CerpenKaMu: Penyembahan Puja

Oleh: Yohana P.D.Utami

penyembahan-puja

Kacau! Kacau sekali jalannya ibadah pagi itu. Penyanyi dan pemusik kejar-kejaran nada. Jemaat pun sangat tidak antusias dalam melantunkan puji-pujian. Tidak ada suasana penyembahan yang syahdu menghanyutkan kalbu. Yang ada hanyalah gerutuan dalam hati yang memuncak menjadi nyanyian sumbang. Mana mungkin ada damai sejahtera yang melegakan kalau begini caranya! Duh, Tuhan, ampunilah kami.

Persiapanku menjadi sia-sia, acara ibadah terasa sangat berantakan. Padahal aku dan rekan-rekan sudah latihan dan berdoa dengan sungguh-sungguh. Alat-alat musik dan sound system sudah dicek semua. Demikian juga perlengkapan multi media, semua sudah siap, rapi jali. Kurang apa lagi? Apakah memang jemaat di tempat kami ini tidak bisa mengekspresikan pujian dan penyembahan dengan segenap keberadaan? Bukankah Tuhan merindukan umat-Nya untuk menyembah-Nya dengan segenap kekuatan, akal budi, dan jiwa?

Letih sekali rasanya memimpin pujian dan penyembahan di mana tidak ada keselarasan antara tim ibadah dengan jemaat. Bayangkan saja bagaimana kita sudah bersemangat mengajak jemaat untuk menyanyikan gita nada bagi Tuhan tapi jemaat sepertinya adem ayem saja. Atau mereka bertepuk tangan, tetapi lirak-lirik samping kiri kanan karena tidak percaya diri dan malah sibuk melihat orang lain yang juga sama-sama tidak antusias. Apalagi saat masuk ke dalam musik lembut yang dimaksudkan sebagai pengantar doa. Semestinya, semua dapat masuk ke dalam suasana doa sembari menyanyi. Tapi kenyataannya? Garing! Pujian yang diulang-ulang terasa sangat lama dan membosankan. Salah siapa ini?

Namaku Puja Rahayuningtyas. Setengah tahun sudah aku memimpin tim ibadah ekspresif di tempat pemujaan ini. Tantangannya banyak sekali. Mulai dari kebiasaan dan tata cara ibadah yang terkesan monoton dan kurang bergairah, sampai ke gegar budaya antara generasi senior dan junior yang berbeda selera musik dan pemahaman teologisnya. Aku yang berada di antara gap generasi itu, dalam usiaku yang menginjak kepala tiga ini, harus menjadi mediator untuk menjaga komunikasi dan menyampaikan aspirasi. Meskipun gereja tempat aku berjemaat termasuk yang cukup dinamis bagi denominasinya, tetap saja ada semacam penghalang bagiku untuk mengajak jemaat mencoba lebih ekspresif dalam ibadahnya, khususnya dalam melantunkan pujian sembahyang.

Mbak Puja,” kata Bapak Pendeta suatu ketika, ”Mungkin ada baiknya Mbak Puja istirahat dulu dari pelayanan pujian di depan.”

Maksud Bapak? Apakah saya sudah tidak layak lagi?” ada sudut hati yang mendadak terasa perih.

Bukan, bukan begitu. Saya melihat Mbak Puja sepertinya terlalu letih. Itu saja.

Jadi?”

Ambillah waktu untuk retret pribadi, Mbak. Biar mbak Puja mendapat penyegaran dari Tuhan. Untuk ibadah Natal dan Tahun Baru kali ini, biar diserahkan ke anak-anak pemuda dan remaja saja.”

Maka, di sinilah aku pada malam tahun baru kali ini. Tidak turut serta dalam hingar-bingar persiapan ibadah Natal dan tahun baru di gereja. Aku lebih banyak berdiam diri di rumah, mengurus acara Natal kecil keluargaku. Acaranya pun bukan aku yang menyusun. Aku hanya membantu mengiringi musiknya (ya, aku bisa bermain piano atau kibor sekadarnya). Dan, waktu-waktu luang yang ada lebih banyak kugunakan untuk mencari wajah Tuhan—istilah umum untuk bermeditasi menurut imanku—di kamar atau di tempat aku bisa berdua saja dengan-Nya. Waktu-waktu yang sering hilang di tengah kesibukan pelayananku.

Kudapati memang aku letih, lesu, dan berbeban berat. Hatiku jauh dari hening, apalagi bening. Perasaan gagal dan marah membuatnya kian keruh. Aku terlalu terobsesi untuk membawa jemaat bisa ikut “memuji dan menyembah Tuhan” menurut versi yang aku harapkan, meskipun tentunya tetap dalam pakem tata liturgi yang menjadi ciri khas gerejaku. Begitu terobsesinya aku sehingga aku melupakan esensi dari penyembahan dan pujian itu sendiri. Ya, memuji dan menyembah Tuhan itu bukanlah sesuatu yang bisa direka-reka dari luar. Bahkan dengan musik yang paling indah sekalipun. Penyembahan adalah respons yang keluar dari hati. Respons itu akan mengalir dengan sendirinya secara alamiah tanpa dibuat-buat, ketika jemaat dibawa untuk mengingat siapa Pribadi Tuhan yang mereka sembah. Tiap jemaat mungkin datang dengan beragam pergumulan. Bila tiap orang berfokus pada dirinya masing-masing, termasuk pemimpin ibadahnya, bagaimana mungkin tercipta harmoni dalam memuja? Hanya ketika tiap hati bersentuhan dengan hati Tuhan, tiap pikiran dipenuhi kebenaran tentang Dia, barulah suasana penyembahan yang indah dapat tercipta sebagai respons atas kehadiran-Nya.

Malam tahun baru di rumah keluarga besarku, kami sekeluarga duduk melingkar di atas tikar pandan yang hangat. Setelah mendengarkan renungan dari seorang saudaraku, tibalah saatnya tiap-tiap orang melakukan perenungan pribadi. Hanya ada piano tua yang tersedia di hadapanku. Tanpa alat musik lainnya, tanpa perlengkapan multimedia dan sound system yang canggih.

Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku
Dia membaringkan aku di padang yang berumput hijau

Jemariku mulai menari di atas piano, melantunkan kebenaran tentang Tuhan yang dinyatakan dalam Mazmur 23. Setelah satu bait, hatiku tak tahan untuk tidak menyenandungkan liriknya perlahan. Sungguh Tuhan adalah gembalaku! Betapa sering aku menyimpang, tetapi Sang Gembala selalu membawaku pulang. Terima kasih Tuhan, untuk penyertaan-Mu di sepanjang tahun yang telah lewat! Hatiku membuncah dengan rasa syukur. Tak berapa lama kemudian kudengar satu per satu anggota keluargaku turut bersenandung. Hatiku bergetar. Suara-suara sederhana. Lagu lama tanpa aransemen istimewa. Namun, kami sama-sama mengangkat pujian dari hati kami. Sukacita dan damai surgawi rasanya melingkupi segenap ruangan, ketika kami melantunkan puja dalam balutan kesederhanaan. Aku percaya, malaikat-malaikat pun ikut bersenandung memuja Sang Raja.

Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku
Maka jiwaku pun memuji-Mu, sungguh besar Kau Allah-ku

Pujian demi pujian mengalun hingga malam usai. Kesegaran baru mengaliri jiwaku seiring dengan tahun yang berganti. Aku yakin tak satu pun kerabat yang pulang dengan sia-sia hari itu. Semua mendapatkan berkat dan rahmat yang tiada terhingga. Wajah-wajah penuh syukur dan pengagungan menghiasi ruangan, saat kami saling berjabat tangan, menyemangati satu sama lain di tahun yang baru. Terima kasih Tuhan yang Maha Agung, Engkau sudah berkenan menerima ungkapan syukur, doa, dan pujian kami. Sungguh aku bersyukur atas segala yang ada dalam hidupku. Tolong aku ‘tuk selalu menghidupi namaku, Puja – Rahayu – Ning Tyas. Pujian, damai sejahtera, di dalam hati yang bening. ***

Surat Cinta

Jumat, 9 Januari 2015

Surat Cinta

Baca: Mazmur 119:97-104

119:97 Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari.

119:98 Perintah-Mu membuat aku lebih bijaksana dari pada musuh-musuhku, sebab selama-lamanya itu ada padaku.

119:99 Aku lebih berakal budi dari pada semua pengajarku, sebab peringatan-peringatan-Mu kurenungkan.

119:100 Aku lebih mengerti dari pada orang-orang tua, sebab aku memegang titah-titah-Mu.

119:101 Terhadap segala jalan kejahatan aku menahan kakiku, supaya aku berpegang pada firman-Mu.

119:102 Aku tidak menyimpang dari hukum-hukum-Mu, sebab Engkaulah yang mengajar aku.

119:103 Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku.

119:104 Aku beroleh pengertian dari titah-titah-Mu, itulah sebabnya aku benci segala jalan dusta.

Betapa kucintai Taurat-Mu! Aku merenungkannya sepanjang hari. —Mazmur 119:97

Surat Cinta

Setiap pagi ketika tiba di kantor, saya memiliki satu kebiasaan sederhana—membaca semua e-mail yang masuk. Sering kali saya akan membaca kebanyakan e-mail tersebut secara sekilas. Namun ada sejumlah e-mail yang membuat saya bersemangat untuk membacanya. Itu adalah e-mail yang dikirim oleh orang-orang yang saya kasihi.

Ada yang mengatakan bahwa Alkitab adalah surat cinta Allah kepada kita. Namun, adakalanya, sama seperti saya, kamu merasa enggan untuk membukanya dan hatimu tidak merasakan hal yang sama seperti yang dikatakan pemazmur, “Betapa kucintai Taurat-Mu!” (Mzm. 119:97). Kitab Suci adalah “perintah-Mu” (ay.98), “peringatan-peringatan-Mu” (ay.99), “titah-titah-Mu” (ay.100), “firman-Mu” (ay.101).

Serangkaian pertanyaan yang pernah diajukan Thomas Manton (1620-1677), seorang pengkhotbah di Westminster Abbey pada masa silam, rasanya masih relevan bagi kita di zaman sekarang ini. Manton bertanya, “Siapa penulis Kitab Suci? Allah. . . . Apakah tujuan dari Kitab Suci? Allah. Mungkinkah Kitab Suci ditulis dengan tujuan agar kita bisa selama-lamanya menikmati Allah yang mulia?”

Ada yang mengatakan, semakin kita mengenal seseorang, semakin berkurang rasa kagum kita pada dirinya; tetapi hal tersebut tidak berlaku bagi Allah. Semakin kita mengenal firman Allah, atau lebih tepatnya Allah sumber Firman itu, semakin kita akan mengasihi-Nya, dan kasih itu membuat kita ingin mengenal-Nya dengan lebih lagi.

Saat kamu membaca Alkitab, ingatlah bahwa Allah—Pribadi yang paling mengasihimu—mempunyai pesan untukmu. —PFC

Ya Tuhan, buat Firman-Mu
Menjadi tambangku,
Menjadi taman yang permai
Dan bintang panduku. —Hodder
(Nyanyikanlah Kidung Baru, No. 115)

Mengenal Alkitab menolong kita mengenal Allah dari Alkitab.

Bacaan Alkitab Setahun: Kejadian 23-24, Matius 7

Photo credit: Mrs4duh / Foter / CC BY-NC-SA