Sharing: Bagaimana Yesus Menolongmu Mengatasi Kekecewaan?

Sharing-WarungSateKamu-20141002-Bagaimana-Yesus-Menolongmu-Mengatasi-Kekecewaan

“Ma, kalau aku nanti mati, apakah mama janji akan tetap pergi menceritakan tentang Yesus kepada keluargaku?”

Langkahku untuk keluar kamar itu terhenti sejenak. Aku menahan napas mendengar ucapan penuh harap dari anak remaja bernama Victor itu. Tak bisa menahan rasa ingin tahuku, aku menoleh ke arah mereka. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat pipi wanita yang dipanggilnya “mama” itu basah oleh air mata.

“Mama sungguh-sunguh mau janji?” desak Victor lagi.

Aku meninggalkan kamar Victor dengan mata berkaca-kaca. Membawa nampan berisi peralatan bekas makan pasien muda itu ke belakang. Lalu kembali ke meja kerjaku. Aku bisa merasakan betapa Victor sangat mencintai keluarganya, meski mereka dulu tidak bisa merawatnya dengan baik. Aku sendiri belum bisa memaafkan orangtuaku. Mereka merawatku dengan baik. Namun, aku merasa mereka tidak mendukung pilihan-pilihanku. Aku sakit hati dengan banyak perkataan mereka. Entah dari mana Victor bisa punya kekuatan untuk mengampuni kedua orangtua yang sudah menelantarkannya. Ia tidak menjadi pahit hati dengan apa yang ia alami. Ia bahkan berkata, Tuhan sendiri yang telah mengatur agar ia bisa bertemu dengan keluarga angkatnya, dan bisa mengenal Yesus melalui mereka. Victor sangat ingin mencari di mana keluarga kandungnya tinggal sekarang. Ia ingin menceritakan tentang Yesus kepada mereka. Kalau saja ia cukup sehat, tentu ia sudah pergi sendiri menemui keluarga kandungnya.

Yesus. Aku sering mendengar kisah-Nya waktu aku masih kecil. Ibuku sering membawaku ke sekolah minggu. Tetapi, sejak aku beranjak remaja, aku sendiri tidak pernah melihat ibu pergi ke gereja. Katanya ia kecewa dengan beberapa pengurus di gereja dan merasa lebih baik jika tidak bertemu dengan mereka lagi. Lagipula ia harus merawat ayahku yang saat itu mengalami kecelakaan dan harus kehilangan sebelah kakinya. Aku kadang-kadang berdoa kepada Yesus. Guru sekolah mingguku mengatakan bahwa Yesus itu berkuasa menyembuhkan orang sakit, meredakan angin ribut, dan pasti sanggup juga menolong semua orang yang berseru pada-Nya. Namun, aku merasa doaku tidak pernah dijawab. Yesus tidak menyembuhkan ayahku dan tidak meredakan badai dalam keluargaku.

“Selamat sore, Suster Kim,” beberapa anak muda menyapaku berbarengan. Aku menyeka sudut mataku yang basah.
“Hai, kalian datang lagi!” sahutku sambil berusaha tersenyum lebar.
“Victor tidak sedang tidur kan?” tanya pemuda yang paling tinggi. Sepertinya ia adalah pemimpin kelompok mereka. Ia membawa sebuah Alkitab di tangan kanannya dan sebuah gitar di tangan kirinya.
“Tidak. Victor lagi ngobrol dengan mamanya. Silakan masuk saja ke kamar.”

Sebentar kemudian alunan lagu pujian terdengar dari kamar itu, menghangatkan hatiku yang dingin, sekaligus membuatku harus menarik napas berkali-kali untuk mencegah air mataku tumpah. Aku belum pernah melihat anak-anak seusia mereka yang begitu bersemangat dengan imannya. Victor baru berusia empatbelas tahun. Anak-anak muda yang lain aku rasa usianya tidak terpaut jauh dari itu. Mereka dengan setia datang mengunjungi Victor untuk membaca Alkitab, menyanyikan pujian kepada Tuhan, dan berdoa bersama. Aku juga punya sebuah Alkitab. Ada masanya aku suka membaca beberapa ayat yang diajarkan di sekolah minggu.

“Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.”

“Janganlah takut … janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau …”

“Tuhan itu pengasih dan penyayang …”

“Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau …”

Betapa indahnya jika bisa mengalami apa yang dikatakan ayat-ayat itu. Sudah terlalu lama aku tidak lagi membaca Alkitab, karena aku merasa semua janji indah di dalamnya hanya berlaku untuk orang-orang tertentu, tidak untukku. Sampai Victor datang di bangsal ini. Anak usia empat belas tahun yang sudah harus menjalani kemoterapi berkali-kali karena kanker tulang yang dideritanya. Melihat hidup Victor, aku merasa masalahku sebenarnya tidak ada apa-apanya. Victor bahkan tidak pernah tahu pasti berapa lama bisa bertahan hidup. Namun, sikapnya berbeda seratus delapan puluh derajat dariku. Ia tidak menyalahkan situasi yang menimpanya. Ia percaya bahwa Tuhan mengizinkan segala sesuatu terjadi dan dapat memakai situasi apa pun untuk membawa kebaikan bagi orang-orang yang mengasihi-Nya. Sementara, aku merasa bahwa aku selalu bernasib sial dan Tuhan tidak pernah peduli dengan semua yang kualami.

Saat anak-anak muda itu berpamitan pulang, sayup aku mendengar Victor berkata dengan suaranya yang khas, “Sampai jumpa di surga!” Bukan sekali dua kali aku mendengarnya mengucapkan kalimat perpisahan itu dengan penuh kemantapan. Aku tahu betul ia tidak sedang putus asa dengan penyakitnya hingga ingin segera mengakhiri hidup. Sebaliknya, ia adalah pasien paling tangguh yang pernah kutemui. Ia sangat kooperatif dalam menjalani terapi. Ia punya keinginan yang besar untuk sembuh, karena ia ingin menemui orangtua kandungnya dan menceritakan tentang Yesus kepada mereka. Namun, pada saat yang sama, ia sangat siap jika Tuhan memanggilnya pulang. Matanya berbinar-binar tiap kali menceritakan tentang tempat yang indah dan tubuh yang bebas penyakit, yang dijanjikan Tuhan dalam Alkitab. Mau tak mau hatiku bergetar mendengarnya.

“Bagaimana? Kalian menikmati waktu-waktu bersama Victor?” tanyaku sambil sekali lagi berusaha menampilkan senyum paling manis.
“Iya! Kami selalu merasa dikuatkan setiap bertemu Victor,” kata pemuda yang membawa Alkitab.
“Tuhan kiranya juga menguatkan Suster ….” lanjutnya sambil menjabat hangat tanganku sebelum pulang.

Kekuatan dari Tuhan. Ya, betapa aku membutuhkannya. Benarkah Yesus, yang dipercayai Victor dan teman-temannya itu dapat menyembuhkan rasa kecewa di hatiku? Siapakah Dia sesungguhnya? Pernahkah kamu sendiri mengalami bagaimana Yesus menolongmu mengatasi kekecewaan dalam hidup ini?

 
 
*setting cerita diambil dari kisah nyata Victor Manuel Watters (1997-2011)

Perjalanan Sang Gadis Kecil

Sebuah Cerita Pendek
Oleh: Hana Maria Boone

gadis-kecil

Panggil saja ia si gadis kecil. Gadis kecil yang sedang menyusuri sebuah jalan yang kecil. Entah jalan milik siapa. Ia berharap ini bukan jalan miliknya, karena ia sebenarnya tidak suka menyusuri jalan yang begitu kelam dan sempit. Tapi di sisi lain, ia juga berharap ini benar jalan miliknya, karena ia tak mau disebut tersesat.

Ah, andaikan ia bisa menemukan kebahagiaan dalam perjalanan ini … Setiap manusia pastilah mendambakan kebahagiaan. Demikian pula dengan dirinya. Ia mendambakan kebahagiaan. Bukan sekadar kebahagiaan yang tampak di luar, tetapi kebahagiaan yang menetap di dalam hati. Sesuatu yang lebih memenuhkan jiwa daripada kebahagiaan yang disebut-sebut orang. Mungkin itu yang disebut sebagai sukacita. Ah, rasanya terlalu religius untuk berbicara tentang sukacita dalam jalan yang sempit dan gelap ini. Meski tidak serong, rasanya jalan ini jauh dari terang yang bernama sukacita. Mungkin kebahagiaan memang hanya akan bisa dirasakan saat tiba di rumahnya kembali. Entah berapa lama lagi.

Di sekeliling jalan yang kelam dan sempit itu ada banyak jalan lainnya. Ada yang terlihat cerah, ada yang terlihat kelam. Sang gadis sering bertanya dalam hati, mengapa ada begitu banyak jalan. Dan yang lebih mengherankan, orang-orang yang menyusuri jalan-jalan yang lebih kelam dari dirinya, dapat berjalan tanpa tertatih ataupun terjatuh. Sungguh kontras dengan dirinya. Sudah berkali-kali ia terjatuh. Terkadang ia ingin berhenti saja. Namun, jika ia berhenti, ia akan terjebak di sana, tak pernah sampai ke tujuannya, tak akan pernah sampai kepada keluarga yang menantinya, dan tak akan pernah kembali kepada manusia-manusia yang mencintainya, tempat ia merasakan kebahagiaan jiwa. Ia akan sendirian selamanya di jalan yang gelap dan sempit itu. Jadi, ia pun terus melangkah, meski ia masih merasa bingung, apa yang salah dengan dirinya. Ia tak bisa mengerti mengapa ia kesulitan melangkah di jalan yang kelihatannya sedikit lebih terang dari beberapa jalan yang lain.

“Jalanmu cukup terang untuk berjalan, kenapa kamu terus terjatuh?” seseorang berteriak kepadanya dari jalan seberang. Sebuah jalan yang terang.

Gadis kecil pun manyun. Jengkel juga diteriaki begitu. Ia sudah banyak kali mengalaminya. Tapi kemudian terbersit di pikirannya, mungkin masalahnya tidak terletak pada terangnya jalan. Mungkin masalahnya ada pada dirinya. Jadi, ia buru-buru balik berteriak,
“Coba perhatikan aku. Apakah kamu melihat sesuatu yang salah dengan diriku?”

Orang itu berusaha mengamati sang gadis kecil dari kejauhan.

“Aku tidak dapat melihatmu dengan jelas,” kata orang itu. “Kamu terlalu jauh untuk diamati.” Kemudian ia pun kembali sibuk menyusuri jalannya sendiri.

Gadis kecil melanjutkan perjalanannya dengan hati yang sedih. Betapa ia masih mengharapkan kebahagiaan, bahkan lebih dari pada itu. Rasa aman dan damai. Ya, ia ketakutan di jalan itu, ia ingin segera berada di rumahnya yang penuh kedamaian, tertawa bersama keluarganya, duduk di depan tungku ketika hari mulai terasa semakin dingin.

Beberapa kilometer kemudian ia terjatuh lagi. Sakit. Sakit sekali. Perjalanan ini tidak terasa semakin ringan, dan sang gadis kecil tak tahu berapa jauh lagi ia harus berjalan. Berkali-kali orang berseru kepadanya dan menanyakan kenapa ia terus terjatuh. Sungguh mengesalkan, karena ia sendiri tidak punya jawabannya. Hingga tiba-tiba, ada suara dari seberang. Suara seseorang dari jalan yang sedikit lebih gelap.

“Hai Nak, jalanmu cukup terang untuk berjalan, mengapa kamu berkali-kali terjatuh?”

Pertanyaan klasik. Gadis kecil menggelengkan kepalanya perlahan, pertanda ia pun tak mengerti.

“Coba amati diriku. Apa ada sesuatu yang tak beres dengan diriku?” ia balik bertanya.
Karena sudah terbiasa menyusuri jalan yang jauh lebih gelap, orang itu dapat melihat sang gadis kecil dengan jelas.

“Ya Tuhan!” serunya.

“Aku melihat dua hal yang tak beres, Nak. Satu di matamu, dan satu di kakimu.”

“Apa itu?” tanya sang gadis kecil, terkejut.

“Di matamu ada selaput. Mungkin itu yang membuatmu sulit melihat meski jalanmu cukup terang. Lalu, kakimu bengkok, Nak. Mungkin itu yang membuatmu seringkali terjatuh.”

“Lalu apa yang harus kulakukan?” sang gadis kecil bertanya dengan suara yang bergetar. Sungguh ia tak menyangka kondisinya separah itu.

“Aku tak tahu, mungkin tak banyak yang dapat kita lakukan. Aku pun tak bisa berpindah ke jalurmu. Namun, mungkin pengetahuanku bisa sedikit membantumu.”

“Tolong bantu aku,” seru sang gadis kecil memohon.

“Carilah di sana sebuah ranting pohon yang cukup panjang dan kuat.”

“Ranting pohon? Ya, aku bisa mencarinya. Tapi, apa yang harus kulakukan jika aku menemukannya?”

“Gunakan ranting itu untuk membantumu berjalan, seperti sebuah tongkat, sebagai penopang kakimu, dan sebagai penuntun jalanmu. Aku pun melakukannya, karena di sini terlalu gelap.

“Baiklah,” kata gadis itu seraya mengucapkan terima kasih. Orang dari seberang jalan yang gelap itu pun menganggukkan kepala dan melanjutkan perjalanannya.

Dengan mata yang berselaput dan kaki yang bengkok—setidaknya kini ia tahu akar masalahnya—sang gadis kecil berusaha mencari sebuah ranting yang kuat untuk dapat digunakannya sebagai tongkat. Setelah bersusah payah beberapa saat, ia pun berhasil menemukannya. Kini ia berjalan kembali, dengan semangat yang lebih besar. Tongkat barunya sangat menolong menopang kakinya sehingga ia dapat berjalan lebih baik. Sang gadis kecil merasa senang.

Ia terus berjalan dan berjalan, berharap bisa segera tiba di rumah. Kali ini ia tak terjatuh lagi meski sudah cukup jauh berjalan. Namun, sampai pada suatu titik, kakinya terasa nyeri sekali. Kakinya yang bengkok dan penuh luka karena sering terjatuh itu mulai sakit dan kelelahan. Ia berusaha tidak menghiraukannya dan mencoba terus melangkah. Namun akhirnya, ia terjatuh kembali. Sang gadis kecil merasa putus asa. Untuk apa ia menyusuri jalan ini? Lebih baik ia tak pernah masuk ke jalan mana pun dan terlelap dalam hutan antah berantah itu, mati ditelan oleh tanaman pemakan daging, ia mendesah sambil mengenang awal perjalanannya.

Merasa tak sanggup lagi melangkah, sang gadis kecil berhenti berusaha untuk bangkit. Ia memilih duduk bersandar di pohon terdekat dan tak melanjutkan perjalanannya. Memejamkan mata, mencoba menikmati semilir angin yang berhembus lembut. Entah sudah berapa lama ia di sana ketika sebuah teriakan membuyarkan waktu istirahatnya.

“Hai Nak, aku mengamatimu sedari tadi, melihatmu terjatuh berkali-kali di jalan yang tidak terlalu gelap. Kakimu bengkok dan matamu berselaput, jadi aku tak heran kalau kamu berkali-kali terjatuh. Kamu gadis kecil yang pantang menyerah. Namun, mengapa sekarang kamu duduk diam di sini?”

Sang gadis kecil berusaha mencari dari mana asal suara itu. Ia menengok ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak berhasil menemukan sosok yang berbicara kepadanya. Semua orang yang terlihat, sibuk berjalan di jalan mereka masing-masing. Ia pun coba menjawab suara itu.

“Aku lelah, Tuan. Ya, seperti yang Tuan lihat, mataku berselaput dan kakiku bengkok. Banyak orang bertubuh sempurna dari jalan lain tidak mengerti keadaanku. Mereka mengata-ngataiku sebagai si pemalas, karena menurut mereka jalanku cukup terang dan seharusnya aku tidak boleh sering terjatuh.”

Dalam hitungan detik, suara itu kembali terdengar.

“Ya, aku melihat kamu diremehkan orang sedari tadi. Namun, bukankah selama ini kamu tetap berjalan? Mengapa sekarang kamu duduk begitu lama?”

Sang gadis kecil menarik napas panjang.

“Tuan, jalan ini tak kunjung habis, dan tak menjadi semakin mudah untuk kulalui. Aku bertahan dari setiap hinaan orang, sekarang aku lelah. Kakiku sakit sekali. Apakah sekarang Tuan juga hendak merendahkan aku?”

“Aku tidak hendak merendahkan kamu, gadis kecil. Aku hanya ingin berbincang-bincang denganmu. Bukankah sedari tadi kau kesepian? Bukankah semua orang berbicara kepadamu hanya untuk mengatakan bahwa kamu malas dan lemah? Hanya sedikit orang saja yang coba menolongmu.”

“Ya,” jawab gadis itu. “Tapi percuma saja aku ditolong, aku masih terus terjatuh dan kesakitan. Sampai sekarang, aku pun tak kunjung sampai ke rumahku. Apakah engkau bisa menolongku, Tuan?”

“Saat ini aku hanya dapat berkata: Berjalanlah terus karena kamu sudah semakin dekat dengan rumahmu. Jangan pikirkan kapan perjalananmu akan berakhir, hanya berjalanlah. Dan, saat kamu berjalan, perhatikanlah sekitarmu. Sering ada tanaman di pinggir jalan, bukan? Itu adalah tanaman obat. Oleskan pada luka-lukamu, kamu akan merasa lebih baik. Memang bukan obat yang bisa membuatmu tidak akan terluka lagi, atau menjamin staminamu selalu kuat, tetapi setidaknya, obat itu akan menolongmu hingga sampai di rumah. Dan aku, aku akan menemanimu di sepanjang perjalanan ini. Selama kamu berjalan, kamu bisa bercengkerama denganku, sehingga perjalananmu yang jauh ini tidak terasa begitu membosankan dan melelahkan.”

“Tuan, terimakasih. Sejujurnya, itu bukan pertolongan yang aku pikirkan atau harapkan. Tadinya aku berharap Tuan bisa membawaku pulang dengan kereta kuda supaya aku bisa sampai lebih cepat; aku bahkan berharap Tuan adalah seorang tabib sakti yang dapat menyembuhkan kaki bengkokku dan mengambil selaput di mataku. Namun, tawaran Tuan itu kurasa sudah cukup baik,” ujar gadis kecil sambil tersenyum.

“Kalau begitu, mari lanjutkan perjalanan,” kata suara itu.

Gadis kecil perlahan bangkit lalu kembali berjalan. Langkahnya tertatih, tetapi ia terus berjalan. Perjalanannya terasa lebih ringan bersama suara yang menemaninya, bersama tongkatnya, dan juga tumbuh-tumbuhan penyembuh lukanya. Ia masih sering terjatuh, tetapi kini ia punya semangat yang baru untuk tetap terus berjalan.

Waktu berlalu dengan cepat. Ia tak pernah menghitung berapa lama ia telah berjalan. Tahu-tahu ia sudah tiba di sebuah tanah lapang yang sangat dikenalnya. Dari kejauhan, rumahnya sudah dapat terlihat. Mungkin tinggal beberapa ratus meter lagi. Namun, tiba-tiba ia berhenti dengan mata terbelalak. Ada pemandangan yang mengerikan di tanah lapang itu. Tulang belulang berserakan. Bangkai-bangkai manusia saling bertindihan. Gadis kecil menangis. Ia berteriak,

“Tuan, apa yang terjadi di sini?”

“Nak, jangan takut, sebentar lagi kamu akan sampai ke rumahmu. Di sini sudah aman sekarang, kita tiba tepat pada waktunya. Aku mendapat kabar bahwa sudah berbulan-bulan lamanya ribuan serigala ganas berkeliaran di tanah lapang ini dan memakan setiap manusia yang lewat. Baru saja, serigala terakhir berhasil dibunuh. Tak lama sebelum kita sampai. Kita tiba tepat pada waktunya, Nak.”

Sang gadis kecil menangis penuh haru. Di tanah lapang itu ia dapat melihat dengan lebih jelas, walaupun matanya berselaput dan kakinya bengkok. Betapa segala sesuatu terjadi tepat pada waktunya. Tidak ada yang kebetulan. Gadis kecil pun berlari menuju rumahnya yang terang, hangat, dan nyaman. Jalan menuju kebahagiaan bukanlah jalan yang bebas dari masalah. Justru masalah demi masalah di sepanjang jalan menjadikan kebahagiaan itu semakin berharga untuk diraih. Ia bahkan tak perlu menjadi sempurna untuk mulai merasa bahagia. Justru dalam kelemahan-kelemahannya, ia mengalami pertolongan demi pertolongan tak terduga yang menghangatkan hatinya dengan sukacita.

 

Tuhan menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya;
apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab Tuhan menopang tangannya.
Mazmur 37:23-24

 

Catatan Penulis:
Perjalanan gadis kecil mewakili perjalanan setiap kita. Bukankah kita, para manusia yang lemah, selalu mendambakan dunia yang lebih baik? Namun, terlalu sering, kelemahan-kelemahan yang ada membuat perjalanan hidup ini terasa begitu berat dan kita sulit melangkah. Apalagi, jika harus menghadapi penghakiman dari orang-orang lain yang tidak memahami situasi kita. Kadang, rasanya kita ingin menyerah saja. Betapa kita ingin Tuhan menyediakan pertolongan yang instan dan wah. Kenyataannya, Dia sering bertindak dengan cara-cara yang terduga, menggunakan sarana-sarana yang luput dari perhatian kita. Bukannya langsung menyingkirkan derita kita, adakalanya Dia malah mengizinkan kita menghadapi situasi yang lebih menantang lagi.

Dalam pengalaman pribadi, saya menemukan bahwa cara-cara Tuhan yang tak terduga itu menunjukkan kebijaksanaan-Nya yang jauh melampaui pikiran kita. Dia tak pernah terlalu cepat atau terlalu lambat. Dia tahu betul sarana dan waktu terbaik untuk menolong, sekaligus membentuk hati kita. Dia memegang kendali atas dunia ini, atas hidup kita. Lebih dari itu, Dia adalah Tuhan yang Immanuel, Tuhan yang menyertai kita. Kita tidak pernah dibiarkan sendirian dalam perjalanan hidup ini, hingga kelak kita tiba di rumah-Nya.

Dalam Badai

Kamis, 2 Oktober 2014

Dalam Badai

Baca: Markus 4:35-41

4:35 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang."

4:36 Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia.

4:37 Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air.

4:38 Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?"

4:39 Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.

4:40 Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"

4:41 Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?"

[Yesus] berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” —Markus 4:39

Dalam Badai

Badai sedang mengancam—tidak hanya di langit, tetapi juga dalam keluarga dari seorang teman. “Saat aku berada di Hong Kong,” ceritanya, “dinas meteorologi setempat mengumumkan bahwa badai hebat sedang mendekat. Namun lebih dari badai yang sedang mengancam di luar jendela, ada badai lain yang lebih besar mengancam di keluarga kami. Ketika ayahku dirawat di rumah sakit, anggota keluarga lainnya sedang kerepotan menyeimbangkan tanggung jawab di rumah dengan pekerjaan mereka, sambil juga mengatur waktu untuk pulang-pergi ke rumah sakit. Mereka merasa begitu lelah sehingga kesabaran makin menipis, dan keadaan di rumah kami sedang tegang-tegangnya.”

Kehidupan bisa terasa bagaikan badai yang melontarkan kita ke sana-kemari dalam pusaran angin kemalangan, kesedihan, atau stres. Ke mana kita dapat berlindung? Ketika murid-murid Yesus terperangkap dalam badai hebat dan mempertanyakan kepedulian-Nya, mereka tetap tahu kepada siapa mereka harus mencari pertolongan. Yesus menunjukkan kuasa- Nya dengan menenangkan badai yang menderu itu (Mrk. 4:38-39).

Namun sering kali Dia tidak langsung menenangkan badai tersebut. Dan, seperti para murid, kita mungkin merasa bahwa Dia tidak peduli. Untuk meredakan ketakutan yang kita rasakan, kita dapat berpegang teguh dalam keyakinan pada diri dan kesanggupan Allah. Kita dapat berlindung dalam naungan-Nya (Mzm. 91:1). Kita dapat memohon pertolongan-Nya untuk dapat mempunyai sikap penuh kasih dalam hubungan kita dengan sesama. Kita dapat berserah kepada Allah yang Mahakuasa, Mahabijak, dan Mahakasih. Allah menyertai kita di tengah badai dan membopong kita menembus badai itu. —PFC

Entah amukan samudra yang diterjang badai,
Atau perbuatan iblis atau manusia, apa pun juga
Tiada ombak yang bisa tenggelamkan bahtera saat
Sang Penguasa lautan, bumi, dan langit hadir di dalamnya. —Baker

Tak perlu kita berseru kencang; Dia lebih dekat daripada yang kita pikirkan. —Brother Lawrence