dan memahami bahwa semua ini adalah tentang Yesus, kesetiaan-Nya, dan kekuatan-Nya.

Seringkali aku merasa pelayanan ini adalah tentang aku. Namun, sesungguhnya semua ini adalah tentang Yesus. Tidak ada hal yang perlu kubuktikan, tidak ada kegagalan yang perlu kutakutkan, tidak ada kelemahan yang perlu kututupi. Pelayanan ini adalah dari Dia, oleh Dia, dan untuk Dia.

 
Serial Perjalanan Hati: Menemukan Diriku Di Dalam-Nya
Material: Foto digital, Photoshop
Penulis: Jude Dias, Shawn Quah, Joanna Hor, Vania Tan, Michele Ong, Abigail Lai
Penerjemah: Jonathan Chandranegara, Elisabeth Ch

Salah satu pencarian terbesar dalam hidup ini adalah pencarian jati diri. Siapakah diri kita? Apa saja yang menentukan identitas kita? Jalan mana yang akan membawa kita menemukan jawabannya? Mengapa identitas itu sangat penting bagi kita? Bulan ini kami berbicara dengan sejumlah anak muda, mendengarkan cerita dan pergumulan hati mereka saat berusaha mengejar yang esensi dalam hidup ini. Apakah kamu mendapati dirimu mengalami hal yang sama dengan mereka? Bagikan apa yang kamu alami dalam kolom komentar di bawah ini.