Pahit Manis Hidup
Oleh David Wijaya, Jakarta
Manis, asam, asin, pahit. Itulah rasa yang kita kecap dengan bantuan lidah. Namun dari kata-kata yang mewakili beragam rasa itu, kata manis dan kata pahitlah yang kita gunakan sebagai metafora untuk menggambarkan kehidupan.
Manisnya hidup kita rasakan ketika kita sedang dalam keadaan senang. Misalnya, permintaan kita dikabulkan oleh Allah yang Maha Pemurah, kita menerima berkat melimpah, berbagai urusan hidup (seperti pekerjaan atau studi) berjalan lancar, dsb. Di saat-saat seperti inilah, kita merasa Tuhan begitu mengasihi kita. Segala sesuatunya beres. Tidak ada masalah. Kita senang. Kita menyambut ajakan pemazmur, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!” (Mzm. 34:9). Kita mengecap kebaikan-Nya, dan kebaikan-Nya itu terasa manis.
Namun, seperti halnya tidak semua yang masuk ke mulut itu selalu manis, maka tidak selalu hal-hal indah sajalah yang kita alami dalam hidup. Hidup kita justru sering dirundung masalah. Di saat-saat seperti inilah, kita merasakan kepahitan dalam hidup kita. Kepahitan hidup bisa berupa hal-hal yang pribadi: putusnya hubungan dengan seseorang, rasa dukacita karena ditinggal oleh orang yang kita kasihi, mengalami sakit-penyakit, harapan yang tak kunjung tercapai, mengalami tuduhan palsu, dsb. Kepahitan hidup juga bisa bersifat komunal, seperti: bencana alam, perang, dan perselisihan antar golongan. Di saat-saat seperti ini, kita merasa hidup sungguh pahit. Kita bahkan meragukan kehadiran Allah. Tidak jarang kita merasa Allah membisu. Pemazmur pun merasakan hal demikian. Ia bahkan berseru dengan jujur, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku” (Mzm. 22:1).
Namun, setelah orang-orang bergumul dengan kepahitan hidup, seringkali mereka tiba pada kesadaran bahwa Allah tetap berada dekat dengan mereka meskipun Ia tampak lamban dalam menanggapi kita atau bahkan sama sekali diam. Allah mengerti kesusahan hati kita. Dia datang ke dunia kita untuk menanggung hukuman atas dosa kita.
Oleh karena itu, di tengah kepahitan hidup, kita tidak boleh lupa bahwa Kristus, yang adalah Allah, menderita di salib. Ia mengalami penolakan, kebencian, fitnah, pengkhianatan, ketidakadilan, kekerasan, bahkan kematian. Inilah paradoks dari salib. Kepahitan hidup yang Ia terima berujung pada manisnya kasih Allah pada manusia. Jadi, kita tidak perlu menanggapi kepahitan hidup dengan keluhan, dan juga tidak perlu sampai menyimpan rasa dendam atau bersikap seolah Allah tidak ada. Karena Kristus telah merasakan kepahitan hidup yang paling pahit, kita pun boleh yakin bahwa Ia mengerti kepahitan hidup yang kita alami. Lebih dari itu, kita pun tahu dari Roma 8:28 bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” Oleh karena itu, kepahitan hidup dapat diubah-Nya menjadi sesuatu yang manis.
Undangan pemazmur dalam Mazmur 34:9, “Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya Tuhan itu!” berlaku dalam keadaan apa pun yang kita alami. Bersyukurlah dan teruslah mengingat kasih-Nya yang manis itu. Dan berdoalah agar kita dimampukan untuk membagikannya kepada orang lain, terutama mereka yang mengalami pahitnya kehidupan. Kiranya doa yang ditulis oleh Sue Mayfield berikut menjadi doa kita pula:
Kristus, yang merasakan pahitnya salib dan yang menanggung sakit kami,
Sertailah mereka yang menderita dan yang merasakan hidup ini begitu pahit.
Tuhan, yang bangkit dari kematian dan penuh kemuliaan,
Penuhi kami dengan kasih-Mu yang manis.
Kiranya kami mengecap kebaikan-Mu dan membagikannya kepada sesama. Amin.