Kata-Kata—Pentingkah?

Senin, 3 Mei 2010

Baca: Amsal 15:1-7

Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya. —Yakobus 1:26

Saya terkejut saat mendengar seorang remaja dari keluarga Kristen menyatakan, “Ibuku berpikir bahwa mengumpat itu tidaklah buruk.” Lalu, remaja ini menyebutkan kata-kata apa saja yang diperbolehkan ibunya—kata-kata yang sebenarnya dari dulu dianggap tidak sopan untuk diucapkan.

Standar bahasa yang dipakai masyarakat semakin menurun tahun-tahun terakhir ini, tetapi kita tidak harus menurunkan standar kita. Saat kita berupaya keras “dengan saksama, bagaimana [kita] hidup” (Ef. 5:15), kita seharusnya menguji bagaimana kita memuliakan Allah melalui kata-kata kita.

Kita menyenangkan Tuhan dengan lidah kita, ketika kita peka. Amsal 10:19 mengingatkan kita bahwa “siapa yang menahan bibirnya, berakal budi.” Ketika berbicara, kita perlu menyaring kata-kata yang keluar dari mulut kita: “Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran” (21:23).

Penting bagi kita untuk memakai kata-kata yang baik dan positif—bahkan ketika kita membahas hal-hal yang sukar. “Perkataan yang pedas membangkitkan marah,” tetapi “lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan” (Ams. 15:1-2).

Akhirnya, hindari kata-kata yang sama sekali tidak mencerminkan status kita sebagai anak-anak Allah. Peringatan Paulus supaya “janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulut [kita]” (Ef. 4:29) memberikan standar yang tegas untuk menggunakan kata-kata dengan bijak.

Jika Anda rindu memuliakan Allah di setiap bagian hidup Anda, pakailah kata-kata yang menyenangkan dan dapat diterima oleh Allah yang kudus. —JDB

Lidah dapat mengatakan berkat
Dan lidah dapat mengatakan kutukan;
Oleh karena itu, kawan, bagaimana kau menggunakan lidah:
Untuk kebaikan atau keburukan? —NN.

Apa yang kita katakan mengungkapkan siapa diri kita.