Cerpen: Maksudnya Tuhan

Oleh: Yoshua Adi Bhaskara

yeremia333

“Nathan, bangun Nak! Sudah siang nih, ntar telat lho ke sekolahnya.” Aku melihat mama merapikan baju yang berantakan di sudut kamar.

“Apaan sih, Ma?! Hari ini gurunya Pak Tono, orangnya sering ga masuk, jadi santai ajalah.”

“Ya, tapi kan udah peraturan, kalau masuk sekolah harus jam tujuh.”

Dengan setengah mengantuk aku beranjak dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi.

“Ambilin handuk dong, Ma!” teriakku.

“Lho kok gak disiapin sebelum mandi sih?” kata mamaku, masih dengan sabar.

“Udah deh, Ma! Namanya juga manusia, kadang-kadang juga lupa!” bentakku.

Aku melihat mama menghela nafas. Kadang mama selalu membuatku benci. Ia selalu mengaturku ini dan itu, padahal aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku mengeluarkan motorku dari garasi. Tampak mama duduk di kursi teras. Sepertinya ia berharap aku berpamitan sebelum ke sekolah. Tapi aku sedang tidak enak hati, aku malas untuk berpamitan. Dengan segera aku melaju dari rumah. Leganya sampai di sekolah dan bertemu dengan teman-temanku. Ya, inilah yang aku cari, kesenangan dan kebebasan yang tidak bisa kudapatkan di rumah karena ada mama.

Mama adalah single parent karena papaku telah meninggal dalam suatu kecelakaan setahun yang lalu. Mungkin karena peran sebagai single parent itu, mama jadi sangat menyebalkan. Ia membuat peraturan-peraturan yang menurutku gak penting. Untung saja ada Nicho dan Jason, teman-teman yang selalu ada buat aku. Ketika aku merasa tertekan di rumah, mereka bersedia memberiku tumpangan di kost mereka. Aku merasa sangat senang ketika bersama-sama dengan mereka.

Krriiiiinngg. Bunyi bel sekolah. Jam sekolah berakhir. Berhenti jugalah kesenanganku di sekolah hari ini. Namun aku belum mau pulang. Aku nongkrong dulu bareng Nicho dan Jason, bersenang-senang sebelum harus kembali merasakan tekanan di rumah.

Tepat pukul delapan malam. Waktunya untuk pulang. Setelah pulang aku akan segera tidur sehingga tidak perlu mendapat omelan dari mama. Rumah tampak kosong ketika aku sampai. Untung aku punya kunci rumah cadangan. Aku melangkah masuk. Memang tidak ada siapa-siapa di rumah. Kubuka tudung saji di meja makan. Tak ada makanan satupun disana. Kekesalanku pada mama muncul lagi. Bukankah sudah merupakan kewajiban seorang mama untuk memberikan makan bagi anaknya?

Terdengar ada suara motor datang. Caleb masuk rumah dengan terburu-buru,

“Than, Mama kecelakaan! Ia sekarang di rumah sakit!” Caleb bergegas masuk kamar mama dan mengemasi baju-baju mama yang akan dibawa ke rumah sakit, sementara aku hanya bisa terdiam mendengarnya. Kaget. Terpukul. Rasanya tidak percaya.

Sesampainya di rumah sakit aku hanya bisa duduk dan termenung, sementara Caleb berbicara pada dokter. Aku tak mampu berpikir. Terdengar sekilas bahwa mama mengalami banyak pendarahan. Air mataku mengalir deras. Aku merasa sangat takut, takut kalau pada akhirnya nasib mama akan berakhir seperti papa.

Caleb lalu duduk dan menundukkan kepala. Kupikir ia menangis. Tapi ternyata ia sedang berdoa. Aku tak pernah berdoa, apalagi ke gereja semenjak papaku meninggal. Padahal, dulu aku selalu rajin berdoa dan ke gereja. Aku kecewa, tak mengerti apa maksud Tuhan membiarkan tragedi menimpa keluarga kami. Namun sekarang, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain berdoa.

“Tuhan Yesus, aku datang pada-Mu. Aku mohon supaya Engkau jangan mengambil mama. Sembuhkanlah mama, ya Tuhan. Aku berjanji untuk menuruti setiap perkataan mama, aku berjanji, ya Tuhan. Aku berjanji untuk berubah, hanya mama satu-satunya orang yang aku sayangi di dunia ini, izinkan aku untuk menunjukkan kasih seorang anak kepada mama, ya Tuhan. Aku mohon, ya Tuhan. Amin”

Satu bulan setelah kecelakaan. Aku baru saja selesai bersaat teduh di teras rumah. Mama menghampiriku dengan kursi rodanya. Segera aku bangkit untuk membantu mama duduk di kursi teras favoritnya. Aku membuatkannya segelas teh hangat. Mama tersenyum. Hatiku ikut terasa hangat. Aku mulai mengerti maksud dari semua yang Tuhan perkenankan terjadi dalam hidupku. Tuhan mau membentuk aku untuk menjadi anak yang lebih taat dan menyayangi mamaku. Dan yang lebih penting, Tuhan menarik aku kembali untuk membangun relasi yang erat dengan-Nya.

Saksi Yang Penuh Kasih

Senin, 24 Maret 2014

Saksi Yang Penuh Kasih

Baca: Kisah Para Rasul 1:1-11

1:1 Hai Teofilus, dalam bukuku yang pertama aku menulis tentang segala sesuatu yang dikerjakan dan diajarkan Yesus,

1:2 sampai pada hari Ia terangkat. Sebelum itu Ia telah memberi perintah-Nya oleh Roh Kudus kepada rasul-rasul yang dipilih-Nya.

1:3 Kepada mereka Ia menunjukkan diri-Nya setelah penderitaan-Nya selesai, dan dengan banyak tanda Ia membuktikan, bahwa Ia hidup. Sebab selama empat puluh hari Ia berulang-ulang menampakkan diri dan berbicara kepada mereka tentang Kerajaan Allah.

1:4 Pada suatu hari ketika Ia makan bersama-sama dengan mereka, Ia melarang mereka meninggalkan Yerusalem, dan menyuruh mereka tinggal di situ menantikan janji Bapa, yang — demikian kata-Nya — “telah kamu dengar dari pada-Ku.

1:5 Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.”

1:6 Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?”

1:7 Jawab-Nya: “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.

1:8 Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.”

1:9 Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka.

1:10 Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka,

1:11 dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.”

Kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. —Kisah Para Rasul 1:8

Saksi Yang Penuh Kasih

Bertahun-tahun lalu, saya pernah dirawat di rumah sakit setelah mengalami suatu kecelakaan yang nyaris merenggut jiwa. Saya terjatuh dari sebuah jembatan setinggi hampir 12 meter. Di rumah sakit, istri dari pasien yang terbaring di sebelah saya datang menjenguk dan berbicara dengan saya. “Suamiku baru saja menceritakan apa yang kau alami,” katanya. “Kami percaya Allah menyelamatkan hidupmu karena Dia ingin memakai dirimu. Kami selalu berdoa untukmu.”

Saya pun terpana. Selama ini saya rajin berbakti di gereja, tetapi tidak pernah terbayang oleh saya bahwa Allah ingin turut campur tangan dalam hidup saya. Perkataan wanita itu mengarahkan saya kepada Juruselamat yang selama ini hanya saya dengar tetapi tidak pernah saya kenal secara pribadi, dan itu mengawali perjalanan iman saya dalam Kristus. Saya mensyukuri peristiwa itu, karena lewat perkataannya, seorang saksi dengan penuh kasih dan peduli menyaksikan kasih Allah yang nyata pada seseorang yang belum dikenalnya. Kata-katanya mengandung kepedulian dan perhatian, serta memberikan tujuan dan janji yang bisa saya percayai.

Yesus menantang murid-murid-Nya—dan kita—untuk menyaksikan kasih Allah kepada orang lain: “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8).

Melalui Roh Kudus, perkataan dan kesaksian kita bisa mempengaruhi orang lain dan membawanya pada hidup yang kekal. —WEC

‘Ku suka menuturkan cerita mulia,
Cerita Tuhan Yesus dan cinta kasih-Nya.
‘Ku suka menuturkan cerita yang benar,
Penawar hati rindu, pelipur terbesar. —Hankey
(Kidung Jemaat, No. 427)

Perkataan yang penuh kasih bisa memberikan pengaruh yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.