Sebab Tuhan Baik

Oleh Priscila Stevanni

Beberapa waktu lalu, saya dan teman saya mendapat tugas mencari dana untuk sebuah kegiatan kampus. Kami memutuskan untuk berjualan nasi uduk. Sehari sebelum berjualan, kami mendatangi sepasang suami istri penjual nasi uduk untuk memesan delapan puluh bungkus nasi uduk mereka. Karena dimaksudkan untuk dijual kembali, maka saya dan teman saya menawar harga jauh di bawah harga normal. Awalnya, ibu penjual nasi uduk itu tidak setuju, namun setelah kami bujuk dan ia berbicara dengan suaminya, ia pun mengiyakan permintaan kami. Akhirnya, kami mendapat harga yang bagus dan mendapat keuntungan tiga ribu rupiah untuk satu bungkus nasi uduk. Tentu saja, saya dan teman saya sangat senang.

Namun, tanpa disangka-sangka, setelah menawar harga yang jauh lebih murah dibanding harga standar mereka, pasangan suami istri itu memberikan kami seporsi nasi uduk untuk dicicipi. “Ini gratis, Nak,” begitu kata mereka. Saya dan teman saya saling berpandangan, lalu terbersit rasa tidak enak dalam hati kami. Yang kami pikirkan hanya mencari keuntungan, tetapi justru kami mendapat kebaikan dari mereka. Dalam keadaan mereka yang sederhana, sepasang suami istri ini masih mau berbagi dengan orang yang jauh lebih mampu.

Melalui kejadian ini saya seakan diingatkan betapa seringnya manusia bersikap serakah dan tidak bersyukur. Terkadang kita meminta lebih kepada Tuhan tanpa menyadari bahwa Dia sudah terlebih dahulu menyediakan begitu banyak bagi kita. Kita sering menuntut tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain. Tidak hanya itu, kebaikan sepasang suami istri tersebut juga mengingatkan saya pada kebaikan Tuhan yang tidak pernah putus di dalam hidup kita. Kita sering kali tidak taat dan mengeluh pada-Nya, namun Dia tetap memberikan yang terbaik bagi kita. Berkat-Nya selalu tersedia dan tidak pernah habis. Jadi, sudahkah kita bersyukur pada-Nya hari ini? “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2 Kor. 9:15).

Bukan Yang Saya Rencanakan

Jumat, 18 Mei 2012

Bukan Yang Saya Rencanakan

Baca: Mazmur 37:1-8

Berdiam dirilah di hadapan Tuhan. —Mazmur 37:7a

Apa yang saya harapkan dalam hidup saya tidak menjadi kenyataan. Saya ingin menikah pada usia 19 tahun, memiliki setengah lusin anak, dan hidup tenang sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Alih-alih, saya justru bekerja, menikah di usia 40-an, dan tidak memiliki anak. Selama bertahun-tahun saya terus berharap bahwa Mazmur 37:4 akan menjadi janji yang digenapi Allah: “Ia akan memberikan kepadamu apa yang diinginkan hatimu.”

Namun Allah tidak selalu “akan bertindak” (ay.5), dan keinginan yang tidak terpenuhi sesekali membangkitkan kesedihan. Seperti hidup saya, hidup Anda pun mungkin sama sekali berbeda dari apa yang telah Anda rencanakan. Beberapa pemikiran dari Mazmur 37 mungkin dapat membantu Anda (walaupun mazmur ini terutama berisi perbandingan antara diri kita sendiri dengan orang-orang fasik).

Kita belajar dari ayat 4 bahwa keinginan yang tidak terpenuhi seharusnya tidak merampas sukacita dari kehidupan ini. Ketika kita semakin mengenal isi hati Allah, Dialah yang menjadi sukacita kita.

“Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan” (ay.5). Kata serahkanlah berarti “mengalihkan”. Herbert Lockyear, Sr., seorang pengajar Alkitab, berkata, “‘Alihkan jalanmu kepada TUHAN,’ seperti seseorang yang membawa beban yang tidak dapat dipikulnya sendiri dan meletakkannya pada bahu orang lain yang lebih kuat darinya.”

“Dan percayalah kepada-Nya” (ay.5). Ketika kita dengan yakin mempercayakan segala sesuatu kepada Allah, kita dapat “berdiam diri di hadapan TUHAN” (ay.7), karena Dia akan memberikan yang terbaik bagi hidup kita. —AMC

Ketika aku menyusuri jalan kehidupan,
Walaupun jalannya tak bisa kulihat,
Aku akan mengikuti jejak kaki-Nya,
Karena Dia punya rencana bagiku. —Thiesen

Hati manusia memikirkan jalan-jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. —Amsal 16:9