Kritik Paling Menyakitkan

Oleh Roxanne Robbins

toughest critic

Baca: Amsal 25:11-13

Mungkin kamu memiliki seseorang dalam hidup yang menjadi teman dalam banyak situasi, tetapi yang juga memberimu kritik paling menyakitkan. Pernahkah kamu bergumul tentang bagaimana menanggapi orang yang seperti itu? Dalam pengalamanku pribadi, aku tahu temanku bermaksud baik, namun ia sering mengirimkan komentar yang tidak sedap tanpa mempertimbangkan perasaanku. Sebab itu aku sangat menghargai cara rasul Paulus menyampaikan pendapat kepada temannya, Filemon (Filemon 1:14).

Suatu hari “teman pengritik” itu mengirimkan sebuah e-mail, mendaftarkan sejumlah kegagalanku dan memberitahu bahwa aku hanya punya talenta dalam dua bidang. Aku merasa sangat sakit hati. Namun, bukannya berdoa dan bertanya kepada Tuhan bagaimana seharusnya aku menanggapi hinaan itu, aku malah mencari “Om Google”. Aku mencari kata “bully” dan istilah sejenis yang kupikir menggambarkan teman yang menyebalkan itu.

Mudah sekali menemukan berbagai tulisan yang mendukung pemikiran bahwa temanku memang keterlaluan dalam mengata-ngataiku. Tetapi, aku tetap tidak tahu bagaimana keluar dari masalah itu. Jadi, aku menelepon seorang teman lain yang kuanggap bijak. Ia menyarankan, daripada mencari pertolongan dari internet, lebih baik aku mencari pertolongan dari Tuhan. “Mintalah agar Tuhan menolongmu menyaring isi surat itu,” katanya. “Mintalah Tuhan menolongmu untuk berpegang pada kebenaran dan menyingkapkan semua hal yang tidak benar di dalamnya. Bertanyalah pada Tuhan adakah kebohongan yang sedang coba ditanamkan si jahat tentang dirimu melalui surat temanmu itu.”

Sarannya mengingatkanku pada amsal yang berkata: “Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak” (Amsal 25:11). Mendengarkan nasihat orang itu baik (ayat 12), tetapi kita harus meminta Tuhan menolong kita untuk bisa membedakan apakah sebuah kritik itu benar. Jika orang yang memberi kritik itu tulus, sekalipun perkataannya menegur dan menunjukkan hal-hal yang perlu diperbaiki dalam hidup kita, kritik itu akan membawa kesejukan di hati (ayat 13). Di sisi lain, sebelum kamu sendiri menegur atau mengritik temanmu, pikirkanlah cara penyampaian yang baik, agar yang kamu sampaikan benar-benar dapat membangun, bukan menyakitinya.

Untuk direnungkan:
Bagaimana kita dapat menjadi serupa Kristus dalam cara kita menyampaikan teguran/kritik?

diadaptasi dari ODJ: toughest critic

Dipikat Pencobaan

Jumat, 14 Maret 2014

Dipikat Pencobaan

Baca: Mazmur 119:9-16

119:9 Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.

119:10 Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu.

119:11 Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau.

119:12 Terpujilah Engkau, ya TUHAN; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku.

119:13 Dengan bibirku aku menceritakan segala hukum yang Kauucapkan.

119:14 Atas petunjuk peringatan-peringatan-Mu aku bergembira, seperti atas segala harta.

119:15 Aku hendak merenungkan titah-titah-Mu dan mengamat-amati jalan-jalan-Mu.

119:16 Aku akan bergemar dalam ketetapan-ketetapan-Mu; firman-Mu tidak akan kulupakan.

Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu. —Mazmur 119:10

Dipikat Pencobaan

Salah satu lagu himne favorit saya adalah Come, Thou Fount of Every Blessing (Datanglah, Ya Sumber Rahmat), yang ditulis tahun 1757 oleh Robert Robinson ketika masih berusia 22 tahun. Dalam lirik himne tersebut, ada satu baris yang selalu menyita perhatian saya dan mendesak saya untuk melakukan evaluasi diri. Baris itu berbunyi, “‘Ku dipikat pencobaan, meninggalkan kasih- Mu.” Terkadang saya merasa demikian juga. Terlampau sering saya mendapati diri terpikat dan menyimpang, padahal hati dan pikiran saya seharusnya terpusat kepada Sang Juruselamat yang mengasihi dan telah memberikan nyawa-Nya untuk saya. Tentu bukan hanya saya dan Robert Robinson yang merasakan hal seperti itu.

Dalam masa-masa kita tersesat, dari lubuk hati yang terdalam, kita sebenarnya tidak ingin menyimpang dari Allah—tetapi, seperti halnya Rasul Paulus, kita sering melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak kita kehendaki (Rm. 7:19). Pada saat-saat itulah, kita benar-benar harus kembali kepada Gembala jiwa yang dapat menarik kita kepada-Nya. Dalam Mazmur 119, nyanyian akbar Daud tentang Kitab Suci, ia menuliskan pergumulannya, “Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu” (ay.10).

Adakalanya, bahkan saat hati kita rindu untuk mencari Allah, kita terpikat oleh hal-hal dalam hidup ini yang menarik kita menjauh dari Dia dan firman-Nya. Betapa bersyukurnya kita untuk Bapa Surgawi yang begitu sabar dan penuh belas kasihan. Kasih karunia-Nya selalu cukup bagi kita–bahkan saat kita dipikat pencobaan! —WEC

‘Ku dipikat pencobaan,
Meninggalkan kasih-Mu;
Inilah hatiku, Tuhan,
Meteraikan bagi-Mu! —Robinson
(Kidung Jemaat, No. 240)

Kecenderungan kita untuk dipikat pencobaan sebanding dengan kerelaan Allah untuk menarik kita kembali.