Pentingnya Punya Sahabat

Penulis: Vincent Tanzil
Ilustrator: Galih Reza Suseno

Persahabatan 650

Berada bersama dengan seorang teman adalah hal yang umum kita jumpai di kampus. Pada saat mahasiswa-mahasiswa berjalan mengarungi selasar, biasanya mereka berjalan bersama satu, dua, atau beberapa orang teman. Pegawai dan dosen pun tidak jarang ditemukan sedang makan atau berjalan bersama. Berkumpul bersama dengan kawan-kawan merupakan kegiatan sehari-hari manusia pada umumnya.

Meski demikian, tidak semua orang punya teman dekat atau sahabat. Seseorang bisa memiliki teman makan bersama, teman satu kepanitiaan, teman satu program studi, teman satu kantor, bahkan banyak teman dalam media sosial, tetapi tetap merasa kesepian. Bukan kepada semua orang isi hati boleh ditumpahkan. Ada yang memahami, ada yang menghakimi. Sahabat adalah orang yang memahami ketimbang menghakimi, karena itulah kita merasa nyaman bersama dengannya. Tidak cukup hanya memiliki teman, setiap kita perlu memiliki sahabat.

Karakteristik seorang sahabat jauh lebih kompleks sekadar seorang teman biasa. Lahir dan besar di keluarga yang sama tidak menjamin sesama saudara bisa menjadi dekat satu sama lain. Orang yang kelihatannya riang dan hangat di kampus tidak selalu sama riangnya ketika berhadapan dengan saudara-saudaranya. Terkadang sahabat yang baru kita temui di kampus, organisasi atau tempat kerja, malah bisa menjadi lebih dekat dan cocok ketimbang saudara yang tinggal seatap. Sahabat seperti inilah yang bisa menjadi “lebih karib daripada seorang saudara” (Amsal 18:24b).

Memiliki sahabat adalah hal yang sangat penting. Ini esensial. Ini prinsip kehidupan. Saking pentingnya persahabatan, kitab Amsal sampai mengatakan untuk memelihara hubungan tidak hanya dengan sahabat kita, tetapi juga dengan para sahabat orangtua kita. “Jangan kau tinggalkan temanmu dan teman ayahmu. Jangan datang di rumah saudaramu pada waktu engkau malang. Lebih baik tetangga yang dekat dari pada saudara yang jauh” (Amsal 27:10). Tidak selalu kita tinggal dekat dengan saudara, karena itu sangatlah baik apabila memiliki seorang yang dekat pada saat kesulitan. Tentu para mahasiswa dan pegawai yang berasal dari luar daerah sangat memahami situasi semacam ini.

Sahabat yang selalu ada di setiap waktu adalah bagian hakiki dari kehidupan. Pun demikian, penulis Amsal tampaknya menyadari adanya bahaya jika orang berpuas saja dengan sahabat yang selalu hadir, karena sangat mungkin kita hanya akan memilih sahabat yang mirip dengan kita, yang selalu sependapat dengan kita, dan yang tidak pernah memberikan masukan kepada kita. Sahabat yang demikian dapat membuat kita merasa senang, namun tanpa sadar ia membiarkan kita menuju kerusakan. Sebab itu, penulis Amsal berkata, “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi. Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” (Amsal 27:5-6). Maksudnya apa? Memiliki seorang sahabat yang tidak sekadar memahami kita tetapi juga berani mengonfrontasi kekeliruan kita jauh lebih berharga ketimbang banyak teman tanpa kedalaman hubungan. Ada tipe sahabat yang menyenangkan untuk diajak berjalan-jalan bersama, bermain bersama, dan sebagainya. Akan tetapi, mereka yang bisa memberikan teguran untuk memperbaiki diri kita adalah sahabat terbaik yang bisa kita dapatkan.

Kita bukanlah orang sempurna. Kita cenderung menyukai perkataan-perkataan yang manis dan menyenangkan bagi hati dan telinga saja. Tetapi orang Kristen tidak dipanggil untuk sekadar merasa nyaman dan percaya diri. Menjadi orang Kristen tidak berarti kita akan selalu berlimpah pujian dan penguatan. Meski mendapatkan pujian dan penguatan adalah hal yang baik, tetapi bukan itu tujuan utama kita. Tujuan utama orang Kristen adalah menjadi makin serupa dengan Kristus. Untuk menjadi makin serupa Kristus, bukan sekadar pujian yang kita butuhkan. Kita juga membutuhkan nasihat, teguran, dan dorongan untuk berubah. Tuhan pun telah menetapkan salah satu sarana yang efektif: sahabat. “Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” (Amsal 27:17).

Sahabat terbaik adalah seorang yang mengenali kita luar dan dalam. Kita tidak perlu menutup-nutupi kondisi kita yang sebenarnya terhadap sahabat yang demikian, karena kita percaya bahwa ia selalu menginginkan yang terbaik bagi hidup kita. Ia peduli, dan karenanya ia melakukan apa yang perlu untuk menajamkan kita.

Milikilah teman yang banyak, sekelompok sahabat yang akrab, dan beberapa sahabat yang saling menajamkan.

Selamat bersahabat.

 
Artikel ini terbit dalam Dwi Pekan UK Petra no.12/Thn. XXIII 5 Mei-18 Mei 2015 dengan judul Seorang Sahabat. Diadaptasi dengan izin penulis.

Kuasa Perkataan

Rabu, 26 Agustus 2015

Kuasa Perkataan

Baca: Amsal 18:1-8,20-21

18:1 Orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak terhadap setiap pertimbangan.

18:2 Orang bebal tidak suka kepada pengertian, hanya suka membeberkan isi hatinya.

18:3 Bila kefasikan datang, datanglah juga penghinaan dan cela disertai cemooh.

18:4 Perkataan mulut orang adalah seperti air yang dalam, tetapi sumber hikmat adalah seperti batang air yang mengalir.

18:5 Tidak baik berpihak kepada orang fasik dengan menolak orang benar dalam pengadilan.

18:6 Bibir orang bebal menimbulkan perbantahan, dan mulutnya berseru meminta pukulan.

18:7 Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya, bibirnya adalah jerat bagi nyawanya.

18:8 Perkataan pemfitnah seperti sedap-sedapan, yang masuk ke lubuk hati.

18:20 Perut orang dikenyangkan oleh hasil mulutnya, ia dikenyangkan oleh hasil bibirnya.

18:21 Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.

Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya. —Amsal 18:21

Kuasa Perkataan

Nelson Mandela, tokoh penentang rezim apartheid di Afrika Selatan yang dipenjara selama hampir tiga dekade, sangat paham tentang kuasa perkataan. Kita sering mengutip perkataannya saat ini, tetapi selama dipenjara, ia tidak banyak bicara karena takut akan akibat buruk yang dapat ditimbulkannya. Satu dekade setelah pembebasannya, ia berkata: “Bukan kebiasaan saya untuk berkata-kata dengan sembarangan. Pengalaman selama 27 tahun mendekam di penjara telah mengajar kami untuk menggunakan kesunyian dari kesendirian itu guna memahami betapa berharganya perkataan, dan betapa kuat dampak perkataan terhadap hidup-mati seseorang.”

Raja Salomo, penulis dari sebagian besar kitab Amsal di Perjanjian Lama, sering menulis tentang kuasa perkataan. Ia berkata, “Hidup dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya” (Ams. 18:21). Perkataan berpotensi untuk menghasilkan konsekuensi yang positif atau negatif (ay.20). Perkataan berkuasa memberikan hidup melalui kata-kata yang jujur dan membangkitkan semangat. Namun, perkataan dapat juga merusak dan membunuh lewat kebohongan dan gosip. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa perkataan yang kita ucapkan akan memberikan hasil yang baik? Satu-satunya cara adalah dengan tekun menjaga hati kita. “Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan” (Ams. 4:23).

Yesus dapat mengubah hati kita agar kita dapat mengucapkan perkataan yang sungguh-sungguh baik—yang jujur, tenang, tepat, dan sesuai untuk situasi yang ada. —Marvin Williams

Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku, ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku. Mazmur 19:15

Perkataan kita berkuasa membangun atau menghancurkan hidup sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 119:89-176; 1 Korintus 8