Sampah dan Sakumi

Oleh: Melody Tjan

sakumi-dan-sampah

“Eitt, jangan dibuang dulu!” Sakumi meraih kotak jus yang sudah siap kulempar ke tempat sampah. Aku tersipu malu. Tinggal di asrama sekolah bersama para pelajar dari berbagai negara mengajarku tentang banyak hal. Salah satunya tentang betapa kurangnya aku memikirkan urusan membuang sampah. Sudah beberapa bulan satu asrama dengan Sakumi yang super rapi dan bersih pun belum membuatku otomatis memilah sampah menurut jenisnya. Padahal, bagi Sakumi dan teman-teman lain yang berasal dari Jepang, memilah sampah itu sudah menjadi gaya hidup mereka. Kotak bekas jus itu dicuci bersih agar tidak mengundang semut datang, lalu dikeringkan dan dilipat, dikumpulkan bersama sampah sejenis dalam satu tas. Saat ada waktu keluar, Sakumi akan membawa semua itu ke tong sampah khusus yang memang sudah disediakan pihak sekolah untuk sampah plastik dan kertas. Lumayan repot menurutku. Di Indonesia kebanyakan kita membuang segala jenis sampah di satu tempat yang sama. Mudah dan praktis. Tugas memilah sampah biarlah menjadi urusan para petugas sampah. Lagipula, kan tidak ada larangan untuk membuang segala jenis sampah di tempat yang sama, baik oleh negara atau agama. Beda dengan negeri asal Sakumi.

Namun, rupanya bukan aturan hukum di Jepang yang membuat Sakumi dan teman-temannya disiplin memilah dan membuang sampah pada tempatnya. “Kita harus memikirkan orang lain,” Sakumi menjelaskan alasan di balik kedisiplinannya. Tak seharusnya kita menciptakan sumber bau busuk dan penyakit bagi orang lain. Sebagian sampah juga mengandung bahan kimia, yang bisa saja kemudian dikonsumsi hewan, dan kemudian meracuni manusia yang memakannya. Jepang sendiri memang pernah mengalami masalah besar di tahun 1970-an, ketika sampah industrinya mencemari perairan dan menyebabkan ribuan orang keracunan saat mengkonsumsi ikan. Menanggapi hal itu, sejumlah orang lalu memulai gerakan masyarakat peduli lingkungan. Melalui “choinakai” (semacam asosiasi pengurus wilayah yang dibentuk oleh masyarakat sendiri) di tiap-tiap daerah, mereka menggalang kesadaran orang untuk mengurangi sampah (reduce), menggunakan kembali barang-barang yang masih bisa dipakai (reuse), dan mendaur ulang (recycle), demi kebaikan bersama. Dua puluh tahun setelahnya, setelah makin banyak masyarakat yang peduli, barulah pemerintah mengeluarkan undang-undang sebagai payung hukumnya. Tak heran bila warga Jepang seperti Sakumi tetap disiplin dalam mengelola sampah meski tidak sedang berada di wilayah negaranya. Di Jakarta, aku bahkan membaca sejumlah tulisan tentang komunitas orang Jepang yang berinisiatif membersihkan sampah di beberapa tempat umum secara berkala. Sikap mereka muncul dari hati yang mau peduli dengan orang lain, jauh sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Orang Jepang malu bila sampai melakukan hal-hal yang bisa merugikan sesama.

Jujur saja saat membuang sampah aku jarang memikirkan orang lain. Apakah caraku membuang sampah bisa membuat orang lain terganggu atau tidak, kena dampak yang merugikan atau tidak, aku hampir tidak pernah ambil pusing. Apakah kemudian kebiasaan buang sampahku akan membuat rantai pengolahan sampah menjadi lebih panjang atau memakan biaya yang lebih besar, itu ya bukan urusanku, tapi pemerintah dan para petugas kebersihan. Urusanku sendiri sudah terlalu banyak. Masak disuruh mikirin orang lain lagi? Sakumi dan kepeduliannya yang tinggi pada sesama membuatku banyak berpikir ulang tentang hal ini. Sebagai seorang perawat yang telah melayani di sejumlah negara melalui lembaga-lembaga kemanusiaan, Sakumi kerap menyaksikan orang-orang yang menderita gara-gara sampah yang tidak dikelola dengan baik. Sebagai seorang Kristen, Sakumi tahu, ia tidak bisa menutup mata melihat sesama yang menderita. Ya, kita yang mengaku pengikut Kristus, diminta mengasihi sesama seperti diri sendiri (Matius 22:39). Bagaimana mungkin kita mengasihi jika kita tak mau ambil peduli?

Seorang pendeta pernah ditanyai, mengapa orang Kristen harus repot-repot memelihara lingkungan jika Alkitab sendiri berkata bahwa dunia ini nantinya akan “hangus dalam nyala api” (2 Petrus 3:10)? Pendeta itu balik bertanya. Bila kamu tahu bahwa dalam 30 tahun lagi rumahmu akan hancur, apakah kamu lantas tidak akan merawat rumah itu selama kamu tinggal di situ? Bila kamu tidak merawatnya dengan baik, tentu saja kamu tidak sedang mengasihi dirimu dan orang-orang yang tinggal bersamamu. Kupikir ini jawaban yang sederhana dan bijak. Benar bahwa bumi kita akan berlalu. Namun, selama kita tinggal di atasnya, kita diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk mengelolanya dengan baik, untuk kebaikan kita dan sesama kita! Sungguh sebuah alasan yang jauh lebih kuat daripada sekadar rasa takut pada aturan atau rasa malu pada komunitas!

Mungkin kebanyakan kita tidak akan menjadi seorang tokoh lingkungan hidup yang mengubah wajah seluruh negeri. Tapi kita bisa memulai dari hal yang sederhana. Mengurangi sampah plastik yang katanya sukar diuraikan itu misalnya bisa dimulai dengan membiasakan diri membawa kantong sendiri saat berbelanja, atau wadah makan dan minum sendiri untuk kebutuhan yang rutin. Ikut mendukung gerakan daur ulang bisa dimulai dengan memilah sampah menurut jenisnya agar mudah diproses lebih lanjut. Bagi yang punya energi dan kreativitas lebih, bisa memikirkan cara-cara mengolah sampah menjadi bahan-bahan yang bernilai guna. Tak perlu menunggu aturan pemerintah ditegakkan. Kita bisa memulainya dari lingkungan tempat kita tinggal dan beraktivitas. Apapun bentuknya, kepedulian kita terhadap lingkungan dapat menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Tidak hanya bagi generasi ini, tetapi juga bagi generasi mendatang. Akankah aku dan kamu mau peduli?

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *