Cerpen: Cowok Idaman

Oleh Ria Uli Petronella Simanjuntak

Bagian 1 | Bagian 2 | Bagian 3 | Bagian 4

Ratih dan Clara adalah teman sekelas di kelas 3 SMA. Ratih adalah gadis sederhana. Peringkatnya di kelas tak terlalu menonjol. Wajahnya pun kalah menarik dibandingkan dengan Clara yang selalu menjadi bintang sekolah karena penampilan dan kecantikannya. Karena perbedaan itu, secara otomatis Ratih bukanlah teman se-geng Clara yang senang berpesta dan selalu bersama teman cowok yang berbeda. Di dalam kelas, Ratih dan Clara hanya sebatas saling kenal saja, tidak lebih.

Jam istirahat tiba. Ratih sedang menikmati bekal makan siang seperti biasanya ketika Clara dan teman-teman se-geng-nya masuk ke kelas.

“Tumben,” pikir Ratih. “Biasanya kalo jam istirahat, mereka selalu nongkrong di kantin, jual pesona.” Ya, Clara lagi tak punya mood untuk nongkrong di kantin sekolah. Ia masuk ke kelas dengan wajah kesal. Teman-temannya mengikuti dari belakang.

“Kenapa sih, Clara?” tanya Dona sambil menatap wajah Clara.

“Gue bosen. Titik!” jawab Clara singkat.

“Ya, keliatan kok dari muka lu. Tapi kenapa ratu kita ini bisa bosen?” kata Dona.

“Iya, Clara. Lu kan paling anti sama yang namanya bosen.” timpal Katie.

“Gue pengen ketemu cowok cakep, tampan, kaya, asyik, cool, perhatian, bisa buat gue senyum. Yang beda ama Bill, Danny, Will, dan bla bla bla. Gue udah bosen sama mereka-mereka.”

“Clara, cowok kayak gitu cuma ada di dongeng Cinderella, Snow White.”

“Pokoknya, kalo ketemu cowok kayak gitu, gue janji, sumpah, bakalan ngelakuin apa yang dia pengen gue lakuin. Selama belum ketemu cowok itu, gue bakalan bete … bete … bete … bete … BEETEEE!”

“Ya udah. Gimana kalo kita sekarang mabal aja. Terus hang out bareng. Shopping, lunch, facial, …” usul Gina. “So refreshing … sekalian hunting.”

“Lu gila, ya? Sekarang tuh pelajarannya Bu Nani… Ulangan tau!” Nicole mengingatkan teman-temannya.

“Hah?! Ulangan?” ucap mereka serempak terkejut.

“Nic, lu jangan becanda dong. Tahu dari mana?”

“Jangan asal ngomong dong, Nic. Sekarang tuh situasi genting.”

“Waktu kalian mabal kemaren, Bu Nani bilang ke si Katak (julukan mereka buat Dani, ketua kelas. ~red) kalau hari ini dia bakal ngadain ulangan Logaritma.”

Clara, Dona, Katie, dan Gina cengong.

“Kenapa lu ga bilang sih, Nic! Tolol!”

“Gue juga lupa ….”

“Terus sekarang gimana?”

Treeet …. treeett …. treeettt …. bel sekolah berbunyi. Anak-anak berlarian masuk ke kelas terutama di kelas 3A, kelasnya Ratih dan Clara. Bu Nani, yang terkenal sebagai sipirnya sekolah, selalu datang ke kelas bersamaan dengan bunyi bel.

“Sial! Si ibu itu ya, emang kelewatan bikin soalnya,” keluh Gina saat pergantian pelajaran. Nicole terlihat menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sementara Clara, pikirannya masih tertuju pada cowok idamannya itu.

* * *

Keesokan harinya, 30 menit sebelum jam masuk kelas, Ratih sudah di kelas. Hari ini dia piket. Sebetulnya, Clara juga piket di hari yang sama, tapi dia tahu kebiasaan Clara yang tak mungkin ada di sekolah untuk belajar, apalagi piket. Ratih bersenandung kecil menyanyikan lagu Hari Ini Harinya Tuhan. Segera senandungnya terhenti saat melihat sosok yang baru saja memasuki kelas.

“Clara?” tanyanya masih tak percaya akan apa yang dilihatnya.

“Ga usah aneh, deh. Gue terpaksa. Si Dani bakal ngasi tahu Bu Nani, kalo gue ga pernah piket. Gue harus ngapain?”

“Hhmmm … gitu ya. Oke, tinggal deretan itu sama sebelahnya yang belum disapu. Sapunya yang satu lagi ada di balik lemari.” jawab Ratih.

Tak ada percakapan di antara mereka. Lalu Ratih berusaha memecah suasana.

“Udah ketemu cowok idaman seperti yang kamu bilang kemaren?”

“Gak usah ikut campur deh. Emang lu tau apa sih?”

“Bukan begitu … cuma kalau belum ketemu, aku punya kenalan cowok seperti yang kamu bilang kemaren. Orangnya baik, tampan, perhatian, kaya, setia …” sahut Ratih.

“Hah?! Ga salah tuh? Gue rasa lu ga tahu maksud gue. Kita ada di dunia yang berbeda tau!”

Ratih hanya tersenyum. Ketika pulang sekolah, dia memberikan selembar kertas pada Clara, dengan tulisan:

Kalo kamu penasaran sama cowok kenalanku, temui aku di Cafe Halaman, jam 7 malam ini.

Clara melipat kertas itu kembali.

“Clara, pulang yuk,” ajak Dona.

* * *

Sore hari yang cerah. Udara berhembus sejuk. Clara membolak-balik majalahnya. “Jam 5,” katanya. Dia sedang memikirkan tawaran Ratih. “Tapi, ga ada ruginya mencoba,” gumamnya. Segera dia mengambil HP.

“Hai, Kate. Gue ga jadi ikut hang out malam ini. Ada janji.”

“Janji?” sahut Kate. “Ama siapa? Ih, kok ga cerita-cerita sih?”

“Udah lah, kapan-kapan aja gue ceritain.”

Clara telah memutuskan untuk menerima tawaran Ratih. Segera dia pergi ke kamarnya, membuka lemari pakaian, dan mengambil sebuah baju warna ungu. Dia mengepas baju itu di tubuhnya dan bercermin. “Hhmm,” gumamnya. Lalu menutup lemari. Sebelum lemari tertutup sempurna, dia kembali membukanya, mengambil baju yang lain, mencobanya, melepasnya, mengambil yang baju yang lain lagi, mencobanya, meletakkannya lagi. Begitu terus sampai setengah isi lemari pakaiannya berserakan di atas tempat tidur dan karpet kamarnya. Akhirnya ia memutuskan untuk membeli baju baru.

* * *

Pukul tujuh kurang sedikit Clara tiba di Café Halaman. Dia mengenakan baju hitam berhiaskan payet motif bunga. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Untuk aksesoris, dia memilih jam tangan yang dihiasi berlian, cincin bermata batu ruby, dan sepasang anting menggantung di telinganya. Dia memperhatikan kanan dan kiri, mencari seseorang. Di sudut kiri, Ratih melambaikan tangan memberi tanda sambil tersenyum. Ratih langsung berdiri ketika Clara menghampirinya.

“Aku seneng banget kamu mau dateng, Clara.”

“Mana?” tanya Clara langsung. Ratih mengerti maksudnya.

“Setengah jam lagi. sekarang kita makan dulu.”

Clara tampak bingung. “Makan dulu? Gue maunya makan bareng sama cowok kenalannya. Gimana sih anak ini”, pikir Clara kesal.

“Ratih, elu jangan main-main ya. Gue tuh punya janji yang lebih penting. Ngerti lu?!”

Ratih hanya tersenyum kecil. “Iya, iya, aku tahu. Makanya, tunggu aja dulu, biar semuanya jelas. Sekarang kamu mau pesan apa?”

Setengah jam berlalu. Clara hanya memesan lemon squash, sedangkan Ratih memesan nasi goreng, ice lemon tea, dan es krim coklat sebagai penutup. Mungkin itu yang memberinya tenaga untuk bercerita banyak tentang berbagai pengalamannya. Sementara, Clara mendengarkan cerita Ratih setengah hati. Lebih tepatnya, hanya seperempat hati.

“Yuk,” ajak Ratih.

“Emangnya kita mau ke mana?”

“Ketemu cowok itu.”

“Ho! Tunggu dulu! Denger ya … seumur hidup gue ga pernah ngampirin cowok. Ini aja udah mecah rekor karena gue mau nungguin dia sama makhluk asing kayak lo!” kekesalan Clara mencuat.

“Nah, sama dong kayak kenalanku itu. Dia selalu nungguin aku, dan sahabat-sahabat yang lain. Jadi hari ini semuanya kita buat berbeda dan spesial. Yuk. Keburu malam nih,” kata Ratih sambil menarik tangan Clara. Mobil Clara melaju ke tempat yang ditunjukkan Ratih.

“Nah, di sini tempatnya.”

Mereka tiba di sebuah bangunan peninggalan Belanda. Bangunan itu tak terlalu besar, tapi langit-langitnya terlihat tinggi menjulang.

“Ini tempat apa?” tanya Clara dengan suara agak ragu.

“Clara, kamu ngga takut kan?”

“Takut?? Heh, tadi aja gue berani makan bareng elu, alien dari planet antah berantah, apalagi sekarang cuma gedung doang.”

Clara turun dari mobil dengan cepat sambil berusaha menutupi kekhawatirannya. Mereka berada di halaman gedung itu yang ditanami berbagai tanaman hias, meski tak terlalu jelas karena hari sudah malam.

Satu-satunya yang terlihat jelas adalah cahaya dari pintu besar yang terbuka.

“Masuk yuk,” ajak Ratih.

Clara membalas kata-kata Ratih dengan pandangan ragu-ragu. Namun, dia pun mulai melangkah perlahan. Ketika sampai di depan pintu, terlihat jelas seluruh isi ruangan. Dalam gedung itu ternyata terdapat kursi panjang yang berjejer rapi. Dan di depan deretan kursi-kursi itu, ada altar dan mimbar.

“Ngapain lu ajak gua ke sini?”

“Ketemu kenalanku itu. Aku janjian ketemu di sini. Duduk yuk.”

Setelah mereka duduk, Ratih memejamkan matanya berdoa. Clara tak tahu harus bagaimana. Perasaannya tak nyaman. Dia ingin semua ini berakhir. Berharap ini hanya mimpi di siang bolong. Dia ingin kembali ke kehidupannya.

“Clara, kenalin, ini teman aku, Yesus,” kata Ratih sambil menatap ke depan, ke sebuah salib.

“Ratih, gue ga punya waktu buat beginian. Gue cabut sekarang.”

“Aku ga ngebohongin kamu. Yesus itu Anak Allah yang Tunggal, Raja di atas segala raja. Dia punya segalanya, hidup kita, harta, kekayaan, bahkan bumi tempat kita tinggal. Kita hanya numpang di salah satu perumahan-Nya.” kata Ratih.

“Dan aku yakin Dia pasti sangat tampan, paling tampan malah. Soalnya, Dia yang menciptakan Bill, Will, Danny, cowok-cowok tampan di sekolah kita. Juga Brad Pitt, Tom Cruise, Daniel Radcliff, Christian Sugiono, Nicholas Saputra, semuanya. Berarti kan Dia lebih tampan lagi … ciptaan-Nya aja keren begitu. Tuhan kan menciptakan manusia serupa dengan-Nya.” lanjut Ratih.

“Temasuk Dani si muka katak, Heru dengan tatapan tololnya, Doli yang senyumnya aneh, Jaka yang ‘kelainan jiwa’ …?” tanya Clara.

“Ya,” jawab Ratih. “Termasuk mereka.”

“Tapi tahukah kamu kalau Dani adalah cowok yang paling berani? Waktu kelas satu ia mempertanggungjawabkan kekacauan yang dibuat Bill di hadapan Bu Nani. Sementara si Bill entah ke mana.”

“Lalu si Heru,” lanjut Ratih. “Dia rela mengaku ngga buat PR waktu pelajaran kimia, padahal sebenarnya dia sudah menyelesaikannya. Heru ngelakuin itu biar kamu ngga sendirian disetrap di depan kelas. Dia ngelakuin itu dengan senang hati karena dia menganggap kamu itu juga temannya. Dia ingin ngerasain apa yang temannya rasakan.”

“Clara, kamu ingat ga waktu mobilmu mogok?” tanya Ratih. “Doli, Gary, sama Herman udah bantuin dorong mobil saat ujan lebat ke tempat aman, sementara kalian ketawa-ketiwi di dalam mobil, termasuk Will, yang bahkan ngga tau gimana caranya ganti ban. Doli berpikir apa adanya, spontan bantuin kamu kan? Juga Jaka, tahu ngga kalau dia bakal masuk MIT, institut teknologi nomor satu di dunia, karena berbagai penelitian yang sudah dia lakukan. Dia membawa nama baik sekolah kita, Clara.” papar Ratih.

“Tuhan telah menciptakan mereka, maka aku tahu. Tuhan juga benar-benar Pribadi yang setia, penuh perhatian. Dia yang menciptakan Pupsy, anjing kesayanganmu, yang bisa membuatmu tertawa, tersenyum bahagia, dari dalam hatimu. Tuhan selalu ada bahkan di saat kamu tak menyadarinya. Saat kamu sedih, Dia juga sedih, Dia selalu bersamamu, bahkan ketika kamu melupakan-Nya. Tapi, Dia sangat mengasihimu. Dia memberimu rumah bagus, mobil yang nyaman, dan semua-muanya. Sekarang kamu mengenal Pribadi yang kamu idamkan. Yang Sempurna.” kata Ratih.

Sepanjang waktu itu Clara hanya diam. Tapi, ia menyimak jelas semua yang dikatakan Ratih. Dia tak tahu harus ngomong apa. Setelah mendengar perkataan Ratih itu, ada perasaan bersalah, senang, bingung, takut, ragu, bercampur aduk. Dan Ratih bisa membaca raut wajah Clara.

“Waktu itu kamu kan janji, bahkan bersumpah, bakal ngelakuin apa pun yang cowok itu minta untuk kamu lakukan kalau kamu bertemu dia?”

Clara tersentak. Tapi…

“Sekarang kamu sudah bertemu Cowok itu. Jadi…?” tantang Ratih.

Clara menunduk. Janji aja udah utang, apalagi sumpah… sesalnya dalam hati.

Ratih hampir tertawa melihat temannya ini.

“Jangan stress gitu dong. Sekarang, di sini kamu kenalan sama Tuhan Yesus dulu.”

“Caranya?” tanya Clara.

“Berdoa.” jawab Ratih.

“Berdoa??” sahut Clara.

“Ya. Begini, lipat tangan dan pejamkan matamu. Katakan, ‘Selamat malam, Tuhan Yesus, ini Clara. Clara baru mendengar sedikit saja tentang-Mu. Tapi Clara mau lebih mengenal-Mu. Kiranya Engkau berkenan dan kita bisa berkenalan. Inilah doaku, ya Tuhan. Terima kasih Yesus, Amin.”

Clara mengikuti apa yang dikatakan Ratih.

“Nah, sekarang mari kita pulang. Setelah ini, selama satu minggu, tiap pagi kamu baca renungan ini sesuai tanggalnya dan baca ayat tuntunannya juga di Alkitab. Karena hanya dalam Alkitab inilah tertulis semua yang Tuhan ingin kita lakukan. Kamu punya Alkitab kan?” tanya Ratih.

“Punya, tapi ga tau di mana…” jawab Clara.

“Pas malam tiba, kalau kamu ingin pergi ke pesta atau café atau yang lain, cobalah menahan diri. Alihkan dengan membaca Alkitab atau buku tentang kasih Tuhan Yesus. Ini aku bawain buku buatmu. Ini buku perkenalanku dengan-Nya. Seminggu ini, biarkan Yesus menyatakan diri-Nya dengan cara-Nya melalui firman-Nya dan doa. Yang kamu perlukan hanya menyediakan waktu untuk-Nya.” kata Ratih.

“Seminggu? Kalau gue ga berubah gimana? Nunggu seminggu lagi dan lagi dan lagi…?” tanya Clara.

“Kamu jalani dulu saja. Aku yakin Dia udah menunggu dan mencarimu selama ini. Dan aku rasa ini adalah momen-Nya.”

Clara mendesah pasrah. Itulah akhir dari pertemuan mereka malam itu.

* * *

Sejak saat itu, satu minggu lebih berlalu tanpa ada kabar dari Clara. Dia tak masuk sekolah karena ikut perjalanan dinas papanya. Dalam hati, Ratih ingin tahu bagaimana Clara menjalani minggu itu, apa dia mau mencoba untuk mengenal Tuhan atau tidak. Tapi, Ratih lebih memilih untuk melepaskan semua pikiran itu. Itu bukan sesuatu yang berada dalam kemampuannya.

“Ratih!!!!…Ada yang nyareeee…” kata Jule, teman satu kosnya.

“Clara???” seru Ratih.

“Hai, Tih. Sori ngganggu.”

“Ga kok, aku lagi ga ngapa-ngapain. Ayo, masuk. Sejujurnya, aku memang sedang menunggu kabar darimu. Tapi, kamu ngga masuk sekolah. Emangnya papamu dinas ke mana?”

“Ke Bangkok,” jawab Clara.

“Wuih, asyik ya…hhmm, di sana kan katanya wisata alamnya bagus banget!! Pasti kamu sibuk ngiter-ngiter ya pas papamu sibuk urusan kantor. Enaknya…”

“Ga begitu. Gue ga ikut ke Bangkok. Itu cuma alasan gue izin dari sekolah.”

“Lho?? Jadi selama ini elu ke mana, Clara?” Ratih terkejut mendengar kata-kata Clara.

“Gue ke rumah doa. Heran ya? Setelah pertemuan kita, gue coba baca renungan dan Alkitab yang akhirnya beli baru lagi karena Alkitab gue yang dulu ga ketemu. Pagi hari itu, Tuhan menyapa gue, Dia selalu bersama gue. Entah kenapa, gue menangis. Ayat renungan itu seharian terlintas di otak. Malam harinya, juga begitu,” cerita Clara.

“Gue ga bisa ngalihin pikiran untuk menolak ajakan Katie pergi ke pesta Henry. Telepon dari sana-sini membuat gue ga bisa konsentrasi. Akhirnya gue pergi lagi ke gereja waktu itu. Di sana ketemu Pak Benny. Dia ngebolehin gue berdoa dan saat teduh di sana berjam-jam. Pak Benny juga yang ngasi tau kalau ada rumah doa, tempat berbagi waktu pribadi dengan Tuhan.” lanjut Clara.

“Gue langsung pergi ke rumah doa itu. Di sana gue bertemu Bu Katya dan bilang kalau gue tahu tempat itu dari Pak Benny. Bu Katya dengan ramah menunjukkan sebuah kamar yang bisa gue pakai. Mulai hari itu gue tinggal di sana, membaca Alkitab, berdoa, dan membaca renungan seakan sedang kelaparan.”

“Gue nangis ketika Tuhan menyatakan kesalahan gue, dan tambah menangis lagi ketika apa pun kesalahanku akan Dia ampuni kalau aku mau kembali pada-Nya. Gue mulai mikir, Tih. Gue ga nyangka semuanya ini. Setiap hari, Tuhan menyatakan kehadiran-Nya, dan selalu membuat gue terdiam. Setelah delapan hari di sana, gue tahu masih belum cukup belajar dan mengenal Tuhan Yesus. Tapi gue harus kembali sebab mengenal Tuhan adalah setiap hari. Gue harus kembali menghadapi hidup gue, tapi kali ini bersama Tuhan Yesus. Sejak pulang dari rumah doa, gue tahu telah memiliki Tuhan Yesus, Raja di atas segala raja, Sahabat sejati, Teman setia, Bapa yang Maha Pengasih. Dan gue sudah mendapatkan lebih dari yang dulu gue cari.”

“Makasih ya. Makasih atas semuanya, Tih. Elu adalah teman gue. Gue sangat bangga bisa bertemu dengan elu, Doli, Heru, Herman, Gary, Jaka, dan Dani.”

Ratih memeluk sahabat barunya, Clara, dengan penuh sukacita. Mereka menangis haru layaknya mendapatkan hal yang sangat luar biasa, indah, penting, dan tak ternilai.

“Oh ya, ini oleh-oleh dari Thailand,” kata Clara.

“Wuaaah…makasih banyak, Clara.”

“Hhmm, Ratih?” kata Clara.

“Ya, Clara?”

“Ada satu hal lagi yang belum gue ceritain.”

“Oh?”

“Waktu di rumah doa, gue mikirin apa yang dulu gue lakukan termasuk pandangan gue tentang cowok.”

“Hhmm..”

“Lalu gue berdoa,” lanjut Clara. “Gue mengaku telah salah menilai cowok. Gue berdoa agar tak mbeda-bedain mereka, juga orang lain, karena setiap orang dikasihi Tuhan. Bagaimana gue bisa membenci mereka? Gue berdoa jika suatu saat memang diperkenan punya seorang pendamping, gue ingin cowok itu memang yang Tuhan berikan untuk gue, karena itulah yang paling cocok.”

“Aku juga setuju soal itu.” jawab Ratih.

“Terus…”

“Terus gimana…?” tanya Ratih.

“Waktu di rumah doa, gue ketemu anaknya Bu Katya yang lagi main ke sana. Dia rutin setiap minggu ke sana. Yah, singkat cerita setelah kami ngobrol-ngobrol, saling mengenal lebih dalam, dia nembak gue.”

“Apa?! Secepat itu? Terus, jawaban kamu?”

“Gue terima…” jawab Clara sambil tersenyum.

“Kamu yakin, Clara? Maksudku, aku sih bukan pakarnya, tapi pertemuan kalian kan singkat banget.”

“Tenang, Tih. Ini masih masa pacaran kok. Walaupun gue terus berdoa. Lagipula, kami sudah kenal lama kok. Elu juga kenal dia.”

“Hhmm, tunggu, anaknya Bu Katya…di rumah doa apa?”

“Rumah doa Agape.”

“Rumah doa Agape…. aku sama sekali ngga kenal.”

“Iya. Mungkin kalau dibilang anaknya Bu Katya elu ga kenal. Kalau…. Dani, ketua kelas kita, elu pasti kenal kan?”

“Apa?????!!!! Dani???”

“Iya.”

“Si muka katak itu?” goda Ratih.

“Menurut dongeng zaman kerajaan dulu, katak akan berubah menjadi pangeran tampan kalau dicium wanitanya,” bela Clara.

Ratih mulai cekikikan, berakhir dengan tawa lepas.

“Rateeeh!! Ada cowok nyari kamu!!” seru teman kos Ratih.

“Yaaaa!” sahutnya.

Cowok? Siapa ya? Ratih bingung.

“Oh, kayaknya itu Dani deh. Gue emang janjian sama dia di sini. Biar kita sekalian makan malam bareng. Mau kan?”

“Mau donk! Aku siap-siap sebentar ya.”

“Oke. Gue tunggu di depan.”

Beberapa saat kemudian, Ratih keluar dan menghampiri Clara dan Dani yang sedang bercengkerama di teras depan.

“Hai, Dan!” sapa Ratih.

“Hai, Tih!”

“Wah, bener Clara. Dia sudah jadi pangeran tampan! Berarti kamu sudah dicium ama Clara ya, Dan?” canda Ratih.

“Ouch!!…sakit, Clara!” reaksi Ratih sambil cengengesan ketika Dita mencubitnya dengan serangan tanpa bayangan.

* * *

T A M A T

Besarlah Upah Anda

Selasa, 7 Februari 2012

Baca: Matius 6:1-6, 16-18

Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu. —Matius 6:4

Banyak bisnis mempunyai “program poin” yang menawarkan hadiah bagi pelanggan setianya. Anda dapat mengumpulkan hadiah-hadiah ini dengan memanfaatkan layanan dari perusahaan-perusahaan mereka, seperti makan di restoran setempat, menginap di hotel tertentu, atau melakukan penerbangan bersama maskapai penerbangan tertentu. Memilih untuk membelanjakan uang Anda dengan cara seperti ini memang masuk akal.

Allah juga mempunyai program hadiah. Yesus sering menyatakan keinginan-Nya untuk menghadiahi kita atas kesetiaan kita melayani Dia. Sebagai contoh, ketika kita dianiaya demi nama Yesus, Dia berkata, “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga” (Mat. 5:12). Berlawanan dengan kebiasaan ibadah orang Farisi dalam memberi, berdoa, dan berpuasa di depan umum, Yesus memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal tersebut secara tersembunyi, karena “Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (6:4,6,18). Dalam menjalani hidup bagi Yesus, pada akhirnya kesetiaan Anda tak akan pernah membuat hidup Anda berkekurangan, berapa pun harga yang telah Anda bayarkan.

Namun kita tidak melayani Yesus untuk mendapatkan upah. Ketika Dia mati untuk kita di kayu salib, Dia melakukan jauh melebihi apa yang layak kita terima. Kesetiaan kepada-Nya merupakan suatu sikap ibadah yang mengungkapkan rasa syukur penuh kasih atas kasih-Nya kepada kita. Sebagai balasannya, Dia senang menguatkan kita dengan jaminan bahwa pada akhirnya upah dari-Nya akan lebih besar dari apa pun yang telah kita korbankan bagi-Nya.

Hiduplah untuk Yesus—berapa pun harga yang harus dibayar. —JMS

Pelayanan kita untuk Tuhan
Akan dibalas suatu saat nanti secara terbuka,
Oleh Allah yang melihat secara tersembunyi
Semua pengorbanan kita untuk-Nya. —Sper

Apa yang dikerjakan untuk Kristus dalam hidup ini akan menerima upahnya dalam hidup yang akan datang.